MELAHIRKAN SAAT JAM PELAJARAN SEKOLAH

5
0
Deskripsi

Pada jam mata pelajaran sedang berlangsung, kami dikejutkan dengan kejadian tak biasa dari ruang kelas IPA 1. Kelas di mana anak-anak pintar berkumpul.

Farah yang dikenal sebagai seorang siswi pendiam, pemalu, dan introvert itu, tiba-tiba melahirkan di kelas.

Namun, sungguh disayangkan nyawanya tak tertolong sebelum dia mengatakan siapa ayah biologis dari sang bayi yang tak berdosa itu. Apakah dia hamil karena hubungan terlarang? Ataukah dia diruda paksa oleh seseorang?

Yuk, subcribe cerita ini, ya, untuk mengetahui kelanjutannya. 

🅟🅐🅡🅣 ➊

"Pak! Pak Salim! Tolong!" Rahmat anak kelas tiga IPA satu yang letak kelasnya di sebelah kelasku, tiba-tiba datang ke kelas kami saat Pak Salim—guru Bahasa Inggris sedang mengajar.

"Kenapa kamu, Mat? Di kelasmu apa tak ada guru?" Pria jangkung dengan rambut gaya belah tengah itu, balik bertanya kepada Rahmat yang terlihat sangat panik.

"F-farah, Pak, Farah." Napas Rahmat terengah-engah dan ucapannya terbata.

"Farah kenapa, Mat?" Pak Salim lantas menghampiri Salim di ambang pintu kelas.

"Farah merintih sakit pada perutnya, Pak, terus dia juga ngompol di kelas. Tak ada guru di kelas kami, Pak."

Bisik-bisik teman sekelasku pun mulai riuh terdengar di telinga. Gegas Pak Salim lari menuju kelas Rahmat. Karena penasaran, kami pun mengekor Pak Salim.

Benar saja, Farah siswi pendiam dan pemalu itu terkapar di lantai keramik kelas dikelilingi oleh teman-teman sekelasnya dengan keadaan rok yang basah kuyup seperti sudah mengompol.

Namun, ada pemandangan yang menyolok mata. Ada beberapa orang siswi yang sedang mengambil rekaman video Farah lewat ponsel mereka. Tega sekali mereka merekam Farah yang tengah kesakitan. Di mana letak empati mereka, ketika melihat temannya membutuhkan pertolongan seperti ini?

"Tolong panggil Mang Burhan ke mari, kita harus segera membawa Farah ke Puskesmas terdekat!" perintah Pak Salim kepada salah satu dari kami untuk memanggil Mang Burhan sang penjaga sekolah ini.

"Aaaargh! Sakiiit!" Farah berteriak keras dan kencang seperti sangat kesakitan, dia terus memegangi perutnya.

"Sakit perutku, aku mau BAB!" pekik Farah lagi sembari melebarkan posisi pahanya, tetapi beberapa menit kemudian, tampak ada yang menyembul dan bergeliat di dalam rok Farah.

"Oa! Oa! Oa!"

Seketika terdengar suara tangis bayi berasal dari arah rok Farah. Kami semua sontak tercengang dan celingak-celinguk pada teman yang berada di samping kami.

"Ada apa ini?" Bu Latifah sang guru mata pelajaran Fisika segera berjongkok dan menyingkap rok Farah yang sudah basah dengan campuran darah.

Pak Salim dan sebagian siswa laki-laki spontan menutup mata karena risih.

"Ya, Allah, ada bayi!"

Bu Latifah berteriak, saat melihat ada kepala bayi yang menyangkut pada celana dalam Farah. Bu Latifa segera menarik celana dalam Farah yang sudah berlumuran darah, lalu mengangkat bayi merah yang tali pusatnya masih panjang.

Semua orang yang berada di kelas Farah terlihat kaget dan panik menyaksikan kejadian tak biasa ini.

"Gunting! Tolong ambilkan gunting!" Bu Latifah tak kalah panik.

Lekas aku berlari ke arah meja guru, seingatku pada laci mejabtersebut ada gunting.

Benar saja ada gunting bergagang warna hitam ada di sana, lalu aku langsung menyerahkannya kepada Bu Latifah.

Ternyata gunting tersebut digunakan Bu Latifah untuk memotong tali pusat bayi Farah yang tak berhenti menangis.

"Ayo, cepat! Bawa segera Farah ke bidan! Nyawanya bisa terancam kalau dibiarkan!" Bu Latifah dengan nada meninggi menatap tajam kepada kami.

"Pak, Bu, A-ada apa rame begini?" Mang Burhan akhirnya datang dengan raut muka tak jauh beda dengan kami.

"Mang Burhan! Pinjam mobil Pak kepala sekolah untuk mengantar anak ini ke Puskesmas!" Pak Salim lalu berdiri. 
Mang Burhan pun berlari keluar kelas hendak menuju kantor kepala sekolah.

"B-bu, sakit," lirih Farah yang kulit wajahnya memucat, dia juga begitu lemah.

"Farah, siapa bapak dari anak ini? Katakan!" Bukannya Bu Latifah menenangkan Farah yang terlihat menyedihkan, dia malah berani bertanya siapa ayah sang bayi.

"D-dia—"

Ucapan Farah terpotong karena dia tak sadarkan diri. Kerumunan orsngbmakin bertambah, ruang kelas pun senakin gerah hawanya.

"Farah! Bangun!" Nita—teman sebangku Farah mencoba membangunkan temannya itu.

Pak Salim dan beberapa siswa laki-laki hendak menggotong tubuh Farah untuk dibawa ke mobil Pak kepala sekolah.

Namun, Pak Salim terlebih dulu memeriksa denyut nadi dan hidung Farah.

"Innalillahi wa inna ilaihi rojiuuun," ucap Pak Salim pelan.

"K-kenapa, Pak? Ada apa dengan Farah?" tanya Bu Latifah yang terus menggendong bayi Farah.

"Farah sudah meninggal, Bu." Jawaban Pak Salim lantas membuat kami ... ah, entahlah. Berbagai ekspresi dari semua orang tampak shock.

Seolah tahu bagea ibunya sudah tak ada, bayi itu menangis sangat kencang.

*****
Malam ini, aku sangat lelah sekali setelah menghadiri pemakaman Farah yang seadanya. Kejadian di sekolah tadi harus dirahasikan, pinta pihak keluarga Farah dan tentu pihak sekolah.

Tempat tinggalku pun mendadak sepi. Meskipun jarak rumah Farah dan rumahku kurang lebih dua ratus meter saja, tetapi hubungankubakhir-akhir ini dengan Farah sedang tak baik. Keluarga Farah tak melakukan tahlilan karena merasa yang dialami putri bungsunya itu, adalah aib besar.

Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam, aku langsung menghempaskan badan ke kasur, lalu perlahan memejamkan mata.

Tok! Tok! Tok!

Namun, mataku kembali terbuka ketika mendengar suara ketukan pada jendela kamarku.

Aku pikir, itu Bang Andri yang baru pulang dari rumah pacarnya, dan sudah pasti pintu sudah dikunci rapat oleh Mama.

"Ngapain, sih, Bang? Minta bantuanku buat bukain pintu, ya?" Dengan malas aku bangkit dari kasur dan keluar kamar hendak membukakan pintu untuk abangku.

Aku putar anak kunci pintu depan dua kali, tetapi saat pintu terbuka lebar. Tak ada siapa-siapa di luar dan di arah jendela luar kamarku.

"Bang! Jangan nakutin, dong! Cepat masuk!" Aku mulai kesal kepada abangku yang memang terkenal jahil itu.

"Aryani ...."

Tiba-tiba ada bisikan memanggil namaku dari arah belakang. Entah kenapa buluk kudukku mendadak meremang, dan tengkuk leherku merinding saat suara tersebut meniup-niup pada telingaku.

Lantas aku membalikkan badan ke belakang. Sontak aku terhenyak ketika yang kulihat di belakang ada Farah.

"Tolong aku, Aryani."

🅟🅐🅡🅣 ➋

Aku membekap mulut dengan kedua telapak tanganku yang gemetaran, dada ini pun berdegup sangat kencang. Rasanya ingin berteriak sekeras-kerasnya dan sekencang-kencangnya, tetapi apa daya aku tak mampu. Seolah ada yang mengunci suaraku.

F-farah yang memakai gaun berwarna putih lusuh, dengan rambutnya yang panjang tergerai hampir menutup matanya itu, berdiri berjarak hanya beberapa senti meter saja denganku.

Dia kemudian menangis. Suara tangisannya terdengar sangat memilukan. Aku merasa kasihan, tetapi rasa takutku lebih besar daripada rasa ibaku terhadapnya.

"Tolong ... tolong aku ...."

Entah kenapa Farah terus berkata meminta pertolongan kepadaku? Aku ingin bertanya kenapa dengannya? Apa yang sudah terjadi terhadapnya? Tetapi bibirku rasanya kelu dan membeku. Tak bisa berkata sepatah kata pun.

Aku kemudian menggerakan tangan ke arahnya sebagai kode agar dia segera pergi dari sini. Namun, sepersekian detik kemudian, dia tertawa cekikikan. Tawanya mampu membuatku merinding hebat. Mengerikan! Tawanya mirip dengan suara tawa kuntilanak yang sering aku dengar pada film horor di televisi.

Setelah puas tertawa, dia lalu membalikkan badannya dan berjalan sedikit membungkuk menuju arah belakang, lalu dia menghilang menembus tembok.

Sejurus kemudian, akhirnya aku bisa membuka suara dan berteriak.

"Mama! Abang! Tolong!" Aku berteriak sekeras mungkin agar Mama dan abangku mendengarnya. Benar saja usahaku, Mama yang rambutnya acak-acakan dan memakai daster tanpa lengan segera keluar dari kamar yang letaknya di tengah rumah ini.

"Yani! Ngapain kamu duduk di lantai begitu? Itu pintu kenapa terbuka? Mama 'kan tadi udah kunci semua." Mama terdengar dan terlihat bingung mendapatiku terduduk lemas di lantai depan pintu.

"M-mama!" Aku segera memeluk tubuh Mamah, dan meluapkan apa yang kurasakan sekarang ini. Dalam dekapan Mama, aku menangis sejadi-jadinya.

"Kenapa, nih, anak mewek tengah malam gini? Kagak dingin, Neng, duduk di situ?" Datang-datang suara Bang Ardi terdengar dari ambang pintu. Tercium juga bau rokok dan parfum dari arahnya.

"Ardi! Jam segini kamu baru pulang? Dasar anak kagak tau diri! Kerjaannya kelayapan mulu, tapi disuruh nyari kerja males! Besok Mama kunci pintu dari jam tujuh. Kalian enggak ada yang boleh keluar rumah lewat  jam tujuh malam!" Mama esal dan murka kepada abangku yang memang pengangguran sudah hampir dua tahun ini karena pandemi.

"Ya, elah, Mama. Slow, Ma, slow, dong, mamaku tersayang. Ardi cuma nongkrong sama anak-anak di pos ronda depan, kok, Ma. Ardi Enggak pergi ke mana-mana, cuma maen gitar sama maen gapleh, doang." Lagi-lagi Bang Ardi menimpal omelan Mama dengan santai, seperti tak ada beban hidup. Padahal, dia membebani hidup Mama selama ini.

"Yani! Aryani! Bangun! Mama pegel, nih. Kamu kenapa nangis, sih?" Mama menepuk-nepuk lenganku. Aku lantas menyeka pipi dengan telapak tangan dan menarik ingus akibat tak terbendung menahan keluar air mata.

"Ya, nih anak, kayak habis ngelihat setan aja!" celetuk Bang Ardi seolah tak peduli. Bukannya tangisanku reda, malah semakin menjadi.

"Eh, kok, malah nangis lagi, sih, Yan?"

"T- tadi, t-tadi Yani, T-ta—"

"Tadi kenapa? Tadi ada apa? Ngomong itu yang jelas, gitu." Dahi Mama mengerut, dia sudah tak sabar mendengar penjelasanku.

"T-tadi ada Farah, Ma, dia datang nemuin Yani."

Aku memautkan tubuh kembali pada badan Mama.

"Ya, ampun, Farah anaknya Bu Tika yang tadi siang meninggal? Ah, kamu cuma mimpi kali, Yan." Sudah aku duga Mama tak akan percaya. Karena Mama tak mempercayai adanya hal-hal yang tak maduk akal dari dulu.

"Beneran, Mama."

"Oh, anak SMA yang mati abis lahiran di sekolah itu temun kamu, Dek?" Bang Ardi yang kini penasaran.

"Ya, anaknya Bu Tika yang dulu sering main ke sini itu, loh." Ternyata Mama pun tak akan lupa dengan teman kecilku—Farah.

"Hmmm, anaknya yang pemalu itu bukan, Ma? Yang kalau ngajak maen si Yani di depan teras diam aja kagak ngucapin salam, kagak teriak manggil orang rumah." Bang Ardi pun akhirnya mengenali sosok Farah yang dikenal sebagai anak pendiam, pemalu, dan introvert.

"Ya, dia, kasihan, ya, nasib Farah berakhir tragis sekali. Mana sebentar lagi mai ujian kelulusan sekolah. Padahal, dia anaknya pintar 'kan, Yan?"

Aku hanya menjawab pertanyaan Mama dengan anggukan kepala saja.

"Anak itu sempet ditaksir sama si Wendi ma temen nongkrong Ardi, Ma." Bang Ardi lalu berjongkok di sampingku.

"Udah tutup pintunya, sana! Kalian cepat masuk kamar masing-masing! Udah mau jam dua belas, nih. Cepeatan kalian tidur, gih! Yani, ayo, kamu bangun, Yan!" Mama beranjak berdiri dan menarik lenganku.

"Ma, malam ini Yani tidur sama Mama, ya," rengekku manja kepada Mama.

"Dasar anak manja!" celetuk Bang Ardi seraya menoyor kepalaku. Dia memang sering jahilin adiknya ini.

"Udah Ardi! Cepat tutup pintunya! Segera masuk kamar sana!"

****

Pagi harinya saat kami bertiga sarapan di meja makan. Mama selalu menyiapkan sarapan untuk kami dari Subuh sebelum beliau pergi bekerja di salah satu pabrik makanan dekat rumah.

"Ma, kepala Ardi pusing banget!" Wajah abangku memang terlihat berantakan. Dia merengut dan sesekali memijat kepalanya.

"Makanya jangan keluyuran malam mulu!" ketus Mama sembari mengunyah nasi goreng di mulutnya.

"Bukan, Ma, bukan karena itu. Siapa, sih, tetangga kita yang punya bayi baru lahir? Berisik banget tengah malam nangis ampe berjam-jam. Itu bayi laper atau gimana, ya? Kok, tega banget ibunya biarin dia nangis ampe lama begitu. Dibawa keluar rumah lagi." Bang Ardi tak berhenti mengoceh.

Bayi?

"Suara bayi di mana, sih, Bang?" Kini aku mulai penasaran dengan cerita Bang Ardi.

"Di samping kamar Abang, Dek. Yang anehnya, tuh, Abang kemarin sempat lihat bayangan perempuan yang lagi gendong bayi di halaman luar. Masa jam tiga pagi itu si Ibu berani-beraninya bawa bayi keluar rumah?"

Spontan aku berhenti mengunyah ketika Bang Ardi berkata demikian.

A-apa bayangan perempuan yang di maksud abangku itu?

Farah?

🅟🅐🅡🅣 ➌

Perempuan siapa, sih, Andri? di samping rumah kita 'kan hanya ada kebun pisang. Sedangkan di pinggir kamar kamu itu rumah Uwak yang kosong juga. Tetangga kita pada jauh-jauh rumahnya. Lagian Mama enggak denger 'tuh ada tetangga yang lahiran. Kecuali—"

"Kecuali siapa, Ma?" Bang Andri kelihatannya antusias mendengar cerita Mama.

"Ya, Farah. Dia 'kan kemarin melahirkan di sekolahnya Aryani."

Perkataan Mama sama dengan apa yang sedang aku pikirkan sekarang.

"Tapi, mana ada dia gendong-gendong anaknya. Dia 'kan udah beda alam sama kita." Begitulah Mama tak pernah memercayai hal tak masuk akal sebelum dia melihat dengan mata kepalanya sendiri.

"Nah! Betul itu, Ma! Pasti dia yang dateng ke rumah kita, Ma! Buktinya si Yani kemarin malam nangis kayak kesambet dan bilang didatangi sama Farah. Ih, dia gentayangan berarti, Ma. Ngapain juga gentayangan? Nyari bapak anaknya kali, ya?"

"Andriii! Kaget, nih, Mama. Kenapa mesti gebrak meja segala, sih?" Mama memukul lengan putra pertamanya. Karena Bang Andri sudah menggebrak meja dan berkata sedikit sompral.

Aku memang pernah mendengar, ketika ada perempuan yang melahirkan, lalu meninggal. Arwahnya akan gentayangan. Apa benar Farah pun seperti itu?

"Yan! Ayo, cepatan makannya! Malah ngelamun gitu, ah. Udah jangan dipikirin ucapan abangmu ini!"

Mama menegur dan mencoba menghiburku. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di dalam hati ini. Sejak kapan Farah hamil? Kenapa orang terdekatnya tak mengetahui dia sedang hamil besar? Apa gara-gara Farah berbadan tinggi besar juga? Atau karena beberapa bulan ke belakang ini, dia memutuskan pergi ke sekolah memakai seragam dan kerudung panjang? Jadi kami sampai tak menyadari dia tengah mengandung.

Lalu, siapa ayah dari bayi mungil yang dilahirkannya kemarin? Yang aku tahu, Farah tak pernah punya pacar, bahkan dekat dengan seorang teman pria satu orang pun selama ini. Dia selalu menjaga jarak dari teman-temanya, apalagi lawan jenis.

Atau ....

Apa ada yang memaksa Farah untuk berhubungan badan? Tapi, siapa?

Farah Rahmadina nama lengkapnya. Gadis berkacamata, berambut gelombang, dan postur tubuhnya yang berisi itu, dia temanku sejak masih duduk di bangku SD. Dulu, kami dua orang teman yang sangat dekat, bahkan saking dekatnya, terkadang kami sering bertukar bekal makanan.

Farah yang berparas manis, tumbuh menjadi siswa yang pendiam di sekolah. Farah berkembang dari lingkungan keluarga korban perceraian, sama sepertiku. Namun, bedanya Farah dan aku terlihat dari perhatian orang tua kami. Orang tua Farah kurang memerhatikan dia. Farah sejak kelas empat SD harus dititipkan di rumah neneknya. Karena ibunya Farah harus bekerja sebagai TKW di Malaysia. Sedangkan ayahnya sudah menikah lagi dan entah dia tinggal di mana sekarang?

Sampai suatu hari, kami akhirnya lulus SD. Farah memutuskan untuk tinggal bersama bibinya di luar kota. Karena saat kelas enam SD, neneknya Farah meninggal dunia. Yang membuatku bingung kala itu, Farah sama sekali tak memberiku kabar bahwa dia sudah berangkat ke luar kota. Aku mendapatkan kabar kepergiannya dari seorang tetangga neneknya Farah. Akan tetapi, tetangganya tersebut tak tahu Farah tepatnya pergi ke daerah mana.

Farah hanya menitipkan secarik kertas yang berisikan tulisan;

[Aryani, maafkan aku. Pasti kamu sedang membaca surat ini, ketika aku sudah meninggalkan kota yang penuh dengan kenangan indah kita berdua. Terima kasih banyak kamu sudah setia menjadi sahabat dan menemaniku sepanjang waktu. Semoga di SMP nanti, kamu mendapatkan banyak teman baik. Peluk sayang dari Farah.]

