II: Marah Tanpa Sebab

0
0
Deskripsi

Aria sering merasa marah tanpa alasan yang jelas, hal ini mulai mengganggu pekerjaannya dan hubungan dengan orang-orang di sekitarnya. Tidak ada yang tahu kenapa ini terjadi, termasuk Aria sendiri. Dia memutuskan untuk mencari bantuan dari Dika.

Seiring berjalannya konsultasi, Dika mencoba untuk menggali ke dalam memori Aria, mencari tahu apa yang mungkin menyebabkan perasaan marah ini. Dalam prosesnya, mereka menemukan bahwa Aria memiliki trauma dari masa kecilnya yang dia lupa, sebuah insiden yang...

Ketidaksabaran di Pagi Hari

Matahari belum sepenuhnya bangkit, tetapi sinarnya sudah mulai menembus tirai jendela kamar Aria. Bunyi alarm yang tajam mulai berdering, memaksa Aria untuk bangun dari tidurnya. Dia mencoba menepis alarm tersebut, tetapi malah menjatuhkan ponselnya ke lantai. Dengan gerutu, Aria bangun dan meraih ponselnya.

Dia melirik ke cermin yang tergantung di dinding kamarnya. Rambutnya berantakan dan mata panda tampak begitu jelas. Aria merasa kesal dengan dirinya sendiri. "Kenapa aku begitu susah bangun pagi?" gumamnya dengan nada kesal.

Dalam proses bersiap-siap, Aria menemui sejumlah hal kecil yang menguji kesabarannya: sikat rambut yang tersangkut di rambutnya, sabun mandi yang habis, dan setrikaan yang tampaknya tidak bekerja dengan baik, meninggalkan beberapa lipatan di blus kesukaannya.

Dapur menjadi medan berikutnya. Ketika dia mencoba membuat secangkir kopi, susu yang dia tuangkan ternyata basi. "Sial!" umpatnya, merasa frustrasi dengan paginya yang tampaknya berjalan salah langkah. Kucingnya, Momo, mendekat meminta makan. Dalam usahanya memberi makan, Aria malah menumpahkan beberapa butiran makanan kucing. Dengan nafas yang pendek, dia menatap Momo, "Kau juga bikin pagiku jadi rumit, ya?"

Ketika tiba saatnya berangkat ke kantor, Aria mendapati sepatunya hilang satu pasang. Dia mengumpat pelan dan merasa kesal dengan keadaannya. Setelah mencari beberapa menit, dia menemukan sepatu yang hilang di bawah sofa. "Ini pasti ulah Momo lagi," gerutunya.

Sebelum keluar rumah, Aria melirik dirinya di cermin lorong. Meskipun dia tampak rapi dan profesional, ekspresi wajahnya menunjukkan kelelahan dan ketidaksabaran. Dia menghela nafas panjang, berharap hari ini tidak seperti paginya.

Namun, ketika dia keluar rumah, Aria mendapati mobilnya terhalang oleh truk pengangkut sampah yang sedang beroperasi. Dengan frustasi, dia menyalakan klaksonnya, menunjukkan ketidaksabaran yang telah memuncak sejak pagi.

Tak ada yang menduga bahwa seorang Aria, seorang profesional sukses di bidangnya, memiliki pagi yang penuh dengan hambatan dan ketidaksabaran. Ini hanyalah permulaan dari hari-hari yang penuh tekanan dalam kehidupan Aria.

Keretakan di Kantor

Ketika Aria tiba di kantor, dia mencoba melepaskan semua frustrasi paginya dan memfokuskan diri pada pekerjaannya. Namun, hari itu sepertinya berkomplot melawannya.

Sebelum dia sempat menaruh tasnya, teman sekerjanya, Lina, datang dengan segerombolan dokumen. "Aria, bos minta ini diselesaikan secepatnya," kata Lina dengan nada panik.

Aria menghela nafas. "Bisakah dia memberi tahu sedikit lebih awal? Saya punya banyak pekerjaan lain yang harus diselesaikan hari ini," jawab Aria dengan nada yang sedikit meninggi.

Lina tampak terkejut dengan reaksi Aria, tetapi segera meminta maaf dan meninggalkannya. Aria mencoba menenangkan diri, menyadari bahwa dia telah bereaksi berlebihan.

Namun, hari itu tampaknya penuh dengan tantangan. Dari mesin fotokopi yang mogok hingga rapat mendadak yang dijadwalkan pada saat makan siang, semuanya menambah tekanan pada Aria.

Saat rapat berlangsung, Aria mencoba mengungkapkan pendapatnya tentang proyek yang sedang dikerjakan. Namun, dia terpotong oleh Reza, rekan kerjanya yang sering memiliki pandangan berbeda. Aria merasa tidak dihargai, dan tanpa menyadarinya, dia meninggikan suaranya, "Reza, bisakah Anda memberi saya kesempatan untuk berbicara?!"

Semua mata di ruangan itu tertuju pada Aria. Ada keheningan sejenak sebelum bosnya, Pak Harun, berbicara dengan suara tenang, "Aria, kita di sini untuk mendiskusikan, bukan berdebat. Harap kendalikan emosi Anda."

Aria merasa malu dan tertekan. Dia menyadari bahwa emosinya yang tidak stabil mulai mengganggu kinerjanya di tempat kerja. Setelah rapat selesai, dia pergi ke kamar mandi dan menangis, merasa frustrasi dengan dirinya sendiri.

Sore itu, saat dia sedang sibuk dengan pekerjaannya, Lina datang dengan secangkir teh. "Hei, aku tahu ini mungkin bukan saat yang tepat, tapi aku pikir kamu butuh ini," katanya dengan senyum ramah.

Aria membalas senyum, "Terima kasih, Lina. Maafkan aku tadi pagi."

Lina duduk di samping Aria, "Kamu baik-baik saja? Aku belum pernah melihatmu seperti ini sebelumnya."

Aria menggeleng, "Aku tidak tahu, Lina. Aku merasa emosiku berantakan akhir-akhir ini. Mungkin aku butuh istirahat."

Lina mengangguk, "Mungkin. Tapi mungkin juga kamu butuh bantuan untuk mengatasi ini. Tidak ada salahnya mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, kan?"

Aria menatap Lina, merenungkan saran temannya. Dia mulai menyadari bahwa mungkin ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya, dan dia harus mencari tahu apa itu.

Kepanikan di Jalan

Matahari pagi yang terik menciptakan bayangan yang jelas dari bangunan-bangunan tinggi di jalan. Aria, yang baru saja meninggalkan rumah dengan emosi yang masih belum stabil, mencoba fokus pada mengemudi. Tetapi hari itu, tampaknya seluruh dunia berusaha menantangnya.

Sebuah motor tiba-tiba menyelip dari sisi kanan, membuatnya harus menginjak rem mendadak. Klakson panjang dari mobil di belakangnya menambah kegusarannya. "Apa-apaan ini!" gumam Aria, merasa terpojok.

Namun, situasi semakin buruk ketika dia mencoba mengambil jalan pintas untuk menghindari kemacetan dan malah terjebak di antara barisan panjang truk besar. Jantungnya berdebar ketika dia menyadari bahwa mobilnya berada dalam situasi yang sempit dan sulit untuk bergerak. Semua frustrasi paginya, mulai dari masalah kecil di rumah hingga masalah di jalan, semuanya tampak menumpuk.

Dalam kepanikannya, Aria tanpa sengaja menabrak spion mobil di sampingnya. Pemilik mobil itu, seorang pria paruh baya, turun dengan wajah marah dan mendekati Aria.

"Kau tahu berapa biaya spion ini?!" teriak pria itu, dengan jari yang menuding ke arah Aria.

Aria, yang sekarang merasa terancam dan terpojok, menjawab dengan suara gemetar, "Maaf, saya tidak bermaksud... Saya akan menggantinya."

Namun, pria itu tampaknya tidak mendengarkan dan terus mengomel, menambah ketakutan Aria.

Sebuah mobil patroli tiba-tiba muncul, menghentikan pertengkaran mereka. Seorang polisi wanita mendekati mereka, "Ada apa di sini?"

Aria mencoba menjelaskan situasi, tetapi suaranya penuh dengan ketakutan dan kepanikan. Polisi itu memeriksa kerusakan dan memberi nasihat kepada keduanya untuk menyelesaikan masalah dengan kepala dingin.

Setelah situasi mereda, Aria kembali ke mobilnya, merasa lemah dan terpukul. Dia menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa dia benar-benar perlu mencari bantuan untuk mengendalikan emosinya yang tidak stabil.

Ketika dia akhirnya tiba di kantor, dia merasa lelah seolah-olah telah melewati badai besar. Dia berharap sisa hari ini akan lebih baik, tetapi dalam hatinya, dia tahu bahwa dia harus menghadapi dan memecahkan masalah emosionalnya secepatnya.

Pertemuan Pertama dengan Dika

Lingkungan ruangan itu nyaman dan menenangkan, berbeda dengan apa yang Aria bayangkan tentang ruang seorang psikolog. Dinding-dinding berwarna pastel, dengan hiasan tanaman kecil dan lukisan abstrak yang memberikan kesan tenang. Sebuah aroma lavender ringan mengisi udara, membantu menenangkan saraf-saraf yang tegang.

Saat Aria menunggu, hatinya berdebar-debar. Dia merasa tidak nyaman dan cemas, mempertanyakan keputusannya untuk datang. Namun, sebelum dia bisa berpikir lebih lanjut, sebuah pintu terbuka dan seorang pria berusia sekitar 30-an, dengan postur tegap dan mata yang tajam namun hangat, muncul.

"Dika," katanya sambil mengulurkan tangan, "Anda Aria?"

Aria mengangguk, "Ya, maaf, ini pertama kalinya saya ke psikolog."

Dika tersenyum dengan ramah, "Tidak apa-apa. Banyak pasien saya yang merasa cemas saat pertama kali datang. Mari masuk."

Dalam ruangan konsultasi, Aria duduk di sebuah sofa empuk sambil Dika duduk di seberangnya. "Jadi, apa yang membuat Anda merasa perlu datang ke sini?" tanya Dika dengan suara yang lembut namun tegas.

Aria mengambil napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan pikirannya, "Saya merasa emosi saya tidak stabil. Saya mudah marah, mudah panik, dan terkadang saya merasa kehilangan kendali."

Dika mencatat sesuatu, "Apakah ada peristiwa khusus yang membuat Anda merasa seperti ini?"

Aria menceritakan kejadian-kejadian terbaru, termasuk masalah di kantor dan insiden di jalan. Dia merasa lega bisa berbicara tentang perasaannya tanpa merasa dihakimi.

Dika mendengarkan dengan seksama, sesekali bertanya untuk klarifikasi. "Sejauh ini, sepertinya Anda mengalami stres yang cukup besar, yang mungkin mempengaruhi keseimbangan emosi Anda," kata Dika, "Tapi kita perlu menggali lebih dalam untuk mengetahui penyebab pastinya."

Aria merasa dihargai dan didengar. Meskipun pertemuan itu hanya satu jam, dia merasa seolah-olah beban besar telah diangkat dari pundaknya.

Sebelum pergi, Dika memberinya buku harian kecil. "Cobalah tulis perasaan Anda setiap hari, hal-hal apa yang memicu emosi Anda. Ini akan membantu kita dalam sesi berikutnya."

Aria mengangguk, "Terima kasih, Dika. Saya akan melakukannya."

Dika tersenyum, "Saya yakin kita bisa menemukan solusi bersama."

Bayangan Masa Kecil

Hujan deras berkecamuk di luar jendela, tetapi suara yang paling keras di telinga Aria adalah suara bentakan yang datang dari ruang tamu. Kamar kecil di mana dia bersembunyi dengan boneka beruangnya menjadi saksi ketakutan dan kecemasannya.

Sebagai anak kecil berusia 7 tahun, Aria sering menjadi saksi pertengkaran hebat antara ibu dan ayahnya. Setiap kali suasana tegang muncul, dia akan mencari tempat persembunyian dan berharap semuanya akan berakhir dengan cepat.

Pada malam yang tampaknya sama dengan malam-malam sebelumnya, sesuatu yang berbeda terjadi. Setelah bentakan dan suara barang yang jatuh, sebuah ketukan pelan di pintu kamarnya mengagetkan Aria. Itu adalah ibunya, dengan mata sembab dan luka lebam di pipinya.

"Kita harus pergi, sayang," bisik ibunya dengan suara yang penuh ketakutan.

Tanpa banyak bertanya, Aria mengambil boneka beruangnya dan mengikuti ibunya keluar rumah, berjalan kaki di tengah hujan. Mereka menuju ke rumah neneknya, tempat yang selalu Aria anggap sebagai tempat yang aman.

Selama bertahun-tahun setelah itu, Aria dan ibunya tinggal bersama neneknya. Ayahnya tidak pernah muncul lagi dalam hidup mereka. Meskipun demikian, kenangan buruk tentang pertengkaran dan kekerasan yang dia lihat tetap membayangi pikiran Aria.

Kembali ke masa kini, di ruangan Dika, Aria terduduk dengan mata berkaca-kaca setelah mengenang masa lalunya. Dika, yang telah mendengarkan dengan seksama, berkata dengan suara lembut, "Itu pasti sulit untuk diingat, Aria. Tetapi dengan menghadapi trauma masa lalu Anda, kita bisa memulai proses penyembuhan."

Aria mengangguk, merasa terbebani oleh masa lalunya yang selama ini dia coba kubur dalam-dalam. Namun, dengan bantuan Dika, dia mulai berharap bahwa dia bisa mengatasi bayangan masa kecilnya dan membangun masa depan yang lebih cerah.

Emosi yang Terkubur

Sebagai seorang anak, Aria belajar untuk menekan emosinya. Setiap kali dia merasa takut atau marah, dia akan berlari ke kamar kecilnya, menutup pintu, dan memeluk boneka beruangnya erat-erat. Di dalam kesunyian kamar itu, dia akan membiarkan air matanya mengalir, mengubur emosinya dalam-dalam sehingga tidak ada yang bisa melihat atau mendengarnya.

Dika menatap Aria dengan penuh empati. "Jadi, Anda belajar untuk tidak menunjukkan emosi Anda, terutama marah, sejak kecil?"

Aria mengangguk, "Saya takut. Takut bahwa jika saya menunjukkan marah saya, sesuatu yang buruk akan terjadi, seperti yang saya lihat antara ibu dan ayah saya."

Selama bertahun-tahun, Aria telah menjadi ahli dalam menyembunyikan perasaannya. Dia selalu tersenyum, selalu menunjukkan wajah yang tenang, bahkan ketika badai emosi bergolak di dalam dirinya. Tapi, seperti gunung berapi yang siap meletus, tekanan dari emosi yang terpendam itu mulai menunjukkan dirinya melalui ledakan-ledakan marah tak terduga.

Dika mencatat sesuatu di bukunya, "Dengan menekan emosi Anda, Anda sebenarnya membiarkannya tumbuh dalam kegelapan. Dan saat Anda tidak lagi mampu menahannya, emosi itu meletus."

Aria menunduk, merasa malu, "Saya selalu berpikir jika saya cukup kuat untuk menahan emosiku, saya akan baik-baik saja. Tapi ternyata, saya salah."

Dika tersenyum penuh pengertian, "Menekan emosi bukanlah tanda kekuatan. Sebenarnya, mengakui dan menghadapi emosi kita, bagaimanapun sulitnya, adalah tanda kekuatan yang sebenarnya."

Sebuah kesadaran melintas di wajah Aria. "Jadi, apa yang harus saya lakukan sekarang?"

Dika menjawab, "Kita perlu bekerja bersama untuk menggali emosi-emosi yang telah Anda kubur selama ini. Dan dengan memahami dan menerima emosi tersebut, Anda akan belajar bagaimana mengekspresikannya dengan cara yang sehat."

Aria merasa berat hati, namun ada harapan yang muncul di hatinya. Dengan Dika di sisinya, dia yakin dia bisa menghadapi dan menyembuhkan luka-luka masa lalunya.

Dengan bab ini, pembaca dapat memahami bagaimana Aria menggunakan mekanisme pertahanan untuk melindungi dirinya dari trauma masa kecilnya, namun pada akhirnya, emosi yang terkubur itu mulai mengambil alih kehidupannya.

Ikatan Mendalam

Seiring berjalannya waktu, sesi terapi antara Aria dan Dika menjadi lebih dari sekadar pertemuan profesional. Setiap pertemuan membuka lapisan emosi dan pengalaman Aria yang lebih dalam, dan Dika mulai merasakan hubungan yang mendalam dengan pasiennya.

Pada suatu hari, setelah mendengar cerita Aria tentang masa kecilnya yang penuh dengan kesulitan, Dika merasa ditarik untuk berbagi sedikit tentang dirinya sendiri. Ini bukanlah sesuatu yang biasa dia lakukan, tetapi dia merasa bahwa dengan berbagi, mungkin akan membantu Aria merasa lebih diterima.

"Saya tumbuh dalam keluarga yang penuh dengan harapan," mulai Dika, "Ada tekanan konstan untuk selalu menjadi yang terbaik, untuk tidak menunjukkan kelemahan. Saya memahami bagaimana rasanya harus menyembunyikan emosi."

Aria menatap Dika dengan kaget. Selama ini, dia hanya melihat Dika sebagai seorang profesional yang tenang dan terkendali. Mendengar bahwa dia juga memiliki perjuangan pribadinya sendiri membuatnya merasa lebih dekat dengan psikolognya.

"Terima kasih telah berbagi, Dika," kata Aria dengan suara yang penuh emosi, "Ini membuat saya merasa seperti saya tidak sendiri dalam perjuangan ini."

Dika tersenyum dengan lembut, "Kadang-kadang, mendengar cerita orang lain bisa memberi kita perspektif dan kekuatan. Saya berbagi ini bukan untuk mengalihkan fokus dari Anda, tetapi untuk menunjukkan bahwa kita semua memiliki perjuangan dan luka kita sendiri."

Dengan setiap sesi, batasan profesional antara Aria dan Dika mulai memudar sedikit. Meskipun keduanya selalu menjaga batas-batas etika, tidak dapat disangkal bahwa ikatan emosional mulai terbentuk. Dika sering kali menemukan dirinya memikirkan Aria di luar sesi, berharap yang terbaik untuknya dan merasa bertanggung jawab atas pemulihannya.

Namun, seiring dengan kedekatan tersebut, muncul juga dilema etika. Dika sadar bahwa sebagai psikolog, dia harus menjaga jarak emosional dengan pasiennya untuk memberikan perawatan yang objektif. Tapi, apa yang harus dia lakukan saat hatinya mulai terlibat?

Hancurnya Dinding Pertahanan

Sejak awal sesi terapi, Dika telah menemui dinding pertahanan Aria yang kokoh. Meskipun dia telah berbagi banyak tentang masa lalunya, selalu ada sesuatu yang tampaknya tersembunyi di balik matanya, sebuah rahasia yang bahkan Aria sendiri mungkin takut untuk menghadapinya.

Hari itu, cuaca di luar mendung, dan gemuruh guntur sesekali terdengar, menciptakan suasana yang sedikit menegangkan. Dika memulai sesi dengan pertanyaan sederhana, "Aria, apakah ada sesuatu yang belum Anda ceritakan kepada saya?"

Aria menunduk, rambutnya menutupi wajahnya. Sejenak, ruangan itu penuh dengan hening, hanya terputus oleh detak jam di dinding. Kemudian, dengan suara yang hampir tak terdengar, Aria berbisik, "Ada satu malam... malam yang saya coba lupakan."

Dika mengatur napasnya, merasakan betapa beratnya saat ini bagi Aria. "Anda tidak harus berbicara jika tidak siap, tapi ketahuilah saya di sini untuk mendengar dan membantu Anda."

Dengan matanya yang sembab, Aria mulai bercerita tentang malam yang telah dia kubur dalam-dalam di pikirannya. Malam di mana dia bukan hanya melihat pertengkaran antara ibu dan ayahnya, tetapi malam di mana dia sendiri menjadi korban dari kemarahan ayahnya. Pengalaman traumatik yang membuatnya berusaha sekuat tenaga untuk melupakan dan membangun dinding pertahanan agar tidak pernah terluka lagi.

Selama dia bercerita, air mata mengalir tanpa henti. Emosinya meledak dalam bentuk kesedihan, kemarahan, dan kebingungan. Dika duduk di sampingnya, menawarkan dukungan tanpa kata-kata, hanya dengan kehadirannya.

Setelah cerita selesai, Aria merasa seperti beban besar telah diangkat dari bahunya. Meskipun luka masih ada, setidaknya sekarang dia tidak lagi sendirian dalam menghadapinya.

Dika, dengan mata yang penuh empati, berkata, "Terima kasih telah mempercayai saya dengan cerita Anda. Mengungkapkan ini adalah langkah besar dalam perjalanan penyembuhan Anda."

Dinding pertahanan Aria yang selama ini kokoh kini mulai retak, memberikan ruang untuk penyembuhan dan pemahaman yang lebih dalam tentang dirinya sendiri.

Pengakuan

Seiring berjalannya waktu, suasana di ruang terapi menjadi semakin tebal dengan ketegangan emosional. Emosi Aria telah meluap dalam sesi terakhir, dan itu telah membuka pintu bagi kedua belah pihak untuk lebih memahami satu sama lain. Tapi ada satu hal yang terus mengganjal pikiran Dika, sesuatu yang dia rasakan harus diungkapkan sebelum mereka dapat melanjutkan.

Dika menatap Aria, yang kini duduk dengan mata yang sedikit lebih cerah daripada sebelumnya. "Aria," mulai Dika dengan ragu, "Ada sesuatu yang perlu saya katakan."

Aria menatapnya dengan ekspresi bingung. "Apa, Dika?"

Menghela napas panjang, Dika mencoba mengatur kata-katanya dengan hati-hati. "Sejak kita mulai sesi terapi ini, saya telah melihat Anda tumbuh dan berubah, dan saya tidak bisa menolak kenyataan bahwa saya mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan profesional dengan Anda. Ini sangat tidak profesional, dan saya minta maaf. Saya merasa perlu mengakui perasaan saya kepada Anda."

Wajah Aria memerah, dan dia tampak terkejut. "Dika... saya tidak tahu harus berkata apa."

Dika cepat-cepat menambahkan, "Saya tidak mengharapkan Anda merespons atau merasa tertekan oleh pengakuan ini. Saya hanya merasa bahwa Anda berhak tahu."

Aria menunduk, merenung sejenak. "Terima kasih telah jujur, Dika. Saya menghargai kejujuran Anda. Tapi, saya rasa kita perlu mempertimbangkan apa yang terbaik untuk kita berdua sekarang."

Dika mengangguk, menyesali keputusannya untuk berbicara tapi juga merasa lega telah mengungkapkan perasaannya. "Anda benar, Aria. Kita harus memikirkan langkah selanjutnya dengan hati-hati."

Keduanya duduk dalam keheningan, membiarkan beratnya momen itu meresap. Hubungan mereka kini telah berubah, dan jalan ke depan tampak tidak pasti.

Dalam bab ini, pengakuan Dika menambah kerumitan dalam hubungan mereka dan mempersiapkan pembaca untuk konflik dan dilema yang mungkin muncul di bab-bab berikutnya.

Penolakan yang Aneh

Hari itu tampak biasa saja di klinik. Lampu gantung menyinari ruangan dengan cahaya yang hangat, menciptakan suasana yang nyaman. Aria duduk di sofa, mengatur napasnya, dan mempersiapkan diri untuk sesi terapi. Dika, dengan sikap profesionalnya, membuka catatan dan mempersiapkan diri untuk mendengar.

Namun, sebelum Dika sempat memulai sesi dengan pertanyaannya yang biasa, Aria mendadak meledak.

"Dika, saya tidak tahu apa yang Anda pikirkan! Mengungkapkan perasaan Anda seperti itu kepada saya? Apa Anda tidak sadar betapa sulitnya bagi saya untuk berurusan dengan semua hal ini?" Aria berkata dengan suara yang meninggi.

Dika tampak terkejut, dia tidak mengharapkan respons seperti ini dari Aria. Dia mencoba untuk tetap tenang dan menjawab, "Aria, saya minta maaf. Saya tidak bermaksud membuat Anda merasa tidak nyaman atau menambah beban Anda. Saya hanya merasa Anda berhak tahu."

Aria menghela napas dengan frustasi. "Tidak, Dika. Ini bukan tentang Anda. Saya...saya hanya bingung dengan segala hal yang terjadi. Saya datang ke sini untuk mencari pemahaman dan penyembuhan, bukan untuk berurusan dengan perasaan yang rumit antara kita."

Ada hening sejenak. Dika merasa bersalah dan bertanya-tanya apakah dia telah membuat kesalahan dengan mengungkapkan perasaannya. "Aria, apa yang Anda ingin saya lakukan? Apakah Anda ingin melanjutkan terapi dengan psikolog lain?"

Aria terdiam, menimbang-nimbang pilihannya. "Saya tidak tahu, Dika. Saya hanya ingin segala hal menjadi sederhana lagi."

Dika mengangguk, memahami betapa rumitnya situasi itu bagi Aria. "Baiklah, mari kita pikirkan solusi terbaik untuk Anda. Anda adalah prioritas utama di sini."

Keduanya mencoba melanjutkan sesi, tetapi atmosfer telah berubah. Meskipun kedua belah pihak berusaha untuk menjaga profesionalitas, ada lapisan ketegangan yang sulit diabaikan.

Ruangan terapi, yang biasanya menjadi tempat bagi Aria untuk membagi dan mengungkapkan perasaannya, sekarang terasa seperti penjara emosi. Setelah ledakan emosi Aria, Dika mencoba mendekati situasi dengan hati-hati, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi.

"Aria," kata Dika dengan lembut, "Saya benar-benar minta maaf. Saya sadar betapa sulitnya situasi ini untuk Anda. Jika Anda ingin berbicara tentang apa pun, atau bahkan tidak ingin berbicara sama sekali, saya mengerti."

Namun, Aria hanya duduk dengan tatapan kosong, tanpa memberikan respons apa pun. Dia terlihat begitu jauh dan terasing, seolah-olah pikirannya berada di tempat lain.

Dika, dengan segala pengetahuannya sebagai psikolog, merasa bingung. Dia telah menangani banyak kasus sebelumnya, tetapi reaksi Aria ini adalah sesuatu yang belum pernah dia hadapi sebelumnya. "Aria," dia mencoba lagi, "jika Anda merasa tidak nyaman dengan saya, saya bisa membantu Anda menemukan seorang psikolog lain. Yang terpenting adalah Anda mendapatkan dukungan yang Anda butuhkan."

Tetapi Aria tetap diam, seolah-olah dia belum mendengar apa yang Dika katakan. Dia terlihat begitu rapuh dan rapuh, seolah-olah berat dunia menekannya.

Dika mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Meskipun dia adalah seorang profesional, dia adalah manusia, dan situasi ini mempengaruhi dirinya secara emosional. "Aria," katanya dengan suara yang penuh dengan emosi, "saya benar-benar ingin membantu Anda. Tolong beri saya tahu apa yang Anda inginkan."

Namun, Aria tetap dalam kesunyiannya, meninggalkan Dika dalam kebingungan dan keputusasaan.

Pencarian Jalan Kedamaian

Hari itu mendung. Langit tampak berat, mendung, seolah menyesuaikan dengan suasana hati yang tercipta di antara Aria dan Dika. Setelah banyak sesi terapi, ledakan emosi, dan konflik batin, Aria telah mengambil keputusan.

