OJT - Bab 5 Curhat Pak Dosen

0
0
Deskripsi

“Jangan jatuh cinta padaku,” kata Pak Dosen. Tubuh Ruby mematung. Ciuman mereka terhenti.

Pak Dosen berdiri. Seekor kucing berbulu bagus sedang makan pakan kucing kering yang ditabur di trotoar di jalan.

“Kucing  milik tukang masak kantin kampus. Dia suka keliaran malam-malam begini,” kata Pak Dosen dengan menunjuk si kucing. “Si bulat sukanya makan mulu. Aku rutin memberinya makan tiap jalan malam begini.”

Ruby mengangguk. Ia sibuk menghapus air matanya yang tadi sempat mengalir turun karena sedih.

“Nggak ikut party?” tanya Pak Dosen. Sedetik kemudian ia menyadari mahasiswanya sedang bersedih. “Ah, maaf. Sedang ada masalah?”

Ruby menggeleng sambil tersenyum. “Masalah akan selalu ada, Pak. Tapi, it’s okay. Masih bisa diatasi.”

“Tidak ikut party?” tanya Pak Dosen kembali dengan menunjuk ke arah keriuhan di depan asrama. “Biasanya anak-anak muda sekarang suka melepas penat dengan mabuk-mabukan.”

“Besok saya ada jadwal syuting,” jawab Ruby. “Bapak suka jalan malam-malam begini?”

“Ah, aku mengerti,” Pak Dosen mengangguk. “Kamu tidak boleh teler atau besok akan sulit diarahkan sutradara.”

Ruby turut tertawa kecil.

“Mau mengganjal perut?” tawar Pak Dosen. “Nggak jauh dari sini ada kedai roti dan cokelat panas enak yang buka 24 jam. Nggak banyak yang tahu tapi aku jamin makanannya enak banget.”

Ruby terlihat enggan. Tapi bingung bagaimana harus menolak.

“Aku traktir,” kata Pak Dosen cepat. “Tenang aja.”

Senyum Ruby mengembang malu. “Maaf, Pak.” tepat ia menutup mulut perutnya berkeruyuk senewen.

Pak Dosen tertawa. “Lebih baik kita berangkat sekarang.”

Pak Rob benar mengenai kedai roti dan cokelat panas itu. Croissant panasnya yang ditaburi gula pasir dan kayu manis dengan isian keju rasanya luar biasa enak. Lembut, hangat, manis, sekaligus gurih. Ruby sampai habis dua potong.

Minuman cokelat panasnya juga tak kalah luar biasa. Cokelatnya kental. Rasanya manis tapi juga masih menyisakan pahit khas tanaman kakao.

“Perut saya kenyang,” kata Ruby sungguh-sungguh. “Merci, Monsieur!

“Sama-sama. Aku tahu rasanya bagaimana menjadi mahasiswa,” kekeh Pak Dosen. “Pukul berapa sekarang? Ah, pukul dua dini hari. Party masih berlangsung tapi pasti banyak yang sudah teler atau bercinta.”

Wajah Ruby bersemu merah. Pipinya terasa hangat karena malu. Ia masih mengingat jelas rasa geli-geli nikmat saat direngkuh dalam dekapan hangat Pak Dosen.

“Kenapa kamu melamar bekerja di sana?” tanya Pak Dosen tanpa tedeng aling-aling. Sepertinya laki-laki dewasa itu melihat kegelisahan mahasiswanya.

“Saya butuh uang, Pak,” jawab Ruby malu. “Saya tidak mampu. Tapi saya ingin sekolah tinggi. Pendidikan yang tinggi menurut saya akan mengantar saya ke kehidupan yang lebih baik. Yah, mungkin salah. Tapi, paling enggak saya nggak melas banget seperti sekarang ini.”

“Nggak takut ketahuan teman?”

Ruby tertawa pahit. “Saya nggak punya teman, Pak. Nggak akan ada yang tahu. Kalau pun besok ada yang tahu, apa urusan mereka? Toh, selama ini mereka nggak ada saat saya kelaparan dan susah hidupnya.”

Pak Dosen tertawa mengerti. “Ya, ya. Aku mengerti.”

“Pak Dosen sendiri mengapa juga mau kerja di sana?” tanya Ruby berhati-hati. “Jadi dosen, kan, sudah enak.”

Pak Dosen Rob diam sejenak. Laki-laki itu menghela napas berat. “Kehidupanku selalu berkecukupan. Aku tumbuh dewasa dalam limpahan kasih sayang dan harta yang berlebih, Poppy. Aku kuliah sampai S3 menjadi dosen dan semuanya lancar. Kecuali kisah cintaku.”

Ruby mendengarkan dengan baik.

“Aku selalu gagal dalam percintaan. Wanita-wanita di luar sana mengira bisa memafaatkan hartaku dan dudukanku. Aku merasa cinta mereka nggak tulus. Hubunganku selalu gagal. Aku menemukan kepuasan ketika bercinta dengan perempuan atas dasar hubungan kerja saja. Kami sama-sama enjoy tanpa ada kewajiban ikatan sebagai pasangan.”

“Nggak takut ketahuan teman-teman Bapak?”

Pak Dosen tertawa. “Mereka yang menonton film begituan pasti tidak mau mengaku. Orang-orang kaya dan berkedudukan tinggi banyak yang munafik, Poppy. Mereka sok bersahaja padaal nonton film biru juga. Atau pun suka hal-hal kayak begituan mereka pasti tidak mau mengaku. Kalaupun mereka akhirnya tahu, aku sih bodoh amat.”

Ruby manggut-manggut. “Saya juga, Pak. Saya nggak tahu gimana kelak nasib percintaan saya. Yang jelas, sekarang saya ingin kaya. Hidup berkecukupan. Untuk saat ini, berhubungan dengan cowok di film saja cukup. Mungkin benar kata Pak Dosen, tidak perlu ada kewajiban romansa sebagai pasangan.”

Pak Rob terkekeh. “Kamu mau kembali ke asrama?”

“Sebenarnya saya belum mengantuk. Tapi, ya, Pak. Kalau Bapak sudah ingin pulang.”

“Aku punya rumah kecil tak jauh dari kampus. Aku sering lembur di sana. Hanya ruangan kecil tapi penuh buku dan nyaman. Kalau liburan semester barulah aku kembali ke rumah besar yang aku tinggali.”

Ruby mengangguk. “Itu mengapa Bapak berkeliaran malam-malam begini di sekitar kampus.”

Pak Rob berjalan bersisihan bersama Ruby menuju ke asrama. “Blok berapa?” tanya Pak Dosen.

“Blok F, Pak,” jawab Ruby lirih. Ia malu karena blok F adalah blok dengan sewa kamar palin murah.

“Oke. Kuantar kau ke sana.”

Ruby memerhatikan ekspresi wajah Pak Dosen. Tak terlihat raut jijik atau merendahkan di sana. Gadis itu mengembus napas lega. Ia tak perlu malu di hadapan dosennya.

Halaman asrama mulai lengang. Masih terdengar bahak tawa dan teriakan mahasiswa-mahasiswa yang mabuk. Setelah itu mereka teler. Beberapa bagian di taman yang gelap terdengar erangan dan desahan pasangan yang sedang bercinta. Musik berisik telah dimatikan.

“Sudah sampai,” kata Pak Dosen ketika tepat berada di pekarangan masuk asrama blok F.

“Terima kasih, Pak,” kata Ruby bersungguh-sungguh. Perutnya bergejolak seperti mulas ketika melihat Pak Dosen sedang menatapnya lekat-lekat.

“Kamu gadis yang cantik, Poppy. Aku yakin kariermu di sana akan bagus.” Pak Dosen mendekatkan bibirnya ke arah bibir Ruby. Perlahan ia mengecup bibir Ruby.

Begitu hangat. Begitu lembut. Begitu beraroma cokelat panas.

Ruby terkesiap. Ia memejamkan mata dan menikmati sapuan basah lidah Pak Dosen. Apakah ia jatuh cinta pada dosen galak dan dingin ini? Bisakah mereka selalu bermain dalam film bersama-sama?

Dada Pak Dosen begitu bidang seolah bisa melindungi Ruby dari bahaya dan kerasnya dunia. Rengkugan lengan Pak Dosen yang begitu kukuh seolah mampu melindungi Ruby dari kesedihan dan air mata.

Pipi Ruby merona merah dan hangat.

“Jangan jatuh cinta padaku,” kata Pak Dosen sembari melepaskan ciuman bibirnya.

Tubuh Ruby mematung. Dingin seperti diguyur seember air es.

Pak Dosen menatap Ruby dengan tatapan menenangkan. Kini mereka telah berjarak. Tak lagi berciuman.

“Jangan jatuh cinta pada lawan mainmu,” tambah Pak Dosen dengan lembut. “Mereka hanya teman kerja. Jangan campur adukkan perasaan pribadi ke dalam urusan pekerjaan.”

Ruby menunduk malu. “Ya-ya, Pak.”

“Selamat malam, Ruby,” akhirya Pak Dosen benar menyebut nama mahasiswanya. “Selamat beristirahat.”

Ruby membalas sapaan selamat malam itu. Ia menunggu sosok dosennya berjalan menjauh hingga menghilang di belokan.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya OJT - Bab 6 Ditawar Nikolas
1
0
Syuting berikutnya Ruby bertemu Nikolas --seorang imigran yang hitam tinggi besar telapak tangannya tebal dan napasnya aroma mint segar.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan