
“Apaan sih, Yud. Ga usah becanda deh. Kamu tau kan situasinya lagi ga enak.” Kata Ferry lagi.
“Ini Fer. Aku ga sengaja ngelepas label nama jenazah ini, mau aku pasang lagi, tapi gak keliatan.” Ujar Yuda beralasan.
Ferry merampas label nama tersebut. Ia menghidupkan lampu penerangan dari blitz handphone Anita yang masih di pegangnya.
“Akhirnya kita keluar juga nih, Yud. Kukira bakalan lama kita didalam sana.” Ucap Ferry yang berkata pada teman di sebelahnya.
“Iya nih, Fer. Aku rasanya udah gak kuat nahan jarum infus di lenganku, tiap malam nyut-nyutan mulu rasanya.” Jawab Yuda.
Mereka adalah Ferry dan Yuda, dua orang pemuda yang tinggal di satu rumah yang sama. Sudah sejak awal pandemi mereka tidak lagi mendapat pekerjaan, mereka pengangguran. Mereka berdua baru saja keluar dari rumah sakit akibat dari sakit yang mereka derita sejak seminggu yang lalu.
“Tapi aneh banget, rumah sakitnya kok ga minta biaya perawatan sama sekali selama kita dirawat ya?” Kata Ferry lagi.
“Entahlah, Fer, yang penting kita udah keluar, gak usah ambil pusing hahaha…” Ucap Yuda sambil tertawa.
“Kita ini percuma juga keluar dari rumah sakit, Yud. Nanti diluar kita mau makan apa, mending disini kan, masih dapat makan pagi sama sore.” Ujar Ferry sambil memegang dagunya.
“Ya masa kita mesti jadi penjahat, Fer. Kita mah gak ada bakat. Hahaha….”
“Jadi penjahat juga kita mau jahatin apa, Yud?” Tanya Ferry lagi.
“Duh, kalo kelaperan semua bisa aja kejadian, Fer. Sekarang aja nih kita lagi kenyang, ntar kalo laper lagi kita gak tau nih mau makan apa. Ya kan?” Ucap Yuda lagi.
“Yud, gimana kalo kita meras pihak rumah sakit?” tanya Ferry tiba-tiba serius.
“Kamu serius, Fer?” timpal Yuda lagi.
“Iya, aku serius. Daripada nanti kita kelaperan. Toh diluar juga kita belom tentu dapet kerjaan, mentok-mentok kalo ketangkep polisi kita paling di penjara, tetep dapat makan juga kan?” Ujar Ferry seolah setan sudah bersarang di kepalanya.
“Hmm… boleh dicoba nih sarannya, tapi gimana caranya?” Kata Yuda lagi seraya mengiyakan kemauan Ferry.
“Ayo ikut aku!” Kata Yuda.
Mereka berjalan santai pada koridor rumah sakit tersebut. Seolah tidak merencanakan apa-apa mereka masuk ke sebuah ruangan yang berisi beberapa pakaian seragam berwarna hijau muda khas perawat laki-laki di rumah sakit tersebut.
“Gimana?, Cocok gak?” Ujar Ferry menunjukkan pakaian seragam petugas kebersihan yang dikenakannya.
“Cocok sih, kenapa gak dari dulu aja kita kerja kek gini ya hahaha…” Ucap Yuda sambil mencari-cari celana yang pas dengan pinggangnya.
Tak berapa lama, mereka berdua telah berpakaian lengkap. Mereka saling pandang satu sama lain, seolah sudah sangat yakin dengan apa yang mereka rencanakan ini akan sangat berhasil. Yang ada di fikiran mereka hanya, bagaimana cara mendapatkan uang dengan sangat cepat, tanpa harus bekerja.
“Terus, selanjutnya kita ngapain, Fer?” tanya Yuda lagi.
“Rencananya gini, nanti sehabis keluar dari sini, kita akan mencari posisi kamar mayat, disana nantinya kita menyekap seseorang yang bakal kita jadikan Tahanan buat jaminan rumah sakit ini agar memberikan kita uang.” Kata Ferry.
“Trus rencananya yang bakalan kita sekap siapa, Fer?” tanya Yuda penasaran.
“Bebas aja, bisa dokter, suster atau siapa kek yang ketemu, tapi jangan laki-laki ya, takut nanti ngelawan, malah kita yang gak kuat. Masuk akal gak?” Ujar Ferry penuh semangat.
“Ya harus masuk akal, Fer. Udah kepalang tanggung, masa udah nyuri seragam malah gak jadi.” Ucap Yuda sembari merapikan rambutnya.
“Yok kita gerak cepet, jangan kelamaan disini nanti kita ketahuan.” Jawab Ferry sambil berjalan keluar dari ruangan tersebut.
Ferry dan Yuda kembali ke koridor rumah sakit, berjalan dengan sangat percaya diri. Tidak tampak sedikitpun keraguan dari hati mereka. Sempat beberapa kali mereka berpapasan dengan orang-orang yang bekerja disana, anehnya tegur sapa mereka tak tak di gubris sama sekali. Tapi mereka tak mau ambil pusing, karena mereka hanya fokus pada tujuan awal mereka saja.
Akhirnya langkah mereka terhenti pada sebuah gambar besar berbingkai kayu, itu adalah denah lokasi dari rumah sakit tersebut. Mereka memperhatikan detail demi detail titik koordinat posisi ruangan dengan seksama. Akhirnya mereka menemukan titik yang mereka cari, yaitu Ruang Kamar Jenazah.
Setelah mereka menghapal detail lokasinya, mereka pun melancarkan aksinya. Mereka kembali menyusuri koridor rumah sakit. Sementara cuaca diluar sudah menjelang maghrib. Mereka pun duduk dikursi pada ruang tunggu rumah sakit tersebut. Tak ada banyak pergerakan dari rumah sakit tersebut.
Sembari menunggu target yang dicari, Yuda memperhatikan acara televisi yang ada di ruang tunggu tersebut. Sementara Ferry masih mengawasi sekitar, sambil mencari-cari target yang tepat untuk rencana mereka.
“Sekilas info, korban wabah di Rumah Sakit Mulia Cipta semakin meningkat, dikabarkan hari ini sudah merenggut dua orang korban jiwa, korban yang berinisial MT (28th) dan AN (27th) hingga hari ini masih belum ada kabar dari keluarga terkait.” Suara pembawa berita dari televisi tersebut.
“Fer, lihat deh beritanya, itu kan rumah sakit ini, berarti nanti dikamar mayat, kita ketemu sama mayat yang masih seger dong. Hahaha…” Ujar Yuda sambil bercanda.
“Heh, malah ngeri tau. Kan itu korban wabah, bisa aja nanti kita kena juga, sukur-sukur kalo mayatnya udah dibungkus, nah kalo enggak, ketularan deh kita.” Ucap Ferry serius.
“Batalin aja gimana, Fer. Nanti malah kena penyakit kan jadi gak asik.” Balas Yuda.
“Heh, bisa diem gak sih!” Bentak Ferry.
Sesaat kemudian Ferry berdiri dan berjalan menuju ke lantai dua rumah sakit tersebut, disusul oleh Yuda dibelakangnya. Disana mereka melihat seorang perawat yang sedang memeriksa pasien yang berada pada salah satu kamar. Ferry terus memperhatikan gerak-gerik perawat tersebut. Tak lama Ferry menghampirinya.
“Suster, bisa bantu saya. Dari tadi saya gak nemuin orang yang ngerti soal ini?” Ujar Ferry.
“Oh boleh, ada masalah apa, Pak?” Tanya perawat tersebut.
“Kebetulan saya tadi lagi bersih-bersih di area Ruang Jenazah, Sus. Terus saya denger ada yang manggilin dari dalam, tapi saya gak bisa buka karena ruangannya terkunci. Saya udah coba juga nyari penjaganya, tapi gak ketemu. Saya takut ada orang kekunci di ruangan itu, Sus.” Jawab Ferry seolah kata-kata itu telah dipersiapkan di dalam otaknya.
“Ayo kita cek sama-sama, Pak. Tapi temenin saya ya, soalnya lumayan serem tempatnya, apalagi ini sudah lumayan gelap jam segini.” Kata perawat tersebut.
Sepanjang perjalanan menuju ke Ruang Jenazah, tampak Ferry berbincang-bincang dengan Perawat tersebut. Sambil beberapa kali Yuda mengawasi sekitar berharap tidak ada yang melihat pergerakan mereka. Langkah demi langkah mereka lalui, tapi perawat tersebut tetap terlihat tenang, tidak menaruh curiga sama sekali pada mereka berdua.
Setelah sampai di depan pintu kamar jenazah tersebut, tampak Yuda sedikit ketakutan, karena memang pada dasarnya Yuda ini agak sedikit penakut dibandingkan Ferry.
“Yud, temenin susternya. Aku gak berani masuk.” Perintah Ferry.
“Heleh, orangnya gak ngapa-ngapain, dianya sendiri yang takut, dasar lemah.” Ejek Yuda kepada Ferry.
Tak berapa lama kemudian, dengan pergerakan yang sangat cepat, Yuda merangkul badan sang perawat dari belakang lalu mendorongnya masuk ke ruangan tersebut. Ada sedikit perlawanan dari wanita itu, tapi itu tak begitu berarti buat Yuda, perawakan Yuda yang lumayan besar tidak lah cukup untuk wanita itu melawannya. Ferry yang berada di belakang Yuda dengan sigap menutup mulut wanita tersebut agar tidak berteriak.
Ferry bergerak cepat menyobek seprei yang ada di ruangan tersebut untuk mengikat kaki dan tangan wanita itu. setelah keadaan lumayan tenang, Ferry dan Yuda kembali mengamati ruangan tersebut, benar saja yang Yuda perkirakan tadi, di ruangan itu benar-benar ada dua jenazah sesuai dengan berita tersebut.
Ferry bergidik, matanya terus menatap dua jenazah tersebut.
Di dalam ruangan itu, terdapat delapan ranjang untuk peletakan jenazah yang masih baru, sementara enam ranjang lainnya masih kosong. Wanita yang mereka sekap itu direbahkan badannya pada salah satu ranjang kosong di tempat itu, kali ini tidak ada perlawanan sama sekali dari wanita itu. Ia hanya diam saja.
“Trus, ini kita ngapain lagi?” Ujar Yuda bingung.
“Kita tunggu sampai jam 20.30 wib, baru kita kabarin rumah sakit ini kalau salah satu perawatnya sedang kita sekap.” Ungkap Ferry.
“Trus cara kita hubungi rumah sakitnya pake apa, Fer?” Tanya Yuda
“Ah, gampang itu, perhatikan ini!” kata Ferry.
GUBRAKKK!!!
Ferry menerjang keras ranjang yang di tempati oleh seorang wanita yang sedang mereka sekap itu, wanita itu sedikit terkejut dengan perlakuan Ferry, tapi wanita itu berusaha tetap tenang, ia tak mau gegabah sehingga membuat Ferry melakukan tindakan yang lebih berbahaya dari itu.
“SINI HAPEMU!!!” bentak Ferry kepada wanita itu.
Wanita tak bergeming sama sekali, karena badannya terikat pada ranjang tempatnya berbaring, sesekali matanya memberikan kode tapi Ferry tak menyadari akan hal itu.
“Bukain dulu itu tutup mulutnya, Fer. Mungkin dia mau bilang sesuatu.” Ucap Yuda.
Ferry yang mendengar saran dari Yuda pun menurutinya, pelan-pelan dia menarik sumbatan kain yang berada pada mulut wanita itu. Setelah terlepas, tampak wanita itu seolah mencoba menarik nafas yang lumayan panjang.
“Kamu jangan coba-coba teriak, atau saya habisi nyawa kamu sekarang juga!!!” Bentak Ferry lagi.
“Tidak, saya tidak akan teriak, saya akan bantu kalian berdua untuk mendapatkan keinginan kalian, asal saya jangan di apa-apain.” Ucap wanita itu.
“Hah, omong kosong!!!, mana hape kamu!!!” Bentak Ferry lagi.
“Ini di kantong belakang celana saya. Bantu saya untuk mengambilnya.” Ujar wanita itu pelan.
Ferry pun merogoh kantong belakang celana wanita tersebut, dia mendapatkan Handphone serta dompet wanita tersebut. Pelan-pelan Ferry membuka dompet wanita itu dan melihat kartu tanda pengenal dari wanita itu.
“Oke baiklah, disini tertulis nama kamu Anita. Siapa nama atasan kamu di dalam handphone ini, cepat beritahu!!!”
“Tejo, namanya tertulis disana Dokter Tejo, dia atasan saya.” Ucap wanita itu pelan.
Ferry berjalan meninggalkan Anita dan menuju ke arah Yuda.
“Yud, hey!. Kamu kenapa kaya orang ketakukan gitu, ada apa?” tanya Ferry sambil memperhatikan wajah Yuda yang sudah mulai pucat.
“Aa…aakuuu.. bbaa..rrruu…”
“Ngomong yang jelas setan, gak usah pake nakutin segala!” ujar Ferry karena tak sabar mendengar penjelasan Yuda.
“Aku itu tadi ngeliat ada bayangan hitam gede dibelakang kamu Fer, makanya aku takut, tapi bayangan itu sekarang udah gak ada.” Jawab Yuda ketakutan.
“Gak usah halusinasi kamu, Yud. Ga ada setan disini, adanya itu Cuma dua mayat, kamu, aku dan wanita itu. jangan aneh-aneh!” Ujar Ferry meyakinkan Yuda.
“Trus, aku harus apa, Fer?!” Balas Yuda ketakutan.
“Ini, kamu cari kontak Dokter Tejo di hape ini, terus kamu bilang kalo karyawan dia kita sekap, terus minta tebusan. Mmm… 20juta deh. Cepet!” perintah Ferry.
Setelah mengotak-atik hape tersebut, Yuda menemukan kontak yang dimaksud, ia pun menghubungi Dokter Tejo.
“Halo… ini siapa?, Halo… Haloo…” Ucap Dokter Tejo dari balik teleponnya.
“Heh, kamu jangan main-main ya, ini serius!!!” Ujar Yuda.
“Haloo… Anita, Haloo… ada perlu apa?” Ujar Dokter Tejo.
“Sialan, dia main-main sama aku!” Balas Yuda.
Itu kesekian kalinya Yuda menghubungi nomer tersebut, tapi sayangnya Dokter Tejo tidak dapat mendengar suara Yuda.
“Heh, Anita. Ini hapemu rusak?!!” bentak Yuda.
“Enggak kok, gak mungkin rusak, itu hapenya masih baru. Coba aja di telepon lagi, mungkin karena ruangan ini tertutup jadi sinyalnya rada susah.” Kata Anita lagi.
“Sini hapenya, biar aku saja yang telepon!!!” Ujar Ferry sambil merampas hape dari genggaman Yuda.
Ferry mencoba menghubungi kembali nomer tersebut, berharap kali ini keberuntungan berpihak padanya.
“Hallooo… Anita, ini kamu dari tadi hubungin saya ada apa?” Ucap Dokter Tejo lagi.
“Heh, bajingan. Kamu denger aku gak?!!” Bentak Ferry lagi.
“Halooo.. haloo…”
Bahkan di tangan Ferry pun, handphone itu tetap tak berfungsi sebagaimana mestinya. Ferry pun melirik ke Anita.
“Ini, aku pencet nomernya, kamu bilang sendiri aja kalo kamu sedang kami sekap, minta uang tebusan 20juta, nanti uangnya letakkin aja di parkiran rumah sakit ini, biar kami yang ambil. Intinya, ada uang nyawa kamu aman. Paham?!!” kata Ferry sambil memberi arahan pada Anita.
Anita pun mengangguk seakan menyetujui perintah dari Ferry. Setelah Ferry menekan nomer yang dimaksud. Ia menyodorkan hape itu ke wajah Anita, tak lupa ia menekan tombol loudspeaker agar suara Dokter Tejo dapat terdengar oleh mereka bertiga.
“Halo Dok, ini Anita.” Ucap wanita itu.
“Iya, Nit. Ada apa malam-malam telepon berkali-kali?” tanya Dokter Tejo penasaran.
“Gak apa-apa, Dok. Ini hape saya lagi error suka nelepon sendiri.” Ucap Anita.
Ferry menjambak rambut Anita, agar ia mau memberitahukan apa yang tadi menjadi arahannya.
“Oh kirain ada perlu apa, Nit. Kabari aja kalo kamu butuh sesuatu yah.” Ujar Dokter Tejo lagi.
Tak lama panggilan itu dimatikan oleh Dokter Tejo.
PLAKK!!!!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Anita.
“Heh, kamu dengar kan perintah aku tadi!!. Kenapa gak kamu lakuin, kamu mau mati malam ini, Hah?!!” bentak Ferry lagi.
Anita hanya diam memperhatikan ucapan Ferry, tak sedikitpun Anita mau menggubris kemarahan Ferry. Ia hanya diam, tetap diam seribu bahasa. Entah apa rencana Anita, sehingga ia berani berkata sebaliknya, bukan kata-kata yang diinginkan oleh Ferry.
Selang beberapa menit kemudian, mereka bertiga mendengar suara isak tangis dari dalam ruangan tersebut. Yuda menatap Anita, ia fikir Anita yang menangis karena baru saja ditampar oleh Ferry, ternyata bukan.
Ferry pun melakukan hal yang sama, menatap wajah Anita. Tapi sayangnya itu bukan suara dari Anita. Itu suara lain dari dalam ruangan itu.
“Tuh kan, Fer. Tempat ini serem loh, udahan aja yok. Kita kabur, ga kuat aku disini, Fer.” Ujar Yuda memohon kepada Ferry.
“Gak usah takut, gak ada itu yang namanya setan, itu hanya perasaanmu saja.” Balas Ferry.
“Tapi kan kamu denger sendiri. Fery.” Kata Yuda lagi.
“Suara itu berasal dari bawah ranjang ini!” Ungkap Anita menimpali obrolan Yuda dan Ferry.
Tanpa fikir panjang lagi, Yuda dan Ferry seolah sepakat melongo ke bawah ranjang yang ditempati Anita.
Dan benar saja, dibawah ranjang itu mereka dapat melihat sebuah sosok berambut panjang dengan pakaian putih panjang semacam daster. Mereka pun sudah mengetahui bahwa itu bukan manusia. Itu adalah mahluk dari alam lain, alam yang berbeda dengan mereka.
“Fer, itu apa?” Ucap Yuda dengan nada yang gemetar.
“Ah paling Cuma seprei doang, Yud. Gak usah takut, ini aku ambil.” Balas Ferry.
Sebenarnya Ferry pun takut, hanya saja ia sudah terjebak di situasi ini, tidak ada lagi kata untuk mundur. Ferry mengulurkan tanganya di bawah ranjang itu. Ada sebuah jari yang menyentuh tangannya, jari itu sangat dingin. Kali ini Ferry merasa was-was, tapi ia tak mau bereaksi secara berlebihan. Ia takut temannya ikut merasakan ketakutannya saat ini.
Ferry dapat merasakan kain yang berada di ujung jarinya tersebut, sementara di sisi lain ia juga merasakan takut yang teramat sangat karena lengannya yang juga di genggam oleh si pemilik pakaian tersebut. Suasana ruangan itu sedikit lebih tegang daripada sebelumnya. Ditambah lagi dengan minimnya cahaya diruangan tersebut.
Kemudian, tak lama Ferry menarik pelan tangannya dari bawah ranjang tersebut, sembari ia tetap mencoba tenang.
“Tuh, liat kan. Ga ada itu yang namanya setan, udah jangan berlebihan kamu, Yud.” Ucap Ferry sambil menahan rasa takutnya.
Suara isak tangis itu makin menjadi, diiringi sesekali suara tertawa cekikian khas dari mahluk tersebut membuat suasana ruangan itu semakin mencekam. Yuda yang semakin ketakutan tak sadar bergerak mundur mendekati dua jenazah yang berada tak jauh dari posisinya. Ia terkejut tatkala tangannya tersentuh oleh kaki dingin mayat tersebut.
Tapi ia tak berteriak, ia menggeser pelan tangannya. Tapi sayang telunjuknya tersangkut pada label nama yang terikat pada jempol kaki jenazah tersebut dan tanpa sengaja ia melepaskan ikatannya. Ia mengambil label nama itu, tapi ia tak bisa membaca nama yang tertulis disana karena minimnya cahaya diruangan itu.
“Ngapain sih, deket-deket mayat, Yud. Sini cepet.” Ujar Ferry.
Ferry yang melihat Yuda tak bergeming menjadi penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi pada Yuda. Ia pun berjalan menghampiri Yuda.
“Apaan sih, Yud. Ga usah becanda deh. Kamu tau kan situasinya lagi ga enak.” Kata Ferry lagi.
“Ini Fer. Aku ga sengaja ngelepas label nama jenazah ini, mau aku pasang lagi, tapi gak keliatan.” Ujar Yuda beralasan.
Ferry merampas label nama tersebut. Ia menghidupkan lampu penerangan dari blitz handphone Anita yang masih di pegangnya.
“Muhammad Triyuda?, kayak nama kamu nih, Yud. Hahaha” canda Ferry.
“Gak usah becanda deh, Fer.” Timpal Yuda lagi.
“Lah ini tulisannya Muhammad Triyuda, umur 28th, Pasien Wabah.” Ferry terbelalak matanya membaca label itu.
Entah mengapat matanya langsung menoleh pada jenazah satunya lagi, ia melangkah pelan ke arah jenazah itu. la mencoba meraih label jenazah yang lainnya. Ia memberikan cahaya penerangan pada kaki jenazah itu. makin terkejut lagi, ketika ia tersadar, bahwa disana tertulis Afrian Nofferdy, umur 27th, Pasien Wabah.
“Mengapa dua jenazah ini namanya sama dengan nama aku dan Yuda, umurnya pun sama.” Imbuh Ferry dalam hati.
Ferry berjalan pelan ke arah kepala jenazah itu. Ia takut, sungguh sangat takut, tapi ia juga penasaran seperti apa wajah jenazah ini dan mengapa harus sama pada bagian nama dan umurnya dengan mereka berdua. Sementara Yuda masih memandangi Ferry, ia pun penasaran. Kenapa gerakan Ferry kali ini lebih pelan dari pada awalnya, apa yang sedang Ferry fikirkan.
“Fer, hey!. Kamu mau apain jenazah itu?!” tanya Yuda.
“Udah diem dulu deh” balas Ferry cepat.
Perlahan Ferry membuka wajah jenazah tersebut. Dan…..
“Loh, itu kenapa wajahnya mirip kamu, Fer?!!” Ujar Yuda terperanjat kaget.
“Coba buka selimut jenazah yang ada disamping kamu itu, Yud.” Perintah Ferry pada Yuda.
Yuda ragu untuk mengikuti saran dari Ferry, tapi entah mengapa, ia pun penasaran dengan wajah jenazah yang satu lagi. Tak mau berlama-lama, Yuda pun langsung menggeser penutup wajah jenazah tersebut.
“Astaga!!!, ada apa ini, kenapa dua jenazah ini mirip kita?!!” Ucap Ferry setengah berteriak.
“Jenazah itu memang kalian berdua.” Timpal Anita sang Perawat.
Ucapan itu mengagetkan Ferry dan Yuda.
“Apa maksudmu?!!, jangan main-main.” Ucap Ferry seolah tak terima.
“Iya, aku serius. Itu memang kalian. Aku tahu itu dari awal kalian mendatangiku sore tadi. Aku mempunyai kelebihan untuk bisa melihat hal gaib. Itulah salah satu alasan aku sejak awal mau mengikuti kalian dan tidak ada perlawanan sama sekali.” Ucap Anita.
“Hey, ayolah. Jangan bercanda.” Balas Yuda.
“Kalian telah koma selama lima hari berturut-turut dan puncaknya siang tadi kalian dinyatakan meninggal dunia oleh Dokter Tejo. Karena kalian adalah pasien Wabah pertama yang meninggal dirumah sakit ini, pemberitaan tentang kalian di media hari ini begitu ramai, itulah yang menjadi alasan mengapa aku tidak sama sekali menunjukkan perlawanan pada kalian.”
“Ikhlaskan diri kalian, ini bukan alam kalian lagi.” Ujar Anita sambil tersenyum.
Tak berapa lama terdengar suara berisik dari luar. Lampu menyala, terlihat beberapa orang memasuki ruangan Kamar Jenazah tersebut. Mereka adalah keluarga dari Ferry dan Yudha. Sementara itu beberapa petugas lain kaget melihat Anita terikat di sisi ranjang lainnya.
“Loh, Sus. Kok anda terikat disitu.” Ujar salah satu petugas.
“Gak apa-apa hehe, bantu bukain sini, nanti saja aku ceritain. Sekarang beresin dulu aja dua jenazah itu, Pak.” Jawab Anita.
Akhirnya dua jenazah ini dipindahkan ke dalam peti, untuk selanjutnya dibawa kerumah duka. Anita berdiri dari duduknya dan meraih handphone yang sedari tadi terjatuh tepat di antara kakinya. Lalu ia pun berjalan keluar ruang Kamar Jenazah tersebut sambil melambaikan tangan, seolah mengucapkan selamat tinggal untuk Ferry dan Yuda.
SELESAI
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
