
Adakah yang masih mengingat bagaimana manisnya cinta pertama? Pengalaman pertama bagaimana hati kita untuk pertama kalinya tertaut pada seseorang di usia yang masih belia. Jika diibaratkan rasa manis dan pahit tercampur menjadi satu, sebuah fase mendewasakan bagi anak-anak manusia. Dan itulah yang dirasakan Adhitama, siswa SMP yang barusaja keluar dari desanya untuk mencari pengalaman dan lembaran baru di lingkungan dan sekolah yang berbeda. Pertemuannya dengan Agata menyadarkannya bahwa cinta itu tidak hanya ilusi semu yang dibuat-buat oleh televisi.
Waktu berjalan sangat cepat hingga kelas 3 hanya menyisakan sebulan sebelum Ujian Nasional, Alex makin keras mendesak Tama untuk segera menyatakan perasaannya kepada Agata. Namun, Tama masih bersikeras untuk mengulur waktu dengan dalih bahwa ia maupun Agata masih harus fokus pada Ujian Nasional. Alex masih geregetan karena ia tahu keduanya sama-sama suka, dan menjadi tanggung jawab Tama yang menyatakan perasaan terlebih dahulu karena dia laki-laki. Tama sendiri sebenarnya hanya menajdikan Ujian Nasional sebagai alasan untuk menjawab desakan sahabatnya itu, ia sebenarnya takut setengah mati untuk menyatakan perasaan, ia takut ditolak dan sebenanrya hanya berdelusi jika Agata juga perasaan padanya.
Selama sebulan kegiatan para siswa kelas 3 hanya dipenuhi try out yang membosankan, setiap nilai yang keluar dari try out akan mempengaruhi kasta dari kelas bimbel yang terdiri dari kelas A sampai kelas terbawah yaitu kelas H. Kacau bagi Tama yang kehilangan fokus di hari pertama try out yang lupa membaca jumlah waktu yang tersedi saat try out, jika biasanya Ujian Nasional berjalan 120 menit, ternyata saat try out hanya 90 menit. Kesalahan di hari pertama membuat ritme sepanjang ujian try out menjadi berantakan, seluruh nilainya hancur dan terpuruk di kelas H.
Saat pulang sekolah, Tama gemetaran jika harus memperlihatkan nilai-nilainya yang sangat mengerikan. Seumur hidupnya, tidak pernah ia mendapatkan nilai Matematikan 50, Bahasa Indonesia 60, IPA 55, dan Bahasa Inggris 40. Tidak hanya dirinya, bahkan seluruh kelas terkejut dan tidak ada yang berani menanyakan alasannya, karena aura Tama seharian seperti harimau yang bisa menerkam siapa saja yang mendekatinya sekalipun itu Alex, Ardit, maupun Gun. Di benak Tama hnya membayangkan bagaimana rumahnya malam nanti akan menjadi neraka dan ia juga membayangkan akan seperti apa Ayahnya akan menghajar dirinya.
Tama pulang sekolah sendirian dengan angkot berwarna biru arah Gondanglegi yang biasanya akan ia tumpangi jika Ayahnya tidak bisa menjemput, dan memang hari ini Ayahnya pulang dari sekolah pukul 16.00 WIB karena ada rapat dewan guru. Di sepanjang jalan ia hanya bisa merenung dan mencari alasan yang tepat untuk mengalihkan Ayahnya saat di rumah atau membuat alasan yang tepat seandainya rencananya gagal. Sampai ia harus mengoper ke angkot warna kuning arah Bantur/Gedangan ia masih menutup mulutnya rapat-rapat.
Saat sampai di rumah pukul 13.00 WIB, tidak ada seorangpun di rumah, ia membuka pintu dengan kunci yang ia bawa dan membuka rumah yang rasanya tidak seperti rumah itu. Suasananya sangat sepi dan ada banyak buku maupun kertas berserakan di hamper setiap meja. Interior maupun eksterior rumah memang tampak mencolok dan bersih dari rumah0rmah tetangganya, memperlihatkan strata ekonomi yang lebih tinggi. Rumah satu lantai itu sudah dikeramik penuh dengan warna putih di lantainya, sementara setengah diindingnya dikeramik warna merah. Rumah itu juga cukup besar untuk dihuni oleh 3 orang saja, meskipun bisanya seluruh penghuninya baru lengkap saat pukul 16.00 WIB sampai 06.00 WIB.
Setelah masuk ke kamarnya yang dipenuhi poster-poster bergambar pemain-pemain Arsenal FC, Tama menyembunyikan kertas ujiannya di rak nilai dan menutup pintu kamarnya rapat-rapat agar tidak dketahui siapapun. Ia menggulung tubuhnya di dalam selimut tebalnya untuk bersembunyi, ia lalu tanpa sadar sudah tertidur beberapa jam hingga jam menunjukkan pukul 16.45 WIB. Ia segera terbangun melihat jam dinding di depannya dan mendengar usuara ayahnya di dapur. Ia takut keluar kamar, tapi ia benar-benar lapar dan ingin segera mengisi perutnya dengan semangkuk nasi dan apapun lauk yang ada di dapur. Tapi ia melihat wajahnya di kaca lemari dan membuat wajahnya sedater mungkin agar tidak ada yang sadar dengan hasil try out.
Saat melangkah ke dapur, ada Ayah dan Ibunya yang sedang melakukan aktivitas sendiri-sendiri, ibunya mencuci piring sementara ayahnya masih sibuk mengunyah nasi dan tempe goreng di meja. Tama melangkah mengambil nasi di magicom dan tempe goreng di meja ayahnya, tidak ada respon apapun dari keduanya. Sampai Tama keluar dapur membawa semangkuk makanan dan segelas air putih di tangan kanan masih tidak ada respon apapun. Tama lalu bergegas ke ruang tengah untuk makan sambil menonton TV di ruang tengah, dan merasa kalau orang tuanya lupa dengan hasil try out. Bahkan sampai waktu menunjukkan saatnya sholat maghrib tapi masih belum ada pembicaraan apapun, Tama bersukacita dengan aktingnya yang bisa mengelabui kedua orang tuanya.
Namun, semua ketenangan itu berubah saat pukul 18.15 WIB, Ayah dan Ibu Tama sedang menonton televisi bersama di ruang tengah, Tama yang sedang bersiap belajar dengan mengeluarkan buku paket Matematika tiba-tiba dipanggil ayahnya.
"Tama, hari ini kan hasil ujian try out dibagikan sini lihat hasilnya!" Ujar Ayahnya dengan nada memerintah.
Tama yang mendengar itu langsung tersentak, ia hanya diam di dalam kamar yang pintunya setengah terbuka itu. Dari dasar hatinya berdetak bagai gong yang sauaranya memekakkan telinga. Hal ini karena sudah ribuan kali ia dipukul ayahnya dan kali ini hampir dipastikan ia tidak akan selamat. Dengan langkah gontai ia akhirnya mengambil hasil ujiannya rdi rak dan menyerahkan kepada ayahnya yang duduk di sofa sendirian, sedangkan ibunya acuh tak acuh di depan televisi.
Dengan diam Tama menyerahkan kertas-kertas itu dan ditarik oleh ayahnya yang sudah tidak sabar. Tama bisa melihat dengan jelas rona muka ayahnya berubah dari tenang menjadi sangat beringas dan memerah dengan sangat drastis. Tanpa banyak bicara kertas-kertas itu dilemparkan ke wajah anaknya sendiri diikuti temparan yang tidak bisa dihindari Tama. Dalam hatinya ia ingin sekali menghindar, tapi entah kenapa tubuhnya begitu ketakutan sampai tidak bisa bergerak sendiri. Ia rasakan panas di pipi kanan karena tamparan itu sampai membuatnya terpental ke tanah. Meski tidak bisa dilihat, entah bagaimana Tama bisa merasakan telapak tangan Ayahnya tercetak sempurna di wajahnya.
Tama saat itu ingin menangis sekeras-kerasnya, tapi entah kenapa air matanya tidak keluar, cairan bening itu sepertinya sudah kering lantaran tak terhitung berapa kali ia menangis selama 6 tahun di SD. Kini hatinya telah mati rasa, di rumah yang terbilang mewah ini tidak ada kebahagiaan lagi yang ia rasakan, dalam benaknya ini adalah penjara dan dirinyalah narapidana.
"Apa-apaan hasil tidak karuan seperti ini!!! Menurutmu Ayah menyekolahkan kamu di Turen hanya untuk main-main saja?! Kalau dengan hasil ini mending kamu tidak usah sekolah, jadi gembala sapi saja di rumah! Biar Ayah yang belikan sapinya, kamu yang merumput!" Kecam Ayahnya dengan raungan bak raungan raja hutan,
Tama hanya bisa tertunduk tidak mampu menjawab apa-apa sambil berusaha kembali berdiri meskipun kepalanya benar-benar pusing setelah menerima pukulan telak itu. Jantungnya mulai berdetak normal kembali karena setelah menerima pukulan itu artinya hukuman puncaknya sudah selesai, sekarang hanya menunggu omelan yang bisa jadi berlangsung 30 menit sampai 60 menit.
"Kamu piker dengan nilai ini kamu bisa lulus, hah? Kalau dengan ini kamu hanya akan masuk sekolah swasta bodoh! Mau ditaruh di mana muka Ayah dan Mama sama tetangga?! Tetanggamu ini anak-anak pintar semua, tapi kenapa kamu yang bodoh sendiri!" Tegasnya.
Setelah mengomel hampir 60 menit, Ayah Tama langsung menghukum anaknya agar belajar sampai pukul 22.00 WIB tanpa istirahat. Selama belajar Ayahnya terus saja menggerutu sendiri setiap 30 menit, ia bercerita bagaimana dulu ia selalu juara kelas. Tama hanya menggapi gerutu itu dalam diam, tidak berani menjawab atau mnyanggah, karena saat SD ia sudah sering ingin menjelaskan argumennya, tapi usaha itu hanya menimbulkan pukulan yang lain.
"Iya kamu juara kelas karena sekolah di SMP kecil des aini, sedangkan aku di SMP terbaik di kabupaten yang isinya anak-anak yang lebih pintar lagi," keluh Tama dalam diam.
Tiga jam belajar hari itu benar-benar terasa lama, terutama 30 menit menjelang pukul 22.00 WIB. Ayahnya tak henti-hentinya menyindir betapa melalukannya nilai anaknya tersebut, sementara Tama hanya diam dengan hati yang tercabik-cabik. Penghinaan-penghinaan yang ia terima membuka lagi luka-luka di hatinya yang bekum sepenuhnya kering, dalam batinnya mempertanyakan kenapaia harus dilahirkan di keluarga ini. Ia ingin sekali lari dari rumah, tapi nalar sehatnya mengatakan itu adalah renacan bodoh yang hanya akan menambah masalah baru kedepannya.
------
Suasana rumah yang tidak enak sejak semalaman, membuat hatinya pagi ini di sekolah benar-benar muram. Masih terasa bekas tamparan ayahnya yang kini terlihat membiru, rahangnya agak nyeri saat digerakkan, tapi tidak ada pendarahan untungnya. Ia melintasi lorong sekolah yang sudah ramai siswa, kali ini Tama berangkat dengan angkot dan datang ke sekolah pukul 06.45 WIB. Sampai dari belakang Alex menghampirinya dari belakang dan menepuk tas hitam yang memiliki bros Arsenal milik Tama.
"Hei Tam, gimana perkembanganmu sama Agata?" Tegur Alex dengan senyum lebar di wajahnya.
Tidak ada jawaban dari Tama, ia hanya berjalan dengan tatapan kosong dan sedikit menunduk. Sedikit warna biru di pipi kanan tama sedikiti menjelaskan apa yang terjadi pada sahabatnya dan tidak menunggu jawaban kawannya itu. Keduanya hanya berjalan bersama dengan diam dan saat akan sampai di tangga menuju kelas keduanya, akhirnya Tama berbicara.
"Aku sampai Ujian Nasional gak akan bicara soal Agata dulu Lex, kamu lihat wajahku, semalam aku dihajar Ayahku karena nilai sampah milikku. Selama sebulan ini akau akan fokus memperbaiki ranking. Tidak ada yang bisa menyelamatkan diriku saat ini, baik Agata, kamu, atau semua ayng ada di dunia ini, hnya aku yang bisa menyelamatkan diriku sendiri. Jadi tolong, jangan ceritakan ini kepada siapapun," ungkapnya sembari melanjutkan langkah menaiki tangga, Alex juga mengkuti langkah sahabatnya dari belakang dengan diam.
Saat try out yang diselenggarakan seminggu setelahnya, Tama langsung meroket dari kelas H ke kelas A, ia berhasil merangkak dari kerak neraka menuju surga. Ia mendapatkan rekor siswa paling progressif karena peningkatan pesat rangking ini tidak pernah terjadi sebelumnya, dari siswa nomor lima paling buncit di Angkatan, berubah menjadi 5 terbaik di angkatan. Selain nilai Matematika, IPA, dan Bahasa Indonesia yang di atas 8, sangat mengejutkan karena nilai Bahasa Inggrisnya mencapai 9 poin dan hanya salah satu soal saja. Padahal Bahasa Inggris adalah kelemahannya selama ini. Namun, dengan hasil ini membuat kepercayaan dirinya meningkat lagi, sekaligus menyelamatkan dari pukulan lainnya dari Ayah.
Praktis selama sebulan Tama memendam Hasrat untuk bertemu Agata, jangankan bertemu, SMS saja tidak bisa karena keduan orang tuanya tiap hari makin ganas saja setiap kali waktu Ujian Nasional mendekat. Setelah gebrakan dari kelas H ke kelas A, Tama bertahan di kelas teratas itu untuk 2 try out selanjutnya. Sensasi di kalas A memang sangat jauh berbeda dari kelas H, jika di kelas terbawah ini hanya ada keputus asaan dari para siswa yang sudah tidak perdui lagi dengan nasib, anak-anak kelas A jauh lebih positif dan sangat cepat menangkap materi seperti air di dalam pasir.
Sehari sebelum Ujian Nasional, para siswa diminta mengecek tempat duduk ujian masing-masing. Tama ditempatkan di ruang sepuluh yang letaknya di lantai satu ruang paling belakang di sekolah, ia sekelas dengan Alex, Ardit, dan Agata. Sementara Gun terpencar di ruang 11 yang letaknya di sebelah ruang ujian mereka. Tama sendiri mendapatkan meja nomor 21 yang letaknya di baris kedua dekat pintu masuk yang berada di sebelah kanan kelas. Di masing-masing meja ditempelkan kartu ujian yang terdapat foto, nomor induk, dan tanggal kelahiran.
Iseng, Tama mencoba melihat milik Nsa karena saat itu masih sangat pagi dan tidak ada satupun siswa di ruangan tersebut. Tama lalu tefokus pada nama Yuanita Agata dan tanggal lahir 23 September 1995. Hal itu menjadi sedikit ganjalan karena ternyata Agata 2 bulan lebih tua darinya, padahal ia mengira Agata kelahira 1996 seperti umumnya anak seangkatannya, sementara anak yang lahir di akhir 1995 terpakasa harus ikut angkatan bawahnya karena tidak bisa ikut angkatan yang lahir 1995 awal.
Hal ini menjadi sedikit ganjalan dalam hatinya karena di kelaurganya agak ganjil seandainya ada pasangan dengan usia perempuannya lebih tua. Tama membayangkan apakah hubungannya akan berhasil sampai pelaminan nanti. Seandainya ia dan Agata menikah, apakah Ibunya akan setuju. Beberapa menit kemuidian Tama tersadar karena tiba-tiba ada anak kelasnya yang masuk, ia menghilangkan segala pemikiran liarnya tadi dan memilih fokus sepenuhnya untuk ujian.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
