
Berawal dari berita kematian Abah—Bapak mertuaku di malam itu, kami pun dari kota pulang ke kampung pada dini hari. Di sepanjang perjalanan menuju kampung, kami mendapat kejadian-kejadian aneh di dalam bus yang kami tumpangi.
Dan baru saja kami injakkan kaki tiba di rumah Ibu mertuaku, rentetan peristiwa di luar akal dan nalar kembali aku temui.
Akankah aku bertahan untuk tinggal di kampung suamiku yang penuh misteri itu?
Misteri Kampung Suamiku
👻Part 1
"Tolong! Tolong! Jangan, Bah! Aku mohon, jangan ambil anak dan istriku. Ampun, Bah, ampun!" Aku tercekat ketika mendengar suara teriakan dari Bang Gandi yang berbaring di sampingku. Matanya masih tertutup rapat, tetapi mulutnya tak berhenti meracau meminta ampun entah pada siapa yang dia maksud.
"Bang, Bang, kamu kenapa? Mimpi apa kamu sampai keringetan begini? Bangun, Bang, nyebut!" Aku mencoba membangunkan suamiku itu dengan menepuk-nepuk wajahnya yang sudah basah oleh peluhnya sendiri.
Tak lama, Bang Gandi akhirnya membuka mata diiringi suara napas yang cepat seperti usai berlari beberapa keliling di lapangan.
"Minum, Dek. Tolong ambilkan aku minum!" Bang Gandi menunjuk pada gelas berisi air mineral yang tergeletak di meja riasku.
"Mimpi apa, sih, kamu, Bang? Sampai kayak gini? Kayak orang yang mau dirampok aja," celetukku sembari berjalan menuju meja rias yang berada tak jauh dari ranjang kami.
Namun, saat aku hendak meraih gelas itu, tiba-tiba gelasnya terjatuh sendiri ke lantai dan akhirnya pecah, hanya meninggalkan serpihan-serpihan kaca beling.
"Astaghfirullahaladzim!" Tak sengaja, aku melihat sekilas ada bayangan penampakan mengerikan dari cermin meja riasku.
"Ya, ampun, Dek! Kalau disuruh sama suami itu yang bener, dong! Masa cuma ambilin gelas aja sampai pecah segala!" Hardikkan Mas Gandi seketika mengalihkan pandanganku dari arah cermin tadi. Begitulah sikap Mas Gandi kalau sedang kesal terhadapku. Dia akan tega membentak istrinya ini.
"M-maaf, Bang, tapi beneran itu gelasnya jatuh sendiri tadi." Aku terpaksa harus meminta maaf kepada Bang Gandi, padahal aku tak salah sama sekali.
Aku kembali mengedarkan pandangan ke arah cermin. Namun, sosok bayangan misterius tadi sudah lenyap. Ah, apakah tadi aku cuma salah lihat? Atau hanya halusinasiku saja? Karena akhir-akhir ini, aku sering bergadang menemani putriku—Ulfa yang rewel di jam tengah malam.
"Cepat, Dek! Ambilkan aku minum!" Aku segera berlari menuju dapur, tak mau jika suamiku semakin tambah murka kepadaku.
Namun, baru saja sampai di ambang pintu dapur ... langkah kakiku terhenti, saat melihat Abah—panggilan untuk Bapak mertuaku tiba-tiba ada di depan meja makan. Dia tampak sibuk mengocek-ngocek sendok dalam cangkir di sana. Sepertinya, cangkir itu berisi kopi. Karena Tercium aroma kopi menguar tajam di ruangan ini.
"Kok, ada Abah? Abah kapan datang ke sini? Kenapa Bang Gandi enggak bilang ada Abah, ya?" Dengan ragu, aku perlahan melangkahkan kaki menuju arah Bapak mertuaku berdiri, tetapi entah mengapa, wajah Abah tampak murung, dia menatapku dengan sorot mata sedih. Dan aku merasa udara malam ini mampu membuat bulu kudukku meremang.
"Ini kasihin buat suamimu, Neng. Suruh dia habiskan, ya. Abah pamit mau istirahat." Abah lalu menyodorkan cangkir kopi tadi seraya bibirnya mengulas senyum tipis ke arahku, tetapi ada hal yang aneh kurasa. Tak sengaja, jari tangan Abah menyentuh jari tanganku, dan rasanya sangat dingin sekali.
"B-baik, Bah. Apa Abah udah makan?" Lelaki yang rambutnya sudah dipenuhi rambut bihun itu, menganggukan kepalanya pelan tanpa menoleh ke arahku. Dia terus berjalan lemas menuju arah kamar tamu sembari memunggungiku.
Aku semakin tambah bingung dengan sikap Abah malam ini. Mungkin saja beliau sedang merasa sakit. Biarlah, lebih baik Abah beristirahat saja dulu.
"Dek! Dek! Cepat ke sini!" Teriakkan Bang Gandi sontak membuatku terperanjat. Gegas aku berlari ke kamar lagi sambil membawa cangkir kopi untuknya.
"B-bang, Maaf, aku lama. Tadi aku ngobrol dulu sama Abah di dapur. Kamu, kok, enggak bilang ada Abah datang ke rumah kita, sih, Bang?" Aku melayangkan protes kepadanya. Kenapa sampai lupa mengabari bahwa Abah ada di sini.
"Ngomong apa, sih, kamu? Ngaco kamu, hah? Ayo, kemasi baju kita. Malam ini kita pulang ke kampung!" Bang Gandi membentakku lagi.
"Loh, ada apa, Bang? Abang pegang ponsel segala ada apa? Siapa yang tadi nelpon Abang?" Di tangan suamiku, ada ponsel yang layarnya masih menyala sedang digenggamnya.
"A-abah, Dek. Abah meninggal. Ibu barusan yang telpon."
"I-innalillahi wa inna ilaihi roojiun." Seketika lututku lemas, tubuhku lalu ambruk ke lantai. Cangkir berisi kopi pemberian Abah tadi, tiba-tiba berubah menjadi cairan kental berwarna kehitaman dan tercium bau sangat anyir.
Lalu, siapakah yang tadi memberikan cangkir kopi ini di dapur? Kalau ternyata Abah sudah meninggal.
👻Part 2
"Dek! Aku mau bangunin Ulfa. Kamu cepetan rapihin baju, sana! Malah duduk di lantai." Bang Gandi tak memedulikanku yang terduduk lemas di lantai. Tangan ini masih gemetaran memegang cangkir kopi yang berubah menjadi seperti darah ayam, aneh. Masih tak masuk nalarku, jelas tadi cangkir hitam ini berisi kopi hitam yang aromanya sangat harum, tetapi kenapa seketika bisa berubah menjadi darah begini?
"Dek!" Bang Gandi kembali membentakku.
"Y-ya, Bang." Segera kutaruh cangkir itu begitu saja di lantai dengan perasaan yang entah. Pikiran ini masih didera kebingungan.
Aku bangun dan mengambil koper dari lemari, lalu satu persatu kutata pakaian ke dalam koper. Dari kamar belakang, terdengar tangisan Ulfa memekakan telinga ini.
"Bunda! Bunda! Aku mau sama Bunda, Ayah. Huhuhu!" Ulfa sepertinya tak mau digendong oleh Bang Gandi.
"Ayo, Ulfa, pakai jacket dulu! Kita mau berangkat ke rumah Abah sekarang!" Bang Gandi terdengar memarahi Ulfa.
Dalam hati aku terus beristighfar seraya mengemasi barang. Berita kematian Abah sangatlah tiba-tiba. Terakhir aku bertemu beliau saat pulang kampung pada malam tahun baru kemarin. Abah kelihatan sehat-sehat saja. Tidak ada riwayat penyakit berat yang perlu kami khawatirkan, hanya sekadar sakit karena usia yang semakin tua.
Abah dan Ibu mertuaku tinggal bertiga di kampung halaman Bang Gandi dengan Galih—adik Bang Gandi yang masih SMA. Mereka hanya dua bersaudara dari satu ibu, sedangkan Abah mempunyai lima orang anak dari beberapa orang istrinya. Namun, hubungan Ibu mertuaku dengan anak-anak Abah yang lain kurang baik. Ya, maklum saja, perempuan mana yang mau suaminya terus-terusan menikahi perempuan muda? Entah kenapa Abah begitu gampang mencari perempuan muda untuk dijadikan istri, tetapi istri-istri muda Abah perlahan meninggal secara mendadak tanpa sakit dahulu.
"Bunda! Aku mau sama Bunda!" Ulfa datang menghampiriku dengan mata yang sudah basah karena tangisannya. Memang putriku yang berusia enam tahun ini, tidak dekat dengan ayahnya. Mungkin karena Bang Gandi jarang mengajak Ulfa bermain. Dia terlalu sibuk bekerja.
"Ayo, Nak, sini. Jangan menangis lagi, ya. Kita mau ke rumah nenek sekarang." Aku menyeka pipi Ulfa dengan ujung jilbab yang dipakainya. Lalu aku mengajaknya perlahan berjalan menuju Bang Gandi yang sedang memakai sepatu.
"Bang, kita naik apa ke rumah Ibu jam segini? Pasti pesan taxi online enggak ada yang mau malam-malam begini, jaraknya pun jauh dari sini." Aku melirik ke arah jam dinding. Sekarang sudah jam setengah dua dini hari.
"Ya, naik motor aja, Dek. Memangnya ada angkutan umum jam segini?"
"Naik bus aja, Bang. Pasti ada di terminal, 'kan 24 jam, kasihan kalau Ulfa harus naik motor. Nanti dia bisa masuk angin, Bang." Aku tak mau Ulfa sampai sakit.
"Udah jangan ngatur aku segala! Kalau kataku pake motor, ya, pake motor. Ayo, cepetan bukain pintu! Aku mau ngeluarin motor!"
Ah, rasanya lelah jika harus berdebat terus dengan Bang Gandi. Pasti akan kalah, pendapat dan omonganku tak akan mau didengarnya. Dan dengan terpaksa aku menurut saja.
"Bunda! Bunda! Ulfa takut Bunda! I-itu di jendela ada kepala yang terbang! Ulfa takut, Bunda!"
Astagfirullah, apa lagi ini? Ada apa sebenarnya? Kenapa malam ini terasa menyeramkan?
"Sini, Ulfa! Gendong sama Bunda, ya, Nak. Ulfa jangan lihat ke jendela." Aku memberanikan diri menoleh ke arah jendela yang ditunjuk Ulfa, sekelebat bayangan terlihat sekilas olehku, lalu menghilang.
"Dek! Ayo kita pergi!"
"Y-ya, Bang." Gegas aku menggendong Ulfa dan mengunci pintu rumah.
Saat Bang Gandi hendak melajukan motornya, tiba-tiba mesin motor mati, dan sulit dihidupkan kembali. Bang Gandi memutuskan menyimpan motornya kembali ke dalam rumah, lalu kami akan naik bus ke kampung.
Kami mencari orang di pos ronda untuk meminta bantuan mengantarkan kami ke terminal.
Namun, malam ini sangat aneh. Biasanya pos ronda tak pernah kosong, tetapi malam ini ... di sana tak ada satu orang pun.
"Bang, gimana, dong, mau ke terminalnya kalau enggak ada yang nganterin kita?"
Bang Gandi tak menjawab pertanyaanku. Tampak dari raut wajahnya, dia sangat kebingungan dan frustasi.
"Kita jalan aja ke depan, siapa tahu ada tebengan." Kami pun perlahan berjalan dalam gelapnya malam, dan udara dingin yang menusuk kulit.
Baru beberapa langkah kami berjalan, ada suara klakson bus dari arah belakang.
"Bang! Mau ke mana?" tanya kernet bus yang berhenti di pinggir jalan.
"Kami mau pulang ke kampung A, Bang," jawab Bang Gandi kepada kernet itu.
"Ayo, Bang, kebetulan ini bus jurusan ke sana."
Dengan saksama aku memindai ke dalam bus. Ada beberapa orang penumpang yang tengah duduk di jok bus, dan di depan kaca bus tertulis jurusan ke kampung halaman Bang Gandi.
Puji syukur kupanjatkan kepada Tuhan. Akhirnya, ada bus yang langsung menuju ke tempat uang kami tuju.
"Ulfa, ayo duduk di sini, Nak!" Aku menggendong Ulfa di pangkuanku. Ulfa sudah mulai terlihat tenang.
"Bang, tidur aja dulu! Nanti aku bangunin kalau dah sampai." Kasihan Bang Gandi, pasti dia sangat terpukul dengan kabar kematian Abah.
Supir bus pun akhirnya menjalankan mesinnya, tetapi lagi-lagi aku rasakan udara di sini terasa berbeda. Entah mengapa aku ingin sekali menengok ke arah belakang.
"N-neng .... tidurkan cucuku."
Tengkuk leherku merinding saat ada suara serak terdengar diiringi napas yang meniup-niup di telingaku.
Terpaksa aku menoleh ke arah belakang, dan rasanya seketika ingin pingsan saja saat Abah sedang duduk di jok belakangku.
👻Part 3
"A-a-abah?"
"Bunda! Bunda! Lihat itu di luar! Ada orang yang bawa-bawa kepala di tangannya, Bunda. Ih, Ulfa takut! Takut!" Spontan aku menengok ke arah kaca bus yang ditunjuk oleh Ulfa. Namun, aku sama sekali tak melihat apa yang barusan dikatakan olehnya. Kening Ulfa tak sengaja tersentuh oleh tanganku. Astaghfirullah, ternyata keningnya panas, Ulfa demam. Bagaimana ini?
"Ya, Allah, Nak, Ulfa sakit? Pusing enggak, Nak?" tanyaku panik campur ketakutan, rasanya ingin menangis sekeras-kerasnya, tetapi khawatir akan membuat Ulfa tambah ketakutan jika melihat ibunya ini menangis.
"Ulfa takut, Bunda, takut!" Rengekan Ulfa terdengar oleh Bang Gandi, dia pun terbangun dan langsung menegur Ulfa.
"Berisik amat, sih! Bagaimana aku mau tidur, kalau kalian berisik terus?" Bang Gandi tega membentak putrinya sendiri.
"Ulfa panas, Bang. Dia demam." Air mataku tak kuasa dibendung lagi. Akhirnya air mata ini mengalir deras sederas hujan yang tiba-tiba turun dari langit malam ini.
"Kamu bawa obat penurun panas enggak, Dek?" Bang Gandi kini mulai khawatir melihat keadaan Ulfa. Bang Gandi lalu memindahkan Ulfa ke dalam pangkuannya dari pangkuanku.
"Enggak, Bang, tadi buru-buru. Gimana ini, Bang? Apa kita balik lagi ke rumah?" Aku menempelkan punggung tanganku ke dahi Ulfa, suhu badannya masih panas.
"B-bunda, Ulfa takut! Di sini banyak orang-orang yang mukanya seram, Bunda!" Ulfa menenggelamkan wajahnya ke dada Bang Gandi, dan tangan mungilnya terlihat gemetaran.
Aku lalu memindai ke arah para penumpang bus, dan mengamati mereka satu persatu. Kulihat semua normal saja. Tak ada wajah yang menyeramkan seperti yang dikatakan Ulfa barusan. Mungkin akibat demam, Ulfa hanya berhalusinasi. Aku pun tak melihat lagi sosok yang menyerupai Abah tadi.
"Bang, anaknya kenapa? Sakit, ya?" tanya seorang ibu yang duduk di samping jok Bang Gandi. Dia kemudian menghampiri kami dan memeriksa keadaan Ulfa.
"Y-ya, Bu, putriku demam." Aku memaksakan melempar senyum kepada ibu itu, sembari mengelap air mata di pipi.
"Oh, kebetulan ibu bawa macam-macam obat untuk jaga-jaga di perjalanan punya cucu ibu. Sebentar, ya, ibu bawa dulu."
Tak lama ibu itu kembali menghampiri kami dengan membawa satu botol obat penurun panas anak.
"Alhamdulillah, makasih, Bu." Perasaanku sedikit lega, ada obat untuk menurunkan demam Ulfa.
"Ayo, Nak, minum dulu obatnya, ya," titahku dengan lembut kepada Ulfa. Dia pun tak susah untuk langsung meminumnya.
Bang Gandi mencoba menidurkan Ulfa dalam pelukannya dengan rasa sayang. Baru kali ini dia bersikap hangat kepada Ulfa. Mudah-mudahan Ulfa lekas membaik.
"Bu, terima kasih banyak, ya. Untung ada ibu. Tadinya kami mau pulang lagi ke rumah." Aku mencium punggung tangan ibu laiknya mencium tangan ibuku sendiri yang sudah lama meninggal.
"Sama-sama, Neng. Walaupun kita berbeda, tetapi sebagai sesama mahkluk ciptaan Tuhan, kita harus saling membantu." Aku sejenak terdiam dan mencerna ucapan ibu tadi yang kembali duduk di joknya.
Rasanya, ucapan ibu yang senyumnya terlihat tulus barusan, terdengar mengganjal di hati ini.
Ah, sudahlah. Mungkin hanya perasaanku saja. Segera kutepis semua pikiran macam-macam yang berlalu-lalang sejak dari tadi. Ulfa terlihat tertidur pulas di dalam pelukan Bang Gandi. Bang Gandi pun matanya ikut terpejam.
Bus terus melaju pelan dalam derasnya hujan, harusnya aku pun ikut tidur karena tempat yang kami tuju masih sangat jauh. Namun, rasanya mata ini enggan terpejam. Entah kenapa aku ingin menengok ke arah kursi sang supir bus sebentar.
"Astaghfirullah!"
Pergi ke mana supirnya? Kernet bus yang duduk di dekat pintu pun tak kulihat. Aku mengucek-ngucek mata untuk memastikan apakah penglihatan ini terganggu apa tidak.
Mana mungkin bus bisa berjalan sendiri tanpa kendali dari seorang supir? Mustahil.
"N-n-eng .... perjalanan masih jauh. Kamu tidur saja dulu." Suara serak itu kembali terdengar. Jantungku spontan berdetak kencang—sekencang larinya kuda liar yang berlari saat hendak diburu oleh para pemburu.
Keringat dingin mulai mengalir dari punggung. Ingin sekali aku menengok ke belakang, tetapi leher ini jadi sulit digerakkan. Belum sempat aku kuasai diri dari rasa takut, tiba-tiba dari bawah jok menggelinding potongan kepala yang mukanya hancur dan mengerikan.
"Aaargh! Tolooong!"
👻Part 4
"Dek! Dek! Bangun! Kita istirahat dulu di rest area." Suara Bang Gandi terdengar samar di telinga sebelah kanan. Perlahan aku membuka mata, lalu sejenak mengumpulkan kesadaran. Ah, untunglah ... tadi aku hanya bermimpi saja. Kuedarkan pandangan ke arah jok supir, ternyata dia berada di sana sedang berbincang dengan kernetnya.
Bus berhenti di parkiran rest area, semua penumpang turun terkecuali seorang gadis berambut panjang yang duduk di jok paling belakang. Aku perhatikan sedari tadi, dia terus menundukkan kepalanya sembari mulutnya tak berhenti seperti melapalkan sebuah bacaan.
Aku menyelempangkan tas kecil berisi uang dan ponsel, lalu memeriksa keadaan Ulfa yang masih tertidur di pangkuan Bang Gandi. Alhamdulillah, suhu badannya kembali normal. Segera kugendong dia dan turun dari bus untuk mengajaknya makan.
Kami turun dari bus lewat pintu belakang, dan otomatis kami berpapasan dengan gadis itu.
Saat aku lewat di jok tempat dia duduk, dia tiba-tiba menyapa tanpa menoleh ke arahku, "Mbak, jangan turun! Bahaya. Kasihan anakmu." Seketika langkah kakiku terhenti saat mendengar ucapannya.
"Loh, kenapa memangnya, Dek? Bahaya kenapa?"
Dia kemudian mendongakkan kepala dan matanya menatap ke arahku. Aku kaget ketika melihat wajahnya mempunyai bekas luka seperti luka terbakar yang cukup lebar di pipi sebelah kirinya.
Kakiku refleks mundur beberapa langkah karena merasa takut. Aku pikir dia hantu. Namun, dia memanggilku lagi, "Mbak, aku sama seperti kamu seorang manusia."
"M-maaf, ya, Dek, maaf. Bukan maksud hati menyinggungmu. Aku cuma kaget saja. Sekali Lagi maaf, ya, Dek." Aku jadi merasa tak enak dengan sikapku barusan.
"Enggak apa-apa, Mbak. Semua orang yang melihat wajahku pasti bereaksi seperti ini. Karena luka di wajahku yang mengerikan ini, Mbak." Dari sorot matanya, gadis itu tampak sedih dan kesepian.
"Dek, kata kamu bahaya kalau turun dari bus tadi? Aku mau ngasih makan anakku, Dek." Aku masih ragu dengan larangan gadis ini.
"Ya, Mbak, jangan turun! Rest area ini tak nyata. Ini semua hanya fatamorgana. Aku bawa bekal lumayan banyak dari rumah. Duduklah di sini, Mbak. Nanti kakimu pegal jika terus berdiri seperti itu." Dia bergeser duduk ke jok yang lain. Dan mempersilakan aku untuk duduk di sampingnya.
"Ini, kasih buat anakmu, Mbak." Gadis itu menyodorkan beberapa bungkus biskuit dan roti, susu kemasan pun ada. Aku jadi teringat dengan Bang Gandi yang sudah turun dari bus sedari tadi. Mungkin dia kebingungan mencariku di sana. Ah, benarkah yang dikatakan oleh gadis ini? Apakah benar tempat rest area ini tak nyata? Aku lihat, di tempat makannya penuh dengan para pengunjung. Di area parkirannya pun banyak kendaraan yang terparkir rapi.
Dering ponsel milikku membuyarkan lamunan ini, segera kuangkat panggilan telepon itu. Ternyata, Bang Gandi yang menelponku.
"Dek! Kamu ke mana, sih? Aku dah pesen makanan tapi enggak bawa uang. Sini cepetan kamu turun dari bus!" teriak Bang Gandi dari ujung sambungan telepon di seberang sana.
"Y-ya, Bang." Aduh, aku jadi dilema sekarang. Kalau tidak menuruti perintah Bang Gandi, pasti dia akan sangat murka. Namun, perkataan gadis ini tadi membuatku jadi takut juga.
"Mbak, sini anakmu titipin aku dulu! Mbak kasihin aja uang buat suamimu sebentar, tapi ingat, Mbak! Kamu jangan makan apa pun di sana." Gadis ini sepertinya menguping pembicaraanku di telepon dengan Bang Gandi.
"Hmmm, baik, Dek. Aku titip Ulfa sebentar, ya. Aku mau kasihin uang pada suamiku dulu." Ulfa yang tengah asik memakan rotinya, aku turunkan dari pangkuanku di jok sebelah gadis itu.
Lalu aku turun dari bus, hanya membawa uang secukupnya untuk membayar makanan pesanan Bang Gandi.
"Bissmillah, semoga di dalam sana, aku tak akan melihat kejadian-kejadian yang aneh," ucapku sembari turun dari pintu belakang bus.
Sesekali aku menengok ke belakang pada arah bus. Bus yang kutumpangi terlihat normal-normal saja. Tak ada hal yang mencurigakan. Aku langkahkan kaki dengan cepat menuju area tempat makan untuk mencari Bang Gandi, tak lama dia terlihat di meja makan sebelah tengah. Dia sedang menyantap semangkuk makanan di depannya.
"Bang, kamu makan apa?" tanyaku sembari menahan mual karena ingat dengan perkataan gadis di bus tadi.
"Lama bener, sih! Ini, aku dah pesenin kamu mie ayam. Makan, nih! Mana Ulfa?"
"Ulfa aku titipin orang di bus, Bang. kasihan takut keanginan. Aku makan di bus aja, ya, Bang. Ini uangnya." Aku segera menyerahkan uang 100 ribu kepada Bang Gandi, lalu mie ayamnya aku bawa ke luar tempat itu. Karena takut terbuat dari bahan apa, aku pun tak bisa memastikan. Segera kubuang pada tempat sampah, kemudian mangkuk yang sudah kosong itu, aku bawa kembali lagi ke meja Bang Gandi.
"Bang, mie ayamnya dah aku bungkus. Ini mangkuk kosongnya." Aku berbohong kembali kepadanya. Dia sepertinya tak peduli.
Saat hendak kembali ke dalam bus, aku melewati cermin besar yang berada di depan tempat makan. Sekilas, lagi-lagi ada penampakan yang menyerupai Abah. Namun, dengan saksama aku amati lagi sosok itu pada cermin. Posisi kepalanya ternyata terbalik. Posisi wajahnya sejajar dengan punggung.
Astaghfirullah!
👻Part 5
Mataku membelalak seraya membekap mulut dengan kedua tangan. Aku kemudian mundur beberapa langkah sampai kaki ini menabrak sebuah meja cukup keras.
"Aaargh! Sakit!" Kakiku membentur meja itu dan menimbulkan rasa sakit yang lumayan juga.
Rasa sakit aku hiraukan. Debaran jantung terasa cepat seiiring napas kian memburu. Sosok yang menyerupai Abah dengan posisi wajah dan badan yang terbalik itu, masih terlihat di cermin—tengah berdiri di sana.
Dia seolah ingin menyampaikan sebuah pesan kepadaku sedari tadi. Lagi-lagi sorot matanya tampak memancarkan kesedihan, tak ada ulasan senyum dari bibir yang pucat seperti biasanya.
"A-a-abah, sebenarnya ada apa? Apakah Abah benar sudah meninggal? Lalu, kenapa Abah selalu menampakkan diri seperti ini padaku?" Dengan terpincang-pincang, aku melangkahkan kaki maju mendekat ke arah cermin.
"Neng, tolong Abah ... tolong sempurnakan jasad Abah, Neng." Suara serak khas Abah terdengar juga.
Hah? Apa maksud Abah? Abah kenapa ingin minta disempurnakan?
"E-e-m, maksud Abah apa, Bah? Kenapa tak meminta bantuan pada putra Abah saja—Bang Gandi? Kenapa harus memunculkan diri kepadaku? Jujur saja aku merasa takut dengan kemunculan Abah seperti ini. Tolong, jangan ganggu aku, Bah. Aku, Bang Gandi, juga cucumu sedang menuju kampung mau melihat jasad Abah untuk terakhir kalinya. Aku mohon, jangan seperti ini. Huhuhu." Tangisku seketika pecah karena merasa tertekan. Ya, aku sangat tertekan dengan situasi dan kondisi sekarang ini.
"Dek! Ngapain nangis di sini? Kagak malu apa, dilihat orang-orang? Dari tadi ngoceh sendiri ngadep ke cermin lagi, sekarang malah mewek segala. Ayo, masuk ke bus! Kasihan si Ulfa kamu tinggalin dia dah lama." Bang Gandi menarik pergelangan tanganku dengan paksa.
Aku menoleh lagi ke arah cermin, tak kulihat penampakan Abah ada di sana. Lagi-lagi, dia lenyap ketika ada Bang Gandi datang. Huuuft ... aku ingin sekali mengatakan semuanya kepada Bang Gandi. Namun, sudah jelas dia pasti tak akan percaya dengan perkataanku. Sedari dulu, suamiku itu tak mempercayai hal-hal gaib, atau hal yang berbau mistis. Dia bilang itu semua hanya—HALU.
"Bang, lepasin tanganku. Sakit, Bang! Kakiku juga sakit kalau diseret seperti ini. Aku bisa jalan sendiri, Bang." Aku merengek meminta agar dia menghentikan perlakuan kasarnya kepadaku, tetapi sudah aku bilang semua soal sikap Bang Gandi. Omonganku selalu dianggap angin lalu olehnya.
"Salah siapa malu-maluin ngomong sendiri tadi!" Dia menghardikku lagi. Cengkraman tangannya kian terasa kencang.
Saat sampai di dalam bus, buru-buru aku menghampiri jok gadis misterius tadi. Namun, jok yang tadi dia duduki sudah tak ada siapa-siapa di sana, Ulfa pun tak ada. Kosong.
Astaghfirullah, ke mana putriku?
"Dek! Di mana anak kita? Kok, di dalam bus enggak ada siapa-siapa? Kosong, sama sekali enggak ada orang gini?" Aku menengok ke arah jok supir, di sana juga tak ada seorang pun di sana.
