
Hallo semua, selamat datang di cerita novel pertama ku 😁
Mohon maaf karena aku masih pemula, jadi mohon maklum yah 🙏
Semoga kalian suka dengan cerita Astara ini, selamat membaca
Note: Perdamaian seperti apa yang kita harapkan? bahkan sebuah kemenangan pun tak dapat membayar kepedihan dari kemenangan itu sendiri.
Astara terkejut dengan apa yang baru saja dia dengar, bagaimana tidak. Ternyata Karuru & Mace Papeda mengenal Kakeknya.
“Haah … Bagaimana mungkin kalian berdua bisa mengenal kakek ku?” tanya Astara terkejut.
Mace Papeda tidak dapat menyembunyikan wajahnya yang emosional, “Tentu saja aku mengenalnya, dia adalah seorang penjelajah yang berani dan juga baik hati!” ucapnya sambil melihat Astara.
Mace Papeda melanjutkan, “Dia adalah salah satu dari sedikit orang dari luar yang berhasil menjelajahi Gunung Jaya ini dan dia pernah tinggal bersama kami di lembah ini, dia mengajari kami berbagai macam pengetahuan, teknologi, ilmu bercocok tanam dan juga beternak. Dia juga memberitahu kami banyak hal tentang dunia luar dan banyak hal lainnya.”
Mendengar cerita dari kepala suku itu tiba-tiba wajah Astara berubah termenung, “Aku selalu mendengar cerita tentang kakekku dari orang lain, tapi aku sendiri tidak pernah bertemu atau bahkan mengenal dirinya,” celetuk Astara.
Mace Papeda tersenyum lembut, mendengar ucapan itu sambil mengelus kepala Astara, “Kejadian itu sudah puluhan tahun yang lalu, dan saat ini kamu berada di tempat yang sama saat kakekmu untuk pertama kalinya datang kesini. Bukan kah itu takdir yang sangat luar biasa!? Kejadian yang tak pernah aku bayangkan akan terulang kembali.”
Kakek Sinole, yang berdiri di depan lemari besar, mengambil sebuah gulungan tua yang terbuat dari daun yang telah dikeringkan, warna dan juga kerutan dari daun itu menandakan usia yang tidak sebentar, dia membaca isi dari gulungan itu yang dikatakan sebagai ramalan. Mereka bertiga termenung mendengar yang baru saja diucapkan oleh Kakek Sinole, Merasa tidak percaya dan juga bertanya-tanya, “Apa iya kami adalah sosok yang tertulis dalam ramalan itu?”
Namun semua itu seperti bukan apa yang Astara bayangkan, tujuannya ke tempat ini adalah untuk mencari ramuan untuk ibunya, tidak lebih dan lagi-lagi Astara harus menjelaskan apa yang membawanya hingga sejauh ini, “Maaf kan aku Kakek Sinole, bukan maksud hati ingin mengecewakan kalian, namun kedatangan kami kemari hanyalah mencari ramuan kuansu demi menyembuhkan ibuku dari sihir jahat.”
“Baiklah kami paham dengan apa yang kamu jelaskan, namun …,” belum selesai Mace Papeda menjelaskan apa yang ada di benaknya, seorang penduduk berlari ke dalam ruang aula dan berteriak, “Desa sedang di serang!”
Suara teriakan terdengar dari luar ruangan yang membuat suasana di dalam aula mendadak berubah genting, “Raen lihat pedang mu, benda itu bercahaya lagi,” ucap Astara.
Raen tertegung melihat pedangnya bercahaya biru, yang menandakan bahwa makhluk itu berada di dekat mereka, “Datang juga kau makhluk jahanam!” ucapnya dengan marah.
Raen langsung berlari menuju pintu keluar disusul Karuru dan juga Kurila, kondisi di luar sudah sangat berantakan, beberapa rumah hancur dan atap-atap rumah terbakar, teriakan ketakutan menggema dari berbagai arah, penduduk berlarian mencari perlindungan dan juga pertolongan. Beberapa prajurit sudah bertarung dan tidak sedikit dari mereka yang terluka. “Awaaas!” teriak Karuru sambil menarik tubuh Raen yang hampir terkena panah api.
“Bala Tanduk Merah!” ucap Raen sambil menarik pedangnya, membalas serangan dari prajurit yang menembakkan panah ke arahnya.
“Aku kira kamu sudah menghabisi mereka saat di desa nelayan waktu itu?” tanya Kurila di sela-sela pertarungan.
“Ya, kami sudah mengalahkan Waraka dalam pertarungan itu, tapi kami tidak membunuhnya, tak kusangka mereka mengikuti sampai ke sini,” jelas Raen.
Astara yang baru saja keluar dari ruang aula melihat pemandangan yang mengerikan di hadapannya, “Bukankah itu pasukan Bala Tanduk Merah? dan bagaimana mereka bisa sampai kesini?” tanyanya dalam hati.
Pertarungan terus berlangsung, pasukan Bala Tanduk Merah menyerang dengan bengis tanpa ampun, mereka menyerang penduduk yang tak bersenjata, anaka-anak dan wanita tanpa kecuali. Suasana tenang di Lembah Cendrawasih seketika berubah menjadi medan pertempuran. Jeritan dari penduduk bergema di setiap sudut pemukiman, mereka berempat berdiri dikelilingi api dan darah.
“Kita tidak bisa tinggal diam begitu saja!” ucap Raen sambil melompat menghunuskan pedangnya, menangkis serangan yang ditujukan kepada seorang anak kecil, “Tahukah kalian, bahwa yang kalian lakukan itu benar-benar biadab!” teriak gadis itu.
Karuru dengan busurnya, menembakkan anak panah bertubi-tubi, menghabisi musuh yang jumlahnya sangat banyak. Kurila dengan tangannya yang besar meremukkan tubuh pasukan Bala Tanduk Merah dengan sekali pukulan, ”Kita tidak bisa membiarkan mereka menghancurkan tempat ini,” teriaknya sambil menendang prajurit ke tanah.
Sementara itu, Waraka sang panglima, sedang berdiri di atas bukit sambil mengawasi pertempuran dengan senyum dingin, “Habisi mereka semua! Jangan biarkan siapapun lolos,” perintahnya dengan teriakan yang sangat keras dan penuh amarah.
Pertarungan jadi semakin sengit, pasukan Bala Tanduk Merah terus berdatangan dengan jumlah yang tak terhitung, ratusan anak panah mereka lancarkan dari udara, tombak menghunus tubuh-tubuh renta tak berdaya, suara pedang berdenting saling beradu, sungguh sangat kacau. Pertarungan terus berlanjut seperti tak ada habisnya, dengan keberanian yang luar biasa dari Raen, Kurila, Karuru dan juga para Yada, yaitu prajurit Suku Lembah Cendrawasih, terus menghalau semua serangan, ”Aku tidak melihat Astara, dimana anak itu?” ucap Raen di tengah pertempuran.
“Benar, dari tadi aku tidak melihatnya, dimana dia?” sahut Kurila menyadari salah satu temannya tidak ada disana.
Di suatu tempat yang tak jauh dari lokasi pertempuran itu Astara bersembunyi di bawah akar pohon besar, menghindar dari pertempuran berdarah itu, malam semakin larut bulan bersinar terang di atas Lembah Cendrawasih. Galah yang mengetahui hal tersebut langsung saja meluapkan emosinya dengan memukul kepala anak itu.
TUNG … TUNG … TUNG …!
Suara pukulan di kepala Astara.
“Kenapa kamu malah bersembunyi disini, dasar bodoh!” ucap Galah kesal.
“Tapi mereka sangat banyak, mana mungkin kita bisa mengalahkan mereka?! Lihatlah …,” kata Astara mencari alasan.
“Hei! buka mata mu anak manusia, teman-teman mu sedang bertarung mati-matian demi menolong penduduk disini, tapi kamu malah melarikan diri!”
“Maafkan aku Galah, tapi aku takut!”
“Coba kamu pikir, apakah mereka semua tidak takut!? mereka pasti merasakan hal yang sama, namun semangat berjuang mereka yang membuat mereka berani untuk melawan, Mereka adalah teman-teman yang rela berkorban untuk menolong yang lain, mereka rela mengabaikan keselamatan mereka untuk menyelamatkan orang lain, mereka adalah teman-teman yang sangat berharga Astara! Jika terjadi sesuatu terhadap mereka, aku yakin kamu adalah orang pertama yang akan menyesalinya!” ucap Galah menyadarkan Astara.
Bocah itu terdiam dan merenung, meratapi apa yang diucapkan Galah kepadanya, “Kamu benar, aku tak rela jika hal buruk menimpa mereka semua, mereka adalah teman yang menemani perjuangan ku di saat aku tak berdaya, Raen adalah orang yang menyelamatkan ku dari serangan makhluk asap itu, dan dia jugalah yang menuntun ku menuju Purwaloka ini, Kurila juga membantu kami di saat yang sangat genting, bahkan Karuru pun juga membantu kami hingga sampai di lembah ini.”
Seketika keberanian memuncak dalam tubuh Astara, membuat tubuhnya bergetar, bergidik ingin segera menolong teman-temannya dan menghabisi pasukan Bala Tanduk Merah, “Kamu benar Galah, jika sesuatu terjadi kepada mereka mungkin aku tidak bisa memaafkan diriku diri, bodohnya aku yang telah menyia-nyiakan teman-teman yang rela berkorban.”
“Benar sekali, selama aku ada di genggaman mu aku dapat mengalahkan mereka semua dengan kekuatan ku,” ucap Galah meyakinkan.
Keberanian Astara mulai bangkit, bocah itu kembali ke medan pertempuran dengan sedikit berlari, “Galah bantu aku untuk menyelamatkan teman-teman ku, sebelumnya aku tidak tahu cara menggunakan sihir, bantu aku untuk dapat bertarung bersama mu! ayo kita kalahkan mereka semua!” ucap Astara dengan berteriak.
“Baiklaaaah …!” sahut Galah bersemangat.
“Galah! pinjamkan aku kekuatanmu!” teriak Astara dari atas reruntuhan rumah yang telah terbakar.
Astara memejamkan matanya sejenak, mencoba merasakan getaran sihir yang mengalir di seluruh tubuhnya. Aliran sihir itu berasal dari Galah yang mulai menyatu dengan dirinya. Tiba-tiba, sebuah visi melintas di dalam benaknya, kenangan masa kecil bersama kedua orang tuanya, lalu berlanjut saat kejadian Tuan Malory bertarung dengan Angkara, kejadian yang memisahkan Tuan Malory dan Ibu Sukarni, hingga saat Ibunya di serang oleh makhluk asap bermata merah, hingga saat dia berada di Purwaloka. Semua kilasan-kilasan visi itu terlintas dalam bayang-bayang pikirannya, membuat emosinya bercampur aduk, "Kekuatan sejati bukan terletak hanya pada senjatanya, tapi juga pada hati pemiliknya," bisik Tuan Malory di dalam kilasan bayangan itu.
Dengan keyakinan yang baru, Astara membuka matanya yang penuh dengan cahaya kuning yang menyilaukan. Dia mengangkat tongkat sihirnya tinggi-tinggi ke langit dan dari ujung tongkat sihir itu memancar kilatan-kilatan petir kecil. Cahaya terang berwarna kekuningan terus memancar semakin lama semakin terang.
Sementara itu di tengah-tengah medan pertempuran yang semakin kacau.
“Apa yang sedang terjadi?!” ucap Raen bingung.
“Cahaya terang apa itu? mata ku tak dapat melihatnya, akh …,” tanya Kurila bingung.
Tiba-tiba sebuah bola cahaya besar menerjang dan memporak porandakan barisan penyerangan pasukan Bala Tanduk Merah, bola cahaya itu seperti meriam dahsyat yang dilemparkan. Disusul dengan kilatan petir yang menyambar nyambar dan seketika menghanguskan beberapa prajurit. Pasukan yang berjumlah ribuan itu mulai kocar kacir karena serangan yang begitu luar biasa.
“Apa mungkin dia … Aku tak menyangka dia bisa sehebat itu!?” kata Karuru takjub.
Astara mengayunkan tongkatnya, menciptakan gelombang api yang sangat besar, menyapu semua pasukan yang ada di hadapannya. Satu per satu, pasukan dapat dipukul mundur dan sisanya jatuh tak berdaya ke tanah.
Waraka, panglima pasukan tersebut, berdiri dari kejauhan dengan menyaksikan serangan balik yang dilancarkan anak itu. Dia mulai mengerang marah karena pasukkan yang dikerahkannya mulai kewalahan, “Dasar bocah sialan, aarkg …”
"Pergi dari sini! kalian makhluk jahat, berhenti membuat kekacauan!" seru Astara, suaranya penuh dengan nada intimidasi.
Gelombang energi tersebut menyapu bersih pasukan musuh, membungkam kekuatan mereka dalam sekejap. Tubuh-tubuh mereka terlempar, sebagian hancur menjadi abu oleh kekuatan sihir yang tak tertahankan.
Satu demi satu, prajurit Bala Tanduk Merah lenyap dari pandangan, tersapu oleh sihir Astara dan Galah yang tak terkalahkan. Waraka, yang melihat anak buahnya musnah, mulai tak dapat menahan diri, terbelenggu dengan kemarahan yang memuncak.
“Astara … Ternyata kamu dapat melakukannya," ucap Raen, matanya melebar tak menyangka.
"Ini ... Ini… Luar biasa," Kurila menambahkan, masih terpana oleh kekuatan yang baru saja mereka saksikan.
“Itu adalah tongkat yang diwariskan oleh kakeknya, seorang pejuang pemberani di masanya dan sekarang dia tahu cara untuk menggunakan kekuatan dari tongkat sihir itu.”
“Yah kamu benar Raen. Anak itu luar biasa, aku tidak menyangka dia bisa melakukannya, tapi ….”
Setelah semua musuh lenyap, cahaya yang mengelilingi Astara mulai meredup. Dia menurunkan tongkatnya dengan perlahan, merasakan energi yang tersisa mulai surut. Nafasnya terengah-engah, tetapi dia tetap berdiri. Saat cahaya yang mengelilinginya perlahan memudar, langit malam kembali ditelan kegelapan, hanya disinari oleh bintang dan bulan yang jauh di atas sana. Medan pertempuran yang sebelumnya penuh dengan jeritan dan dentingan senjata kini berubah sunyi, hanya tersisa suara nafas yang tersengal-sengal dari penduduk yang tersisa.
Astara menatap sekeliling, melihat mayat-mayat pasukan Bala Tanduk Merah yang bergeletakan di tanah bercampur dengan korban dari penduduk Suku Lembah Cendrawasih. Seketika, rasa kemenangan itu terasa pahit. Meski telah berhasil, Astara merasa sedih dengan kejadian ini.
Waraka memandang Astara dengan tatapan tajam dari kejauhan dengan penuh kemarahan. Tapi di balik kemarahan itu, ada senyum licik yang tergambar di wajahnya, "Kamu mungkin telah menghancurkan pasukanku, anak kecil!" katanya dengan suara yang bergema di seluruh medan pertempuran, "Tapi kamu masih belum mengerti. Bahwa kalian sudah kalah."
Astara merasakan udara di sekelilingnya tiba-tiba menjadi lebih berat, dan dia menyadari bahwa Waraka belum mengerahkan seluruh kekuatannya, "Apa yang kamu rencanakan, Waraka?" teriak Astara, menguji nyalinya, “Keluar dan lawan aku sekarang!”
Waraka hanya tertawa, "Hahaha … Kita akan bertemu lagi. Segera bertemu lagi!" suara itu bergema dan perlahan-lahan menghilang.
Udara yang awalnya terasa berat berangsur-angsur kembali normal. Setelah pertempuran sengit yang memporak-porandakan sebagian besar pemukiman. Asap tipis masih mengepul dari bekas-bekas rumah yang terbakar, tetapi kini semua bersatu untuk menolong penduduk yang terluka dan dibawa ke tanah lapang dan juga gubuk besar yang didirikan oleh para penduduk, di mana mereka dirawat.
Astara berjalan perlahan di antara reruntuhan dan juga korban, merasakan beban yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Meskipun berhasil, namun hatinya tetap dipenuhi rasa ketakutan akan peperangan yang cepat atau lambat akan menghampirinya. Langkahnya berhenti saat sebuah boneka yang terbuat dari kayu tergeletak di hadapannya, boneka kuda yang terbuat dari pahatan kayu itu pasti dimiliki oleh seorang anak laki-laki yang entah dimana keberadaanya. Seketika air matanya meluap dan menetes tak tertahan, isak tangisnya didengar oleh Raen dan juga Kurila. Mereka berdua mencoba untuk menenangkan bocah desa itu dari tekanan batin yang sedang terjadi, perasaan pilu yang menerpa hatinya seperti tak dapat digambarkan oleh tinta merah walau sebanyak apapun.
Mace Papeda hanya terdiam memandangi mereka bertiga dari kejauhan, tersentuh dengan apa yang sedang terjadi di hadapannya, seolah berpesan pada dirinya, “Perdamaian seperti apa yang kita harapkan? bahkan sebuah kemenangan pun tak dapat membayar kepedihan dari kemenangan itu sendiri.”
"Astara!" panggil Kurila disampingnya, "Apa kamu tidak apa-apa?” tanyanya khawatir.
Melihat raut wajah Astara yang sedih, Kurila langsung mengalihkan pikirannya kepada tujuan mereka, “Kita harus berbicara dengan Mace Papeda. Kita harus menanyakan keberadaan buah Kuansu."
Seketika pandangannya beralih, seolah memberikan suntikan semangat, mengingatkan dirinya tentang tujuannya ke tempat ini, “Kamu benar, perjalanan kita masih belum selesai,” sembari mengusap air mata yang membasahi wajahnya.
Anggukan singkat dari Raen dan juga Kurila seolah mengajaknya untuk segera beranjak, “Tidak perlu, aku sudah berada di hadapan kalian saat ini. Setelah apa yang kalian lakukan untuk kami, aku sebagai pemimpin dari Suku Lembah Cendrawasih mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya dari lubuk hatiku yang paling dalam,” ucapnya sambil menundukkan kepalanya. Kejadian itu disaksikan oleh seluruh penduduk suku lembah dan seluruh penduduk pun melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Mace Papeda, mereka mengucapkan terima kasih sambil menundukkan kepala mereka, mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya karena telah menolong mereka dari kekejaman pasukan Bala Tanduk Merah.
“Sinole, kemarilah,” ucap Mace Papeda pelan, “Antarkan mereka berempat menuju gerbang timur.”
“Baik Mace, aku akan membimbing mereka menuju kesana,” jawab Kakek Sinole dengan anggukan pelan.
“Astara, aku titipkan batu kristal merah ini kepadamu. Jagalah baik-baik!” Mace Papeda melepas kalung yang dia kenakan dan memasangkannya di leher Astara sambil berpesan “Semua yang kamu butuhkan ada pada batu kristal merah ini, serta dari batu ini juga yang akan mewujudkan apa yang kalian cari, semoga hati yang bersih dan niat yang tulus membimbing kalian hingga akhir.”
Anggukan dari mereka bertiga adalah jawaban yang singkat, padat dan jelas. Menandakan mereka sudah siap dimulainya perjalanan menuju tempat terakhir dari tujuan mereka. Kakek Sinole yang berada tepat di hadapan mereka sekarang sudah mempersilahkan tangannya untuk memulai perjalanan, “Tunggu!” sahut Karuru tiba-tiba.
“Sepertinya perjalan kali ini aku tidak dapat menemani kalian, aku sangat tersentuh dengan perjuangan yang sedang kalian lakukan, kalian sungguh luar biasa. Tidak aku sangka setelah puluhan tahun berpisah dengan Pace Melory dan saat ini cucunya berada di hadapan ku, asal kamu tahu saja, jika saja waktu ku masih banyak mungkin aku akan menceritakan semua yang aku tahu tentang kakek mu, namun sepertinya waktu ku sudah tidak banyak, lihatlah bunga yang aku bawa dari pohon keramat ini sudah mulai mengering,” ucap Karuru sambil memperlihatkan bunga tersebut yang semakin mengering, semakin kering bunga itu maka tubuh Karuru juga akan semakin menghilang, tidak lagi memancarkan aura kehidupan seperti sebelumnya.
Disaat yang sama Astara menjulurkan tangannya untuk menjabat tangan Karuru sebagai tanda terima kasih dan sekaligus perpisahan, “Terima kasih kawan atas semua bimbingan yang telah kamu berikan, semoga kelak kita akan bertemu lagi,” jabat tangan yang sangat hangat untuk sebuah perjumpaan yang singkat namun pertemanan untuk selamanya.
Semakin mengering bunga kuning itu semakin memudar pula tubuh Karuru, waktu yang dia punya juga semakin menipis hanya berkisar beberapa menit untuk sekali lagi berpamitan dengan semua orang yang ada di sana “Oooh … Iya, satu hal yang ingin aku sampaikan sebelum aku kembali. Sebetulnya aku juga baru pertama kali sampai di Lembah Cendrawasih ini. Kenyataannya adalah dulu aku memang berada dalam satu tim dengan kakek mu namun dalam perjalanan menuju ke lembah ini aku tersesat dan akhirnya aku tidak pernah sampai ke tempat ini. Kami bertemu lagi setelah beberapa hari menunggunya di desa pesisir. Aku harap kalian tidak perlu cemas lagi karena kali ini aku berhasil sampai ke lembah ini, hahahaha … Dan baiklah selamat tinggal semoga kalian berhasil!” ucap Karuru melambaikan tangannya saat tubuhnya mulai berangsur-angsur menghilang. Yang tersisa dari tubuhnya hanya sekuntum bunga kering yang jatuh di atas tanah.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
