
Hallo semua, selamat datang di cerita novel pertama ku 😁
Mohon maaf karena aku masih pemula, jadi mohon maklum yah 🙏
Semoga kalian suka dengan cerita Astara ini, selamat membaca
Pagi hari menyapa dengan sinar matahari yang perlahan menerangi desa yang damai. Di dalam sebuah gubuk yang beratap jerami dan berdinding kayu, Astara yang terbaring di atas ranjang mulai sadar, matanya berkedip menyesuaikan dengan cahaya yang masuk melalui celah-celah atapnya. Dia merasakan tubuhnya masih lemas, saat menoleh, ia melihat seorang pria tua duduk tepat di samping ranjangnya dengan senyum penuh kehangatan.
“Ahh … Dimana ini?” tanya Astara setelah terbangun dari pingsannya.
“Tenanglah, kamu sudah berada di Desa Lembah, kalian tak sadarkan diri saat setelah mengalahkan Waraka,” jawab Kakek Sinole dengan lembut.
“Kakek Sinole … Bagaimana kami bisa sampai ke sini?" tanya Astara lagi.
“Aku memanggil para Yada untuk membawa kalian,” pungkas Kakek Sinole singkat.
Setelah beberapa saat berlalu, tiba-tiba sebuah pertanyaan terpintas di benak Astara, “Waraka, Apakah dia benar-benar telah dikalahkan?”
Kakek Sinole menjawab dengan anggukan disertai senyuman, “Kalian sudah berjuang dengan berani, tak kusangka kamu adalah pengguna sihir yang hebat, mungkin suatu hari kamu bisa mengajari ku … Hahaha …,” gelak tawa memenuhi gubuk itu.
Akkkkhhh …
Pekik Astara merasakan nyeri di tubuhnya saat mencoba bangun dari tempat tidurnya.
“Lalu dimana Raen dan juga Kurila? Apakah mereka baik-baik saja?” tanya dia lagi.
“Mereka sudah pulih, bahkan pulih lebih cepat daripada dugaan ku,” sambil melirikkan matanya ke arah pintu masuk tenda yang tertutup tirai daun.
Sebuah wajah yang tak asing dengan senyum yang bersahabat muncul dari baliknya, “Astara!! kamu sudah sadar?!” teriak Raen mencuri perhatiannya disusul senyum Kurila yang menyapanya dari belakang, “Hahaha … Kamu sudah sadar kawan,” Mereka berlari dan saling berpelukan dengan rasa syukur.
Mereka tertawa bahagia, sebuah rasa yang sangat lega memenuhi perasaan mereka, lega dan gembira menyadari semua teman-temannya dalam kondisi yang baik-baik saja, “Jadi apakah kita sudah bisa kembali ke Bhumiloka?” tanya Astara bersemangat.
“Jangan bercanda kamu, jangan sok kuat deh …,” jawab Raen sambil menyentuh lengan Astara yang langsung dijawab dengan pekikan kesakitan, “Aduh … Akkh ….”
“Lihat, baru saja juga aku sentuh, kamu sudah kesakitan hahahaha … Dasar anak lemah!” ledek Raen sambil tertawa.
“Hahahaha …,” sahut Kurila sambil terpingkal.
Mereka bertiga saling bercanda satu sama lain hingga tanpa sadar Mace Papeda sudah berada di dalam tenda itu. Kurila yang menyadarinya lebih dulu langsung mengambil posisi menghadapnya dan menundukkan kepalanya, hal tersebut langsung disadari oleh Raen dan juga Astara yang sedang bercanda.
“Hemm … Kalian sudah pulih rupanya!” sahut Mace Papeda.
“Betul Mace, mereka sudah sadar namun masih perlu beristirahat untuk memulihkan tenaga mereka,” jelas Kakek Sinole.
“Baguslah kalau begitu, dengan beristirahat yang cukup kalian akan cepat pulih,” jawab Mace Papeda dengan senyuman. Pemimpin Suku Lembah Cendrawasih itu mengeluarkan sebuah botol kecil yang terbuat dari kaca, dan memperlihatkannya kepada Astara, dalam botol kaca itu terdapat sebuah cairan yang berwarna merah terang, “Ini adalah sari dari buah kuansu yang telah lahir kembali, pergunakanlah sebaik mungkin dan jaga baik-baik ramuan ini, agar dapat berguna sesuai dengan apa yang diharapkan,” ucap Mace Papeda.
Astara yang semula berada di atas ranjang berusaha untuk bangkit dan berdiri, walau terasa sedikit nyeri di beberapa bagian tubuhnya namun dia menahannya sejenak. Bocah itu melepas kristal merah yang ada di lehernya dan mengembalikan benda tersebut kepada Mace Papeda, “Terima kasih Mace Papeda, terima kasih banyak!” tanpa sadar Astara memeluk tubuh Mace Papeda yang berada di hadapannya.
Sontak Raen dan juga Kurila terkejut dengan kejadian itu. Hanya raut wajah malu-malu yang tergambar di wajah mereka. Astara menerima botol yang berisi sari buah kuansu dengan perasaan yang gembira, dalam benaknya membayangkan semua kejadian yang pernah dilalui, setelah menempuh perjalanan yang begitu panjang dan juga menantang, akhirnya ramuan yang dicarinya berhasil dia dapatkan, saat ini ramuan itu sudah berada di tangannya.
“Jadi, apa rencana kalian selanjutnya?” tanya Mace Papeda singkat.
“Aku akan segera kembali ke Desa Sengguana untuk menyembuhkan ibu ku,” ucap Astara singkat.
Anggukan ramah dai Mace Papeda seolah merestui apa yang akan mereka lakukan, “Tinggallah selama yang kalian mau,” ucapnya seraya keluar dari tenda.
“Baiklah kalau begitu beristirahatlah anak manja! tinggallah selama yang kamu mau,” ucapnya Raen mengulang apa yang disampaikan oleh Mace Papeda dengan nada yang mengejek.
Hal tersebut sontak membuat mereka bertiga tertawa terbahak-bahak. Selama pemulihan, mereka benar-benar menikmati waktu dengan berbaur bersama penduduk desa, Lembah Cendrawasih dipenuhi dengan keajaiban alam yang menenangkan. Udara segar, pepohonan hijau yang rindang dengan bunga-bunga eksotis yang bermekaran di setiap sudut desa menciptakan pemandangan yang memukau, Sungai-sungai kecil berkelok diantara rumah-rumah penduduk yang terbuat dari kayu dan batu.
Kurila membantu penduduk desa dengan mengumpulkan hasil panen, buah-buahan yang tumbuh subur di sekitar lembah dengan penuh semangat. Dia bekerja bersama para penduduk yang sedang bekerja di ladang, membantunya memulihkan tenaganya dengan kegiatan fisik yang sederhana. Sementara itu Raden sedang bergabung dengan para Yada yang sedang berlatih ringan mengasah kemampuan berpedangnya.
Astara, yang sudah bisa berjalan perlahan, sering kali duduk di bawah pohon besar dekat pintu masuk aula, memandangi pemandangan lembah yang memanjakan mata. Dari kejauhan, dia bisa melihat puncak Gunung Jaya yang menjulang tinggi. Hatinya dipenuhi dengan rasa syukur atas perlindungan dan perawatan yang mereka dapatkan di sini. Sambil menunggu tenaganya dan luka-lukanya pulih sepenuhnya. Kakek Sinole, yang senantiasa ramah dan bijaksana, sering kali mendampingi mereka, menceritakan kisah-kisah kuno tentang Lembah Cendrawasih, tentang para leluhur dan makhluk-makhluk yang tinggal di sana. Setiap malam, desa dipenuhi dengan nyala lentera yang menggantung di sepanjang jalan, memberikan nuansa kehangatan. Suara seruling bambu yang dimainkan oleh para penduduk menambah kedamaian di malam hari.
"Sungguh indah dan damai di sini," kata Raen sambil duduk di sebelah Astara di pinggir sungai kecil, "Tempat seperti ini membuat kita lupa akan dunia luar."
"Ya," Astara menanggapi pelan, "Tak heran tempat ini juga dijuluki potongan surga yang jatuh ke bumi."
Kurila bergabung dengan teman-temannya, sambil membawa sekumpulan hasil dari ladang, "Makanlah buah ini, sambil menikmati ketenangan ini. Tempat ini benar-benar tempat yang penuh keajaiban, bukan?"
Setelah beristirahat selama dua hari, mereka pun bersiap untuk melakukan perjalanan menuju Bhumiloka. Mereka bertiga berpamitan dengan seluruh penduduk desa, setelah selesai, mereka semua berkumpul di sebuah tanah lapang yang sangat luas, “Jadi apa yang akan kita lakukan di sini?” tanya Astara.
“Tentu saja mengantar kalian kembali,” ucap Mace Papeda.
Mereka bertiga mengernyitkan dahi sambil melihat sekeliling, “Mengantar kami pulang bagaimana?”
Tidak lama berselang, sebuah angin kencang menerjang mereka semua, disertai suara pekikan yang sangat tinggi dan nyaring, “Sebenarnya apa yang sedang terjadi di sini?” tanya mereka bertiga kebingungan.
Diatas langit tampak tiga ekor burung sedang terbang beriringan, mulanya terlihat kecil, namun semakin rendah burung itu terbang lama kelamaan ukuran mereka semakin besar dan besar, bahkan lebih besar berkali-kali lipat dari ukuran tubuh Kurilala yang ukurannya satu setengah lebih besar dari tubuh manusia dewasa. Tiga ekor burung raksasa itu mendarat di tengah-tengah kerumunan penduduk desa, tubuh mereka memukau ukurannya begitu fantastis. Burung itu memiliki bulu-bulu coklat keemasan yang berkilau di bawah sinar matahari, dengan sayap yang begitu lebar dan kokoh.
Seketika burung itu menundukkan kepalanya di hadapan Mace Papeda, seolah mereka memberikan salam, Mace Papeda juga membalas dengan anggukan anggun, mereka saling berbalas salam.
Astara, Raen dan juga Kurila tak henti-hentinya terpukau dengan makhluk yang ada dihadapan mereka, “Makhluk yang sangat luar biasa!”
“Hahaha … Ini adalah burung Garuda, burung agung, yang sangat legendaris, mereka hidup di puncak gunung jaya,” jelas Kakek Sinole.
“Ini … Ini luar biasa, aku belum pernah melihat burung sebesar dan segagah ini, sungguh sangat mengagumkan,” ucap Astara terpukau.
“Mereka yang akan mengantar kalian menuju gerbang Sarendjana,” terang Kakek Sinole.
“APAAA!!” ucap mereka bertiga terkejut.
Setelah mereka bertiga naik di punggung Burung Garuda itu, mereka bersiap untuk lepas landas, “Ini akan menjadi perjalanan yang tak akan terlupakan untuk kalian semua,” pungkas Kakek Sinole.
“Terbanglah Burung nan Agung, antarkan mereka sampai ke gerbang Sarendjana, biarkan sayap-sayap kokoh mu mengepak dengan megah di atas langit Purwaloka,” ucap Mace Papeda dengan lantang.
Begitu mereka semua sudah siap, Burung Garuda mengepakkan sayapnya dengan kuat dan seketika mereka terangkat dari tanah. Angin kencang menyapu wajah mereka saat mereka mulai terbang menembus awan putih. Pemandangan dari angkasa begitu indah. Desa Lembah Cendrawasih tampak mengecil dari ketinggian, dikelilingi oleh pegunungan hijau dan sungai yang berkelok-kelok. Astara menatap kebawah dengan takjub, merasakan sedang melayang-layang di antara awan, “Aku tak pernah membayangkan dapat terbang setinggi ini,” ucap bocah itu dengan senyum lebar.
Burung Garuda dapat terbang dengan kecepatan yang sangat luar biasa, melintasi lembah, hutan dan sungai dalam waktu singkat. Walau Raen mungkin lebih sering terbang dari yang lainnya, namun ketakjubannya tidak dapat disembunyikan dari raut wajahnya yang sumringah.
“Lihat kita sudah berada di atas desa pesisir, jangan lupa untuk menyampaikan salam dari Ibu Indey kepada Pak Marthen?” ucap Kurila mengingatkan.
“Ya kamu benar, tapi bagaimana caranya menyampaikan kepada Burung Raksasa ini agar kita bisa mendarat?” tanya Astara.
"Tenang saja, serahkan padaku," setelah itu Kurilal berbicara dengan bahasa yang tak pernah Astara tahu dan tiba-tiba burung raksasa itu menukik tajam dan mendarat tepat di dermaga pantai, penduduk sekitarpun terkejut mereka melihatnya dengan takjub, bagaimanapun juga mereka tidak pernah melihat burung sebesar itu tepat di hadapan mereka. Mereka berbicara saling berbisik antara takut dan juga kagum.
“Pak … Pak Marthen," teriak Astara memanggil pria tua itu.
Pak Marthen mengingat, ingat wajah yang memanggilnya, “Aah … Ternyata kamu, anak yang waktu itu, bagaimana apakah kamu sudah mencapai Desa Lembah Cendrawasih?” dengan wajah sedikit meremehkan.
“Yah tentu saja! aku baru saja dari sana,” jawab Astara dengan santai.
“Haaaa … Apa! benarkah itu?!” tanya Pak Marthen terkejut bukan main.
“Tentu saja kami tidak berbohong, coba lihat apa yang kami tunggani ini,” sahut Raen sambil menunjuk ke arah 3 burung garuda raksasa.
Seketika raut wajah Pak Marthen pucat tak percaya, “Jadi! jadi! kalian benar-benar Aaaaaahh … Aku benar-benar tak percaya akan hal ini,” ucapnya terbata-bata penuh rasa tidak percaya.
Namun mereka bertiga hanya senyum-senyum menanggapi kekikukan Pak Marthen yang alami tanpa rekayasa, “Hahahaha … Kamu terlalu meremehkan kami pak tua,” sahut Raen menanggapi.
“Oooh ... Iya aku hampir lupa, sesuai janji kami kepada Ibu Indey, dia menyampaikan salam dan terima kasihnya atas pemberian mu waktu itu, dia sangat senang sekali,” ucap Astara.
“Waaah … Ternyata kalian juga berhasil melakukan ritual di bawah pohon berbunga kuning, hahahaha …,” ucap Pak Marthen dengan gembira.
“Tentu saja kami berhasil dan berkat Anda lah kami tahu jalan menuju Desa Lembah Cendrawasih, untuk itu kami mengucapkan terima kasih banyak,” sahut Astara.
“Hemm … Begitu ya, jadi apakah kalian menemukan apa yang kalian cari?” tanya Pak Marthen lagi, dengan nada berbisik.
“Tentu saja kami berhasil mendapatkannya, akan aku jaga dan aku gunakan sebaik baiknya,” jawab Astara dengan nada yang berbisik juga.
Mereka berpamitan dengan penuh suka cita dan setelahnya mereka bertiga mengangkasa lagi di punggung burung garuda. Tak berselang lama mereka sudah dekat dengan Desa Nelayan yang waktu itu juga mereka tolong. Dari angkasa terlihat penduduk sudah mulai melaut dan beraktifitas lagi, juga terlihat anak-anak kecil terlihat berlarian diantara rumah penduduk. Dari sudut lain, Nenek Kepala Desa sedang melihat angkasa dari depan rumahnya, melihat tiga burung sedang mengudara saling beriringan, seketika bibirnya tersenyum memancarkan kebahagiaan dan rasa terima kasih yang tak terbendung.
“Lihat! kita semakin dekat dengan reruntuhan kota,” ujar Raen sambil menunjuk ke arah daratan yang dipenuhi dengan batu-batu besar yang berserakan.
Saat mereka mendekati tempat itu, Burung Garuda mulai terbang melambat dan mulai turun dengan anggun di udara, seolah-olah memberikan pengalaman akhir yang mempesona di akhir perjalanan. Burung garuda mendarat dengan lembut tepat di depan pintu masuk reruntuhan kota dan mereka memberikan salam perpisahan terakhir, mengucapkan terima kasih dengan gelagat yang mereka tahu. Setelah semua selesai, Burung Garuda itu mulai mengangkasa lagi dan melesat kembali menuju Puncak Gunung Jaya, mereka bertiga mulai berjalan masuk menuju ke dalam reruntuhan dan mulai ritual untuk menyusun kembali gerbang yang sempat runtuh. Dengan kesaktian Galah mereka dapat membuka gerbang Serandjana lagi dan kembali ke Bumiloka.
Glagaar … Duarrrrrr …
Suara ledakan sihir menyeruak di seluruh area.
Mereka semua terhenyak, dengan kemunculan makhluk bertubuh manusia setengah ikan sambil membawa senjata Parang Salawaku di tangannya. Menatap mereka semua dengan perangai tajam.
“Khakhakha … Kenapa kalian terburu-buru?! Mau pergi kemana kalian?” ucap makhluk itu mengancam.
“Siapa kamu? Kami tidak ada urusan denganmu!” hardik Astara.
“Hei! makhluk ikan … Sebenarnya apa yang kamu inginkan?” ardik Raen dengan suara kencang.
“Dasar kunyuk! beraninya kalian menghinaku!” balas makhluk itu sambil menebaskan senjatanya.
Seketika gelombang air yang cukup deras menerjang mereka, membuat ketiganya tersungkur dan terengah-engah, “Aaakh … Apa yang sebenarnya terjadi, kenapa tiba-tiba ada gelombang air yang begitu besar di sini?” tanya Kurila kebingungan.
“Mungkin keahliannya adalah mengendalikan air, jika dilihat dari tubuhnya, maka itu tidaklah mengejutkan!” sahut Raen mengamati.
“Dengan satu serangan saja kalian sudah tersungkur parah, khakhakha … Lihatlah betapa lemahnya kalian itu,” hardik Makhluk itu lagi.
Tidak membutuhkan waktu lama, pertarungan pun terjadi diantara mereka, kali ini pertarungan tiga lawan satu. Astara, raen dan Kurila menyerang makhluk aneh yang tiba-tiba muncul dengan sekuat tenaga, namun makhluk itu begitu kuat. Dengan kemampuannya saat ini sepertinya mereka bertiga tidak dapat mengalahkannya. Akhir dari pertempuran tersebut sudah dapat terlihat sejak awal, mereka bertiga dikalahkan dengan sangat mudah. Namun hal yang paling menyedihkan dari kekalahan itu adalah Raen di sandra oleh makhluk itu.
“Tidak usah pedulikan aku, kalian tetaplah melanjutkan perjalanan kembali! segera selamatkan ibumu Astara!” teriak Raen memperingati yang lainnya.
Astara yang terluka berusaha menyelamatkan Raen namun dihalau oleh Kurila, “Tidak, jangan! Lepaskan aku Kurila, dia akan membunuh Raen, kita harus menyelamatkannya!” ucapnya pada Kurila yang sedang menarik Astara masuk menuju gerbang portal.
“Astara! aku tahu ini berat, tapi kita harus tetap kembali untuk menolong orang tuamu! Saat ini kita tidak bisa mengalahkan makhluk itu,” bocah itu tidak menjawab sepatah katapun dari apa yang disampaikan oleh Kurila, tubuhnya terus saja bergerak melawan namun Kurila tetap saja menarik tubuh mungilnya untuk segera melewati portal penghubung. Setelah berhasil sampai di Bhumiloka, dengan kesadaran penuh Kurila merobohkan gerbang dengan sekali hentakan, dengan maksud agar makhluk itu tidak dapat mengejar mereka.
“Apa! Apa yang kamu lakukan … Kenapa kamu malah menghancurkan gerbang itu?! bagaimana kita bisa menyelamatkan Raen?” tanya Astara dengan sangat bersedih.
Namun Kurila hanya membisu tidak menjelaskan apapun, dari raut wajahnya juga tergambar rasa bingung dan kecewa, dipikirannya hanya terlintas ini adalah keputusan yang terbaik untuk saat ini. Setelah menuntaskan rasa pedih yang belum terobati, mereka melanjutkan perjalanan, melintasi gerbang Sarendjana dan menempuh perjalanan sekitar tiga hari menuju desa Senguana, tempat kelahiran Astara. Setelah menempuh perjalanan yang panjang akhirnya mereka berdua berdiri tepat di samping papan selamat datang. Tak sepatah katapun keluar dari mulut Astara, hanya dengusan dan tarikan napas panjang, seolah mencoba untuk membesarkan hatinya tentang apa yang telah terjadi sebelumnya, tepukan tangan dari Kurila tepat di pundaknya mencoba untuk menenangkannya dari kesedihan di sepanjang perjalanan.
Bagaimana tidak, Raen adalah sosok yang pertama kali menolong Astara dan juga yang pertama kali menjadi teman perjalanannya. Kejadian dimana Raen di bawa oleh makhluk misterius yang tidak pernah mereka temui sebelumnya adalah pukulan yang sangat besar bagi jiwa dan mentalnya.
Mereka berdua berjalan dengan langkah gontai, “Didepan situ setelah belokan, adalah tempat tinggal ku,” ucap Astara menjelaskan dengan nada datar.
“Apakah hanya kedua orang tuamu yang tinggal disana?” tanya Kurila singkat.
“Iya, hanya Ayah dan Ibuku yang sedang terbaring di atas tempat tidur.”