"Ulfa!" Aku kembali turun dari bus lalu memeriksa dan mencari Ulfa di tempat makan. Tak peduli orang-orang, atau pun mereka bukan orang menatapku dengan tatapan terheran-heran.
"Ulfa! Ulfa!" Aku terus berteriak sembari menangis terisak. Lari dari sudut ruangan ke sudut ruangan lain. Bang Gandi menyusul dan ikut mencari Ulfa. Sudah kutanya pada sesama penumpang bus yang kami tumpangi, mereka tak melihat di mana Ulfa berada. Supir dan kernet bus pun mengaku tak melihat gadis misterius tadi dan putriku.
Rasanya ingin menabrakan diri ini pada kendaraan yang melaju di jalanan. Aku sulit untuk berpikir dan bersikap tenang. Tak ada yang bisa kupercaya saat ini. Semuanya terlihat mencurigakan dan palsu.
Kenapa bisa-bisanya aku mempercayai gadis itu? Kenapa aku sampai menitipkan anak yang masih kecil pada orang yang belum dikenal? Bahkan, namanya saja aku tak tahu. Bodoh! Bodoh! Diri ini memang wanita bodoh!
"Dek! Sebenarnya kamu titipin Ulfa ke siapa, hah? Awas aja kalau Ulfa kenapa-napa! Aku tinggalin kamu!" Bang Gandi tak peduli dengan keadaanku yang sangat berantakan. Ucapannya malah menambah beban pikiranku saja. Perasaan ini hancur—sehancur kota Nagasaki dan Hiroshima ketika mendapat serangan bom.
"Terserah, Bang! Aku udah muak selalu disalahkan! Abang mau tinggalin, atau ceraikan aku saja silakan, Bang! Yang penting Ulfa bisa ketemu!"
Bang Gandi hanya diam tak menjawab, atau menyela ucapanku. Sepertinya dia tak menyangka, aku akan berani membalikkan ancaman kepadanya.
Penumpang bus sudah selesai beristirahat, mereka masuk ke dalam bus lagi. Ibu yang memberikan obat penurun panas tadi membantuku mencari keberadaan Ulfa. Namun, Ulfa belum ketemu.
"Mbak! Mbak! Ini anakmu bukan?" teriak kernet dari balik kaca jendela bus.
Kami segera berlari masuk menuju bus, dan ternyata ... Ulfa sedang tertidur di jok paling depan dekat jok supir. Tidurnya tampak lelap sekali.
"Alhamdulillah, Nak! Kamu ternyata ada di sini. Kenapa tadi Bunda tak melihatmu? Padahal Ayah dan Bunda memeriksa ke semua penjuru bus." Aku menciumi pipi Ulfa yang masih terlelap, tetapi ada yang ganjal. Tercium aroma bunga melati yang wangi dari tubuh Ulfa.
Lalu, ke manakah gadis misterius tadi?
👻Part 6
Aku langsung menggendong Ulfa dengan pelukan erat, tak ingin dia jauh dan menghilang lagi. Dalam hati ini berjanji, sekarang aku tak akan percaya kepada siapa pun. Terutama pada orang yang baru dikenal.
"Ayo, Mbak, Abang. Bawa anaknya ke jok semula, ya. Hati-hati jangan sampai dia hilang lagi! Bus mau jalan lagi, nih." Pak supir yang berbadan tambun itu, mengingatkan kami untuk lebih waspada.
"Pak supir, tunggu sebentar! A-apa tadi memang ada seorang penumpang perempuan berambut panjang yang ... maaf, wajahnya sebelah kiri terdapat luka bakar duduk di jok belakang?" tanyaku kepada Pak supir karena masih penasaran soal gadis misterius tadi yang sekarang entah ke mana perginya.
"Di jok belakang? E-enggak ada, kok, Mbak. Dari kota sama sekali enggak ada yang duduk di jok belakang, kosong. Enggak ada penumpangnya." Jawaban Pak supir lantas membuatku terperangah.
Lidah ini terasa kelu, mulutku terkatup rapat, tangan pun mendadak dingin, wajahku ikut menegang. Aku bingung dan merasa takut, tak sanggup berkata sepatah kata pun lagi.
"Dek! Kamu malah bengong, lagi. Ayo, duduk! Malu dilihatin orang-orang, tuh! Makanya jangan banyak ngelamun! Ngehalu lagi 'kan sekarang?" Bang Gandi berkata dengan ketus dan mendengkus kesal. Dia lalu membalikkan badannya untuk kembali duduk di jok yang kami tempati tadi. Aku hanya bisa mengekor dia dari belakang tanpa menimpal sedikit pun ucapannya.
Setelah aku duduk kembali, rasanya ada yang mengganjal dalam hati. Ada sesuatu yang kurang, tetapi entah apa? Saai ini aku tak bisa berpikir secara jernih.
"Dek! Coba nyalain hotspot! Paket internet-ku habis kayaknya. Aku mau vidio call sama si Galih nanti, tapi aku mau tidur dulu." Bang Gandi lalu merogoh ponsel dari saku celananya dan menyerahkannya kepadaku. Bang Gandi lalu mengatur posisi badannya agar terasa nyaman tidur pada jok bus ini.
Aku baru tersadar dengan tas selempangku yang isinya ada sejumlah uang dan ponsel milikku satu-satunya.
Segera aku edarkan pandangan pada Ulfa yang terbangun dari tidurnya.
"Nak, tas ibu yang berwarna cokelat tadi mana, ya? Ulfa simpan di mana?" tanyaku dengan ekspresi penuh harap.
Ulfa mengucek matanya pelan, lalu merapikan rambutnya yang menghalangi pandangan dia. Ulfa menyipitkan mata, seolah sedang memikirkan sesuatu.
"Tas Ibu?"
"Ya, Nak, Ibu 'kan tadi titipkan sama kamu, saat kamu duduk sama kakak perempuan di jok belakang tadi." Aku menjelaskan padanya pelan, sembari menunjuk ke arah belakang.
Ulfa mengernyitkan dahi, bibirnya dia gigit. Dia tampak berusaha mempertajam ingatannya.
"Bunda, kakak yang tadi nyuruh Ulfa untuk tidur, dia mengelus lembut kepala Ulfa, dia juga nyanyi lagu yang bikin Ulfa jadi ngantuk, Bunda." Pengakuan Ulfa membuat bulu kudukku merinding.
"Terus, dia ngapain lagi, Nak? Dia nyakitin kamu enggak?" Aku takut Ulfa diperlakukan tak senonoh.
"Enggak, kok, Bunda. Dia baik. Oh, ya, sebelum Ulfa tidur, dia ngasih ini, Bunda." Ulfa membuka telapak tangan sebelah kirinya. Aku baru sadar, sedari tadi tangan Ulfa sebelah kiri memang terkepal.
Mata ini tak lepas memandangi apa yang berada di genggaman Ulfa, lagi-lagi mataku membulat, Tak percaya dengan apa yang kulihat.
Di telapak tangan putriku, ada kalung emas yang kilauannya mampu menghipnotis kedua bola mata ini.
"Apa ini, Ulfa? Kamu dapat dari mana kalung emas ini?" tanyaku seraya meraih kalung itu dari tangan Ulfa.
"Itu dikasih sama kakak tadi, Bunda. Kata dia ini untukku."
Aku memeriksa dengan teliti keaslian kalung itu. Ya, sudah dipastikan kalung misterius pemberian gadis tadi, benar kalung asli dari emas. Mungkin beratnya sekitar sepuluh gram atau lebih. Aku tak tahu dengan pasti.
Buru-buru aku menyembunyikan kalung itu pada saku baju. Tak ingin Bang Gandi mengetahuinya. Bisa-bisa dia berpikiran macam-macam.
"Ulfa, badan Ulfa, kok, wangi bunga melati, Nak? Apa Kakak tadi menyemprotkan parfum, ya?" selidikku lagi.
"Ehm, enggak, Bunda. Kakak itu hanya menggendongku saja."
"Ulfa memangnya enggak takut, ya, sama dia?" Aku belum puas dengan jawaban Ulfa, rasanya di kepala ini banyak sekali pertanyaan yang ingin dilontarkan kepadanya.
"Enggak, Bunda. Dia cantik kayak seorang putri di televisi. Rambutnya panjang, di kepalanya pakai mahkota yang ada bunga-bunga putihnya, Bunda. Baju kakak itu juga indah sekali berwarna hijau ada emas-emasnya."
Pengakuan Ulfa barusan sontak membuatku tertegun. Aku menelan ludah seiring debaran jantung yang bertabuh-tabuh, entah harus merasa takut atau harus merasa senang. Mungkin perempuan misterius tadi jelmaan seorang putri kerajaan. Ah, entahlah. Yang terpenting bagiku, Ulfa baik-baik saja sekarang.
Namun, aku masih bingung dan belum tahu di mana keberadaan tas selempangku. Dadaku terasa sesak karena uang yang kami punya semua ada di situ. Masa ya, perempuan tadi yang mengambilnya, kemudian menggantinya dengan kalung emas ini. Kalau dihitung-hitung, harga kalung emas pemberiannya memang lebih banyak dari harga ponsel dan uangku.
"Aaargh! Tolong! Tolong!" Kami yang berada di dalam bus dikagetkan dengan teriakan sang kernet. Dia tiba-tiba mundur dari area depan sembari kedua tangannya seolah mencekik dirinya sendiri.
Pak supir pun mengerem busnya secara mendadak. badan kami otomatis membentur pada jok yang berada di hadapan masing-masing penumpang.
"Astaghfirullah!" Aku melindungi tubuh Ulfa, takut dia kesakitan terbentur jok depan.
"Salim! Kenapa kamu?" sentak Pak supir pada kernetnya yang bernama Salim.
"B-bang, t-tolong! A-ada perempuan yang mau mencekikku!" jawab sang kernet sepertinya kesusahan untuk berkata-kata.
Kami spontan melihat di mana keberadaan perempuan yang dia maksud, tetapi kami sama sekali tak melihatnya.
Pluk!
Namun, tiba-tiba ada barang yang terjatuh pada kaki sang kernet. Mataku langsung tertuju pada barang itu.
"Itu tasku!"
👻Part 7
Bang Gandi beranjak dari posisi duduknya, dia lalu melangkah ke arah depan dan mengambil tas selempang berwarna cokelat punyaku yang tergeletak di bawah kaki kernet itu.
"Bang! Ini tas istriku, kenapa bisa ada sama Abang?" tanya Bang Gandi dengan nada penuh curiga.
"A-anu, Bang, I-itu—" Kernet bus tampak gelagapan menjawab pertanyaan dari Bang Gandi, dia menghela napas panjang, kemudian menurunkan tangannya sendiri dari lehernya.
"Ngomong yang jelas, Bang! Aku tanya sekali lagi, kenapa tas istriku ada sama kamu?" Suara Bang Gandi meninggi.
"Salim! Jawab pertanyaannya!" Pak supir menghardik kernetnya kembali.
"E-e-em, ya, Bang. T-tadi aku nemu di jok depan." Kernet bus merundukkan kepalanya. Dia menjadi salah tingkah.
"Kalau nemu, kenapa enggak ngasih pengumuman sama kami semua, cari tahu siapa pemilik tas ini? Kamu memang niat mau nyuri 'kan?" Bang Gandi sudah tersulut amarah, tangan kanannya mencengkeram kerah baju sang kernet, sedangkan tangan kirinya sudah mengepal hendak memberikan bogem mentah kepada kernet yang sekarang raut wajahnya terlihat ketakutan.
Aku segera menghampiri mereka sembari menggendong Ulfa.
"Sabar, Bang! Sabar!" sergahku sembari menahan tangan Bang Gandi. Seorang bapak-bapak yang duduk di jok baris kedua dari depan, melerai Bang Gandi yang sangat murka pada kernet itu.
"Ayo, Bang, kita bicarakan baik-baik. Kita ini semua dalam perjalanan, Bang." Bapak berpeci itu menepuk pelan pundak suamiku, dan mencoba merayu Bang Gandi agar tetap bersabar. Akhirnya, hati Bang Gandi luluh juga. Dia lalu melepaskan cengkeraman tangannya dari baju kernet itu.
"Y-ya, Bang, maaf. A-aku tadi memang menemukan tas ini di samping anakmu yang sedang tidur di jok depan. Mungkin setan merasuki pikiranku, hingga aku berpikiran untuk memiliki tas istrimu, Bang. Maaf sekali lagi, aku khilaf." Abang kernet memohon ampun sembari mengatupkan kedua tangannya kepada Bang Gandi.
"Bang, sudahlah, ampuni dia. Yang terpenting tasku dah ketemu." Aku menarik-narik lengan baju Bang Gandi, tetapi dia tak bergeming.
"Ampun, Bang, maafkan aku sekali lagi. Aku beneran kapok, Bang. Aku enggak mau dicekik perempuan tadi, ampun, Bang." Kernet yang wajahnya terlihat tak tenang bersimpuh di kaki Bang Gandi.
"Oke, aku maafkan kamu. Cepat lepaskan tanganmu dari kakiku!" Abang kernet mendongakkan kepalanya, lalu dia berdiri kembali.
"Bang, perempuan siapa yang mau mencekik Abang?" tanyaku penuh tanda tanya.
"P-perempuan yang wajahnya rusak sebagian, Mbak. Sorot matanya sangat menyeramkan. Dia sangat marah padaku," tutur Abang Kernet.
Perempuan yang wajahnya rusak? Apakah gadis misterius tadi? Tunggu sebentar, kata Abang kernet dia sepertinya marah. Apa mungkin, gadis misterius tadi murka terhadap kernet bus karena berniat jahat—mau mengambil tas punyaku?
Ah, kalau itu benar, gadis misterius tadi berhati baik, tetapi ...
Apakah dia seorang hantu?
"Mbak, Abang, mohon maaf atas kelakuan teman saya. Nanti saya akan memberikan hukuman padanya. Karena perjalanan masih jauh, dan sekarang sudah jam setengah empat, kita lanjut lagi, ya. Silakan duduk di jok masing-masing." Pak supir bersikap bijaksana, lalu aku dan Bang Gandi kembali duduk di jok kami.
"Salim! Kembali ke tempatmu!" perintah Pak supir pada kernetnya, Abang kernet berjalan lemas menuju tempatnya semula. Sesekali dia mengusap-usap lehernya sendiri.
Di jok penumpang, aku berpikir keras. Rentetan kejadian sedari mulai berangkat dari rumah sampai detik ini terasa membingungkan dan tak masuk akal. Apa yang aku alami seperti tak nyata, apakah bus ini bus gaib? Mungkinkah semua penumpangnya makhluk tak kasat mata? Kita buktikan saja saat hendak melaksanakan salat Subuh, akankah bus berhenti di masjid sekitar? Akankah para penumpangnya ikut turun mekaksanakan salat? Kita lihat nanti saja.
Ingin sekali segera sampai di kampung Bang Gandi, tetapi perjalanan masih sangat jauh. Mungkin kami akan sampai di sana pada siang hari.
"Dek! Kalau jenazah Abah nunggu kita sampai kampung untuk dimakamkan, apa enggak terlalu siang, ya, Dek?" Ucapan Bang Gandi benar juga, kasihan bila jasad Abah terlalu siang dikebumikan menunggu kami datang.
"Bang, telepon Galih. Suruh Ibu jangan nungguin kita, takutnya di jalan macet apa gimana, tapi, sih, aku berharap di perjalanan lancar sampai kampung." Aku mengambil ponsel di tas tadi, lalu kuserahkan kepada Bang Gandi. Bang Gandi kemudian menekan nomor Galih—adik kandungnya.
Tak lama, sambungan telepon dengan Galih terhubung.
"Assalammualaikum, Bang! Abang sudah sampai mana?" tanya Galih terdengar olehku. Karena Bang Gandi memperkeras suara speaker telepon.
"Masih jauh, Gal. Mungkin Abang sampai rumah sekitar lohor. Ibu mana, Galih? Abang mau bicara sebentar."
"Ibu baru aja tidur, Bang. Kasihan, dari sore Ibu belum istirahat. Apa ada yang bisa Galih sampaikan pada Ibu?" tanya Galih lagi.
"Galih, bilang sama Ibu, segera makamkan Abah, jangan nunggu Abang sampai di rumah. Terlalu siang, kasihan Abah." Bang Gandi langsung menyampaikan maksudnya.
Braaak!
"Astaghfirullah! Suara apa itu?" Galih terdengar panik dari sambungan telepon di seberang sana.
"Galih! Galih! Ada apa? Suara apa itu?" Bang Gandi pun tak kalah panik.
"E-engak tahu, Bang, asalnya dari ruang depan. Tempat jenazah Abah berbaring."
Deg!
Bulu kudukku seketika merinding.
"Bang, udah dulu, ya. Galih mau periksa ke depan. Nanti pesan dari Abang, Galih sampaikan pada Ibu."
Sambungan telepon pun terputus.
Suara apa tadi di rumah Ibu? Apa mungkin? Abah ....
*****
Sekitar jam setengah lima lebih, suara
azan Subuh terdengar di sepanjang jalan. Namun, bus ini tak ada tanda hendak berhenti kembali.
Aku berpikir mungkin akan berhenti di salah satu rest area depan, depannya lagi, terus saja aku menunggu bus berhenti setiap kali melihat rest area atau pom bensin di jalan.
Pada akhirnya, sampai jam lima, bus tak kunjung berhenti juga. Pak supir terus melajukan busnya dengan santai. Anehnya, tak ada salah satu penumpang yang meminta supir untuk berhenti sebentar.
Aku segera menghampiri Pak Supir ke depan.
"Pak! Aku mau salat Subuh dan buang air, apa bisa busnya berhenti sebentar? Tolong berhenti dulu di salah satu rest area atau pom bensin, Pak. Sekarang udah jam lima lewat," protesku sembari menggendong Ulfa.
Semua mata penumpang tertuju ke arahku, dan menatapku dengan tatapan sinis. Kernet tadi hanya merunduk tak bergeming. Walaupun aku tahu bisa melaksanakan salat di dalam bus, tetapi aku tak kuat ingin buang air kecil
Akhirnya, di salah satu masjid depan, bus berhenti juga di pinggir jalan.
"Bang, bawa tas kita. Kita salat dulu, jangan ada yg ketinggalan, ya, Bang. Takut hilang lagi." Aku nengajak Bang Gandi untuk turun dari bus.
"Hmmm."
Aku, Bang Gandi, dan Ulfa yang sedari tadi tak lepas dari gendonganku, turun dari bus menuju masjid. Namun, tak ada satu orang penumpang pun yang mengekor kami dari belakang. Mereka semua tetap duduk dengan nyaman di jok masing-masing. Masa, semuanya lalai pada ibadah? Ah, aku tak peduli. Aku takut waktu salat segera habis.
Setelah selesai melaksanakan salat Subuh bergantian dengan Bang Gandi karena menjaga ulfa, kami kembali ke depan—ke tempat bus menepi. Namun ....
Bus itu menghilang, bus tadi meninggalkan kami di masjid ini.
"Pak, apa Bapak lihat perginya bus berwarna biru yang tadi kami tumpangi?" tanyaku pada Bapak tua yang sedang menyapu halaman masjid.
"Bus? Dari tadi saya beres-bered di sini, enggak ada bus yang berhenti, Neng. Eh, tadi Bapak lihat, Neng sama suaminya turun bukan dari bus." Ucapan Pak tua itu membuat tas yang Bang Gandi pegang terlepas dari tangannya.
"Apa, Pak? Memangnya Bapak lihat kami turun dari kendaraan apa, Pak?" Raut wajah Bang Gandi tampak pucat.
"Dari delman."
👻Part 8
A-apa? Delman? Mustahil.
Kepalaku mendadak pusing dan terasa berat, pandangan pun menjadi kabur. Namun, samar masih terdengar jeritan Ulfa yang memanggil namaku, "Bunda!"
***
"Dek! Akhirnya kamu sadar juga." Lamat-lamat terdengar suara Bang Gandi di telinga ini, dia terdengar khawatir. Ketika membuka mata, aku mengerjap beberapa kali. Cahaya pantulan matahari menelusup ke celah jendela masjid. Aku meringis karena silau dari cahayanya menyorot pada mata ini. Aku terdiam di tempat untuk beberapa saat.
"Bang, sudah pagi, ya? Aku kenapa, Bang? Ulfa mana?" Aku mencecar pertanyaan kepada Bang Gandi yang raut wajahnya tampak kusut.
"Minum dulu, nih. Terus sarapan, kamu dari semalam belum makan 'kan?" Bang Gandi menyodorkan segelas air teh panas, terlihat dari uapnya yang masih mengepul. Di karpet masjid pun tergeletak tiga nasi bungkus yang masih utuh.
Aku segera bangun dari posisi tidur, dan mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Ternyata, sekarang sudah jam enam pagi lebih beberapa menit. Cukup lama juga aku tak sadarkan diri.
Netraku lalu memindai ke penjuru di dalam masjid. Sepi. Di sini hanya ada aku dan Bang Gandi saja, lalu di mana Ulfa? Anakku ke mana?
"Bang! Ulfa mana? Ke mana putri kita?" Aku tercekat, dada ini terasa sesak. Aku sangat panik.
"Ulfa di sana. Dia lagi tidur, tuh!" Bang Gandi menunjuk ke arah belakangku. Benar saja, tubuh mungil itu sedang berbaring di karpet masjid, tubuhnya di tutupi dengan sehelai sarung bermotif kotak-kotak. Ulfa terlihat nyenyak dalam posisi tidurnya. Syukurlah, rasanya lega bisa melihat buah hatiku baik-baik saja. Hanya dia saat ini yang bisa menguatkan hati.
"Bang ...."
"Udah, jangan banyak nanya dulu! Makan, nih, biar ada tenaga buat lanjutin perjalanan ke kampung." Bang Gandi membuka nasi bungkus yang berisi telur dan tempe itu, lalu aku pun meraih dan memakannya dengan lahap. Memang perut ini sangat lapar. Karena mie ayam yang Bang Gandi berikan waktu di rest area tadi, sama sekali tak dimakan, malah kubuang. Aku terpengaruh dengan ucapan si gadis misterius—yang ternyata, dia sama saja—tak nyata.
Tepat jam setengah delapan pagi, kami meninggalkan masjid, setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih kepada Pak tua—dia adalah marbot masjid ini. Dia mengingatkan dan menasihati kami untuk lebih berhati-hati, selalu panjatkan doa di mana pun berada. Jangan sampai melamun, jangan lupa jaga sikap, dan adab ketika bepergian ke tempat yang akan dituju.
Kami dibantu Pak tua itu, mencari kendaraan untuk melanjutkan perjalanan ke kampung. Akhirnya, kami menyewa sebuah mobil travel kenalan Pak tua. Aku kapok jika harus menaiki kendaraan umum lagi. Biarlah, ongkosnya lebih mahal. Yang terpenting kami merasa aman dan nyaman di perjalanan.
"Pak, sekali lagi aku ucapkan terima kasih banyak. Ini ada sedikit uang buat Bapak, mohon diterima, ya." Aku mengepalkan beberapa lembar uang nominal lima puluh ribuan kepada Pak tua itu.
"Enggak usah, Neng, Bapak ikhlas membantu kalian. Bapak merasa iba dengan kejadian yang menimpa kalian. Sudah dapat kabar kehilangan orang tua untuk selamanya, eh, malah dikerjai makhluk gaib di jalan. Selalu beristighfar dan usahakan membaca ayat suci sebisanya. Karena 'mereka' itu, tugasnya menyesatkan dan mengelabui manusia. Jangan lupa doakan almarhum Bapak kalian juga, ya." Pak tua yang belum aku ketahui namanya itu terdengar bijak. Dia menasihati kami laiknya orang tua kami sendiri.
"Baik, Pak, tapi ini beneran terima saja. Kalau Bapak keberatan dengan pemberianku ini, Bapak bisa masukan ke dalam kotak amal di masjid, ya, Pak." Aku tetap memaksanya agar mau menerima pemberianku.
"Baiklah kalau begitu, Bapak terima. Terima kasih, ya, Neng. Bapak doakan semoga kalian akan selamat di jalan sampai ke kampung. Supir ini nyata, kok, Neng. Kalian jangan takut padanya, dia keponakan Bapak, bukan jin atau pun demit. Namanya Akbar Nugraha." Pak tua memperkenalkan supir travel yang sudah berpakaian rapi dan wangi. Rumahnya dekat dengan masjid.
"Assalamualaikum, mari saya bantu masukin barangnya ke dalam bagasi, ya, Bang," ucap Abang supir yang umurnya aku perkirakan seumuran dengan Bang Gandi—masih muda. Dia sopan dan ramah, tetapi aku harus tetap waspada. Jangan percaya pada siapa pun, terutama orang yang baru dikenal di jalan.
*****
Perjalanan sejauh ini lancar dan terasa cepat, mungkin karena sikap Bang Akbar yang bisa mencairkan suasana, sehingga terasa menyenangkan saat di perjalanan.
Menurut penuturan Bang Akbar soal bus gaib yang kami tumpangi itu, memang sejak lama kejadian mistis acap beberapa kali menimpa pada beberapa orang pemudik yang hendak pulang kampung ke kampung yang sama dengan Bang Gandi tuju.
Menurut pengakuan orang yang mengetahui kejadian itu juga, dahulu memang ada sebuah bus yang mengangkut beberapa penumpang dari kota, mengalami kecelakaan di jalan karena kecerobohan supir dan kernetnya. Si supir dan kernet diketahui meminum alkohol ketika sedang beristirahat di salah satu rest area, sehingga menyebabkan mereka mabuk dan bus menjadi hilang kendali sampai mengalami kecelakaan maut yang merenggut nyawa semua orang di bus berwarna biru itu.
Semua penumpang termasuk supir dan kernetnya tewas seketika di lokasi kejadian. Dan sudah banyak orang juga yang mengaku, bahwa kerabat dan saudara mereka tewas kecelakaan di jalur lokasi peristiwa itu. Gosip beredar di masyarakat sekitar, para penumpang bus gaib itu mengajak orang-orang untuk ikut ke alam mereka.
Wallahu a'lam bishawab.
Apa mungkin, kami diselamatkan agar tak tersesat ke alam 'mereka' oleh perempuan yang memberi Ulfa kalung itu? Ataukah, kami diselamatkan karena kami selalu ingat untuk melaksanakan salat?
Biarlah, itu semua menjadi sebuah misteri saja.
Masih dibutuhkan waktu sekitar dua jam-an lagi untuk sampai di rumah Ibu. Oh, ya, Ibu Bang Gandi tadi menelpon, katanya jenazah Abah sudah dimakamkan karena kalau menunggu kedatangan kami, rasanya tidak baik. Dan Bang Gandi pun ikhlas tak bisa melihat jasad Abah untuk terakhir kalinya.
Kami bukan anak yang tak tahu diri, bukan niat kami tak mau melihat wajah Abah sebelum dikebumikan untuk selama-lamanya, tetapi Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah RA:
"Segeralah mengurus jenazah. Karena jika jenazah itu orang saleh, berarti kalian telah mempercepat kebaikan untuknya. Dan jika jenazah tersebut selain orang saleh, berarti kalian telah meletakkan kejelekan di pundak kalian." ( HR Bukhori nomor 1315 dan Muslim nomor 944 ).
Namun, ada yang mengganjal di dalam hati. Aku masih kepikiran tentang ucapan sosok yang menyerupai Abah saat di rest area itu, bahwa Abah memintaku untuk disempurnakan jasadnya. Aku belum bercerita kepada Bang Gandi, biar nanti saja aku sampaikan saat sampai di rumah Ibu.
Aku sering memeriksa ponsel untuk melihat jam, sekarang sudah mendekati waktu Zuhur.
"Bang Akbar, bisa kita berhenti untuk istirahat dulu sembari melaksanakan salat Zuhur?" tanyaku yang duduk di jok tengah bersama Ulfa.
"Ya, Mbak. Di depan ada tempat peristirahatan. Kita berhenti di sana."
Beberapa menit kemudian, benar saja yang dikatakan Bang Akbar, ada tempat istirahat di pinggir jalan. Memang tempatnya tak seluas dengan rest area gaib semalam, tetapi firasatku mengatakan tempat ini nyata. Kami pun segera mendatangi penjual lesehan di sana untuk merebahkan badan sebentar sembari menunggu azan Zuhur.
Sesudah beristirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan, dan gerimis pun turun membuat udara yang tadinya panas menjadi lebih sejuk. Tepat pada jam dua siang akhirnya kami sampai juga di kampung Bang Gandi yang berada di salah satu pelosok daerah. Tak ada akses pesawat maupun kereta api menuju daerah ini, hanya menggunakan bus besar atau mikro bus ( Mobil Elf ) jika ingin menggunakan angkutan umum. Biasanya, aku dan Bang Gandi menggunakan motor menuju kampung ini.
Entah kenapa saat melintasi salah satu area pemakaman di pinggir jalan, hawanya terasa berbeda. Aku merasa ada energi negatif ketika mobil travel melewatinya.
Benar saja, Bang Akbar tiba-tiba mengerem mendadak. Ada sesuatu yang tidak beres di depan jalan sana. Bang Gandi dan Bang Akbar kemudian turun dari mobil untuk memeriksa, sedangkan aku terus mendekap tubuh Ulfa dengan erat, tak mau ada hal jelek menimpa kami. Teringat nasihat Pak tua marbot masjid, "Di mana pun kalian berada selalu beristighfar dan berdoa pada Gusti Allah Subhanna Wa Ta'ala."
Dalam hati, aku membaca ayat suci Al-Qur'an sebisanya. Aura negatif itu perlahan menghilang, tetapi tiba-tiba ada suara ketukan pada kaca mobil dari arah belakang.
Seketika leher ini menengok ke sumber suara itu, dan ternyata ....
"Allahu Akbar!" Aku meneguk ludah, ingin berteriak, tetapi tenggorokan ini terasa tertahan oleh sesuatu.
Di luar mobil, ada sosok perempuan berkebaya lusuh menyeringai ke arahku, dia tampak menyeramkan karena rambutnya awut-awutan.
Ya, Rabb, hanya kepada-MU-lah aku berlindung.
👻Part 9
Perempuan itu berdiri di belakang mobil, wajahnya terasa tak asing bagiku. Sejenak aku menerka-nerka siapa dia? Namun, belum sempat ingatan ini menemukan jawaban, sepersekian detik kemudian, perempuan yang rambutnya berantakan itu berlari cepat ke arah area pemakaman. Aku mengintipnya dari balik kaca dalam mobil, dia sama sekali tak memakai alas kaki, tetapi dipastikan kedua kakinya menapak pada tanah. Berarti kemungkinan, dia itu manusia. Pikirku.
Aku berusaha mengingat-ingat wajahnya, kapan dan di mana pernah melihatnya. Akhirnya aku pun ingat, wajah perempuan itu mirip dengan istri muda Abah. Ya, namanya Mbak Lastri, tetapi bukankah Mbak Lastri kabarnya sudah meninggal? Mana ada hantu memunculkan diri pada siang hari begini? Mana ada juga hantu lari kencang tanpa menggunakan alas kaki, bukannya terbang atau menghilang saja?
Aku memijat pelipis dan menyandarkan punggung pada jok mobil, rasanya penyakit migrain-ku kambuh. Mungkin karena kelelahan terlalu lama di perjalanan, atau mungkin juga lelah hati dengan kejadian-kejadian aneh dan tak masuk akal yang menimpa sedari tadi.
Aku memejamkan mata sebentar sembari menunggu Bang Gandi dan Bang Akbar kembali lagi ke dalam mobil. Aku lihat mereka sedang sibuk mengangkat sesuatu di depan sana.
Jalanan di sini sangat sepi, tak ada kendaraan yang lewat sama sekali. Padahal, ini masih siang. Bagaimana kalau sudah menjelang malam hari? Mungkin suasana di sini akan sangat menyeramkan.
Tak lama, suara pintu depan mobil terbuka, seketika itu pula mata ini terbuka kembali. "Di depan ada apa, Bang?" tanyaku penasaran sembari menegakkan posisi badan.
"Ada pohon tumbang yang menghalangi jalan kita, Mbak," jawab Bang Akbar pelan, dia kemudian menghidupkan kembali mesin mobil dan segera melajukannya.
Oh, ya, sedikit cerita tentang Mbak Lastri—salah satu istri muda Abah; Mbak Lastri berusia sekitar dua puluh tahunan saat Abah menikahinya. Dia merupakan kerabat jauh dari tetangga Abah, entah bagaimana sampai akhirnya Mbak Lastri mau menerima pinangan Abah—lelaki yang usianya mungkin seusia dengan bapak Mbak Lastri sendiri.
Kalau tak salah, Mbak Lastri perempuan ketiga yang dinikahi Abah. Mertuaku itu memang tukang kawin, tetapi yang membuatku heran, Ibu mertuaku tak melarangnya. Bahkan, Ibu selalu membantu ketika Abah melangsungkan acara pernikahan dengan istri-istri mudanya.
Namun, pernikahan Abah selalu berakhir tak happy ending seperti cerita dalam novel romance. Setelah beberapa tahun bahkan beberapa bulan Abah menikah lagi, istri-istri baru Abah dikabarkan meninggal dunia. Dan yang aku sayangkan, beberapa orang anak hasil pernikahan Abah dengan istri barunya selalu terlahir tak normal, sehingga Abah dan Ibu tak mau mengurus mereka karena malu. Mereka akhirnya diurus oleh saudara dari istri Abah yang sudah meninggal itu.
Berbeda dengan Mbak Lastri, pernikahannya dengan Abah sama sekali tak dikarunia seorang anak satu pun. Dulu yang aku dengar saat di kota, hanya kabar tentang kematian Mbak Lastri saja. Aku pun tak tahu kepastiannya, entahlah.
Selang jarak beberapa bulan dari kabar kematian Mbak Lastri, Abah menikah lagi. Lagi-lagi beliau menikahi perempuan muda. Aku pikir, mungkin Abah mempunyai ilmu pelet atau ilmu semacam ajian pemikat hati perempuan, sehingga dengan mudahnya Abah mendapatkan perempuan cantik dan muda. Namun, sekarang kisah percintaan Abah haruslah berakhir. Berakhir karena sebuah takdir. Takdir yang tak bisa ditolak. Yaitu—kematian.
Mobil travel yang kami tumpangi akhirnya sampai juga di halaman kosong yang cukup luas tepat di depan rumah Ibu. Sebuah pemandangan yang menggetarkan hati terpampang nyata dan begitu jelas. Terlihat beberapa bendera kuning masih berkibar di sana, sebagai pertanda ada berita kematian seseorang.
Terakhir kali aku menginjakan kaki ke rumah ini, saat malam tahun baru kemarin. Masih terkenang dalam ingatan, untuk terakhir kalinya Abah menggendong Ulfa.
Abah ... semoga beliau dilapangkan kuburnya. Oh, ya, kami harus segera pergi ke kuburan Abah sebelum hari semakin sore. Suasana di sini terasa sepi, mungkin para tetangga sudah kembali pulang ke rumah mereka masing-masing.
"Ibu! Maafkan Gandi, Bu. Ada kendala di perjalanan, jadi kami baru sampai jam segini." Bang Gandi menghambur memeluk tubuh ibunya sembari menangis terisak. Ya, walaupun Bang Gandi seorang lelaki yang terlihat kuat, bahkan jarang menangis. Namun, di saat orang tuanya pergi untuk selama-lamanya, pasti air matanya runtuh juga.
"Sudah enggak apa-apa, Gan, Ibu maklum karena rumah kalian jauh. Ulfa, sini sama Nenek, Nak!" Ibu memanggil Ulfa, segera aku turunkan Ulfa dari pangkuanku. Dia pun berlari menghampiri neneknya.
****
Di luar, hujan turun semakin deras disertai angin kencang, sehingga kami belum juga menuju pemakaman Abah. Padahal ini sudah hampir jam lima sore.
"Bang, gimana ini? Hujannya enggak berhenti dari tadi, kapan ke makam Abahnya?" tanyaku saat di teras depan rumah sembari mengedarkan pandangan ke atas langit.
"Kayanya hujannya bakalan awet, Dek. Udahlah, kita ke pemakaman aja sekarang! Bentar, aku pamit dulu sama Ibu." Bang Gandi berlalu masuk lagi ke dalam rumah hendak mengambil payung dan buku yasin kecil. Gegas kami pergi menuju makam Abah tanpa membawa Ulfa.
Aku dan Bang Gandi berjalan menuju area pemakanan yang letaknya tak jauh dari rumah Ibu. Kami mengambil jalur pintas agar lebih cepat sampai ke sana. Memang jalannya tak sebagus dengan jalan utama. Biarlah, dari pada harus putar balik lewat jalan utama, pasti akan memakan waktu lagi.
Aku menautkan lengan pada lengan Bang Gandi sebelah kiri, sedangkan lengan kanannya tengah memegang payung. Aku berjinjit ketika menginjak tanah becek sembari menaikkan ujung gamis agar tak kena cipratan genangan air. Aura di sekitar jalan menuju pemakaman terasa mengerikan. Mungkin karena hujan deras dan tak ada siapa pun selain kami di sini.
Belum juga sampai di makam Abah, tiba-tiba terdengar suara ranting pohon seperti terinjak oleh seseorang dari arah belakang. Aku hentikan langkah kaki ini sejenak, lalu memutar badan untuk memastikan sumber suara itu berasal. Namun ....
Tak ada siapa pun di belakang kami.
Tengkuk leherku mendadak dingin, bulu kuduk pun meremang. Degup jantung seolah tak bisa kukendalikan. Aku merasa ada yang mengikuti dan memperhatikan kami.
"Bang, Bang! Percepat jalannya, Bang! Langit semakin gelap!" Aku menarik lengan Bang Gandi dengan perasaan yang dag dig dug tak karuan. Namun, aku harus tetap mengontrol diri untuk tak terlihat panik.
Akhirnya kami sampai di makam Abah, tetapi ada yang aneh di sini. Apa mata kami salah lihat? Di tempat kami berdiri sekarang, terdapat banyak batu nisan bertuliskan nama Abah dan gundukan tanah kuburannya pun semua sama, masih baru dan basah.
Lalu yang mana kuburan Abah?
👻Part 10
Aku mengucek-ngucek kedua mata ini untuk memastikan apa yang kami lihat di sini benar nyata atau hanya halusinasi saja.
"Dek, kok, kuburan yang ada nama Abahnya ada banyak, ya? Semua masih baru lagi." Bang Gandi pun menyadari keanehan ini.
"Mungkin ada jin yang mau mengecoh dan menyesatkan kita, Bang. Kita berdoa dalam hati saja. Mohon petunjuk yang mana makam Abah sebenarnya."
Di bawah guyuran hujan yang tak henti-henti, kami menundukkan kepala seraya berdoa dengan tulus, semoga dibukakan petunjuk untuk kami.
Benar saja. Sejurus kemudian, beberapa makam yang bertuliskan nama Abah menghilang—berubah menjadi nama-nama orang yang tak kami kenal. Makamnya pun terlihat makam yang sudah lama.
Aku terkesiap melihat perubahan ini, tetapi aku tetap harus fokus berdoa.
"Bang, itu makam Abah! Ayo, kita ke sana!" Bang Gandi pun berdiri mematung sembari memegang payung. Matanya membulat seolah telah menyaksikan suatu keajaiban di hadapannya.
Kami kemudian berjongkok di samping makam Abah, lalu segera membuka buku yasin dan membaca beberapa surat pendek. Tak lupa mendoakan kebaikan Abah di alam sana.
Awalnya, saat membaca yasin baru beberapa ayat, suasana terasa biasa saja, tetapi ketika membaca ayat yang ke tujuh, aku merasakan perubahan hawa dingin menjadi panas di sekitar area pemakaman. Di belakang kami seperti ada kerumunan orang-orang yang ikut membaca surat yasin. Aku menoleh sebentar ke belakang, mungkin saja ada orang rumah yang menyusul kami sampai sini. Namun, di belakang tak ada siapa pun.
Bang Gandi pun merasakan hal yang sama, dia mencolek lenganku seolah memberikan kode agar aku tetap fokus menyelesaikan bacaan surat yasin.
Ya Allah, jadikanlah kami dalam penjagaan-MU, tanggungan-MU, kedekatan-MU, dan perlindungan-Mu dari gangguan setan yang menggoda, dari orang yang kejam, dari mata orang yang berniat jahat, dari orang yang bermaksud zalim, dan dari keburukan apa pun yang membawa keburukan. Aamiin.
Akhirnya, perlahan gangguan itu pergi. Dan kami bisa menyelesaikan bacaan surat yasin dan doa untuk Abah dengan khusyuk.
"Bang, ayo, pulang! Dah mau magrib, nih." Bang Gandi mengelus pusara Abah, tatapannya nanar. Namun, dia terlihat tegar.
"Bah, kami pulang dulu, ya, besok kami ke sini lagi. Semoga Abah tenang di sana." Bang Gandi beranjak sembari menaburkan sedikit bunga di atas tanah kuburan Abah. Kami pun gegas meninggalkan makam Abah.
Sreeet ... sreeet ... sreeet.
Ketika kami berjalan pulang dari area pemakaman, terdengar suara aneh kembali dari arah belakang. Seperti suara orang yang menyeret sesuatu, tetapi kali ini aku tak ingin menengok ke belakang. Aku dan Bang Gandi terus saja berjalan. Namun, suara itu kian mendekat seperti mengikuti kami.
"Bang ...."
"Ssst ... kamu jangan nengok ke belakang, Dek. Aku tahu ada yang mengikuti kita." Bang Gandi mempercepat langkahnya. Sampai kakinya tersandung oleh sesuatu.
"Aaargh! Sakit! Kakiku sakit, Dek." Bang Gandi meringis dan memijat kakinya.
"Allahu Akbar! Allahu Akbar!" Suara azan Magrib terdengar juga. langit semakin gelap, dan kami tak membawa alat penerangan satu pun. Ponsel kami berdua ditinggal di rumah Ibu. Padahal dalam situasi ini kami sangat membutuhkannya.
Seiring dengan suara azan Magrib berkumandang, berhenti juga suara yang mengikuti kami.
Langkah kaki kami perlahan melambat karena kaki Bang Gandi kesakitan, sampai jalannya terpincang-pincang. Aku kembali merasakan kejanggalan di sini. Kenapa jalan menuju arah keluar area makam tak kunjung kami temui? Rasanya sedari tadi kami hanya berputar-putar saja di tempat yang sama.
"Bang! Mana arah keluar makamnya, ya? Kok, dari tadi kita enggak nemu-nemu? Mana gelap banget ini, Bang." Aku menyipitkan mata sembari mendekat pada badan Bang Gandi, selain dingin yang dirasa, tempat ini sangat teramat mengerikan. Ditambah dengan tak membawa penerangan.
"Ya, ampun, Dek. Benar juga. Apa mungkin kita nyasar?" Ucapan Bang Gandi malah semakin membuatku panik. Kaki ini rasanya pegal juga sedari tadi berjalan tak henti. Aku duduk di sebuah batu besar, dan memijat sebentar kaki ini. Hujan akhirnya perlahan reda, hanya rintik-rintil kecil saja.
Apa benar kami saat ini nyasar di area kuburan ini? Oh, tidak! Rasanya aku ingin berteriak sekencang mungkin untuk meminta pertolongan kepada siapa pun. Namun, rasanya takut juga.
"Terus, Bang, gimana ini? Apa kita bisa pulang lagi ke rumah? Sedangkan mau berjalan pun di sini gelap. Hanya terlihat sorot lampu dari pemukiman warga yang jaraknya jauh dari pemakaman ini." Aku merasa lelah sekali, belum sempat beristirahat dari semalam. Di sini malah kesasar.
"Ayo, kita jalan lagi sambil terus berdoa. Semoga kita bisa nemui jalan arah pulang." Bang Gandi mengajakku kembali berjalan untuk pulang.
Kami langkahkan kaki dengan perlahan, jangan sampai kaki kami tersandung lagi, dan tak mau sampai menginjak binatang di sekitar.
Sreeet ... sreeet ... sreeet.
Suara itu kembali lagi terdengar dari arah belakang. Seketika tubuhku merinding hebat. Aku merasa ada sesuatu yang hendak masuk ke dalam tubuhku.
"Aaaargh!" Samar-samar sekelebat bayangan hitam melayang di atas kepala ini, dan dari sana aku tak ingat apa pun lagi.
"Aaargh!"
****
"Dek, istighfar, Dek! Ayo, sadar, Dek!" Sayup terdengar lirih suara Bang Gandi. Apa aku pingsan lagi? Kurasakan tubuh ini basah dan sangat dingin. Segera aku membuka mata, ternyata masih di area pemakaman.
"Bang, aku pingsan lagi?" Aku bangun dan duduk di tanah yang kotor.
"Kamu kesurupan, Dek. Ya, Allah, kenapa, sih, Dek? Lamu tadi lihat apa?" tanya Bang Gandi terdengar frustasi.
"A-apa? Kesurupan?" Seumur-umur aku tak pernah hilang kesadaran karena kesurupan.
"Kamu lagi datang bulan, Dek? Baju belakangmu tak sengaja teraba olehku, dan Abang cium, bau anyir darah." Segera aku meraba-raba area belakangku, ternyata benar. Aku kedatangan tamu bulanan. Kenapa sampai aku tak ingat ini jadwal bulananku?
"Bang, aku ingin pulang. Huhuhu. Tolong! Tolong!" Tangisku akhirnya pecah, aku sangat-sangat berantakan saat ini.
"Tenang, Dek, tenang! Jangan teriak-teriak di pemakaman ini! Pamali." Bang Gandi meninggikan nada bicaranya.
"Terus sampai kapan kita di sini, Bang?"
Bang Gandi tak menjawab, dua menenggelamkan wajahnya pada kedua lututnya, seolah dia pun sangat tertekan.
"Mbaaak ... ikut aku ...." Tiba-tiba terdengar suara dari arah depan. Aku menyipitkan mata karena sorot dari lampu senter membuat mata kami kesilauan.
"S-siapa kamu?" tanya Bang Gandi pada seseorang yang memakai kerudung hitam, tetapi wajahnya tak tampak karena ditutupi oleh tangan krinya.
"Kalian tersesat 'kan? Ayo, ikuti aku! Cepat!" Suaranya menandakan bahwa dia seorang perempuan yang memakai kebaya dan rok dari kain jarik.
Tak ada pilihan lain, kami akhirnya mengekor dia dari belakang dibantu dengan penerangan yang dia bawa.
Tak lama, akhirnya kami sampai di jalan arah keluar pemakaman.
"Bang, alhamdulillah kita bisa keluar dari pemakaman."
"Mbak, kamu siapa? Terima kasih atas bantuannya, Mbak," ucap Bang Gandi pada perempuan penolong itu.
Dia hanya menganggukan kepalanya pelan, sembari membalikkan badannya hendak masuk kembali menuju area pemakanan.
"Mbak, tunggu dulu! Nama kamu siapa?" tanyaku mencoba menahan kepergiannya.
"Lastri."
"L-lastri? Apakah dirimu itu istri Abah dulu, Mbak?" tanyaku antusias
"Rumah itu tak beres! Rumah pemuja setan." Telunjuk perempuan yang mengaku namanya Lastri itu, mengarah pada rumah Ibu.
Bersambung.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
