
Kilas Balik BAB 23
"Mama ...?"
Aku tidak bohong. Mama Harlan seratus persen mirip Ibuku.
BAB 24
Tidak Tergapai
Ada yang bilang jika merindukan seseorang maka ada kemungkinan kita bisa melihat orang lain mirip dirinya.
Kupikir itulah alasan mengapa awalnya melihat Mama Harlan sebagai Ibuku, tapi ternyata salah karena memang wanita cantik itu mirip jelmaan Ibuku.
Apa karena terlalu bersemangat sampai-sampai begini?
Awalnya juga aku sempat meminta Harlan untuk memukul kepalaku agar tersadar bila memang ini mimpi, dan dengan bodohnya dia menarik rambutku hingga sakit. Dasar tidak berperikemanusiaan, tidakkah dia memikirkan perasaan orang lain jika diperlakukan seperti itu?
"Saya gak tau kenapa kamu jadi terkejut sampai-sampai belum angkat bicara," ucap Mama Harlan padaku, "Apa saya mirip seseorang?" tanyanya sambil tertawa.
Aku hanya mengangguk sambil menahan tangis, pertemuan ini sungguh mengguncang batin dan mentalku secara bersamaan. Kini hanya ada kami berdua, sang ibu mengusir anaknya karena terlalu cerewet dan mengganggu. Maka dari itu kamar besar milik sang nyonya rumah adalah tempat yang dipilihnya.
"Sebenarnya, saya juga sempat gak percaya bisa sembuh, tapi setelah Harlan yang selalu menangis dan menangis setiap berkunjung akhirnya berhasil membuat saya sembuh. Mungkin anugerah," ujarnya bercerita.
"Kamu pacar Harlan? Kalo memang benar aduh ya, kok kamu mau sama anak saya?" tanyanya tertawa lagi.
"Iya ...."
"Hm?" Mama Harlan sedikit senang saat aku angkat suara. "Iya apa, Sayang?"
Jujur, dia ini mirip sekali! Aku tidak bisa menemukan sedikit pun perbedaannya dari Ibuku. Aku bingung antara senang atau tidak, memang tak bisa dipungkiri bahwa melihatnya nyata seperti ini seakan nyata pula aku melihat sosok Ibuku.
"Tante ... bisa Jennis panggil Mama?" tanyaku padanya.
Dia tersenyum, lalu memelukku. Rasanya hangat sekali, mata dan hatiku sama-sama menangis karena kenyataan yang belum bisa kuterima. Maksudku, bagaimana bisa Mama Harlan mirip dengan Ibuku? Apakah mereka ... tidak, aku berharap tidak ada ikatan tersembunyi, ini akan menyakitkan jika memang terjadi.
"Kayaknya saya bisa mengenali kamu," ujarnya berbicara lagi.
"Ayah kamu orang Thailand?"
"Namanya Chittapon bla bla dan biasa dipanggil Pak Cetta?"
"Kamu tinggal sama orang yang bernama Atikah?"
"Kamu ... Jennis Oprasert?"
Aku diam. Dia mengenaliku, apa ini pertanda bahwa Ibuku masih hidup? Bisa saja ada kemungkinan bahwa yang dikubur saat itu bukan Ibuku, 'kan? Bisa saja sebelum detik-detik meninggalnya beliau ternyata dinyatakan gila, lalu dialihkan ke rumah sakit jiwa agar tidak membuat Ayah curiga makanya Ibuku dinyatakan meninggal. Benarkah begitu?
"Mama ...."
"Bukan." Beliau menyanggah. "Saya kembarannya."
"Adhiva Prasetyani."
Aku memeluknya lebih erat, kini tangisku lebih heboh dari yang tadi. Mungkin aku yang terlalu berharap bahwa sosok sang ibu akan kembali, kenyataan yang berkata bahwa Mama memang sudah tidak ada adalah realita. Namun, di balik itu juga aku senang karena ada orang lain yang seratus persen mirip dengan Ibuku, bukan sekedar mirip fisik saja, tetapi sikap pun kurasakan sama.
"Kamu bisa anggap saya sebagai Mama kamu, enggak apa-apa, Jennis," ujarnya lagi.
Ya, aku pasti akan menganggapnya sebagai Ibuku. Tidak perduli dengan Tante Atikah di sana tentu aku akan mencoba minggat untuk pergi ke sini, aku ingin tinggal bersamanya. Jika begini pun artinya aku akan satu rumah dengan Harlan bukan? Dan kami akan hidup bersama sebagai ... keluarga?
Sebentar, memikirkan Harlan membuatku berpikir. Jika ibu kami adalah kembar, maka kami adalah keluarga?
•••
Pertemuan dengan kembaran Ibuku berakhir sampai jam lima sore, banyak hal yang kami lakukan. Setelah fakta yang kuketahui maka kami bersikap biasa dan melakukan beberapa kegiatan bersama, tidak lupa juga dengan kehadiran Harlan sebagai figur tambahan dalam menghibur.
Contohnya, dia saat membuat kue, dia justru memecahkan telur tanpa memisahkannya dari kulitnya. Iya, dia buat semua dalam satu wadah, aku jadi ingin selalu melempar wajahnya dengan telur busuk.
Kedua, menghancurkan wajah cantikku dengan selai kue. Saat menikmati kue lezat buatan kami bersama, dia justru mengotori wajahku. Seharusnya dia tahu bahwa aku sangat menjunjung tinggi kecantikan wajah yang murni ini, aku juga heran kenapa kembaran Ibuku mempunyai anak yang tidak berakhlak seperti Harlan.
Ketiga, dia mempersembahkan sebuah lagu yang sangat berisik karena tidak serius menyanyikan, padahal aku tahu suara Harlan sangat bagus.
"Kau masih gadis atau sudah tua, baik katakan saja jangan malu."
"Mama pilih yang mana, Jennis atau Harlan. Jennis memang cantik, Harlan lebih menggoda."
Gila:)
Dia sangat heboh, tadi.
Sekarang justru berbanding terbalik. Saat kami masuk ke dalam mobil, dia jadi diam seribu bahasa. Bagiku tidak mungkin dia kelelahan karena diam bukanlah seorang Harlan Rangga Fabradi, sepertinya dia sedang dirasuki sekarang.
"Jennis." Akhirnya dia bersuara saat mobil berhenti tepat di depan pagar rumahku. "Gimana rasanya setelah ketemu Mama? Seneng gak?" tanyanya.
Aku hanya mengangguk meski dia tidak menatapku. "Boleh buat aku aja gak Mamamu?" tanyaku bercanda.
"Awalnya aku memang berniat bikin dia jadi milik bersama," ujar Harlan lagi.
"Ngomong apa kamu?" tanyaku bingung, aku juga masih mencoba mencairkan suasana agar tidak terasa canggung.
"Seandainya gak ada ikatan," ujarnya melanjutkan ucapan yang tertahan sejenak.
"Jenn ... aku seneng kalo ternyata kita ini keluarga, tapi ... kenapa hati aku sakit?"
"Aku ... ngerasa kita jauh, Jenn."
"Kenapa jadi gini ya, hehe."
Awalnya aku bingung dengan apa yang dia ucapkan, tapi saat berusaha memahami perasaan Harlan aku pun mengerti. Sepertinya Harlan mendengar percakapanku dengan ibunya saat bicara berdua tadi.
"Aku bahagia, Jenn. Tapi bukan ini yang aku mau, aku mau hal yang lain dan aku gak tau gimana caranya."
Aku paham, tapi bingung harus mengatakan apa. Semua jadi terasa aneh dan abstrak. Bagai Dora yang berpetualang tanpa peta, maka begitu juga aku yang tidak mempunyai kompas untuk memutar otak ke arah mana.
"Aku mau kita sama-sama," ujarnya lagi.
"Harlan ... aku sama kamu udah jadi kita sekarang, masa kamu gak senang sih," ujarku menyahut.
"Apa kamu gak ngerti, Jenn? Iya, aku tau kamu perlu sosok Mama dan sekarang kamu udah tau siapa yang akan jadi pengganti Mama kamu, tapi ... enggak kayak gini. Maksud aku, kita bakal sama-sama dengan Mama, tapi seharusnya gak kayak gini. Kenapa keputusannya jadi gak adil buat perasaan aku?"
Sejujurnya, aku tidak perduli dengan apa yang diucapkan Harlan. Ibunya adalah Ibuku dan sampai nanti akan kuanggap seperti itu, kami juga akan bersama dan menghabiskan waktu bermain dengan bahagia. Harlan tidak perlu repot-repot datang ke rumahku untuk melakukan sesuatu bersama, lantas kenapa dia berkata aku yang tidak mengerti?
"Kenapa kamu sedih gitu? Kita udah bersama sekarang, dan simpel banget 'kan?" tanyaku padanya.
Harlan diam saja. Dia juga tidak ingin melihat ke arahku, dan aku juga tidak mengerti kenapa dia bertingkah aneh seperti itu. Memangnya apa yang dia mau? Bersama, bukankah kita sudah bersama? Kita juga sudah terikat sejak dulu, sejak belum saling mengenal.
"Har ...."
"Keluar, Jenn. Udah sampai dari tadi," ujar Harlan.
"Kok ngusir?" tanyaku bingung.
"Loh kita 'kan keluarga, kita udah bersama jadi udah bisa saling paham dong. Ngapain kamu mau lama-lama di sini?" tanya Harlan balik.
"Hm, iya. Bilang sama Mama kalo aku mau ikut sama dia nanti, tunggu persetujuan Tante Atikah sih. Jadi kita ...."
"Jenn, keluar aja cepat!" titah Harlan memotong bicaraku.
"Iya 'kan cuma mau ngomong sa ...."
"Kamu itu memang gak ngerti ya, apa kamu masih belum sadar kalo yang aku mau bukan kaya gini, Jenn!" ujarnya lagi.
"Kamu gak mau berkeluarga sama aku?"
"Kamu ... hhhh, keluar aja, Jenn. Nanti kalo Tante Atikah udah setuju hubungi aku, kita atur pindahnya kamu ke rumah sama Mama," ujar Harlan lagi.
Aku mengangguk, lalu keluar dari mobilnya. Sedikit kesal sih kenapa Harlan jadi emosi begitu, padahal aku hanya ingin berbagi suka saja. Aneh sekali ya.
"Aku cinta sama kamu, Jenn."
Ucapan sederhana yang pernah diucapkan Harlan terputar seiring mobil mewah miliknya melewatiku begitu saja, hembusan angin pelan yang berisi kehampaan tiba-tiba menerpa kulit tubuhku. Semakin jauh jarak mobilnya pergi, semakin kencang hembusan angin yang menerpa hingga rambut indahku sedikit melayang-layang. Ini sudah seperti adegan kiamat saja, kenapa saat sendiri semua jadi terasa berbeda?
•••
"Harlan mabuk."
Pesan suara yang kuterima dari Jidan lima belas menit yang lalu adalah alasan mengapa mobil merah milik Tante Atikah melaju dengan kencang, aku tidak perduli jika beliau akan mengejarku sebab hal utama yang sedang kulakukan ini mutlak benar. Harlan mabuk. Bukan perkara Harlan mabuk saja, tetapi ada hal lain.
Dia tengah bersama gadis.
"Kenapa sih?" tanyaku marah.
Benar. Aku sangat marah. Melihat foto yang dikirim Jidan mengenai Harlan tengah merangkul seorang gadis membuat emosiku jadi sangat tinggi, aku tidak suka! Belum lagi rasanya ingin memukul wajah Jidan karena membiarkan Harlan seperti itu, mungkin juga Jidan terpaksa mengirim gambar agar aku percaya dan langsung bergegas pergi sebab dia juga tidak berkutik. Entahlah.
Tidak perduli dengan jalanan kosong yang jika tidak berhati-hati bisa tertabrak alat transportasi lain yang tengah melaju juga di tengah malam, aku pikir ini sedikit memudahkan karena mobilku hanyalah sebatang kara melaju di jalan aspal. Semuanya jadi tidak terasa setelah share location yang diberikan Jidan mengantarkanku pada sebuah bar besar, aku sampai.
Dengan langkah yang terbilang laju, akhirnya aku berdiri di depan pintu utama. Sebelumnya aku menghela napas dulu, semuanya harus kubawa tenang agar tidak membuat kekacauan di sini. Ya, aku yakin bahwa aku akan mengamuk, Harlan ini benar-benar membuatku marah karena datang ke tempat yang haram ini.
"Jadi ije bulan jatun bara gawian ...."
Bersisik sekali. Lagu DJ yang nyaring hingga membuat telingaku sedikit sakit, belum lagi detakan jantung yang mengikuti irama jedag-jedug musik membuat salah satu organ penting itu merasa seakan ingin copot saja dari sana.
Aku harus cari Harlan. Ucap batinku lalu melangkah masuk lebih dalam. Pisau lipat juga ada di kantong jaketku, dan jika ada yang macam-macam aku tinggal sodok saja.
"Hei ...!"
Baru saja aku bersiap kini pisauku sudah keluar dan mengarah pada seseorang. "E-eh, ojo, Jenn! Nanti kamu disuruh keluar, ini aku Jidan."
Tentu saja aku kaget karena tadi dia memegang bahuku, sehubungan otak berpikir untuk berhati-hati alhasil aku asal arah saja. "Maaf," ujarku tersenyum simpul lalu menyimpan kembali benda tajam itu.
"Cepat! Harlan udah gila, Jenn!" Kini Jidan menarik tanganku dan mengajak tubuh ini menerobos kerumunan orang yang tengah berjoget ria.
Aku sih tidak masalah jika ingin berjoget, tapi tolong pakaiannya apa tidak bisa dikondisikan? Ini adalah suasana malam yang dingin tapi kenapa penampilan para gadis seperti Barbie yang ingin berenang di danau buaya? Iya, buaya darat, uhukk uhuukk.
"Tapi, kamu ... harus santai, karena dia emosi kalo ditegur," ujar Jidan menghentikan langkah dan mengajakku berdiskusi. "Jo sama Rendra lagi berusaha ngajak dia pulang, tapi dia gak mau."
Aku mengangguk sebagai jawaban, jika teman-temannya menegur dengan penuh kasih sayang, maka aku akan melakukannya dengan kekerasan. Atensi mata pun langsung menunju pada meja bar yang berisi tiga orang laki-laki dan dua orang gadis yang tengah ... dipeluk Harlan? Gila!
Aku tidak terima dengan apa yang kulihat sekarang, dengan cepat saja kaki melangkah mendekatinya dan menarik salah satu wanita yang tengah merebahkan kepalanya di dada Harlan.
"Minggir!" ujarku menjambak rambutnya hingga membuat Harlan memandangiku. "Gila ya lo!" Kini aku menamparnya.
"Eh, J-Jenn! Udah!" tegur Johari berusaha menghalangiku yang ingin menghajarnya lebih.
Jidan langsung meminta gadis itu meninggalkan kami, kini tersisa satu orang dan dengan tidak tahu-menahunya dia justru bersandar di bahu kiri Harlan. Wauw, ingin main-main ternyata. Baiklah, aku langsung mengulurkan tangan ingin menjambak rambut gadis itu, tapi sebelum semua terjadi justru ada yang menghalangi.
Harlan tengah memegang tanganku dengan erat.
"Jangan ganggu gue!"
What? Benar apa yang dikatakan Jidan jika dia sudah gila, cara bicaranya jadi kasar dan setelah melempar tanganku dia justru memeluk gadis di dekatnya dengan erat. Tolong panggilkan pemadam kebakaran karena hatiku tengah terbakar saat ini!
"Harlan, pulang!" ujarku berusaha memisahkan dia dengan gadis tersebut tapi selalu ditangkis, tanganku sudah seperti orang yang ingin menangkap ular, maju-mundur-maju-mundur.
"Gue gak perlu lo! Gue bisa pulang sendiri!" ujarnya lagi.
"Kamu kenapa sih, hah? Kalo punya masalah gak usah kayak gini!" bentakku, "Heh! Jalang lutung! Lo gak punya malu atau ...."
"Jaga ucapan lo, Jennis Oprasert!"
Wauw, Harlan berteriak di depanku demi membela seorang gadis yang tidak tahu identitasnya?
"Jaga ucapan? Mana yang lebih buruk dari perbuatan kamu ini, Harlan?" tanyaku marah.
"Lepasin dia!" Aku berusaha memisahkan Harlan dari gadis itu. "HARLAN, AKU BILANG ...."
"KENAPA, JENN?" Harlan berteriak seraya mendorong gadis yang dipeluknya begitu saja hingga terjatuh ke lantai, silahkan bagi siapa pun yang ingin menertawakan gadis itu. Karena yang pasti, tatapan kami berdua bertemu dengan Harlan yang berdiri tepat di depanku.
"Dia bisa gue gapai dengan mudah, gue bisa menggapai seluruh perempuan yang gue mau. Tapi enggak dengan lo! Sampai mati pun gue gak bakal bisa menggapai lo, Jenn!"
Aku diam lalu mengerti.
Harlan kecewa karena kami adalah keluarga.
--
bersambung
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