Langkah Astara terhenti, dia terdiam saat berada di tengah-tangah perjalanan menuju tempat tinggalnya yang berjarak sekitar seratus meter. Dari kejauhan dia dapat melihat kepulan asap hitam membumbung dari arah tujuannya, tiba-tiba kaki kurusnya menjadi ringan, dia berlari sekuat tenaga untuk menghampiri tempat tinggalnya itu. Kurila yang berada di belakangnya ikut berlari mengejar, baru kali ini dia melihat Astara dapat berlari sekencang itu, bahkan dia harus berlari dengan menggunakan kedua tangannya yang panjang untuk mengimbanginya. Sesampainya di depan rumahnya, kedua kakinya terasa lemas tak bertenaga, seluruh sendi sendirinya luruh bersama peluh yang mengucur, melihat pemandangan yang begitu menyayat hati dan jiwanya.
Satu-satunya tempat tinggal yang dia miliki telah hangus terbakar, menyisakan puing dan arang yang berserakan dan berasap, Air matanya tak dapat terbendung lagi, seluruh jerih payah dan pengorbanannya selama ini telah sia-sia. Orang yang dia perjuangkan sudah tidak ada lagi, seketika air hujan turun dengan deras membasahi tubuh kecilnya, menyamarkan air mata yang mengalir di pelipisnya, suara tangisnya tersamar oleh guntur yang menggelegar. Tangisnya meluap-luap, emosinya tak terbendung, teriakan kesedihannya setebal mendung yang datang tiba-tiba. Tangan besar Kurila mendarat di pundak kanan Astara ikut merasakan kesedihan yang dia rasakan.
Dari balik puing-puing rumah itu, Kurila mengangkat tubuh Pak Sudia & Ibu Iani yang berjarak tidak jauh, tubuh yang lemah dan tak berdaya, tubuh yang tak lagi bernyawa. Makhluk Mariaban itu menggendong kedua jenazah menuju lahan kosong yang ada di samping rumah mereka, membaringkan tubuh kedua orang tua Astara di atas tumpukan kayu yang sebelumnya telah mereka siapkan. Kurila menyerahkan obor dengan penuh rasa empati kepada Astara, dan tak berselang lama kedua tumpukan kayu itu mulai terbakar api, asap yang membumbung ke atas turut mengantarkan jiwa Pak Sudia dan Ibu Iani ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Astara menatap dengan kosong, pikirannya melayang entah kemana seperti tidak bersama raganya, semua kenangan yang ada di benaknya muncul selayaknya film yang sedang diputar, “Siapa lagi yang aku punya? kedua orang tuaku sudah tidak ada! kemana lagi aku harus pulang?” tanyanya dalam tangis. Kurila hanya diam termenung, melihat ekspresi Astara yang larut dalam kesedihan.
Keesokan paginya Kurila terbangun di pematang rumput, api unggun yang sempat mereka buat saat ini sudah padam hanya meninggalkan abu dari kayu yang terbakar. Dia melihat Astara yang duduk termenung di samping sungai tempat mereka berkemah, melihat temannya sedang larut dalam kesedihan membuat hati kecil Kurila tergerak.
“Akupun juga sama! aku adalah makhluk terakhir dari bangsa ku, bertahun-tahun hidup sebatang kara di reruntuhan kuno membuatkan tidak memiliki tujuan hidup, berkelana seorang diri pun rasanya percuma, siapa lagi yang aku cari, namun jujur saja saat aku bertemu dengan kalian berdua, seketika semua itu berubah, aku seperti memiliki tujuan baru, aku merasa hidupku memiliki arti. Aku tidak tahu sedalam apa duka yang sedang kamu rasakan, tapi aku menganggap kalian sudah seperti saudara bagiku dan disinilah dimana tempat ku berada!”
Setelah mendengar ucapan Kurila dari lubuk hatinya, membuat Astara tersadar bahwa saat ini teman-temannya lah yang menguatkannya, selama dia bersama teman-temannya itu bahaya dan rintangan sebesar apapun dapat mereka hadapi, karena mereka bertiga saling menguatkan, “Setelah menabarkan abu kedua orang tua ku, kita kembali ke Purwaloka, kita harus menyelamatkan Raen!” ucap Astara menguatkan diri.
Kurila hanya mengangguk setuju dengan apa yang disampaikan Astara, “Kita berangkat sekarang!” sahut Kurila
Dengan membawa perbekalan seadanya, mereka berdua bergegas bersiap kembali menuju Purwaloka untuk menyelamatkan Raen. Apakah ini pertanda bahwa ramalan yang telah ditulis Suku Gergasi akan menjadi kenyataan?
“Dalam setiap langkah kehidupan, manusia akan selalu dihadapkan dengan banyak pilihan, apapun yang menjadi pilihan adalah yang akan menentukan arah hidupnya.”
Tamat?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