Mereka berdua duduk di ruang terapi yang sudah menjadi saksi bisu perjalanan emosi mereka. Aria menatap Dika dengan mata yang jernih, penuh ketegasan.

"Dika," katanya dengan suara yang mantap, "saya sangat menghargai segala bantuan dan dukungan yang telah Anda berikan kepada saya. Anda telah menjadi pendengar yang baik dan telah membantu saya dalam banyak cara. Tapi saya merasa perlu mencari cara sendiri untuk menemukan kedamaian."

Dika menatapnya, wajahnya tampak sedih tetapi penuh pengertian. "Aria, saya mengerti keputusan Anda. Kita semua memiliki jalan kita sendiri dalam pencarian kedamaian dan penyembuhan."

Aria mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Saya perlu waktu sendiri, Dika. Waktu untuk merenung, memahami diri saya, dan menerima masa lalu saya."

Dika menghela napas dalam-dalam. "Dimanapun Anda pergi, harapan saya adalah Anda menemukan kedamaian yang Anda cari. Anda layak mendapatkannya."

Mereka berdiri, dan dengan sebuah pelukan singkat namun bermakna, Aria pergi meninggalkan klinik. Dika menatap keluar jendela, menonton Aria pergi, berharap yang terbaik untuknya.

Sementara itu, Aria melangkah dengan tekad, menuju sebuah petualangan baru dalam pencarian kedamaian dan penyembuhan. Meskipun jalan yang akan ditempuhnya tidak pasti, dia penuh harapan tentang apa yang ada di depan.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya III: Cemburu dalam Rasa, Logika yang Terluka
0
0
Tabitha selalu memahami betapa rumitnya perasaan cemburu bagi perempuan. Baginya, cemburu adalah sebuah reaksi alami terhadap ketidakpastian dan rasa takut kehilangan. Namun, saat dia berbicara dengan teman-teman pria tentang hal ini, reaksi mereka selalu berbeda. Bagi mereka, alasan cemburu yang seringkali masuk akal bagi perempuan terasa seperti misteri yang sulit dipecahkan.Namun, segalanya berubah ketika Tabitha bertemu dengan Evan, seorang pria yang sangat percaya pada logika dan pikiran rasional. Saat Tabitha mulai menunjukkan tanda-tanda cemburu dalam hubungan mereka, Evan merasa bingung dan terkadang bahkan kesal. Baginya, cemburu terasa seperti sesuatu yang seharusnya bisa dihindari dengan pemikiran logis.Novel ini mengikuti perjalanan emosional Tabitha dan Evan saat mereka berdua berusaha memahami perbedaan dalam cara mereka merasakan dan mengungkapkan cemburu. Sementara Tabitha mencoba menjelaskan bahwa perempuan seringkali merasa cemburu karena rasa takut akan kehilangan, Evan mencoba mengartikan semuanya dalam kerangka logika yang dia pahami.Namun, seiring berjalannya waktu, Evan mulai merasakan adanya ketidakpastian dalam dirinya sendiri. Ketika dia mulai mempertanyakan perasaannya terhadap Tabitha, dia menyadari bahwa cemburu tidak sepenuhnya dapat dijelaskan oleh logika semata. Mereka berdua akhirnya belajar bahwa emosi dan perasaan manusia tidak selalu mengikuti aturan yang terukur, dan bahwa penting untuk mendengarkan dan mencoba memahami satu sama lain tanpa mencoba memaksa segalanya masuk dalam kerangka pemikiran yang sempit.Cemburu dalam Rasa, Logika yang Terluka adalah kisah tentang bagaimana dua orang dengan pandangan dunia yang berbeda belajar untuk berkomunikasi, berempati, dan akhirnya menghargai kompleksitas emosi manusia. Novel ini menggambarkan perjalanan emosional yang mendalam, mengajarkan tentang pentingnya pengertian dalam sebuah hubungan, terlepas dari perbedaan gender dan cara berpikir.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan