
Afira menikmati sepiring Indomie goreng, satu minggu sekali, setiap hari Rabu.
Teman-temannya terbagi jadi dua kubu; kubu pertama bilang, kenapa harus setiap hari Rabu?
Kudu kedua bilang, kenapa harus seminggu sekali?
Tapi Afira sudah melakukan hal yang sama sejak dia sekolah dasar dan rutinitas selalu membawa kenyamanan bagi Afira.
Pada satu hari Rabu, Afira menjalani harinya seperti biasa.
Yang tidak biasa, ketika malamnya Afira tertidur lalu terbangun keesokan harinya, Afira tetap terbangun di hari...
Pukul 10.58, Afira mendengar suara langkah kaki Niki saat dia sedang mengecek catatan rapatnya. Bahkan sebelum Afira menoleh, dia tahu apa yang akan Niki katakan padanya.
Kak Afi, hari ini kita mau makan mie ayam... enak banget, deh. Ikut yuk, Kak?
Langkah kaki Niki semakin mendekat, saatnya Afira memutar kursi kerjanya dan menatap Niki yang kini berjalan melintasi lorong antara kubikel untuk mendekatinya.
Melihat Afira balik badan, senyum Niki langsung mengembang. "Kak Afi, hari ini kita mau makan mie ayam... enak banget, deh. Ikut yuk, Kak?"
***
Di awal-awal, ketika hari Rabunya berulang, Afira masih berbaik sangka dan mengira dia hanya mengalami deja vu sepanjang hari.
Atau ponselnya rusak, karena terus menerus menunjukkan tanggal 18 Maret selama beberapa hari.
Hingga kemudian Afira menyadari, bagi semua orang di sekelilingnya, ini Rabu pertama mereka.
Bagi Afira, ini entarh Rabu yang ke berapa. Terlalu sering berulang sampai dia sudah hapal akan segala yang terjadi, hingga ke menitnya.
Pagi-pagi, Afira berangkat ke kantor. Pukul 09.43, rapat divisi resmi dibuka dengan datangnya Pak Jusep--harusnya dimulai 09.30 tapi Pak Jusep mendadak dipanggil ke kantor Pak Wigit. Rapat bubar pukul 10. 26 dan Afira akan tetap berada di kubikelnya, merapikan minutes of meeting alias notulensi rapat untuk kemudian di kirimkan ke email para peserta rapat. Pukul 10. 58, Niki akan datang dan mengajaknya makan mie ayam.
***
"Aku sudah ada rencana lain, Nik..." kata Afira.
Di beberapa belas Rabu pertama, Afira selalu ketakutan. Tapi belakangan ini, dia mulai rileks.
"Oh," Niki menepuk dahi. "Sekarang hari Rabu ya? Jadwal makan nasi putih pake Indomie Goreng?" tanya Nikita sembari nyengir. "Kan bisa ntar malam, Kak? Sekali-kali ikut makan mie ayam yuk, Kak?"
Afira ikut nyengir.
Niki tidak tahu, tapi Afira sudah pernah ikut makan mie ayam bersama Nikita. Di putaran waktu keenam, kalau tidak salah. Ketika itu, Afira mengira dengan mengubah rutinitasnya, dia akan bisa keluar dari lingkaran waktu yang super aneh ini.
***
Tak hanya makan siang dengan circle Niki, Afira sudah mendobrak kebiasaan dengan makan siang dengan hampir semua circle di kantor ini.
Tapi tak mengubah apa pun. Dia akan tetap pulang ke rumah, lalu meski sudah berusaha untuk terjaga, akan mendadak sangat mengantuk menuju pukul 10 malam, dan besoknya terbangun karena alarm pukul 4.30.
Dan kalendar di ponselnya masih menunjukkan tanggal 18 Maret.
Entah bagaimana, seolah hari Afira ke-reset pada pukul 12 malam, dan dia kembali ke Rabu yang sama.
Afira sudah melakukan hampir segalanya--segalanya.
Afira sudah pernah bolos kerja untuk menato lengan, lalu dia tertidur dan keesokan harinya, terbangun pada hari Rabu yang sama, dan tato di lengannya hilang.
Afira sudah pernah datang ke kantor untuk ngamuk pada Pak Jusep yang selalu seksis dan memandangnya sebelah mata, lalu pulang ke rumah, tidur, dan besoknya, dia berangkat ke kantor, pada Rabu yang sama, dan Pak Jusep masih sama-sama seksis dan sama-sama memandangnya sebelah mata.
Afira bahkan sudah pernah mengiris nadi dan masuk rumah sakit. Malam itu dia tertidur di rumah sakit, tapi keesokan paginya dia kembali lagi ke kamar kosnya.
Alarm ponselnya berbunyi pada pukul 4.30.
Kalendarnya menunjukkan tanggal 18 Maret.
***
Beberapa Rabu belakangan ini, Afira sedang mencari sesuatu yang baru. Variasi. Sesuatu dalam Rabunya yang konstan perlu diubah, tapi mungkin tak perlu sedrastis bikin tato atau melakukan unjuk rasa pribadi.
Afira mulai berpikir soal kebiasannya makan Indomie Goreng setiap Rabu. Kebiasaan yang dimulai sejak dia SD. Ibunya selalu ada jadwal latihan tenis tiap Rabu, jadi dia selalu membekali Afira dengan sarapan yang cepat saja, Indomie goreng dalam kotak makan serta ceplok telur yang pinggirannga garing nyaris gosong.
Pada makan siang, Indomie dalam kotak bekal itu sudah sedikit kaku, tapi Afira selalu lahap memakannya.
Kemudian, Afira beranjak SMP dan SMA dan ibunya sudah ganti olahraga jadi berlatih qigong tiap Sabtu, tapi Afira masih meminta untuk dibuatkan Indomie goreng tiap Rabu. Indomie goreng bungkus putih itu, sudah menemani Afira hingga belasan tahun lamanya.
Mungkin itu yang harus diubah...
Pada Rabu yang entah keberapa puluh ini, Afira dengan tekut mengubah Indomie goreng bungkus putihnya dengan Indomie rasa lain. Dari Jumbo Ayam Panggang bungkus biru sampai Cabe Ijo bungkus hijau, dan hampir semua yang berada di antara sudah dia coba.
Hampir.
Masih ada salted egg dan Chitato yang sudah tak diproduksi, rasa sate yang hanya tersedia untuk pasar impor.
Hari ini, Afira bertekad memburu Indomie rasa spesial terakhir yang belum Afira coba. Afira sudah mengadakan riset kecil-kecilan di marketplace, hampir semua penjual Indomie dengan rasa ini berlokasi di Manado. Tapi Afira tidak bisa menggunakannya, karena meskipun mengambil paket yang satu hari sampai, Afira tidak punya kemewahan itu.
Esok hari milik Afira tidak pernah datang.
Afira akan tidur dan besok, masih akan tetap Rabu.
Jadi hari ini, Afira sudah bertekad pergi ke Jakarta Utara. Di sana, ada satu toko yang menjual mie langka ini. Afira bahkan tidak berani menggunakan jasa ojek online karena dia takut ada habatan dalam perjalanan.
Afira ingin buru-buru pergi ke sana, membeli mie-nya, pulang ke kantor, memasaknya di pantry sebagai menu makan siang, lalu Afira tinggal menunggu malam datang dan hari berganti.
Moment of truth.
Apakah mie langka ini--Indomie Goreng Cakalang--menjadi kunci bagi Afira untuk keluar dari lingkraran waktu?
***
"Ikut yuk Kak. Pleasee, kalau ada Kak Afi seru deh..." Nikita mulai mengeluarkan suara merajuk.
"Seru apa sih, Nik..." kata Afira meringis.
"Ya kan Kak Afi mukanya lempeng tapi suka nyeletuk lucu gitu...."
Afira hanya tertawa. "Lain kali ya, Nik, aku beneran ada rencana lain," kata Afira, dia memutar kursinya kembali dan menghadap layar komputernya, berniat menyudahi pekerjaannya.
"Mau cari Indomie Cakalang, Kak Afi?" tanya Nikki dari belakangnya.
Variasi baru, pikir Afira penuh haru.
Tangan Afira yang sedang menggerakkan mouse berhenti. Lututnya lemas dan agak gemetar, matanya sedikit berkaca-kaca.
Afira menatap ke layar komputer di hadapannya; masih terbuka halaman marketplace tepat dia mencari info soal penjual Indomie Cakalang, lengkap dengan alamatnya di Jakarta Utara.
Sebuah variasi baru.
Percakapan ini tidak pernah terjadi di Rabu-Rabu sebelumnya.
Kala setiap detik waktunya diisi dialog dan adegan berulang, ada sedikit perubahan suasana membuat Afira ingin berlutut di lantai dan menangis.
Untungnya Afira bisa menahan diri, dia menelan perasaan sesak di tenggorokan yang disebabkan oleh perasaan bahagia. Dia berhasil menjaga ekspresi wajahnya tetap normal saat balik badan dan menatap Niki.
"Iya, Nik... aku lagi cari Indomie Cakalang nih. Tapi yang ini penjualnya rada jauh, di Jakarta Utara. Kamu tahu yang agak deketan nggak?"
"Tahu banget, Kak... di minimarket kantornya Bang Rizal ada yang jual, soalnya pengurusnya orang Manado, bentar ya aku tulisin alamatnya..." kata Niki, senyumnya merekah gembira. "Siapa tahu nanti Kak Afi bisa ketemu Bang Rizal di sana."
Berkebalikan wajah Nikita yang berseri, wajah Afira seketika muram.
***
Namanya lengkapnya Alexander Rizal.
Tak seperti Nikita Aulia yang dipanggil Niki, Alexander Rizal tidak suka dipanggil Alex. Dia lebih suka dipanggil Rizal.
Afira tidak tahu banyak soal Alexander Rizal. Sebenarnya, usaha Nikita untuk mengajak Afira makan mie ayam bersamanya merupakan salah satu usaha Nikita untuk memperkenalkan Afira pada kakaknya.
Pasti cocok banget deh, muka Kak Afi kan lempeng gitu... Sementara muka Bang Rizal senyum mulu parah.
Tapi di Rabu saat Afira menerima ajakan Niki, Rizal tidak pernah datang makan bersama mereka. Ada urusan, begitu alasan Rizal, mengirim pesan pada Niki yang membuat Niki cemberut.
Meski tidak pernah bertemu dengan Rizal, tapi Afira tahu beberapa hal tentang lelaki itu.
Afira tahu tanggal lahir Rizal.
Afira juga tahu tanggal wafatnya.
Bahkan, kalau Afira memejamkan mata, dia bisa melihat foto nisan Rizal, caption Instagram Niki di bawahnya, serta siapa saja yang meninggalkan likes dan komentar.
Bagaimana tidak terbayang-banyang?
Tiap malam, selama puluhan--atau mungkin malah ratusan--Rabu, sebelum tidur Afira menatap postingan yang sama.
***
Liked by garinnstt and others
Innalillahi wa innailaihi Bang Rizal.... semoga tenang ya Bang... jangan khawatir Bang, Niki akan sekuat tenaga jagain Mama dan Fitri. Bang Rizal orang baik... insyaAllah kita semua udah ikhlas...
View all 671 comments
viralaras Innalillahi wa innailaihi... ya Allah, Bang Rizal... nggak nyangka. Orang baik diambilnya cepet banget...
kristnhnnh Innalillahi, yang kuat ya Nik...
***
Afira juga tahu penyebab kematian Alexander Rizal.
Rizal punya mantan pacar yang sudah menikah. Suami mantannya itu selalu cemburu pada Rizal. Berbulan-bulan memendam perasaan cemburu, pada tanggal 18 Maret, pukul setengah dua siang, dia menguntit Rizal yang baru pulang dari kantin, lalu melukai Rizal menggunakan silet yang sudah dia siapkan dari rumah.
Rizal terkulai dan meninggal di taman samping gedung, bersimbah darah.
***
Afira tahu gedung kantor Rizal, hanya 1 km saja jaraknya dari gedung tempat Afira dan Niki bekerja. Akan lebih cepat kalau jalan kaki, jadi begitu pukul 11.15, Afira pamit istirahat duluan. Tidak ada yang protes karena notulensi rapat sudah diselesaikan Afira secepat kilat dan sudah sampai ke masing-masing peserta rapat.
Rencana Afira sederhana. Dia akan mengunjungi minimarket di gedung kantor Rizal, membeli Indomie Goreng Cakalang, lalu kembali ke kantornya lagi.
Niki dengan sedikit gemas menyarankan Afira untuk bertemu dengan Rizal, tapi Afira menolaknya dengan halus, lalu saat Niki makin semangat, Afira makin menolak dengan habis-habisan.
Tidak mau, jerit Afira dalam hati. Dia tidak akan mau bertemu dengan Rizal, lelaki yang dia ketahui akan tewas kurang dari dua jam lagi.
Afira tidak akan sekuat itu.
Afira hanya ingin Indomie Goreng Cakalang saja.
Ada alasan mengapa Afira, yang menyukai rutinitas, yang tak berani menyanggah hingga selalu kedapatan tugas notulensi membosankan, yang tidak pernah mengambil insiatif mengajak dan selalu jadi orang yang diajak, terjebak dalam lingkaran waktu.
Afira yakin, segalanya akan beres begitu dia menikmati Indomie Goreng Cakalang yang pedas dan bertabur abon ikan itu... Indome Goreng rasa terakhir yang belum penah dia coba di Rabu yang ganjil ini.
***
Rizal menahan pintu rak pendingin, menunggu Dion yang sedang memilih-milih kopi kalengan. Pukul setengah 12 kurang mereka berdua merasa bosan dan mengantuk lalu memutuskan belanja kopi ke minimarket kantor.
"Adik gue sebenarnya ngajak makan mie ayam sih," cerita Rizal. "Cuma ampun kerjaan lagi nggak bisa ditinggal, kapan-kapan aja lah... Ini aja gue rencananya nelat makan siang. Nunggu kantin agak sepi. Jadi makan jam 1, naik lagi jam setengah dua."
Dion menegakkan badan, sudah ada satu kaleng di tangannya. "Niki mau nyomblangin lo sama siapa lagi?"
"Sama siapa lagi apanya... Yang mau dicomblangin sih cuma satu kok, senior kantornya. Niki udah yakin banget bakal cocok soalnya..." kata Rizal, tertawa kecil mengingat kelakuan adiknya. "Cuma biasanya tiap rencana ketemuan ada aja halangan. Ini udah percobaan keempat atau kelima kali... Biasanya senior kantornya Niki mulu yang ga bisa, sekarang giliran gue yang nggak bisa."
Dion tertawa kecil. "Niki pengen cepat bebas dari teror Heidi dan suaminya Heidi."
"Zevan, namanya... kasian amat cuma dibilang suami Heidi," kata Rizal, sambil meringis.
"Males banget ngapalin nama dia. Mungkin si suami Heidi nih insecure campur cemburu... tapi ya nggak nyalahin dia juga, gila sih Heidi dah punya laki masih nangis-nangis telepon bilang kangen ke elo. Biarpun Zevan pendiem ya orang sih ada aja meledaknya. Apa lagi katanya ngamuknya orang pendiem tuh serem..."
Dion sudah mengambil beberapa snack dari lorong makanan ringan, sementara di tangan Rizal hanya ada satu kopi kaleng yang tadi dia ambil.
Dion dan Rizal berbelok ke rak makanan instan. Minimarket kantor sedang sepi, jadi Dion dan Rizal enteng saja mengobrol dari tadi. Kini, di rak mie instan, berdiri seorang gadis, kepalanya mendongak melihat ke rak paling tinggi, sementara kedua tangannya mengepal di samping tubuh.
Ekspresi gadis itu terlihat amat serius, orang yang melihatnya pasti mengira dia sedang membuat keputusan hidup dan mati, bukan sekadar memilih rasa mie instan.
Dion berhenti berjalan dan mengecek rak berisi kotak-kotak spaghetti instan sementara Rizal berjalan mendekati gadis itu. Tingginya mungkin hanya sebahu Rizal, dan Rizal mengikuti arah pandang gadis itu.
"Indomie Cakalang Goreng?" tanya Rizal.
Pelan-pelan, wajah gadis itu menoleh ke arah Rizal. "Huh?" tanyanya, matanya terlihat kemerahan, seperti habis menangis atau menahan tangis.
"Mbak?" tanya Rizal. "Kenapa?"
Belum sempat gadis di hadapannya ini menjawab, terdengar Dion berkata, "Zal, gue naik duluan ya, ditelepon Ibu Praba nih..."
Rizal nenoleh ke arah Dion dan mengangguk, "Oke.". Setelah itu, dia mengulurkan tangannya ke rak paling atas, mengambil Indomie Goreng Cakalang, yang menurut tebakan Rizal, adalah benda yang sedari tadi ditatap oleh gadis ini.
Rizal lalu menyerahkannya di hadapan gadis ini. "Satu atau dua?" tanya Rizal.
Gadis itu terdiam sejenak, sebelum mengangkat wajah dan menatap Rizal. "Satu saja, trims," katanya pelan.
Rizal mengembangkan senyum. "Tak masalah. Suka Indomie Goreng Cakalang juga? Rasa favoritku. Untungnya pengelola minimarket sini orang Manado, jadi selalu ada stok di sini. Pedasnya enak, ditabur abon ikan dan--"
"Apa pendapatmu soal makan Indomie Goreng pakai telor ceplok dan nasi?"
Rizal mengangkat alis, lalu tertawa kecil. Kini, setelah diingat-ingat, Rizal tidak pernah melihat wajah ini sebelumnya. Parasnya manis tapi ekspresi wajahnya agak datar. Satu-satunya yang terlihat memiliki ekspresi hanyalah sorot matanya yang berapi-api.
"Pendapatku soal makan Indomie Goreng pakai telor ceplok dan nasi?" Rizal mengulangi pertanyaan itu.
Gadis itu menelan ludah. "Atau Indomie Goreng dengan telor ceplok, tanpa nasi. Tadi aku mendengar kamu akan makan siang terlambat, menunggu kantin kosong? Kalau memang banyak kerjaan, mengapa tidak membuat Indomie Goreng dan makan telor ceplok saja di pantry? Pasti makin banyak waktu yang bisa dihemat."
Rizal tertawa lagi. "Masuk akal, tapi--"
"Sangat berbahaya," Gadis itu menggeleng kuat-kuat. "Makan siang terlambat sangat berbahaya bagi kesehatan. Taman samping gedungmu juga sangat berbahaya kesehatan."
Kali ini Rizal tak tahan melihat keseriusan gadis itu, sungguh bertolak belakang dengan kata-kata aneh yang dia keluarkan. Makan siang terlambat mungkin berbahanya, tapi paling mentok, asam lambuk naik ya kan? Apa perlunya sampai seserius ini?
Tapi Rizal sudah merasa cukup terhibur, jadi mengalah. Tangannya kembali terulur, lalu mengambil satu bungkus Indomie Goreng Cakalang dari rak paling atas. "Kalau gitu, hari ini aku akan makan ini," kata Rizal, mengacungkan bungkus Indomie di tangannya.
Untuk pertama kalinya, senyum terkembang di wajah gadis itu. Matanya sedikit berkaca-kaca.
"Benar?" tanya gadis itu. "Oke, aku juga akan makan siang yang sama," kata gadis itu, sembari mengacungkan Indomie di tangannya. "Kalau begitu, aku pulang dulu." Gadis itu balik badan dan mulai berjalan meninggalkan Rizal.
Rizal mengerutkan dahi, merasa ada yang salah, tapi baru sadar setelah gadis asing itu sudah berlalu beberapa langkah.
"Kita belum kenalan?" Rizal berusaha mengingatkan.
Gadis itu berhenti seketika.
Lalu dia memutar tubuhnya pelan. Setelah dia berbalik sepenuhnya, baru gadis itu berkata, "Namaku Afira. Aku teman sekantor Nikita. Senang akhirnya bisa bertemu denganmu, Rizal… dan kalau semuanya lancar, sampai jumpa besok…”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
