CERPEN| KULIT PUTIH BUKAN PRIVILEGE-KU

1
0
Deskripsi

Banyak yang masih menganggap aneh ketika Kelana Ningtyas si perempuan berkulit gelap itu, bisa berteman akrab dengan seorang Arya Satria yang ternyata adalah cowok populer di sekolahnya.

Hal ini tidak terlepas dari fisik Lana yang belum bisa memenuhi standar kecantikan pada umumnya. Sehingga ia sering dipandang sebelah mata oleh teman-teman satu geng Arya.

Namun, bukan Kelana Ningtyas namanya kalau tidak berani maju menantang, apalagi jika sudah mulai mengusik ranah pribadinya secara terang-terangan....

Aku gak bisa membayangkan bagaimana  jadinya jika sejak kecil orang tuaku tidak menanamkan mindset bahwa pentingnya mencintai diri sendiri dan percaya diri dengan apa yang kita miliki.

Mungkin aku tidak akan cukup bekal untuk melewati berbagai tantangan sebagai seorang gadis berkulit gelap dengan wajah yang tidak memenuhi banget standar kecantikan pada umumnya.

Pernah di titik paling terendah, aku sempat berpikir suntik putih saja untuk membungkam mulut-mulut tak berperikemanusiaan itu.

Tapi, apa yakin dengan cara itu sudah cukup membuat mereka terdiam, dan tidak memperhatikanku sedetail itu lagi? Atau, jangan-jangan mulut mereka akan jauh lebih kejam setelah melihatku tiba-tiba menjadi putih seperti Michael Jackson?

"Kamu temenan, ya, sama sih Arya?" tanya seorang teman satu kelasku yang tiba-tiba muncul di depan mejaku setelah bel istirahat berbunyi.

Namanya Fia. Setahuku, sih, Fia memang salah satu teman dekat Arya.

Mereka seperti punya de geng gitu. Isinya cewek dan cowok yang katanya cukup populer di sekolah ini, termasuk Fia yang fisiknya memang terlihat memenuhi banget standar cantik pada umumnya.

Aku sekadar mengiyakanya saja sambil terus menyantap cemilan yang dibuatkan mama dari rumah tadi.

"Hahaa. Pede banget, Lu!" ledeknya dengan tawa sekeras mungkin hingga membuat para siswa yang masih ada di kelas menoleh ke arah kami semua.

Aku dan Nindy, teman sebangkuku juga gak kalah terkejut dan refleks memandang heran ke arahnya.

Kuhentikan acara ngemil-ku, lalu fokus menatap ekspresi sombongnya itu.

"Eh, santai, Mbak! Emang ada yang salah? Orangnya juga selow aja, tuh. Kok lu yang repot, ya?" sindirku gak habis pikir.

Ini anak kenapa harus seheboh ini, sih, menanggapi perkara pertemananku dengan si Arya?

"Ya, aneh aja. Kelihatan gak pantes aja gitu. Haha." jawab Fia sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar wajah, lalu lanjut ke sekujur tubuhku, dan tertawa lagi.

Hei. Tunggu-tunggu! Ini apa maksudnya, pemirsa?

“Excuse me. Maksud kamu?” Aku berdiri menghadapnya.

Meski mulai risih dengan tatapan dan tingkahnya, aku gak mau buru-buru berprasangka buruk sebelum kejelasan keluar langsung dari mulutnya sendiri.

“Ya, Tuhan. Gini, loh, Lan. Msksudku, Arya itu gak pantes berteman dengan orang-orang dekil. Kasian, kan, kalau auranya nanti jadi redup gara-gara ada temennya yang dekil seperti ..." Fia mendadak menghentikan omongannya, dan beralih memperhatikan detail wajahku lagi.

"Dekil? Dekil seperti siapa maksud anda?" Aku mengrenyitkan dahi pura-pura tidak mengerti. Meski, hati sudah membara tak bertepi.

“Ck, Masih nanya lagi, sih. Belum nyadar juga, ya, Lan?” nadanya mulai tinggi. Membuatku cukup tersulut emosi.

"Ya, nyadar gimana maksudnya? Makanya yang jelas dong kalau ngomong!" balasku akhirnya tidak mau kalah nge-gas.

Fia terlihat semakin emosi sampai memutarkan bola matanya kesal, "Ya, seperti siapa lagi coba, kalau bukan seperti kamu!!! Cewek dekil, item, kepedean lagi. Jelas?" tandasnya sambil melotot ke arahku.

Alih-alih menjawab langsung, aku mencoba beristighfar untuk menetralkan emosi sebisa mungkin tanpa melepaskan pandanganku sedetik pun dari Fia.

Miris banget, ya, masih ada saja orang dengan pola pikir seperti itu di zaman semodern ini. Buat geleng-geleng kepala saja.

"Ou, okeh, deh!” akhirnya kujawab sesingkat mungkin, duduk kembali dan melanjutkan acara ngemil-ku tanpa memedulikan keberadaannya lagi.

Sebenarnya sudah biasa aku mendapatkan julukan-julukan sejenis itu sebelumnya. Si dekil, si item, si suram, dan lain sebagainya.

Syukurnya selama ini, aku selalu berani membungkam semua itu dengan statement menantang beserta pembuktian-pembuktian logis yang berhasil aku wujudkan.

“Baguslah kalau nyadar.” jawabnya ketus. Kelihatan Fia kurang senang dengan tanggapanku yang mungkin menurutnya kurang seru ini. Haha. Tapi, memang itu tujuanku. Malas juga meladeni orang seperti dia.

Dia pun tidak melanjutkan aksi konyolnya itu lagi, dan malah ngeloyor melangkah keluar kelas.

Lagian kenapa aneh? Apa yang aneh jika aku berteman dengan seorang Arya Satria?

Ada hak apa dia bisa mengatakan itu padaku? Siapa dia? Pacarnya? Atau, emaknya? Bengis amat.

Meski sekelas, aku jarang berinteraksi dengannya. Karena dia memang suka banget menghina dan menyepelelan orang lain. Dan, sudah pasti aku sangat tidak respect dengan orang seperti itu.

Aku saja belum habis pikir dengan kejadian yang baru saja kualami ini. Membuat emosiku tiba-tiba mendidih dan akan segera tumpah ruah kalau tidak ditahan.

Ya, aku akui pertemanan yang terjadi antara aku dengan Arya memang tidak sengaja. Kami juga tidak sekelas. Hanya saja kelas kami memang berdampingan.

Jujur, aku mulai sering memperhatikan Arya sejak tahun pertama kami sekolah. Lebih tepatnya, sejak aku tidak sengaja menyaksikan pembicaraan seorang siswa dengan pak satpam sekolah kami di pos jaga. 

Ketepatan saat itu aku disuruh wali kelas untuk memanggil satpam di pos jaganya, dan gak sengaja mendengarkan.

“Udah pakek aja dulu, Pak. Nanti saya minta ke ibu saya lagi untuk jajan. Hehe." ucapnya sambil nyengir dan menyodorkan uang 100 ribuan kepada pak satpam.

Mulai saat itulah, aku jadi sering menyadari keberadaan Arya di mana-mana sampai hari ini.

Postur tubuhnya lumayan tinggi dan proporsional. Ya, bisa dikatakan apa yang ada di dia, cukup memenuhi standar ketampanan yang diagung-agungkan masyarakat pada umumnya lah. 

Setelah itu, kami kembali tak sengaja berinteraksi karena insiden bola basket. 

Jadi, ceritanya, saat itu kelasku baru saja selesai ulangan matematika. Bu Santi, guru matematika kami memintaku untuk mengantarkan tumpukan kertas ulangan itu ke ruangannya. Kebetulan ruang guru harus melewati lapangan basket. 

Saat aku lewat, tiba-tiba tanpa sengaja, bola basket yang Arya dan teman-temannya mainkan nyasar menghantam cukup keras pundakku.

Keseimbanganku agak oleng dong, saat itu. Lumayan sakit. Tumpukan kertas ulangannya pun otomatis jatuh berhamburan di sekitarku.

Dan, tanpa disangka seorang cowok bernama Arya itu sudah berada di depanku, lalu dengan sigap membantu memunguti kertas-kertas yang berhamburan tadi.

Sedangkan temannya yang lain tetap tinggal di lapangan sambil tertawa melihat kejadian itu di lapangan. Dasar.

"Kamu gak apa-apa? Sorry, ya. Temenku gak sengaja." ucapnya saat itu dengan wajah berkeringat dan ekspresi khawatir sambil memunguti kertas-kertas yang berserakan.

Walaupun sebenarnya bukan Arya yang membuat bola basket itu nyasar keluar lapangan, tapi kelihatannya dia tetap merasa wajib bertanggungjawab.
Apalagi yang menjadi korban seorang perempuan.

Tak hanya itu, dia bahkan membantuku lagi untuk membawakan tumpukan kertas itu ke ruangan guru. 

Di sepanjang perjalanan ke kantor, Arya terus mengajakku berbicara. Dia bilang sering melihatku, dan sudah tahu namaku. What?

Dia juga tahu kalau aku pernah juara puisi dan juara olimpiade bahasa Indonesia tahun lalu. 

Gaes, seorang Arya ternyata cukup update dengan info tentang Kelana, loh. Padahal aku gak pernah merasa populer seperti dia. 

Dan, sejak saat itu, di manapun itu, sedang dengan siapapun itu, jika kami berjumpa, dia tetap selalu ramah dan menyempatkan diri untuk menyapaku, "Lana!"

Ya, memang hanya sekadar itu. Tidak lebih. Tapi, ternyata hal semacam itu pun cukup membuat gaduh teman-temannya yang lain.

Tidak jarang saat Arya sedang menyapaku, penting banget gitu bagi teman-temannya, termasuk Fia, menatap diriku dari ujung sepatu sampai ujung jilbab.

Untuk apa, coba? Menilai apakah aku dengan fisik seadanya ini pantas berteman dengan seorang Arya Satria yang kebetulan banyak dipuja-puja para siswi itu?

Gila. Di awal melihat Arya saja, aku tidak berekspektasi kalau dia adalah cowok yang memiliki potensi menjadi sepopuler itu di sekolah ini.

Aku hanya merasa bahwa dia manis, sangat ramah, dan sopan.

Terlebih ketika dia mau menolongku saat itu. Wah, respect banget, deh, pokoknya.

Sejak kecil, ayah selalu mengajariku untuk tidak menyepelekan diri sendiri dan juga orang lain. Terlebih masalah fisik.

Katanya, itu bagian dari rasa syukur dan percaya kita kepada Allah yang telah menciptakan manusia.

Bagi Allah kita semua sama secara fisik. Karena yang membedakan derajat manusia di mata-Nya adalah amalan kita selama hidup di dunia ini. Bukan siapa paling cantik.

Manusianya saja yang kurang kerjaan mengkotak-kotakkan menjadi standar fisik, kekayaan, ini, dan itu.

Makanya, meskipun aku sadar bahwa penampilan fisik yang kupunya tidak memenuhi standar kecantikan pada umumnya, it's okay. Aku tetap mencintai diriku sendiri.

Aku tetap berusaha menyetarakan hakku untuk bisa berteman dengan siapapun. Bahkan gak menjadikan fisik sebagai sesuatu yang bisa membuatku rela merendahkan diri, merugikan diri sendiri untuk tidak berteman dengan orang-orang baik seperti Arya Satria, hanya karena teman-temannya yang merasa sok iyee itu.

Aku  bersyukur banget punya sifat kepo yang cukup berlebihan dengan hal yang menyangkut tentang buku dan tontonan bertema edukasi, terkhusus yang membahas tentang personal development dan keislaman.

Sebab dari ilmu-ilmu yang mereka bagikan, aku bisa banyak belajar tentang mencintai diri sendiri, mensyukuri apa yang kita punya, dan mengerti mau dan harus seperti apa sebagai seorang wanita, dan juga hamba Allah.

Aku juga jadi lebih berani untuk bersuara dan menghadapi masalah, apalagi jika itu menyangkut harga diriku, dan juga orang-orang tersayangku.

Bersyukurnya lagi, aku memilki keluarga yang selalu menanamkan mental kuat di dalam diriku dari kecil. Mereka cukup demokratis dan selalu berusaha objektif dalam menilai apapun berdasarkan perspektif islam.

Beberapa hal inilah yang membantuku untuk tumbuh menjadi sosok yang tidak mudah menyerah, berani bertindak, dan selalu mencari sisi positif dari kejadian apapun itu. Termasuk kejadian pagi ini.

Namun, entah mengapa, hatiku belum juga tenang. Seharusnya masalah ini gak berakhir seperti ini saja, kan, pemirsa?

Aku tidak ingin setelah ini Fia semakin membenarkan statement-nya tentangku tadi, dan bisa mengundang korban-korban lainnya lagi. Ini gak bisa dibiarkan.

Gak lama Fia pergi, tiba-tiba aku kepikiran untuk melakukan sesuatu.

Gak butuh waktu lama meyakinkan diri, aku pun berdiri lagi dan pergi meninggalkan cemilanku serta Nindy begitu saja, lalu berjalan keluar kelas mengikuti Fia.

Semua mata di kelas masih tertuju padaku. Sepertinya mereka sedang menunggu sesuatu hal yang lebih seru lagi.

Kalau iya, silakan saksikan apa yang akan terjadi setelah ini.

Waktu istirahat masih 20 menit lagi. Sepertinya, aku punya cukup waktu untuk melancarkan aksi nekatku kali ini.

Sambil masih menahan rasa kesal, aku melangkah menuju ke arah kantin. Tempat biasa Arya, Fia dan mereka yang lainnya nongkrong.

Setelah sampai di sana, ternyata Fia juga baru saja duduk, tepatnya di samping Arya yang saat itu sedang menyantap mie ayamnya.

Dengan penuh percaya diri, dan tahu atas risiko yang ada nanti, aku memberanikan diri untuk mendatangi mereka.

Beberapa menyadari kehadiranku, sedangkan Arya sendiri belum. Mereka lantas mulai berbisik-bisik sambil menatapku. Ya, tatapan heran, mungkin pun aneh.

Dan, tanpa memedulikan mereka, dengan posisi yang masih lumayan jauh, aku langsung  memanggil nama Arya begitu saja.

"Aryaa!" panggilku cukup keras. Jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat berkali lipat.

Beruntungnya, orang yang kupanggil langsung menyadari keberadaanku. Dia menghentikan makannya lalu menatapku kaget, kemudian tersenyum.

"Sini!" panggilku semakin yakin sambil melambaikan tangan ke arahnya.

Semua temannya yang lain, termasuk Fia pada melongo melihat kejadian langka ini.

Saat tahu aku memanggilnya, Arya pun langsung tersenyum lebar, lalu beranjak dari tempat duduknya, dan menghampiriku dengan wajah semringah.

Perasaan kesal, sedih, dan dendam yang sedang bergelut di dalam diriku, tiba-tiba mulai mereda ketika ia dengan ikhlasnya menghampiriku.

"Hai, Lana! Ada apa?" tanyanya ramah sambil tersenyum. Tatapannya sangat teduh. Sangat beda jauh dengan tatapan Fia dan temannya yang lain.

See! Arya Satria sedang berada di hadapanku saat ini. Bahkan dia rela menghentikan kegiatan makannya dan meninggalkan teman-temannya begitu saja, tanpa permisi.

"Ada yang mau aku omongi. Tapi, gak di sini." jawabku sambil membalas senyumnya. Meski masih cukup sulit menetralkan emosiku yang sedang bercampur aduk ini, aku tetap berusaha serileks mungkin.

Arya langsung setuju, dan kemudian mengikuti langkahku meninggalkan mereka.

Aku memilih tempat mengobrol di taman sekolah yang cukup jauh dari kantin. Lelaki itu pun mengikutiku tanpa protes sedikitpun.

Waktu terus berjalan, tidak ada lagi waktu untuk berbasa-basi. Arya berdiri menjulang  di depanku. Sedangkan aku sudah bersiap untuk berbicara.

Beberapa siswa lain yang sedang berada di taman sekolah juga, terkadang mencuri pandang ke arah kami berdua. Ada yang menatap heran, ada yang berbisik-bisik.

Whatever. Lagian niatku hanya ingin berbicara 4 mata dengan Arya sekaligus menunjukkan kepada Fia dan teman yang lain bahwa orangnya sendiri saja tidak gengsi berteman denganku. Kenapa merekanya yang harus repot ngatur-ngatur Arya?

Aku juga berusaha menjaga jarak sopan dengan Arya, dan memilih taman sekolah yang ramai supaya gak hanya berduaan doang.

Kujelaskan semuanya yang terjadi kepada Arya. Termasuk tentang sikap Fia hari ini dan cara pandang teman-temannya kepadaku selama ini.

Sebisa mungkin aku menjelaskan tanpa menyudutkan siapapun, termasuk Fia. Aku hanya ingin perkara seperti ini tidak terulang lagi, baik kepada diriku maupun orang lain.

Mungkin jika hanya dengan pandangan, aku masih mentolerirnya. Lagian bisa jadi aku saja yang terlalu gede rasa menganggap mereka iri padaku.

Tapi, ini sudah semakin terang-terangan. Fia jelas mengatakan sesuatu yang membuatku naik darah. Seakan-akan dia yang bisa mendikte aku dan Arya pantas berteman dengan siapa?

Hello, Fia!  Kamu bahkan gak pernah sudi memandang Kelana Ningtyas sebelum momen di mana dia sering disapa Arya Satria, loh.

"Aku di sini cuma ingin meluruskan aja sih, Ar. Apa kamu juga termasuk orang yang mengutamakan fisik saat memandang seseorang? Ya, meski aku yakin enggak, tapi aku pengin denger pendapat kamu langsung. Setidaknya bisa memudahkanku untuk bersikap ke depan. Simpelnya, aku bakal jaga jarak dengan orang yang gak bisa menghargai keberadaanku. Cukup fair, kan?"

Tapi, aku juga tidak ingin berpikir kolot dan egois untuk langsung meminta Arya menjauhiku dan memutuskan pertemanan  ini hanya karena teman-temannya menganggapku tidak pantas berteman dengan Arya, tanpa bertanya dulu ke dirinya.

"Lana, denger, ya! Gak ada syarat apapun untuk berteman denganku. Aku ingin berteman dengan semua orang agar bisa belajar banyak hal, termasuk dirimu. Apa itu salah?"

"Ya, tapi temen-temen kamu..."

Arya menggeleng cepat, "Untuk masalah fisik, ibuku pernah bilang, Lan. Kalau defenisi perempuan cantik itu bukan dilihat dari fisiknya, tapi dari sifat dan sikapnya. Mulai dari gimana cara dia memperlakukan dan menghargai dirinya dan orang lain, dari cara dia menyelesaikan masalah yang ia hadapi, hingga gimana cara dia menjalani hidupnya."

Ibu? Aku yakin ibunya pasti bukan orang sembarangan.

“Ketimbang fisik, aku malah lebih mengutamakan knowledge, prinsip dan persamaan cara pikir jika memang harus memilih teman. Kamu cerdas, Lan. Itu mengapa aku ingin berteman denganmu, dan yakin kamu bisa menghadapi orang seperti Fia dengan cara cerdasmu sendiri.”

Aku menghela napas panjang. Kata-kata Arya benar-benar membuatku speechless.

"Aku sepakat kalau apa yang dilakukan Fia itu salah. Tapi, untuk menghadapi orang-orang seperti mereka, kita butuh cara yang cerdas. Mungkin seperti apa yang kamu lakukan saat ini. Ya, gak? Haha." Arya tertawa sambil bertepuk tangan.

Tawanya cukup menghiburku. Padahal dia gak tahu saja betapa besarnya effort-ku tadi untuk memulai rencana ini. Beruntung, Arya adalah lelaki yang berbeda.

Untuk ukuran anak kelas 2 SMA, pemikiran Arya cukup dewasa. Di saat banyak teman-temannya yang berlomba membanggakan pacar, teman yang populer dan cantik secara fisik, ternyata Arya memiliki prinsip sendiri. Dan, kerennya, pemikiran itu diadopsi langsung dari nasihat ibunya.

Tidak heran jika banyak yang mengagumi Arya, sebab sifat dan sikapnya amat sangat terpuji. Defenisi lelaki tampan sesungguhnya, ya.

"Jadi," lanjutnya membuyarkan pikiranku, "kita masih bisa berteman, kan?" tanya Arya sambil tersenyum lebar padaku.

Setelah obrolan itu, Arya kembali ke kantin. Sedangkan aku kembali ke kelas dengan perasaan lebih tenang. Jauh lebih tenang. Setidaknya, aku hanya butuh konfirmasi dari orangnya langsung.

Kalau memang seperti itu adanya, omongan netizen yang pada syirik sangat tidak penting untuk dipedulikan lagi.

Dari kejadian ini aku belajar satu hal lagi, bahwa ternyata perasaan insecure itu memang gak benar-benar bisa meghilang meskipun kita sudah belajar banyak ilmu untuk memusnahkannya.

Dia selalu akan kembali muncul jika ada trigger yang tepat. Tapi, pondasi mindset baik yang ditanam dan di-upgrade terus menerus, memang gak bisa semudah itu ditumbangkan.

Buktinya, meskipun mentalku saat itu sempat terguncang karena omongan Fia, tapi aku masih tetap yakin dengan kepercayaan diriku selama ini.

Kulit putih dan standar kecantikan lainnya mungkin bukan privilege-ku saat ini. Tapi, aku memiliki segudang privilege lainnya yang bisa kuandalkan, meski bukan berupa fisik. Tentu saja semua itu masih sangat berlaku bagi sebagian besar orang.

Karena aku selalu percaya dan yakin bahwa masih banyak manusia yang menilai sesamanya bukan dari fisik. Dan, ternyata, Arya adalah salah satunya.

Love your self, girls. Akan ada Arya-Arya lain di luar sana yang bakal kamu temukan, kok.

_________

Cerpen ini terinspirasi dari true story.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya E-modul Anatomi Artikel Populer + BONUS
1
2
✅ Mau tahu ceritaku dapat 2 jutaan di bulan pertama sebagai freelance content writer (2021)?✅ Mau tahu cara menulis artikel populer supaya lebih mudah & cepat?✅ Mau tahu cara dapat klien meski tanpa pengalaman project menulis sebelumnya?✅ Dengan template ini, kamu bisa nulis 2-4 artikel @500 kata, seharga 25ribu tiap hari.Semua akan terjawab di e-modul + booklet ini. Langsung order ke di Karyakarsa ya :)DAPATKAN DISKON GAK SELAMANYAHARGA NORMAL Rp.49.000 + Bonus booklet seharga Rp. 69.000TAPI SEKARANG KAMU BISA DAPAT HANYA DENGAN Rp.21.000✅HARGA BISA NAIK KAPAN SAJA. BURUAN!!! 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan