
PART 3
***
Hari itu aku sama sekali tidak menghubungi Salwa, karena aku tak ingin terbawa emosi atas kejadian ini dan juga aku ingin melihat secara langsung reaksi Salwa, saat ia tahu bahwa isi dari chat itu berbahaya bagi dirinya.
Seperti biasa, malam itu aku tahu kalau akan dibanjiri notifikasi pesan dari Salwa yang begitu banyak.
“Ah paling isinya cuma marah-marah doang, ga penting.” Gumamku dalam hati.
Karena tak kunjung mendapatkan balasan dariku, akhirnya Salwa pun meneleponku berkali-kali, menurutku bebunyian dari telepon itu lumayan mengganggu, akhirnya kuputuskan untuk mematikannya dan berharap hari lebih cepat pagi. Aku tak ingin rasa kecewa ini terus-terusan berada di dalam kepalaku.
Entah mengapa malam itu mataku tak dapat terpejam, rasanya masalah-masalah lama Salwa muncul lagi di dalam ingatanku, mungkin saja karena selama ini aku yang selalu memendam amarah atas kesalahan-kesalahan Salwa, atau mungkin juga karena tingkah laku Salwa yang makin hari membuatku semakin ingin segera mengakhiri hubungan ini.
Malam semakin pekat, saat kulirik jam dinding di kamarku menunjukkan pukul 02.30 wib dini hari. Akhirya aku putuskan untuk duduk dan mencoba menenangkan diri dengan sebatang rokok, kepulan asap yang kuhembus terasa sangat panjang. Entah apa yang bisa menenangkanku saat ini, selain bertemu Salwa dan sesegera mungkin menyelesaikan masalah ini. Aku benci kondisi dimana diriku tak bisa meredam amarah atas kesalahan orang lain.
“Apasih susahnya jujur, kenapa selalu ada kebohongan-kebohongan yang ditutupi oleh Salwa!” Ucapku kesal sambil mematikan sisa rokok yang ada ditanganku.
Tak lama terdengar suara pintu kamar dibuka, itu adalah Ibuku, orang yang selalu mengkhawatirkan aku dalam segala kondisi.
“Kamu kenapa belum tidur, Ri?” tanya Ibu sambil berjalan pelan memasuki kamarku.
“Gak ada masalah apa-apa kok, Bu. Hanya saja Ari belum mengantuk, Bu.” Jawabku datar.
“Kamu beberapa hari ini Ibu lihat selalu murung, kamu ribut lagi sama Salwa?” Tanya Ibu lagi.
“Ah Biasalah, Bu.” Aku menjawab sambil tersenyum kecut.
“Yaudah kalo gitu, kamu jangan tidur kepagian ya, jaga kesehatan kamu.” Ucap Ibu sambil bergerak ke arah luar kamar.
Tak lama setelah itu, aku kembali merebahkan tubuhku di tempat tidur, ada semacam perasaan yang lega setelah ditanyakan Ibu. Entah kenapa walaupun beliau tidak tahu apa permasalahanku, tapi beliau selalu bisa membuat segala emosiku mereda.
PENGAKUAN SALWA
Pagi itu aku terbangun sekitar pukul 10.00wib, hal yang pertama aku lakukan ialah mengaktifkan kembali telepon genggamku yang sempat kumatikan tadi malam. Aku bahkan tak ingin tahu apa saja pesan yang Salwa kirim. Ada banyak pesan disana, salah satunya yang paling kuingat adalah pertanyaan Salwa.
“Kenapa telepon genggam-mu dimatikan, kamu mau menghindar dari aku?!!”
Pesan itu yang paling kuingat, karena itu adalah pesan terakhir yang aku baca di dalam chatnya. Aku masih saja tak mengerti, setelah dia salah mengirimkan pesan kepadaku, kenapa sekarang aku yang jadi pusat amarahnya.
“Sungguh orang yang sangat labil sekali.” Gumamku dalam hati.
Tak lama berselang, setelah aku menyelesaikan mandiku, Ibu kembali menghampiriku.
“Ri, alangkah lebih baiknya kamu sarapan dulu, Ibu telah menyiapkan mie goreng kesukaanmu di meja belakang.” Ucap Ibu sambil tersenyum ke arahku.
“Iya Bu, makasih banyak.” Balasku lagi.
“Kamu mau kemana pagi ini, Ri?” tanya Ibuku.
“Rencananya, Ari mau ketempat kerja teman, mana tahu saja, disana mereka butuh karyawan, Bu.”
Aku sengaja sedikit berbohong kepada Ibu, hal itu kulakukan karena tidak ingin Ibu mengkhawatirkan aku, karena dia sudah seringkali mendengar masalah-masalah yang kuhadapi dengan Salwa, biarlah kali ini, aku sendiri yang menyelesaikannya.
“Baiklah kalau begitu, Ri. Ibu doakan semoga saja kamu mendapatkan pekerjaan baru ya. Kamu harus semangat, wajahnya gak usah sedih begitu.” Balas ibu.
“Eh, gak kok. Ari gak lagi sedih kok ini hehe.” Ucapku sambil tertawa tipis.
Setelah aku menyelesaikan sarapanku pagi ini, aku bergegas menuju ke rumah Salwa, berharap masalah ini segera selesai, sepanjang perjalanan aku merasa ragu, aku ragu akan jawaban Salwa nantinya, aku sangat yakin dia akan mengelak atas semua pertanyaan yang akan aku tujukan padanya. Semakin dekat perjalananku dengan tempat tinggal Salwa, semakin aku tak ingin lagi menanyakan ini. Entahlah perasaan macam apa ini.
Begitu aku sampai di kediaman Salwa, aku tak menemukan ada pergerakan dari dalam rumahnya. Rumah itu seakan kosong. Aku mencoba untuk mengetuk beberapa kali, tapi tak ada jawaban dari dalam rumah. Kemana Salwa?, apa dia takut untuk menyelesaikan masalah ini?. Perasaan raguku sepanjang jalan tadi tiba-tiba saja menjadi rasa marah yang teramat sangat ingin kulampiaskan saat itu juga.
Tiba-tiba saja entah dari mana, aku melihat sesosok anak kecil melewatiku sambil tersenyum, lebih tepatnya anak kecil yang baru belajar berjalan. Aku terperanjat kaget.
“Anak siapa ini?!” ucapku dalam hati.
Lebih terkejut lagi ketika aku tahu, anak kecil itu menghilang masuk kedalam tempat tinggal Salwa bukan dari pintu, melainkan menembus dinding kamar bagian depan. Ini sungguh aneh, anak kecil itu jelas bukan manusia. Pertanda macam apa ini?.
Belum selesai aku dengan segala pertanyaan yang ada didalam kepalaku, Ayah Salwa tiba-tiba saja mengagetkanku dengan suaranya yang lumayan kencang ditelingaku.
“Heh, rumahnya kosong, kamu mau ngapain hayooo…” canda Ayahnya kepadaku.
“Hehe… Om ngagetin aja nih, Salwanya kemana, Om?” tanyaku serius.
“Oh Salwa, tadi pagi dia pamit sama Om, katanya dia ada kerjaan diluar kota, kalo gak salah ada event rokok seperti biasanya. Emang dia gak bilang sama kamu, Ri?” jawab Ayah Salwa.
“Ari gak tau ni, Om. Mungkin Ari lupa periksa chat dari Salwa sepertinya.” Kataku sambil tersenyum kecut.
“Coba deh periksa dulu, Ri. Ya udah kalo gitu Om masuk dulu ya. Kamu gak mau masuk dulu, Ri?” tanyanya.
“Gak deh, Om. Kayaknya Ari mau langsung pamit, kalo gitu Ari permisi dulu ya, Om.” Kataku sambil berjalan ke arah sepeda motorku.
Aku tidak langsung pulang kerumah, aku berencana untuk mampir ke café yang ada disekitaran rumah Salwa, sekedar ingin meminum kopi hangat sambil menenangkan diri dari kejadian barusan. Aku memeriksa lagi semua chat dari Salwa semalam. Di sana memang tidak ada sama sekali chat dari Salwa yang mengatakan kalau pagi ini dia akan ada kerjaan diluar kota. Apa yang sebenarnya Salwa sembunyikan dariku. Belum lagi masalah anak kecil yang kulihat barusan, entah mengapa, wajah anak kecil itu sangat familiar bagiku.
“Ah ini benar-benar sungguh sangat membingungkan, ditambah lagi Salwa yang menghilang secara tiba-tiba dan tanpa kabar sama sekali.” Ucapku sambil memeriksa lagi beberapa chat dari Salwa.
Aku yang masih dalam kebingungan, akhirnya memilih pulang kerumah secepatnya, karena segelas kopi hangat pun tak juga dapat meredakan kebingunganku atas beberapa masalah ini. Begitu sampai dirumah, aku langsung memeriksa kembali telepon genggamku berharap ada chat dari Salwa untuk mengkonfirmasi masalah ini. Tapi sayangnya, itu tidak ada. Karena kali ini aku benar-benar tak sabar, akhirnya aku putuskan untuk mencari tahu tentang keberadaannya.
“Salwa, dimana kamu?, tolong balas pesan ini segera.”
Teks chat yang kukirimkan itu hanya mendapat centang satu, kurasa telepon genggam Salwa mati, atau Salwa yang berada jauh dari daerah yang memiliki sinyal. Ada sekitar dua jam lebih telepon genggam Salwa tak kunjung memberikan tanda aktif sama sekali. Hari sudah pukul 17.00wib, aku yang tak kunjung mendapat jawaban dari Salwa akhirnya memutuskan untuk tidur sejenak.
Aku tersentak kaget, tatkala Ibu membangunkanku dengan sedikit buru-buru. Kala itu kulihat jam dinding di kamarku menunjukkan pukul 20.45wib, aku mencoba menggosok-gosok mataku, memastikan bahwa itu benar-benar Ibu, dan benar saja, itu memang Ibuku, tapi ada apa beliau membangunkanku dengan cara tergesa-gesa.
“Ri, bangunlah nak, didepan ada Salwa, Ibu tak enak, sudah hampir tiga puluh menit ia didepan sana, menunggu kamu. Ibu telah menawarkan ia untuk masuk, tapi tak ia gubris, Ibu sedikit takut melihat tatapan matanya, Nak.” Ucap Ibu dengan nada terbata-bata.
Aku yang masih belum terkumpul nyawanya ini, dapat mendengar nafas Ibu yang tersengal-sengal seolah menahan takut.
“Iya, Bu. Ibu gak usah takut. Biar Ari yang selesaikan masalah ini.” Ucapku cepat.
Secepat mungkin aku bangun dari tempat tidurku dan menuju teras rumah, aku dapat melihat Salwa disana, ia benar-benar berdiri di pintu masuk teras rumahku. Tak bergeming sama sekali dan matanya tajam menatap ke arahku, seakan-akan aku ini adalah mangsa dan dia seekor singa buas yang siap memangsa. Kondisi ini sungguh membuat nyaliku agak sedikit kendor, tapi demi penyelesaian masalah ini, aku coba untuk memberanikan diriku menyapa Salwa.
“Hey, ada apa dengan kamu, Sal?, kamu tau gak, kamu itu sudah berhasil membuat Ibuku takut!!!” Aku memberitahunya dengan sedikit membentak.
“Kau ingin jawaban?!, ikut aku sekarang!!” bentak Salwa dengan suara yang lumayan keras.
“Kenapa harus sekarang, Sal. Seakan tak ada hari esok. Jangan begini dong, Sal. Kamu sudah menghilang seharian, tiba-tiba datang dengan wajah marah seperti itu, apakah itu wajar menurutmu?”
“Gak usah banyak cerita, kamu mau jawabannya atau enggak sama sekali!!!” sekali lagi Salwa membentak.
Aku tahu, saat ini Ibu pasti memperhatikan kejadian ini dari balik kaca jendela kamarnya. Karena aku yang tak ingin ibu khawatir, aku memberanikan diri untuk mengikuti keinginan Salwa, apapun itu resikonya.
“Tunggu disini, aku ambil Jaketku dulu!” perintahku pada Salwa.
Aku masuk lagi ke kamar, untuk mengambil jaket dan lalu mencari ibu.
“Bu, Ari pergi dulu, ada masalah yang harus Ari selesaikan bersama Salwa.” Kataku cepat.
“Tapi kamu janji ya nak, jangan bertindak gegabah, Ibu lihat Salwa sangat marah sekali padamu.” Ucap Ibu dengan sedikit Khawatir.
“Ibu tenang saja, Ari janji, Ari ga bakal kenapa-napa, Bu.”
“Baiklah, Nak. Segeralah pergi, agar Salwa tidak menunggumu terlalu lama.” Ucap Ibu sambil mengusap rambutku.
Akupun bergegas mengeluarkan motor dari parkiran rumahku, lalu memberikan kode pada Salwa untuk naik. Sepanjang perjalanan tak ada sepatah katapun yang dikeluarkan dari mulut Salwa, ia hanya duduk terdiam mematung. Aku dapat menangkap reaksi wajahnya yang kosong dari spion motorku. Salwa masih terdiam, tatkala motor yang kukemudikan telah sampai di depan rumahnya.
“Masuklah!!!” ucap Salwa masih dengan nada yang membentak.
Aku yang tadinya masih fokus dengan Salwa tiba-tiba saja pandanganku teralihkan lagi oleh anak kecil yang tadi siang aku temui, saat rumah Salwa tidak ada orang sama sekali. Aku mengerenyitkan dahiku, aku berfikir keras, apa maksud dari mahluk kecil ini.
Aku masuk ke dalam rumah Salwa dan menuju ke ruang tamunya, disana sudah ada Salwa yang duduk menungguku, sementara aku masih terfikir soal anak kecil tadi, fikiranku masih menerka-nerka hal janggal ini.
Aku duduk tepat disebelah Salwa yang masih terdiam, yang kulihat hanya seorang Salwa yang sedang menahan amarah besarnya. Kufikir ini hanya cara Salwa untuk mempertahankan diri dari kesalahannya agar aku takut dan lalu memaafkannya, Seperti biasa.
Menit demi menit berlalu, tapi Salwa juga tak kunjung memberikan respon. Bahkan ia tak bergeming sama sekali, ia hanya diam. Aku yang penasaran akhirnya mengambil telepon genggamku sambil mencari chat yang Salwa kirimkan itu. Aku menemukannya dan lalu aku tunjukkan ke hadapan Salwa.
“Ini apa?” aku bertanya dengan pelan.
Salwa tak menjawab, hanya saja mimik wajahnya berubah, wajah yang tadi seseram singa yang sedang lapar, kini berubah bak langit yang menunggu hujan, wajah itu tiba-tiba saja terlihat murung. Aku yang berada di sampingnya dapat melihat genangan air mata yang seolah tak mau jatuh dari kelopak matanya. Aku tak tahu selanjutnya akan jadi seperti apa, tapi yang jelas, aku masih menunggu jawaban dari Salwa. Sayangnya, jawaban itu tidak kudapat. Yang kudapat hanyalah teriakan histeris dari Salwa.
“AAAaaarrrgghh… semua laki-laki itu sama bangsatnya!!!” teriak Salwa sambil menangis sesengukan.
Aku terkejut, tiba-tiba saja seluruh tubuhku seolah mati rasa. Aku bingung harus bersikap seperti apa saat ini. kenapa Salwa tiba-tiba saja seperti itu. Apa maksud dari Salwa.
“Semua laki-laki itu hanya tau enaknya saja, giliran diminta tanggung jawab, hilang begitu saja!!!” suara teriakan Salwa kali ini benar-benar membuatku panik.
Aku menarik Salwa lalu memeluknya, seolah ingin menenangkannya. Ia masih sesengukan menangis saat itu, ibarat bayi yang sedang tantrum, aku hanya berusaha menenangkannya saja, tidak untuk menghakiminya. Aku hanya ingin ia berhenti dulu dari tangisnya.
“Tolong tenang dulu, Sal. Kalo kamu begini terus, ini tidak akan menyelesaikan masalah.” Ucapku pelan seakan mencoba menenangkan tangisnya.
Sepertinya kali ini percobaanku berhasil, tangis Salwa mereda. Aku dapat merasakan kondisinya mulai lebih tenang daripada sebelumnya. Salwa tiba-tiba saja berjalan menuju ke kamarnya, tak lama ia keluar kembali dan melemparkan sebuah benda di depan meja yang ada di hadapanku. Sepertinya itu sebuah obat.
Aku meraih benda itu dari meja, karena penasaran aku buka kemasannya, tentu saja itu adalah obat yang dimaksud Salwa di dalam chat itu. benda berbentuk segi enam itu adalah obat Cytot*c. Obat yang apabila dimakan oleh orang hamil dapat mengakibatkan keguguran. Aku menatap wajah Salwa dan bertanya.
“Dari mana kau dapatkan obat ini dan kenapa kamu punya obat seperti ini, Sal?!” tanyaku sedikit membentak.
Tangis Salwa kali ini pecah lagi, berbarengan dengan kejadian ini aku melihat kembali sosok mahluk kecil itu. Ia berlari ke arah Salwa lalu menghilang. Entah mengapa aku merasa tidak ada rasa takut sama sekali pada mahluk ini, padahal aku tahu, ini bukan mahkluk biasa.
“Aku pernah hamil dengan mantanku dulu, sebelum aku dekat denganmu, Ri.” ucap Salwa sambil terus menangis.
“Setelah tau aku hamil, laki-laki itu menghilang begitu saja, tanpa ada jawaban sama sekali. Aku yang bingung dan kalut ini berkali-kali mencoba menghubunginya tapi tak bisa. Dia mengganti nomernya.” lanjut Salwa.
“Lalu apa hubungannya dengan obat ini, Sal?!” tanyaku.
“Obat ini yang berhasil menggugurkan kandunganku, Ri. Akhirnya setelah berkali-kali aku meminum obat ini. Janin itu berhasil aku keluarkan.”
“Ayo ikut aku, Ri.” ucap Salwa sambil meraih tanganku dan membawanya ke area belakang rumahnya.
Tempat itu gelap dan banyak pohon-pohon besar, ada banyak mahluk aneh disana, tapi tak kuhiraukan. Aku hanya terfokus pada ajakan Salwa. Akhirnya Salwa berhenti di satu titik yang tak jauh dari rumahnya. Hanya berkisar sepuluh hingga lima belas meter dari belakang rumahnya. Lalu ia menunjuk ke tanah kosong itu.
“Itu, Ri. Disana aku menguburkan janinku tepat setahun yang lalu sebelum kita bertemu.” ucap Salwa.
Aku hanya terdiam sambil memerhatikan disekitar, saat itu aku dapat melihat kembali anak kecil itu berdiri mematung dihadapanku. Aku tahu, hanya aku saja yang bisa melihat anak kecil ini dan beberapa mahluk-mahluk yang ada disekitar area belakang rumah Salwa. Karena aku tahu Salwa sangat tidak berani dengan hal-hal seperti ini.
Aku berdiri pelan disisi Salwa, aku meraih punggungnya dan mengajaknya masuk kembali ke dalam rumah. Setelah kembali ke ruang tamu itu, aku mencoba menatap wajah Salwa, tangisnya tak kunjung berhenti. Aku kembali melihat mahluk kecil itu muncul tepat di samping Salwa. Mahluk itu menatap wajahku dan memberikan senyum kecilnya.
“Pantas saja, aku familiar dengan wajah mahluk kecil ini, kurasa ia adalah wujud dari janin Salwa tersebut. Karena wajahnya sangat mirip dengan Salwa.” Gumamku dalam hati.
Aku pun membalas senyuman kecil itu. Sambil mengusap punggung Salwa seakan mencoba menenangkannya.
“Sudah, kamu tenang saja, itu kan masa lalu kamu, Sal.” Ucapku pelan
“Maafkan Aku, Ri. Aku telah membuat kamu kecewa.” Ujar Salwa.
“Sudah, lupakan saja, anggap itu tak pernah terjadi.” Kataku.
“Apakah kamu kan meninggalkanku setelah ini, Ri?” tanya Salwa dengan mata yang berlinang air mata.
“Aku tak bisa menjawab apa-apa untuk kali ini. Yang aku tahu, saat ini aku masih ada untuk kamu. Hanya saja sepertinya aku butuh waktu untuk berfikir, Sal.” Ucapku pelan.
“Kamu marah padaku, Ri?” tanya Salwa lagi.
“Kurasa aku ga marah sama kamu, Sal. Hanya saja ada sedikit rasa kecewa, kuharap ini bisa hilang kedepannya.”
“Maafkan aku, Ri.” Ujar Salwa kembali menangis.
Aku tak menggubrisnya, ada rasa kecewa yang begitu dalam pada Salwa, sehingga aku tak bisa merespon kata maaf darinya. Setelah sekian kali aku mengalah atas segala kegilaan yang dia buat kepadaku. Akupun beranjak dari tempat dudukku.
“Baiklah, Sal. Aku pulang dulu, hari sudah sangat malam. Beri aku waktu untuk memikirkan ini semua.” Kataku sambil meraih kunci motor yang ada di meja.
Malam ini, Salwa tak menahanku, ia membiarkanku pergi begitu saja. Aku pulang dengan perasaan campur aduk. Antara marah, sedih dan kecewa. Tapi disisi lain entah mengapa hati kecilku ada perasaan semacam senang mengetahui sisi lain dari Salwa yang selama ini di tutupinya. Seolah aku baru saja menemukan cara lain untuk pergi dari hidup Salwa.
(Bersambung)
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
