
Pertemuan daripada takdir yang telah ditentukan

PENGHUJUNG hari sudah semestinya indah dan semakin berjayalah dia jika berada di Pantai Senja. Lihat, langit biru berubah warna, menular kepada samudra, menjadi oranye yang terbentang hingga ke ujung dunia. Lihat, pawai udara dari para imigran yaitu burung-burung terbang memberi satu pesona tersendiri yang mampu menyenangkan hati. Lihat, para nelayan bersahut-sahutan sambil membawa jaring, sambil mendorong sampan, lalu pergi meninggalkan daratan. Di sisi lain, para peselancar sudah usai berselancar, para pedagang pun sudah usai berdagang, bahkan para pelancong sudah mulai berpulang, kembali ke permalaman mereka sendiri-sendiri. Namun para pelukis masih tetap ingin melukis, ialah makhluk-makhluk perusak pemandangan, pengacau ritual di penghujung hari.
"Selesai."
Rani melepas pengikat rambutnya dan pensil terselip di sela-sela telinga, dan Bintang tidak kunjung menutup mulutnya. Dia ternganga dengan sangat lebar sudah sejak awal Rani datang. Semakin lebar lagi sebab rambut Rani tergerai-gerai ditiup angin. Cantik, anggun, dan menawan. Sehingga kenikmatan terhadap semesta telah menjadi sirna dan mimpi-mimpinya pada kebebasan telah dilupakan. Sebab matanya hanya ingin tertuju kepada seorang perempuan, Rani, dan tidak mau ke lain hal.
"Silahkan."
Rani memberikan buku itu kepada Bintang, yaitu buku sketsa yang seharusnya sudah berisikan gambar wajah Bintang. Namun, lantaran Bintang tidak juga sadar-sadar, si lelaki gondrong⸺berikut akan kupanggil Si Gondrong saja sebab memang begitulah orang-orang memanggilnya⸺yang baru saja bangun dari pingsan langsung menggamparnya dari belakang, sambil dia berkata, "Kurang ajar!"
Tanpa ampun kemudian Rani menatap Si Gondrong. "Berlakulah dengan sopan, Drong. Bukankah dia adalah pelangganmu?"
"Pelanggan atau bukan, kelakuannya sudah berlebihan, Ketua!"
Lantaran dilahap oleh rasa cemburu sehingga dengan tanpa sadar dia jadi membentak sang pemimpin. Tak ambil tempo, Rani langsung tegak badan, berjalan mendekati Si Gondrong yang gelagapan.
"Ketua, berhenti! Setop! Dia melecehkanmu, Ketua. Aku hendak melindungimu. Tolong, Ketua, berhenti!"
Lagi, tendangan memutar kembali melayang tepat menuju wajah di sebelah kanan. Si Gondrong jatuh pingsan untuk kedua kalinya. Umpama pertandingan tinju, Si Gondrong sudah K.O. dengan sangat tidak elegan alias pecundang.
Adapun Bintang selepas digampar oleh Si Gondrong barusan, dia memang sudah langsung sadar, sudah pula tertutup mulutnya yang terbuka lebar itu. Namun kini dia jadi menunduk-nunduk, hendak menyembunyikan wajah yang sudah tertangkap basah jatuh cinta. Jiwa muda!
"Ini, lihatlah terlebih dahulu," ucap Rani yang sudah berada di sampingnya. "Jika tidak berkenan di hatimu, katakan saja. Nanti akan kuperbaiki kembali."
"Tidak usah. Tidak perlu."
Diambilnya buku itu dari tangan Rani, masih sambil menunduk-nunduk, dan tanpa sengaja tangan mereka saling bersentuhan. Sekonyong-konyong darah tersirap, naik hingga berkumpul di kepala, sampai rasanya ingin segera meletus. Lalu Bintang, dia ambil buku itu cepat-cepat dan dia tutupi wajahnya yang semakin berwarna merah merona. Istilah kata, malu-malu kucing. Ya, memang begitulah lelaki jika sudah jatuh cinta, apalagi cintanya adalah cinta yang pertama. Bahkan mereka akan bertingkah lebih perempuan dari para perempuan itu sendiri. Sungguh, jiwa muda!
"Terserah padamu," tutup Rani sambil kembali kepada tempat duduknya semula. Selepasnya dia keluarkan sebuah kanvas yang masih tertutup kain hitam. Menyusul kemudian sebuah penyangga lukisan. Lalu dia singkap kain hitam itu, maka mulailah Rani melukis, melanjutkan lukisannya yang tidak selesai malam tadi.
Agak lama kemudian Bintang mencuri intip. Sesudah memastikan tiada orang yang akan melihat dirinya tersipu malu, barulah dia memandang hasil daripada lukisan wajahnya. Dan begitulah Bintang menjadi terpesona untuk yang kesekian kali, namun kini kepada dirinya sendiri yang terlukis indah di atas kertas putih.
Lukisan itu tidak seperti yang semestinya. Ternyata bukan hanya ada wajahnya, namun bahkan seluruh tubuhnya, dari atas sampai bawah, dilukis dengan sempurna oleh Rani. Tidak jauh-jauh dari nyata, lukisan itu pula memperlihatkan rupa kemiskinan Bintang, seperti baju yang sungguh kumal dan celana yang telah terkoyak di bagian lutut. Celana koyak yang dimaksud tentu bukan bagian dari bergaya lantaran dia terkoyak dengan sangat amat dramatis. Namun yang begitu istimewa ada di bagian latar belakang, bentangan alam raya terarsir halus tapi tetap kentara antara langitnya dan lautnya, antara awannya dan makhluk-makhluk terbangnya, antara petangnya dan malamnya, antara mentarinya dan bulannya.
Tidak dapat disanggah, sekalipun oleh Bintang yang bahkan baru saja berjumpa dengan Rani, bahwa perempuan itu sungguh hebat dan berbakat. Sehingga datanglah sebuah pengharapan di dalam benak Bintang, bahwa Rani bisa menjadi pengobat daripada jiwanya yang penuh akan derita. Sebab dia benar-benar dan sangat ingin melukis, menciptakan sekurang-kurangnya sebuah seni layaknya mahakarya ciptaan Rani.
Maka secepatnya Bintang mengambil satu lukisannya yang tergantung di malam tadi, dan sambil membawa lukisan itu, lekas kemudian dia menghampiri Rani yang masih asik melukis. Namun, kebetulan? Tidak, Kawanku. Inilah takdir yang telah dirangkai oleh Sang Pencipta, yaitu lukisan yang sedang Rani kerjakan rupanya adalah persis sama seperti lukisan yang hendak Bintang perlihatkan itu. Lukisan tentang seorang gadis kecil berpiyama yang terangkat oleh balon hidrogen, melewati lembah awan gempal bagai tumpukan permen kapas, dan menuju kepada kaskaya langit malam.
"Kebebasan," ucap Bintang tidak disadari.
Sontak Rani terdiam. Dia taruh kuasnya kemudian, lalu dia berbalik badan.
"Coba kau ucapkan sekali lagi," pinta Rani.
"Ke⸺ kebebasan?"
Segera Rani memutar kanvasnya lalu dia singkirkan sehelai kain hitam yang menutupi bagian belakang. Tampak jelas tertulis di balik sana, Kebebasan, adalah judul daripada lukisannya itu, adalah sama seperti ucapan Bintang.
"Apakah kau sudah melihatnya sedari awal?"
"Be⸺ belum."
"Lalu, bagaimana caramu bisa mengetahui judul daripada lukisanku ini?"
Segeralah Bintang memperlihatkan lukisan yang sudah dia bawa itu. Meski lukisan mereka tampak berbeda kasta, bahwa lukisan Bintang hanya terdiri dari goresan-goresan pensil murahan, sedang lukisan Rani dipenuhi dengan warna-warni dari cat minyak ternama, tapi lukisan mereka berdua tetaplah satu rupa. Tak ayal, Rani terkejut bukan buatan, curigalah dia kemudian.
"Kapan kau menciptakan lukisan ini?"
"Tadi malam."
"Di mana?"
"Di kapal."
Rani yang semula memasang wajah layaknya seorang interogator bintang 5 sebab mencurigai Bintang sebagai seorang pelaku kejahatan plagiarisme, seketika berubah raut menjadi bersemangat. Matanya menjadi bersinar-sinar dan senyumnya berubah lebar, serta kecurigaannya hilang entah ke mana.
"Apakah kau juga menyaksikan keindahan dari langit tadi malam?"
Bintang diam, dia tidak memberikan jawaban sebab satu alasan. Rani dan wajah barunya yang penuh ceria sungguh sangat memukau hati, membuat Bintang kembali tak sadarkan diri lantaran terpesona lagi.
"Indah, bukan?" tanya Rani, tak peduli dia dengan si pemuda yang sedang dilanda asmara itu. Diam Bintang berartikan "iya" dipikirnya. Memang tidak salah, sih. Penyebab mereka melukiskan lukisan yang sama memanglah karena perkara yang sama pula. Mereka telah terhipnotis oleh gilang-gemilang langit tadi malam.
"Indah. Sangat indah," ucap Bintang kemudian, namun jelas ini bukanlah jawaban yang layak kita kaitkan dengan pertanyaan Rani barusan. Sebagaimana terdapat dibanyak karangan romantis, jawaban Bintang adalah jawaban dari seorang pemuda jatuh cinta yang sedang terpana pada suatu kecantikan. Sungguh biasa, sungguh umum, konvensional, tidak spesial, dan membosankan. Namun, bagi siapa-siapa yang berani berkata demikian, bisa dipastikan dia seorang yang berjiwa busuk, berhati sirik, dan seorang bujangan.
Walau begitu, walau setampan apapun paras yang dipunya Bintang, atau semanis apapun kalimat yang diucap Bintang, Rani tidak akan mudah untuk ditaklukkan. Tiada kisah percintaan sebab Rani sudah memiliki 2 kepentingan terkait ambisinya kepada masa depan. Pertama, memastikan Bintang adalah seorang pelukis dan itu sudah. Maka kepentingan yang kedua harus segera ditanyakan, yaitu, apakah Bintang seorang pelukis berlandaskan uang atau bukan?
"Hei, Kawan, siapakah namamu?"
Bintang langsung sadar dan kembali dia menunduk-nunduk lagi. Tidak perlu dijelaskan sebab alasannya adalah sama, tertangkap basah jatuh cinta.
"Bintang. Ka⸺ kau bisa memanggilku Bintang."
"Baiklah, Bintang, apakah arti lukisan bagimu?"
Agak lama Bintang terdiam dan pelan-pelan terlahap oleh pikiran. Adalah pertanyaan yang menarik hati, sehingga rasa malu seketika menjadi mati. Membuat matanya bersinar selayaknya sinar benderang di mata Rani, sebab mereka berdua adalah manusia-manusia pecinta seni. Pertanyaan itu pula sebenarnya amat ditunggu-tunggu oleh Bintang. Tidak mesti Rani yang mengucapkan, sebab Rani adalah seorang yang baru dia kenal.
Arti lukisan sendiri, bagi Bintang, sungguh berpengaruh besar di dalam hidup. Namun sayang, orang-orang di lingkungannya yang dahulu tiada paham akan seni. Bintang adalah pemuda tampan, rajin, pintar, dan gemilang, sehingga kesenangannya pada lukisan amatlah dicerca. Tidak jarang mereka berkata, kalau Bintang dan kesukaan melukisnya merupakan suatu perbuatan tercela, sikap yang begitu sia-sia, tidak menghasilkan uang, percuma. Tentu Bintang hanya bisa diam sebab dia tahu, membantah ucapan seorang yang tidak mengerti nilai seni adalah kesia-siaan yang jauh lebih sia-sia daripada sia-sia yang mereka sebutkan itu. Lagi pun, dia takut dihantam habis-habisan oleh pemilik panti asuhan.
"Lukisan ialah seni, seni ialah insan, dan insan ialah berjiwa. Maka lukisan serupa kita, ialah ciptaan yang bernilai jiwa."
"Lalu menurutmu, akan berapa banyak uang yang bisa kuhasilkan dengan lukisan ini?"
Rani menyandarkan tangan di sisi atas lukisannya.
"Ironis! Jika aku adalah dirimu, aku tidak akan pernah menukarkan lukisan itu dengan uang. Sungguh dia tidak ternilai harganya. Namun akan kuberikan kepada siapa saja yang pantas memilikinya, bahkan walau aku tidak menerima sepeser pun uang dari mereka."
Telah lama Rani mencari-cari seseorang yang mampu memberikan jawaban seperti itu. Kemudian Bintang hadir membawa secercah harapan, seolah hadiah yang semesta berikan. Tak ayal, jantungnya berdebar-debar mengkhayalkan banyak rencana untuk masa depan. Maka telah dia putuskan kemudian, Bintang Fajar, seorang pemuda yang baru saja dia kenal, yang tidak lebih lama daripada dirinya yang tersenyum lebar, dan daripada matanya yang bersinar-sinar, bahwa pemuda itu akan mampu menjadi rekan seperjuangan, menjadi kawan senasib sepenganggungan, dan bersama-sama menjadi seorang seniman sejati.
"Sungguh naif, tapi kau lulus. Ikutlah denganku, Bintang!"
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