Segera aku menghubungi nomor Farah menggunakan ponsel Mama setelah membaca surat dari dia, tetapi anehnya nomor Farah tak bisa dihubungi lagi. Padahal, semalam aku menelpon dia untuk mengabarkan, bahwa aku sudah diterima di SMP Negeri favorit. Sekolah idaman kami dari dulu, dan dari sanalah kami lost kontak.

Akan tetapi, takdir berkehendak lain. Kala masuk awal semester kelas tiga SMA, tiba-tiba Farah sudah terdaftar sebagai murid pindahan dari SMA dia sebelumnya. Dia diterima di kelas IPA satu. Sementara aku kelas Bahasa tiga. Farah memang seorang siswi yang pintar, dia selalu mendapat ranking satu ketika masih SD.

"Farah, apa kabar kamu?" Aku hendak memeluknya dengan membentangkan kedua lenganku lebar-lebar, waktu aku bertemu dengannya di kantin sekolah. Namun, respon dia datar saja. Dia tak menyambutku dengan hangat.

"Baik. Kamu apa kabarnya juga, Aryani?" Raut wajah Farah tak sesemangat aku.

"Alhamdulillah. Farah sekarang kamu tinggal di mana?" Rasanya aku ingin bercerita banyak kepada dia, tetapi tampaknya Farah sudah berubah. Tak tahu kenapa?

"Aku pergi dulu ke kelas, ya, Aryani. Permisi." Farah tak menjawab pertanyaanku. Dia menghindari dariku, teman lamanya.

Aku kembali dipertemukan dengan Farah saat naik angkot menuju rumah. Farah ternyata tinggal di dekat rumahku sekarang ini.

Aku mengikuti dia sampai ke rumahnya. Ternyata Farah masih tinggal bersama bibinya. Bibinya pun tinggal sendiri, sepertinya dia belum menikah. Dugaanku.

Kami sudah tak sedekat dulu lagi, kami hanya melempar senyum saja tanpa saling bertegur sapa ketika berpapasan. Seolah ada sekat pembatas dalam hubungan pertemanan kami. Ya, sudahlah.

***

Setelah selesai sarapan, aku lalu pamit pada Mama untuk pergi sekolah seperti biasa menaiki angkot. Aku sering naik angkutan kota itu karena jarak sekolah dekat dengan rumah, dan tentu saja ongkosnya lebih murah daripada naik ojek online. Hanya dua ribu rupiah saja.

"Bu, semalam ada kejadian aneh, deh, ada suara perempuan yang nangis lama di rumahnya Mbak Lili. Padahal 'kan rumahnya kosong sejak kemarin. Sekarang Mbak Lili pergi entah ke mana karena keponakannya sudah meninggal." Dua orang ibu-ibu yang merupakan tetanggaku, juga tetangga yang rumahnya dekat dengan bibinya Farah yang bernama Lili, sedang bergosip di dalam angkot. Aku pura-pura saja tak mendengarkan pembicaraan mereka.

"Lah, Bu Atun denger juga, toh? Kirain, halusinasi saya saja karena terlalu lelah. Siapa, ya, Bu? Perempuan yang nangis itu? Kok, aku jadi enggak enak hati. Apa dia arwah si Farah yang hamil di luar nikah itu, ya, Bu?"

"Kiri, Pak, kiri!" Aku berteriak kepada Pak supir saat angkot sudah melewati lingkungan sekolahku. Aku kemudian turun dan menyodorkan uang dua ribu rupiah kepada Pak Supir, "Ini, Pak, ongkosnya."

"Neng, tunggu!" Entah kenapa Pak supir memanggilku saat aku hendak pergi.

"Ya, Pak, ada apa?" tanyaku sembari menelengkan kepala.

"Ongkosnya kurang, Neng, kalau berdua."

"Berdua? Maksudnya, Pak?" Alu tambah bingung dengan perkataan Pak Supir.

"Itu, temen Neng yang badannya gede enggak dibayarin?"

T-teman?

Deg!

🅟🅐🅡🅣 ➍

"Maksud Bapak teman siapa, Pak? Aku dari tadi naik angkot sendirian, kok." Aku mengernyit, wajah ini kudekatkan pada jendela pintu depan angkot, agar aku bisa jelas berbicara dengan Pak sopir. 

"Ya, Mang sopir, si Neng ini naik sendirian. Enggak ada anak SMA lain juga dari tadi di dalam angkot ini." 

Salah satu ibu yang bergosip tadi membelaku. 

"Tadi, Neng naik berdua sama temannya itu. Yang badannya berisi, rambutnya diikat dua. Tuh, barusan juga dia ada di belaka—" 

Pak sopir menengok ke arah belakangku. Dahinya mengerut, dia pun celingak-celinguk. 

"Lah, kok, enggak ada, Neng? Ke mana perginya temen Neng? Cepat banget. Tadi dia ada di belakang kamu, kok. Apa dia kabur, ya?" Pak sopir menggaruk-garuk kepalanya. 

"Mang sopir ini kayaknya ngantuk berat, ya? Istirahat dulu, Mang. Tidurin, gih, bisa bahaya kalau ngantuk sembari bawa nyetir angkot," ucap ibu yang satunya lagi memberi nasihat. 

"Enggak, kok, Bu. Saya enggak ngantuk. Baru narik ini saya, Bu." Pak sopir menimpal ucapan ibu-ibu itu yang masih berbisik-bisik satu sama lain. 

"Ya, sudah, Pak, daripada ribut masalah ongkos dua rebu perak doang, nih, aku bayar buat satu orang penumpang." Aku merogoh saku seragam, lalu menyerahkan selembar uang berwarna abu kembali. 

"Makasih, Neng" Secepat kilat Pak sopir menyambar uang dariku. 

"Ibu-ibu, mari, ya, permisi." Aku melempar senyum dan menganggukan kepala tanda pamit kepada para ibu tadi. 

Pagi ini sungguh membuat hatiku merasa jengkel dan dongkol oleh ucapan Bang Andri, juga perkataan sopir angkot tadi. Akan tetapi apa yang dimaksud Pak Sopir soal teman yang bersamaku, ciri-cirinya mirip dengan Farah. Sebelum memutuskan memakai kerudung ke sekolah, Farah memang suka mengikat dua rambutnya. 

"Aryani! Yan!" teriak Nindi—teman sebangkuku yang juga keponakannya Bu Latifah, saat memasuki lorong menuju kelas Bahasa. 

"Yan, gawat," bisiknya lagi. 

"Gawat kenapa, Nin?" Langkah kakiku kuhentikan dahulu. 

"Bibiku dinonaktifkan sementara untuk mengajar di sekolah, kemarin malam pihak dari jajaran pemilik yayasan sekolah ini datang ke rumah Bibi Latifah dan menginterogasinya soal kematian Farah kemarin." Nindi berbicara sangat serius. 

"Bu Latifah kenapa harus dinonaktifkan mengajar di sekolah ini, Nin?" Mendengar informaai dari Nindi tentang Bu Latifah, aku merasa kasihan dengan keputusan pihak sekolah kepada Bu Latifah. 

"Bibiku dinonaktifkan sementara, gara-gara dia kemarin maen gunting aja tali pusat bayi Farah." 

"Terus, pihak keluarga Farah 'kan enggak nuntut pertanggungjawaban apa-apa dari pihak sekolah atau Bu Latifah, kenapa Bu Latifah harus dinonaktifkan, Nin?" Aku merasa tak puas dengan penjelasan Nindi. 

"Ya, tapi pihak sekolah menyayangkan saja tindakan bibiku soal pengguntingan tali ari-ari itu. Ssst! Jangan bilang siapa-siapa, ya, ada rahasia." Nindi meletakkan telunjuknya pada mulutnya sendiri. 

"Rahasia apa?" Aku menarik lengannya. 

"Yan, bibiku dihantui arwah Farah di rumahnya kemarin malam. Tengah malam Bi Latifah menelpon mamaku." Sontak aku membulatkan mata. Farah lagi? 

"Dihantui gimana, Nin?"

"Farah datang menggendong bayinya sambil nangis, kadang tertawa, juga nyanyi semalaman di rumah bibiku." Nindi bergedik dan meraba tengkuk lehernya. 

"Eh, anaknya Farah sama siapa, ya? Apa dibawa bibinya Farah pergi? Kemarin pas acara pemakaman Farah, aku sama sekali enggak lihat bibinya Farah."

Nindi mengangkat kedua bahunya tanda bahwa dia tak tahu. 

Prosesi pemakaman Farah kemarin, memang hanya diwakili oleh sebagian orang guru dari pihak sekolah, aku, dan beberapa teman sekelas Farah. Sedangkan bibinya Farah membayar sejumlah petugas untuk mengurus semuanya. Sementara itu, bibinya Farah tak datang dalam pemakaman keponakannya sendiri. 

Selentingan kabar beredar dari mulut pengurus jenazah Farah kemarin, bayi Farah disarankan untuk dirawat di rumah sakit dan di-inkubator karena terlahir prematur dengan berat badan yang kecil. Mungkin bibinya Farah membawa bayi tak berdosa itu ke rumah sakit. 

Tiba-tiba bel sekolah berbunyi, dan kami harus memotong obrolan, lalu masuk ke kelas. Namun, ada pemandangan tak biasa dari arah kelas sebelah. Para siswa siswi kelas IPA satu, teman-temannya Farah berdiri dan berkerumun di luar kelas sembari menutup hidung mereka. Padahal, bel masuk sudah berbunyi. Ada yang menyemprot dengan alat semacam pengharum ruangan, ada juga yang membawa lap pel dan ember berisi air bersih. 

"Nin, ada apa di sana? Kok, mereka pada rame di luar kelas?" Aku menyenggol lengan Nindi yang sedang memainkan ponsel.

"Ya, ya, kenapa pada tutup hidung, sih? Samperin bentar, yuk!" 

Aku diseret Nindi untuk menghampiri kelas Farah. 

"Hai, Gengs, kenapa pada di luar, sih? Ada apa? Ada yang ulang tahun, ya?" Nindi bertanya pada siswa siswi yang terkenal pintar itu. 

"Bau banget,di dalam kelas, Nin, bau bangke!" Rahmat yang menjawab sembari terus menutup hidung. 

"Lah, bukannya suka dipel sama Mang Burhan 'kan kalau sore setelah para siswa pulang?" Aku yang giliran bicara. 

"Ya, tapi aneh enggak biasanya baunya awet. Bau anyir darah. Hoek!" Sinta murid tercantik kelas itu, berlari lalu meludah di taman samping kelasnya. 

Aku dan Nindi penasaran, kami kemudian masuk ke kelas IPA satu. Dan memang betul. Aroma anyir menyeruak di dalam kelas. Aku jadi teringat dengan kejadian yang menimpa Farah kemarin. Seandainya Farah masih hidup, dia sekarang pasti sedang duduk di bangkunya sambil membaca buku seraya memakan jajanan kesukaannya. 

"Ada apa ini? Kalian enggak denger bel sekolah udah bunyi dari tadi? Nindi! Aryani! Kalian kelas apa? Kenapa ada di kelas IPA? Masuk kalian ke kelas sendiri!" 

Sial, Bu Ika Kartika sang guru galak datang sembari berkaca pinggang. Gegas aku dan Nindi berlari menuju kelas kami. 

Di tengah jam pelajaran mata pelajaran sastra  terpusat kepada Farah. Sampai menit ke empat puluh kegiatan belajar mengajar berlangsung, ekor mataku menangkap ada yang mengintip di tepi jendela luar kelasku. 

"F-farah?"

 

🅟🅐🅡🅣 ➎


Aku terkesiap melihat Farah sedang berdiri di luar kelas ini, dia seolah menghipnotisku agar mau ikut dengannya. Farah memberikan kode kepadaku dengan cara melambai-lambaikan tangannya. 

Lekas aku beranjak berdiri dari bangku dan berjalan gontai menuju kaca jendela. 

"Aryani! Yani!" 

"Yani!"

"Yan!"

Lamat-lamat terdengar teriakan dari teman-teman dan Bu Niken—guru sastra bahasa Indonesia memanggilku. Namun, aku tak mau menghiraukan teriakan mereka. Terus saja aku berjalan mendekati jendela. 

Di sana, ada Farah sedang menunggu sembari terus melempar senyum ke arahku. Senyum yang aku sangat rindukan. Senyum hangat dari seorang sahabat masa kecil, di kala kami saling bertukar cerita, dan senyum yang lambat laun menghilang dari raut wajahnya, lalu berganti dengan sebuah tangisan. Farah menangis. 

Farah merundukkan wajah tak berhenti menangis. Tak lama, dia kembali memandangku dengan tatapan getir. 

Suasana terang di ruangan kelas, tiba-tiba berganti menjadi suasana redup. Seketika aku seperti masuk ke dunia yang berbeda. Entah aku berada di mana sekarang? 

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Setelah dengan saksama mengamati, aku ternyata tengah berada di sebuah kamar tua yang cat dindingnya sudah mulai memudar. 

Di pojok kamar ini, ada tempat tidur yang seprainya acak-acakan. Bantal dan selimutnya pun tergeletak di lantai begitu saja. Di samping tempat tidur, ada meja cukup besar. Namun, mataku mendapati ada seseorang yang meringkuk di bawah meja itu. Dia terdengar sedang menangis tersedu-sedu. Dari suaranya, sepertinya dia seorang perempuan. 

Ketika aku akan menghampiri dia, tiba-tiba terdengar seseorang membuka handle pintu yang letaknya bersebelahan dengan kasur. Ada seorang pria berperawakan tinggi besar hanya mengenakan celana boxer dan bertelanjang dada keluar dari kamar mandi. Posisi badannya memunggungiku, sehingga aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. 

Pria tersebut lalu menarik tangan perempuan yang bersembunyi di bawah meja. Saat kepala perempuan itu menyembul keluar dari kolong meja, aku tercekat. Perempuan tersebut ternyata Farah yang mengenakan kemeja pria kebesaran. 

Aku seperti sedang ditunjukkan kronologis kejadian buruk yang dialami oleh Farah. Di mana pria itu tengah melecehkan Farah dan memaksanya. 

"Farah! Farah! Tolong lepaskan dia! Tolong!" Aku berteriak sekencang mungkin untuk meminta pertolongan, tetapi sayangnya teriakanku hanya bisa dalam hati saja.


****

"Aryani! Yan! Sadar, sadar, Yan!" Ada tangan lembut seseorang yang menepuk-nepuk pelan pipiku. Tercium juga aroma kayu putih menyengat penciuman. Perlahan, aku membuka mata dan mengerjap beberapa kali, di sekelilingku sudah ada beberapa orang teman termasuk Nindi yang menatapku dengan tatapan bingung dan cemas. 

"Aku di mana?" tanyaku pelan. Badanku pun rasanya pegal dan lemas. Kepala serta pundak sedikit berat dan pusing. 

"Kamu di ruang UKS, Yan." Nindi yang menjawab. 

"Aku kenapa bisa di sini, Nin? Terus kenapa kalian juga ada di sini? Kenapa kalian enggak belajar saja di kelas?" Aku memindai ke arah wajah teman-teman satu persatu, aku menjadi tak enak hati kepada mereka. 

"Kamu tadi kesurupan, Yan, di kelas. Makanya kamu, tuh, jangan suka melamun! Harus Foookus!" jawab Sani sembari memonyongkan mulutnya. 

"A-apa, San? Aku kesurupan?" 

Aku mengernyitkan dahi merasa heran. Memang selama ini, aku belum pernah sekali pun kesurupan. Ah, mungkin saja karena semalam aku kurang istirahat, jadi keadaan badan ini tak fit. 

"Yang kesurupan bukan kamu aja, Yan, tapi beberapa orang siswi di kelas IPA satu pun mengalaminya. Apalagi Sinta, dia sampai sekarang belum sadarkan diri. Jadi kegiatan belajar mengajar pun dihentikan dulu beberapa jam." 

Bukankah tadi Sinta meludah saat mencium bau anyir di kelasnya? Mungkin dia pun sedang tak enak badan. 

"Farah." Seketika Nindi menyebut satu nama tersebut. 

"Kenapa, Nin? Jangan ngelamun, Nindi! Istighfar!" Sani mengguncangkan tubuh Nindi. 

"Apaan kamu, sih, San? Siapa yang ngelamun? Aku cuma ingat dia." Nindi menepis tangan Sani, dia pun protes terhadap Sani. Sani adalah salah satu temanku yang suka bercanda. Dia bisa mencairkan suasana. 

"Tadi di kelas, Aryani sebelum teriak-teriak enggak jelas 'kan nyebut-nyebut nama Farah. Apa kamu lihat Farah, Yan? Apa gimana?" Nindi menginterogasiku. Aku perlahan bangun untuk duduk dan dibantu oleh mereka. 

"Y-ya, tadi aku lihat Farah lagi ngintip di jendela," kataku. Seketika Nindi, Sani, dan dua orang lagi temanku mereka saling beradu pandang, tampak percaya tak percaya dengan ucapanku. 

"Ih, serem amat, Yan. Padahal ini masih pagi. Alamat sekolah kita bakal diteror Farah terus, nih," celetuk Sani. 

"Hush! Jangan bicara sembarangan. Kita doain aja arwah Farah tenang di alam sana. Mungkin aku dan beberapa siswi lain yang kesurupan, dalam keadaan badan lagi lemah aja, San." Aku mencoba menenangkan mereka. Sementara, hatiku pun tak tenang. 

"Yani kamu udah sadar? Apa yang sakit?" Bu Niken datang menemuiku. 

"Kepalaku masih sedikit pusing, Bu." Aku menjawab seraya memaksakan untuk tersenyum. 

"Ya, udah, kamu boleh pulang, ya. Nanti dianter sama Mang Burhan. Istirahat aja di rumah. Jangan banyak melamun, pikiran juga enggak boleh kosong." Bu Niken memperbolehkanku pulang. Syukurlah, aku memang ingin istirahat. 

"Kalau kami gimana, Bu? Apa kami juga boleh pulang?" tanya Sani dengan raut wajah diimut-imutkan. 

"Kalian masuk lagi ke kelas! Jam pelajaran kita mulai lagi." Jawaban Bu Niken seketika membuat Sani merengut. 

Saat berjalan melewati kelas IPA satu, aku lihat ruang kelas itu kosong. Sama sekali tak ada siswa seorang pun. 

"Loh, kok, ini kelas kosong, Mang? Mereka semua dipulangkan?" tanyaku kepada Mang Burhan yang membantu membawa tas sekolahku. 

"Enggak, Neng, pindah dulu kelasnya untuk sementara." Mang Burhan berjalan mendahuluiku. 

Ketika aku akan menyusul langkah kaki Mang Burhan, sekilas ada seseorang berambut panjang yang menutupi wajahnya duduk terdiam di bangku belakang barisan paling pojok kelas IPA satu itu. Dan bangku yang tengah diduduki olehnya, adalah bangku Farah semasa dia belajar di kelas. 

Kontan aku beristighfar dan melangkahkan kaki cepat sembari memanggil Mang Burhan, "Mang, tunggu aku, Mang!"

🅟🅐🅡🅣 ➏


Mang Burhan menghentikan langkahnya ketika mendengar panggilanku. 

"Mang, maaf, ya, jadi ngerepotin harus nganter aku segala pulang ke rumah." Aku berusaha bersikap biasa saja, nyatanya dada ini berdegub sangat kencang mendapati seseorang yang tengah duduk di bangkunya Farah. Jelas-jelas tadi ruang kelas IPA satu itu kosong, lalu kapan perempuan tersebut datangnya? 

"Enggak apa-apa, Neng. Memang sudah jadi tugas Mamang." Mang Burhan yang mungkin umurnya sudah kepala lima itu, memang sangat ramah dan santun kepada para siswa sekolah ini. 

Saat berjalan menuju arah pintu gerbang sekolah, otomatis aku akan melintasi kelasku lagi. Aku lihat teman-teman sedang serius melanjutkan mata pelajaran Bu Niken. Ekor mata ini menangkap Nindi dan Sani melambaikan tangannya ke arahku. 

"Mang Burhan udah berapa tahun kerja di sekolah ini, Mang?" tanyaku saat di parkiran motor. 

"Udah puluhan tahun, Neng, semenjak sekolah ini berdiri saja. Ini tasnya, Neng." Mang Burhan menyerahkan kembali tas sekolahku. 

"Wah, udah puluhan tahun, berarti aku belum lahir, dong." Aku akan diantar oleh Mang Burhan menaiki motor tua miliknya.  

"Neng, tadi kesurupan memangnya lihat apa, Neng?" Tiba-tiba Mang Burhan bertanya demikian.

"Hmmm, awalnya, sih, aku lihat d-dia, Mang," kataku pelan. 

"Dia? Anak yang ngelahirin di kelas IPA satu kemarin itu, ya?" tanya Mang Burhan. 

Aku hanya menganggukan kepala saja. 

"Kok, sama apa yang dilihat anak-anak lainnya yang kesurupan hari ini?" 

Sebenarnya aku malas membahas lagi tentang Farah, tetapi perkataan Mang Burhan barusan sontak membuatku tertarik dan penasaran. 

"Apa, Mang? Mereka juga lihat dia?" 

Berarti bukan aku saja yang ditampakkan oleh penampakan Farah. Apa mereka pun dipertontonkan oleh kejadian kelam yang menimpa Farah? 

"Udah puluhan tahun Mamang kerja di sekolah ini. Baru kali ini merasa diteror sama hantu," ucap Mang Burhan sembari mengenakan helm. 

"Diteror sama siapa, Mang?" Aku pun disodorkan helm olehnya. 

"Ya, sama anak perempuan itu, Neng. Kemarin pas sekolah udah bubaran, kelas IPA satu 'kan lantainya penuh darah bekas lahiran dia. Mau tak mau, Mamang yang harus bersihin. Memang sudah tugas Mamang, tapi yang anehnya 'tuh, berapa puluh balikan bersihin darah itu sampe Mamang ngos-ngosan, darahnya kagak bersih-bersih. Bau anyir lagi. Pokoknya aneh banget, tadinya Mamang udah mau nyerah karena habis tenaga Mamang buat bersihin itu darah. Cuma Mamang nyeletuk aja ngomong gini, 'Neng, kamu yang tenang, ya, di sana. Ini darahnya Mamang ikhlas buat bersihin, jadi jangan usilin Mamang lagi, ya.' Percaya enggak percaya, Neng. Satu kali ngelap aja, akhirnya itu darah bersih juga." 

Pengakuan dan penjelasan Mang Burhan mampu membuat buluk kudukku meremang lagi. 

"Mang Burhan, buang lap bekas bersihin darahnya ke mana? Lap bekas darahnya pasti banyak, ya, Mang?" Mang Burhan menyalakan mesin motornya, dan menyuruhku untuk segera naik. 

"Mamang buang ke tempat sampah belakang kelas yang letaknya dekat sama kelas IPA satu sama kelas Bahasa tiga, Neng." 

Ya, ampun, itu 'kan kelasku. Pantas saja Farah tadi berada di daerah situ. 

"Lah, kirain sama Mamang lapnya dikubur?" Menurutku memang seharusnya dikubur saja. 

"Ya, ya. Nanti ajalah pas pulang nganterin Neng ke rumah. Ayo, kita berangkat, ya, Neng. Bissmillah." Mang Burhan melajukan motornya menuju rumahku sesuai petunjuk arahanku. 

"Neng, dia sampai ngikutin Mamang ke rumah, loh, malam-malam." 

Mang Burhan mengemudikan motornya dengan pelan, jadi ucapannya yang cukup keras masih terdengar olehku saat di jalan. 

"Apa, Mang? Ngikuti Mamang gimana?" Aku juga mengeraskan suara. 

"Tengah malam 'tuh Mamang denger tangisan perempuan, tapi lama-lama dia nyanyi-nyanyi gitu ampe hampir mau subuh." 

Aku tak bicara dan menjawab lagi. Terlalu banyak pertanyaan yang berlalu-lalang di pikiran ini. 

"Mang, di depan belok kanan, ya, ada pagar hijau berhenti di situ aja."

"Alhamdulillah sampai, ini rumah kamu, Neng?"

Mang Burhan menghentikan motornya tepat di depan pagar rumah Mama sesuai permintaannku. Aku kemudian segera turun dari motornya dan melepaskan helm. 

"Ya, Mang, tepatnya rumah mamaku, sih, Mang." Aku terkekeh. 

"Di rumah ada orang 'kan, Neng? Mamang pamit dulu, ya. Lekas sembuh." 

"Ya, Mang, ada abangku. Mamang mau minum dulu?" tawarku kepadanya. 

"Enggak usah, Mamang mau nguburin lap-lap kemarin. Pamit, ya, Neng. Assalammualaikum!" 

"Waalaikumsalam, makasih banyak, ya, Mang," jawabku sembari memerhatikan punggung Mang Burhan yang lama-lama menghilang bersama laju motor tuanya. 

"Assalammuakaikum! Bang Andri!" Aku berteriak saat di depan pintu seraya mengetuk-ngetuk pintu cukup kencang. Pasti abangku masih tidur jam segini. 

Beberapa menit menunggu, akhirnya Bang Andri membukakan pintu juga. 

"Lah, ini jam berapa? Udah jam satu apa, Dek? Waduh, gawat! Abang ada janji sama si Wendi mau jalan jam setengah dua belas." Bang Andri memasang wajah kebingungan dan panik. 

"Baru jam sepuluh, Bang. Adikmu ini sakit, jadi disuruh Bu guru pulang lebih awal." Aku lekas masuk ke rumah melewati abangku itu yang masih kebingungan. 

"Sakit apa kamu, Dek? Perasaan tadi pagi baik-baik aja, deh." Bang Andri mendaratkan punggung tangannya pada keningku cukup keras. 

"Aduh! Sakit, Bang! Ngapain, sih, megang-megang segala?" Aku refleks memukul tangannya. 

"Mau mastiin kamu panas kagak? Suhu badanmu biasa-biasa aja. Nah, loh, sakitnya bohongan, ya?" tuduh Bang Andri sambil menggodaku. 

"Au, ah, gelap!" Aku segera masuk ke kamar sembari membanting pintu. 

Perut ini mendadak melilit, dan aku baru sadar minggu ini jadwalku datang bulan. Segera aku memeriksanya, dan betul saja. Ternyata ada bercak darah pada celanaku.

*****

Sore hari, setelah bangun tidur sejak dari siang tadi, tubuhku terasa lebih enakan. Kepala pun berangsur membaik setelah minum obat pereda nyeri. Aku masih memikirkan soal kejadian di luar nalar tentang Farah yang memberi petunjuk lewat rekaman kejadian di kamar itu. 

Kira-kira siapa pria yang telah berbuat jahat kepadanya? Sayangnya, wajah pria itu tak ditampakkan kepadaku. 

Menurut petugas yang memakamkan jasad Farah kemarin sore, bayi Farah terlahir prematur. Tebakkanku usia kandungan Farah saat melahirkan kemarin, mungkin berusia sekitar tujuh sampai delapan bulan. 

Berarti, Farah sudah terdaftar jadi murid di sekolahku. Karena bulan ini, sekolah sudah memasuki semester dua. Dan beberapa bulan ke depan, kelas tiga akan melaksanakan ujian akhir kelulusan sekolah. 

"Dek! minta deodorant, dong! Punya Abang habis." Bang Andri tanpa permisi dan mengetuk pintu terlebih dulu, sekonyong-konyong datang ke kamarku hanya mengenakan kaos oblong dan celana boxer. 

Tunggu dulu, ada yang membuat aku memicingkan mata. Celana boxer yang Bang Andri pakai .... 

Mirip seperti yang dikenakan oleh pria yang melecehkan Farah. 

Apa mungkin, Bang Andri pelakunya? 


🅟🅐🅡🅣 ➐

 
"Dek! Hai! Malah diem. Abang minjem deodorant, dong, kamu nyimpennya di mana, Dek?" Bang Andri mengacak-acak tempat kosmetik punyaku yang berada di meja tempat belajar. 

Aku berdehem keras seraya melirik sinis ke arahnya, "Hmmm! Eheeem!"

"Kenapa? Kamu batuk, Dek? Mau minum?" 

Bang Andri tak mengerti arti dari dehemanku yang tandanya adalah kode untuk dia, agar tak seenaknya jika berada di kamar adik perempuannya ini. 

"Bang! Kalau parfum, sih, boleh aja Abang minta. Aku enggak keberatan, tapi kalau deodorant aku enggak mau ngasih, apalagi Abang bilangnya minjem. Deodorant 'kan dipake diketek, Bang! Enggak mau aku bertukar bekas ketek sama Abang. Aku enggak akan ngasihin!" Aku berkata ketus kepada abangku yang terkadang tak tahu diri. 

"Ya, elah, Dek, pelit amat jadi seorang adik. Ya, udah, Abang beli aja di warung. Minta duitnya, dong, Dek, lima ribu perak doang. Uang Abang nyisa tinggal buat beli bensin, nih." Bang Andri memperlihatkan uang selembar berwarna ungu dari saku celana boxernya. 

"Bang, nyari kerja sana! Jangan maen mulu sama temen-temen Abang yang kagak jelas juntrungannya itu. Kalau nyari temen 'tuh yang ngajak sama jalan kebaikan, bukan ngajak ngelayap mulu. Temenan sama penjual parfum, bakal wangi parfum. Kalau temenan sama penjual ikan asin, bakal bau ikan asin. Ngertikan maksudku, Bang?" Aku berharap Bang Andri bisa mikir buat nyari kerja. Kasihan Mama. 

"Hilih! Anak kecil udah berani, ya? Mentang-mentang anak bahasa pake ceramahin abangnya ini pake peribahasa segala. Abang juga bisa, dong. Tong kosong nyaring bunyinya. Hahaha!" Bang Andri terpingkal seperti tak ada beban. 

"Abaaang!" Aku mendelik dan berteriak lagi kepadanya. 

"Minjem dua rebu ajalah, Dek." Bang Andri memasang muka memelas. 

"Eh, Bang, sini, deh! Aku mau tanya sesuatu." Aku memelankan nada suaraku. 

"Sesuatu? Kayak lagu Syahrini aja, Dek." Dia terus menggodaku dengan candaannya. 

"Bang, itu kolor yang Abang pake, aku berasa baru lihat. Kolor baru, ya, Bang?" tanyaku sedikit sok tahu. 

"Ya, nih, celana ini dulu oleh-oleh dari si Wendi habis liburan dari Jogyakarta. Anak-anak yang lain pun pada dikasih. Samaan lagi motif sama ukurannya. Abang lupa aja nyimpen ini celana di mana, dulu. Eh, pas tadi bongkar lemari baju mau nyari duit, ketemu, deh, nyempil ditumpukkan baju paling bawah. Untung masih bisa kepake ini celana. Soalnya abangmu ini bisa menjaga keatletisan postur tubuh. Padahal, celana ini dikasih si Wendi dari sekitar delapan bulan yang lalu 'lah." 

Panjang lebar Bang Andri bercerita. Rasanya ada sesuatu yang membuatku tertarik pada ceritanya. 

Delapan bulan yang lalu itu, sekitar awal-awal semester satu masuk kelas tiga. Dan Farah sudah pindah sekolah ke SMA-ku, juga sudah tinggal di daerah sini, bersama bibinya mengontrak rumah. 

Apa teman-teman Bang Andri yang punya celana boxer yang sama, àda hubungannya dengan Farah?

Ah, aku harus menepis semua prasangka dan rasa overthingking dari benakku. Aku tak mau ambil pusing.

Untuk saat ini, aku merasa lega bahwa Bang Andri setidaknya bukanlah pria satu-satunya yang memakai celana boxer sama dengan pria dalam rekaman kejadian pahit menimpa Farah. Aku harap memang bukan abangku pelakunya. Semoga saja. 

"Hai! Dek! Malah melamun lagi. Mana uangnya?" Bang Andri membuka telapak tangannya dengan lebar seolah sedang meminta uang pungli. Mau tak mau, aku memberinya juga uang jatah jajanku. 

Setelah kuberi uang, Bang Andri langsung menancap gas motor pergi dari rumah meninggalkanku sendirian di sini, sedangkan Mama minggu-minggu ini sering pulang malam karena harus kerja lembur. 

*****

Magrib pun tiba, dan sudah kuduga sebelumnya. Bang Andri bakal pulang lewat dari Magrib. Karena merasa bosan terus rebahan di kamar, aku duduk di kursi ruang tamu sembari memainkan ponsel. 

Sudah lama aku tak membuka aplikasi Facebook. Karena kesibukkanku belajar akhir-akhir ini. 

Ternyata banyak pesan dari aplikasi biru itu memenuhi inbox-ku. Aku lalu membuka satu persatu pesan dari beberapa orang teman SD yang menanyakan soal kepergian Farah. Meskipun oleh pihak sekolah sudah dirahasiakan tentang kejadian yang menggegerkan kemarin, tetapi mulut penggosip lebih cepat menyebar informasi seperti team Lambe Turah. 

Aku hanya menjawab seadanya saja pertanyaan-pertanyaan dari mereka. Aku tak ingin menjawab di luar urusanku. 

Praaang! 

Tiba-tiba terdengar suara benda terjatuh dari arah dapur. Aku berpikir positif, mungkin itu ulah si Cimon—kucing peliharaan Mama. 

"Cimon! Sini! Pusss, meong, meong!" Untuk memastikan kebenarannya, aku memanggil-manggil hewan berbulu itu. 

"Meooong." Benar saja, Cimon berlari menghampiriku. Kucing berbulu hitam lebat tersebut mengelus-elus kaki ini. Seperti kebiasaannya. 

Aku kembali chatting-an dengan teman-teman yang mengirimkan pesan lewat inbox. Sesekali aku memeriksa beranda. Berandaku dipenuhi kabar soal kesurupan masal yang terjadi siang tadi dari akun teman-teman SMA-ku. Lagi-lagi, pasti nama Farah disebut. 

Saat aku masih membuka aplikasi Facebook, di atas layar ponsel ada notifikasi pesan Whatsapp masuk dari Mama. Lekas aku membuka pesan dari Mama. 

[Yan, kayaknya Mama pulang jam sembilan, soalnya kerjaan Mama belum beres. Ini Mama baru selesai salat di mushola. Abangmu ada di rumah enggak, yan?] pesan dari Mama. 

[Ya, Ma, enggak apa-apa. Bang Andri dari sore pergi, Ma, belum pulang,] balasku cepat. 

[Dasar 'tuh si Andri! Biar nanti Mama gembok gerbangnya kalau Mama pulang. Ya, udah, kamu hati-hati di rumah, ya,] ketik Mama mengakhiri pesan. 

Aku kembali membuka Facebook. Karena penasaran siapa yang tengah online, aku kemudian mengaktifkan pengaturan status aktif sebagai penanda bahwa seseorang sedang aktif berselancar di-Facebook. Biasanya, aku lebih nyaman untuk menonaktifkan pengaturan tersebut. 

Setelah aku mengaktifkan status aktif, sekarang aku tahu siapa saja teman friend list-ku yang sedang online. Namun, aku tercekat ketika akun Facebook milik Farah lampu hijaunya sedang menyala. 

Praaang! 

"Astagfirullah!" 

Suara benda terdengar terjatuh, tetapi sekarang dari arah kamar mandi. Aku yakin bukan Cimon pelakunya. Karena Cimon sedang tidur di sampingku. 

"S-siapa di sana?" 

 

🅟🅐🅡🅣 ➑

Perasaan dan pikiran ini menjadi tak karuan, apalagi aku sedang sendirian di dalam rumah. Dengan ragu aku beranjak dari kursi seraya menggeletakkan ponsel yang membuat pusing. Aku kemudian berjalan menuju kamar mandi untuk memeriksa benda apa yang terjatuh tadi. 

Saat hendak membuka handle pintu, aku mendengar suara seseorang seperti tengah menyeruput sesuatu, terdengar nikmat sekali. Mirip dengan suara orang yang sedang menyantap semangkuk mie rebus dan menyeruput kuahnya. 

Pelan-pelan aku membuka pintu. Dan apa yang aku dapat? Dengan sepasang mata kepalaku sendiri, sesosok perempuan berambut panjang yang tak terlihat wajahnya karena posisi badannya menyamping dari arah pintu, tengah menjilati pembalut bekas punyaku. 

Ya, ampun, aku sampai lupa untuk mencuci noda darah pada pembalut itu dan hanya menggeletakkannya saja di lantai kamar mandi.

Tadi, aku buru-buru keluar kamar mandi lagi, saat sudah selesai mengganti pembalut baru. Karena Bang Andri berteriak menyuruhku untuk mengunci pintu rumah. 

"Astaghfirullah. S-siapa kamu? Letakkan itu! P-pergi! Pergi kamu dari sini!" hardikku sok berani dari ambang pintu. Aku merasa jijik melihat kelakuannya yang berani menjilati darah haidku. Namun, saat dia membalikkan wajah ke arahku. Rasanya jantung ini hampir mau copot. Ternyata sosok itu adalah Farah. 

"F-farah?" Sosok Farah menyeringai, tatapannya terlihat menyeramkan.

"Aku mohon, Farah, jangan selalu menampakkan diri seperti ini. Memangnya salahku apa sama kamu? Kenapa saat kamu masih hidup, seolah dirimu menjaga jarak, tapi kenapa saat kamu sudah berbeda alam denganku. Kamu selalu datang seperti sekarang ini?" 

Sebenarnya, aku sangat ketakutan melihatnya yang berada tepat dihadapanku, tetapi sebisa mungkin, aku harus dapat menguasai diri agar tak kesurupan seperti siang tadi di sekolah. Apalagi posisiku sekarang sedang sendirian. 

Bukannya Farah cepat pergi atau menghilang, dia lantas mendekat ke arahku. Dan entah kenapa, kakiku mendadak tak bisa bergerak. Seperti ada sesuatu yang menahan dan mencengkram kaki ini. 

Tepat beberapa senti meter saja jarak Farah denganku, dia menangis lagi sembari mengangkat dan menggerakkan kedua lengannya. Gerakannya mirip dengan seorang Ibu yang tengah mengayun-ambingkan bayinya. 

"Hmmm ... hmmm ... hmmm ...." 

Setelah berhenti menangis, Farah bersenandung tanpa mengeluarkan suara. Dia terdengar menggumam. 

Ada hal yang berbeda, memang aku takut didekati olehnya, tetapi ketika melihat keadaannya seperti ini, hatiku merasa iba. Aku merasa, dia masih ingin hidup membersamai bayinya. 

"F-farah ... ikhlaskan semua. Ini sudah suratan takdir." Aku mencoba berkomunikasi dengan Farah. 

Dia berhenti bersenandung, tangannya pun kembali diturunkan pada posisi semula. 

"F-farah, sebenarnya apa yang ingin kamu sampaikan? Katakan kepadaku!" 

Farah merundukkan kepalanya kembali seraya berbalik arah berjalan menembus tembok. 

Alhamdulillah seketika kakiku bisa digerakkan lagi setelah Farah menghilang dari kamar mandi. 

Aku segera mencuci pembalut bekasku, memasukkannya pada kresek hitam, lalu membuangnya ke tempat sampah. Ini semua memang keteledoran dan kecerobohanku semata. 

Jam menunjukkan sudah jam sembilan malam kurang beberapa menit, Mama sebentar lagi akan pulang. Namun, benar kata Mama, Bang Andri sudah jam segini belum pulang juga. 

"Assalammualaikum! Yan! Yani!" 

Panjang umur, Mama akhirnya pulang juga. Kontan hatiku merasa senang dan tentu saja tenang. 

"Waalaikummsalam, Ma," jawabku seraya meraih dan mencium punggung tangannya. 

"Andri belum pulang?" Raut wajah Mama terlihat kesal, padahal baru saja dia sampai di rumah. 

"Belum, Ma." 

"Yan, tolong ambilin kunci gembok di lemari sana," pinta Mama sembari tangannya bersedekap. 

Lekas aku meraih kunci gembok pintu gerbang yang ukurannya cukup berat. 

Mama lalu mengajakku keluar untuk membantunya menggembok pagar. 

"Ma, kasihan juga Bang Andri nanti enggak bisa masuk rumah." Mungkin Mama sudah sangat kesal kepada abangku satu-satunya itu, tetapi aku pun merasa kasihan juga kepada abangku. 

"Udah biarin. Biar dia tahu rasa! Habisnya kelayapan mulu. Pasti dia pergi sama teman nongkrongnya yang pada enggak jelas itu."

Mama masuk ke kamarnya. Mungkin dia sudah sangat lelah. 

"Yan, jangan lupa tutup gorden jendela depan, ya! Mama udah ngantuk banget," suruh Mama sembari menelengkan kepala di ambang pintu kamarnys. 

"Ya, Ma." 

Ketika aku mau menutup tirai jendela depan yang terbuka setengahnya, ayunan yang tergantung di pohon mangga kulihat bergerak-gerak sendiri. Padahal daun-daun pohonnya sama sekali tak bergerak jika itu karena tiupan angin. 

*****

"Yan! Buka! Yan!"

Suara berisik terdengar dari arah luar pagar. Aku melirik jam di ponsel, sekarang sudah jam satu malam. Pasti itu Bang Andri yang berteriak. 

Bang Andri memang sudah kelewatan, jam segini baru pulang. Aku kemudian meraih earphone dan menyetel musik slow dari ponsel, agar tak mendengar lagi teriakkan dan suara-suara aneh dari luar. Aku ingin tidur dengan tenang. Dan memang benar, caraku berhasil. Lambat laun aku terlelap kembali semakin dalam sembari mendengarkan lagu. 

*****

"Yan! Yani! Bangun!" Suara Mama terdengar, berarti batrai ponselku habis karena suara musik tak lagi terdengar di telinga. 

"Y-ya, Ma." Aku membuka mata dan earphone yang masih terpasang di telingaku. 

"Kamu enggak salat? Ini udah Subuh." Mama menunjuk pada arah jam dinding. 

"Aku lagi haid, Ma." 

"Oh, ya, udah kalau mau tidur lagi. Nanti Mama bangunin kamu jam enam." Mama memang sangat pengertian. 

"Ya, Ma. Eh, Bang Andri gimana, Ma? Mama sampai sekarang enggak buka gembok gerbangnya, Ma?" tanyaku seraya menggeletakkan ponsel di meja samping kasur. 

"Dia pulang sekitar jam sebelas, dia nelepon Mama. Dia minta maaf dan berjanji enggak akan pulang lewat jam delapan malam lagi. Mama kasihan juga sama abangmu. Jadi, Mama bukain aja gemboknya. Kamu kayaknya udah tidur pulas, deh, semalam." Perkataan Mama membuatku bingung. Bukannya jam satu malam, Bang Andri teriak-teriak memanggil namaku dari luar gerbang? 


🅟🅐🅡🅣 ➒

Mama keluar lagi dari kamar meninggalkan aku dengan rasa kebimbangan ini. Firasatku mengatakan, sepertinya yang berteriak kemarin bukanlah suara teriakkan seorang manusia, tetapi ... ah, entahlah. Lebih baik aku tidur lagi, mumpung belum jam enam pagi. 

"Dek, plis, deh, kalau nyanyi 'tuh, enggak usah tengah malam kayak kemarin, dong. Berisik, tau! Ganggu orang lagi tidur, aja. Kalau suaranya enak didenger, sih, agak mending. Ini, nyanyi lagu horor. 'Kan bikin merinding, Dek."

Tak ada angin maupun tak ada hujan. Bang Andri tiba-tiba ngomel tak jelas kepadaku, saat kami sedang berada di meja makan.

"Apaan, sih, Bang? Nyerocos kayak emak-emak. Siapa yang nyanyi? Kapan? Kagak ada kerjaan banget nyanyi malam-malam," umpatku seraya memutar mata malas. 

"Hah? Siapa yang nyanyi? Ya, kamu 'lah. Masa Mama? Ya, 'kan, Ma?" Bang Andri tak berhenti berdebat denganku.

"Mama enggak denger 'tuh, Dri, ada yang nyanyi malam-malam seperti katamu. Tidur Mama pulas, kali, ya?" Kata-kata Mama berbeda dengan yang diucapkan Bang Andri. 

"Jam berapa, sih, Bang, Abang denger suara orang yang nyanyi itu?" Aku tak mau dituduh olehnya. 

"Sekitar jam satuanlah, nyanyianmu sedih gitu, bikin merinding. Apa kamu ngigau, Dek?" Bang Andri masih yakin bahwa itu adalah suaraku. 

"Jam satu? Sumpah, deh, Bang. Aku enggak nyanyi. Suer, deh!" Aku mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah bersamaan ke arah Bang Andri. 

"Terus, siapa yang nyanyi? Suaranya dari kamarmu, kok, Dek." Saat Bang Andri berkata demikian, tengkuk leher ini mendadak mendingin. 

"Udah-udah! Kalian ini kayaknya pada kelelahan, deh. Suka berhalusinasi pada enggak jelas. Mama enggak pernah denger atau lihat yang aneh-aneh, kok." 

Mau heran, tetapi memang benar. Mama tak pernah mengeluhkan hal yang sama seperti yang aku dan Bang Andri alami beberapa hari ini, semenjak kepergian Farah. 

"Eh, Bang. Sekitar jam satu malam juga, aku pun denger ada orang teriak- teriak di luar gerbang manggil-manggil namaku. Mana gerbangnya dia ketok-ketok lagi. Berisik banget pokoknya, aku pikir Abang baru pulang, tapi kata Mama, Abang semalam pulang jam sebelas. Terus, siapa, ya, orang yang teriak-teriak kemarin?" Aku masih penasaran tentang kejadian semalam. 

"Ya, bukan Abanglah, adekku sayang. Ntar kalau Abang teriak-teriak di luar rumah, dikira Abang diusir sama Mama. Malu, dong." Bang Andri langsung membantah dugaanku. 

"Kamu juga, Dri. Awas kelayapan di atas jam delapan malam lagi. Mama usir beneran kamu!" ancam Mama serius. 

"Ya, Bu Kapolda." 

Hari ini, hari kamis. Karena Mama merasa khawatir dengan kondisi badanku, Mama menyuruh Bang Andri mengantarku ke sekolah pagi ini. 

"Bang, teman kamu yang namanya Wendi tinggal di mana, sih?" tanyaku saat dalam perjalanan menuju sekolah.

"Wendi? Ngapain tanya-tanya dia, Dek?" Bukannya menjawab, dia malah bertanya balik kepadaku. 

"Nanya doang, Bang." Aku menjawab malas. 

"Dia tinggal di Kompleks belakang, tapi dia sering nongkrong di tempat kita." Bang Andri menjawab dengan suara cukup kencang. 

"Emang bener, ya, Bang, dia pernah naksir sama Farah?" tanyaku lagi. 

"Dulu, Wendi bilangnya gitu, tapi enggak tahu juga." Abangku itu mengangkat kedua bahunya. 

"Emangnya dia suka ketemu Farah di mana, Bang? Sampe bisa naksir dia?" Aku belum puas bertanya. 

"Ya, pas si Farah sering lewat pos malem-malem. Dia 'kan suka pulang jam sembilan atau jam sepuluh sendirian. Enggak tahu 'tuh anak perempuan sering keluar malam mau ke mana, ya? Eh, ngapain, sih, bahas dia? Kan Farah udah mati." 

Lagi-lagi aku dibuat tercengang soal berita tentang Farah. Memangnya dari mana dia, pergi sendirian di atas jam delapan malam? 

"Dah sampe, turun cepetan!" seru Bang Andri sembari menyodorkan punggung tangannya, agar aku mau menciumnya. 

"Ya, ini juga aku mau turun. Masa, mau ikut balik ke rumah lagi, sih, Bang?" Bukannya aku meraih tangannya, aku cepat menepisnya kasar. 

"Dek, salam buat Nindi, ya." Abangku tiba-tiba membuka helm dan menyugar rambutnya. Tatapan matanya pun tertuju lurus kepada gadis berambut sebahu yang melambaikan tangan ke arahku dari depan gerbang sekolah. Dia Nindi. 

"Huh! Dasar buaya!" ketusku sembari berlalu meninggalkannya.

"Nin, ada salam 'tuh dari abangku." Aku menunjuk ke arah Bang Andri yang masih menatap Nindi dari atas motornya. 

"O-oh." Nindi kikuk sembari melempar senyum yang dipaksakan kepada Bang Andri. 

"Yan, kamu dah mendingan?" 

"Alhamdulillah, Nin, ternyata aku kemarin haid. Makanya kepalaku pusing." Aku lalu menggandeng lengan Nindi. 

"Sekarang mau diadakan doa bersama di sekolah selama seminggu, Yan. Kemarin Pak kepala sekolah sendiri yang memberi tahu. Doanya ditujukkan untuk almarhumah Farah." 

Alhamdulillah, ini kabar baik. 

Setelah kami selesai mengadakan doa bersama di aula sekolah, kami kemudian kembali ke kelas masing-masing. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hati. Bayangan Farah begitu melekat di benak dan hatiku. Seolah, Farah sedang berada di sini dan dia tengah menangis.

"Gila, aku kapok. Enggak mau lihat-lihat ponsel dulu." Sinta terdengar bersungut-sungut sembari berjalan menuju kelasnya.

"Kenapa memangnya, Sin?" tanya seorang temannya. 

"Pas aku muter rekaman si Farah waktu di rumah. Tiba-tiba dia nampakin diri di kamarku malam-malam. Terus kemarin malam 'tuh, ada suara perempuan nangis di kamar mandi. Padahal aku yakin di kamar mandi enggak ada siapa-siapa. Hih, ngeri juga. Aku jadi nyesel suka mem-bully dia waktu masih hidup." 

Sontak langkahku di belakang Sinta terhenti, ketika mendengar pengakuannya yang membuatku kesal. Sinta memang merekam video waktu Farah sedang bertaruh nyawa ketika melahirkan bayi mungil tak berdosa itu. Dan ternyata, Farah selama ini suka mendapatkan perundungan dari Sinta. 

Percuma menjadi siswi tercantik, terpopuler, dan terpintar. Jika, sering menyakiti seorang teman. 


🅟🅐🅡🅣 ➊⓿


Kuping ini rasanya panas mendengar obrolan mereka. Tanpa berpikir panjang, aku hampiri saja mereka. 

"Maaf, Sin, tadi aku enggak sengaja denger dari belakang, kamu lihat Farah di rumahmu, ya? Apa bener, Sin?" tanyaku basa-basi. Padahal rasanya aku kesal kepada Sinta. 

"Ya, bener, Yan. Udah mati aja, itu anak hamil di luar nikah yang sok pintar masih aja gangguin aku." Sinta lagi-lagi mencela Farah. 

"Loh, kok, kamu ngomongnya gitu, sih, Sin?" Aku kesal. Kenapa Sinta terlihat sebegitu bencinya kepada Farah?

"Kamu mau tahu alasannya? Semenjak dia pindah ke sekolah ini. Dia menggeser posisiku, dia pun selalu diikut sertakan dalam berbagai lomba. Selalu dipuji-puji pula sama guru, tapi apa? Ternyata dia perempuan murahan, dia hamil di luar nikah." 

Dadaku bergemuruh, tanganku refleks  terangkat ke atas. Ingin sekali menamparnya, tetapi gegas aku beristighfar. 

"Kenapa, Yan, tanganmu ngangkat-ngangkat kayak begitu?" tanya Sinta sembari mendelik sinis ke arahku. 

Aku kikuk dan salah tingkah untuk menjawabnya. 

"E-eh, ini, Sin, ini tanganku pegal banget rasanya." Aku pura-pura melakukan gerakan senam. 

"Eh, Yan, awalnya 'kan kamu yang kesurupan kemarin 'tuh. Apa kamu sama kayak aku, lihat dia di kelas?" Sinta tiba-tiba bertanya demikian. 

"Aku memang lihat sosok Farah, tapi bukan di dalam kelas. Dia ngintip di jendela luar kelasku. Terus, dari sana aku enggak inget apa-apa lagi." Aku. menjelaskan sembari mengingat-ingat kejadian kemarin. 

"Oh, kalau aku lebih parah lagi berarti. Waktu kemarin mau ngambil pulpen di bawah lantai, aku lihat ada sepasang kaki yang enggak nyentuh lantai, enggak pake sepatu juga. Kaget, dong, kaki siapa itu? Lantas aku nengok ke belakang. Ternyata ada si Farah lagi baca buku gitu. Mukanya pucat banget, tapi dia enggak pake kerudung. Rambutnya di kepang dua kayak pertama kali pindah ke sekolah ini." Sinta menjelaskan dengan antusias. 

"Ya, ampun, serem amat, Sin. Pantes aja kemarin kita disuruh mengosongkan kelas. Mana bau anyir lagi di kelasnya."

Kini Ana—teman Sinta yang berbicara. 

"Ya, udah, teman-teman. Lebih baik kita doakan dia saja semoga dia tenang. Oh, ya, bukannya kamu merekam video Farah waktu dia melahirkan, ya, Sin? Bisa kirim ke nomor aku enggak?" tanyaku agar mendapatkan rekaman video terakhir Farah. 

"Oke, boleh. Berapa nomor WA kamu, Yan?" Sinta tak keberatan untuk membagi video itu. Aku pun segera merogoh ponsel yang aku simpan di saku seragam. 

"08790875433." Aku menyebut dan mengulang nomor teleponku agar tak salah. 

Beberapa detik kemudian, ada notifikasi dari nomor Sinta yang belum aku simpan. 

"Udah masuk 'tuh, Yan." Sinta menggerakan dagunya. 

"Ya, sudah. Makasih, ya, Sin. Oh, ya,  memangnya untuk apa kamu mengambil rekaman video Farah?" tanyaku. 

"Ya, mau aja. Kamu kenapa minta juga videonya?" Sinta balik bertanya. 

"Aku mau lihat, dia meninggal 'tuh karena apa.? Pendarahan apa plasenta bayinya naik lagi ke atas paru Farah?" Aku menjawab. 

"Rajin amat mau cari tahu, Yan, udah kayak team penyidik aja." Sinta tergelak. Dia pun terlihat menyepelekan aku dengan tatapannya. 

"Sin, sebaiknya kamu hapus video rekaman Farah. Biar hidupmu tenang. Bukannya tadi kamu bilang, sosok Farah datang saat kamu memutar video itu?" Aku harap Sinta mau menghapusnya. 

"Ah, enggak mau. Siapa tahu kalau aku viralkan, aku jadi terkenal." Sinta kembali terbahak tanpa merasa menyesal sedikit pun. 

"Astaghfirullah, Sin, kasihan Farah. Dia sudah tak ada. Masa, kamu mau mempermalukan dia?" Aku tak menyangka Sinta memiliki sifat yang buruk seperti ini. 

"Bawel amat, bukannya ucapin makasih sama aku. Dahlah. Ana! Buruan pergi, yuk!" Sinta memasang muka  judes. Dia pun menyeret tangan Ana untuk segera pergi. 

Hatiku merasakan sakit hati yang dirasakan Farah, dan kenapa tiba-tiba aku ingin sekali menangis?

Farah, sebenarnya ada apa ini? 

Saat jam istirahat, aku pergi ke kantin sendirian. Karena Nindi sedang puasa sunah senin-kamis. Dan soal kematian Farah, masih ramai diperbincangkan di sekolah ini. Apalagi setelah kemarin ada kejadian kerasukan masal, sampai sekolah melaksanakan doa bersama hari ini. 

Di kantin, aku melihat Rahmat sedang duduk sendiri seraya menikmati semangkuk mie ayam pesanannya. 

"Mat, aku boleh duduk di sini?" tanyaku sembari membawa semangkuk bakso.

"Boleh, dong." Dia mempersilakanku untuk duduk. 

"Mat, aku mau nanya, boleh?" Aku mendaratkan pantat pada bangku dan menaruh mangkuk di meja. 

"Tanya aja. Ada apa?" 

"Farah. Awalnya kalian tahu dia kesakitan itu bagaimana?"

Rahmat berhenti sebentar menikmati makanannya. 

"Hari itu, guru biologi belum datang. Kita lagi bercanda-bercanda aja. Si Farah biasa, dia mah suka duduk aja di bangkunya sambil baca-baca. Eh, dia tiba-tiba megangin perutnya bilang sama Nita katanya perutnya sakit." Rahmat terlihat serius. 

"Terus, si Nita tanya kenapa? Apa dia mau BAB atau lagi haid? Farah cuma geleng-geleng, terus badannya ambruk ke lantai. Si Nita manggil kita, buat bantuin Farah yang udah keringetan, dan tak lama dia pun ngompol." 

Tak terbayang olehku, begitu kesakitannya Farah menghadapi itu semua. 

Yang dimaksud air ompol, mungkin itu air ketuban. 

"Aku langsung lari minta bantuan ke kelas kamu." 

Rahmat kembali menyantap mie ayamnya. 

"Mat, Farah gimana, sih, di kelas?" tanyaku belum puas. 

"Dia enggak pernah ngobrol sama kita-kita selain tentang pelajaran. Si Nita temen sebangkunya aja jarang ngobrol sama dia, kalau enggak ada hal yang penting. Makanya kita kaget, dong, kok, dia hamil?" Rahmat menggeleng-gelengkan kepala. 

"Apa kalian enggak ada yang curiga sama perubahan badan Farah? Apa kalian enggak sadar dia hamil?" Sebenarnya aku pun tak melihat perubahan bentuk badan Farah. Mungkin teman sekelasnya ada yang menyadarinya. 

"Enggak. Dia 'kan beberapa minggu ke belakang suka pake kerudung. Jadi, sama sekali kita enggak ada yang tahu dia lagi hamil. Makananku udah habis, Yan. Aku masuk kelas  duluan, ya!"

Ketika Rahmat hendak beranjak dari bangku kantin, aku mencegahnya. 

"Sebentar, Mat. Apa teman-teman sekelasmu sering melakukan perundungan kepada Farah?" 

Wajah Rahmat tiba-tiba berubah. Seolah dia sedang menutupi sesuatu hal tentang Farah dan teman sekelasnya. 


Bersambung. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya MELAHIRKAN SAAT JAM PELAJARAN SEKOLAH Part 11-20
5
1
Pada jam mata pelajaran sedang berlangsung, kami dikejutkan dengan kejadian tak biasa dari ruang kelas IPA 1. Kelas di mana anak-anak pintar berkumpul.Farah yang dikenal sebagai seorang siswi pendiam, pemalu, dan introvert itu, tiba-tiba melahirkan di kelas.Namun, sungguh disayangkan nyawanya tak tertolong sebelum dia mengatakan siapa ayah biologis dari sang bayi yang tak berdosa itu. Apakah dia hamil karena hubungan terlarang? Ataukah dia diruda paksa oleh seseorang?Yuk, subcribe cerita ini, ya, untuk mengetahui kelanjutannya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan