Pandora - [Chapter 1] Yang Pergi Akan Pergi

44
7
Deskripsi

Dunia Hinata runtuh dua kali. Saat ia harus memiliki Himeka sendirian, dan ketika Sakura harus meninggal. Sasuke Uchiha kembali datang ke hidupnya saat Hinata memutuskan untuk melepas semua masa lalunya dan mencoba memulai hidup baru.

Nyonya Sakura tidak sadarkan diri pagi ini. Sepertinya, ia tidak dapat bertahan lagi.

Pesan itulah yang menjadi alasan Hinata untuk absen dari tugasnya. Meski begitu, ia menyempatkan juniornya untuk tetap tinggal dan melanjutkan pekerjaan mereka sementara waktu.

Hinata baru saja kembali dari Taiwan malam itu. Ia membenarkan nuraninya ketika meninggalkan Sakura dan Himeka di rumah sakit dalam perjalanan dinasnya. Tak seharusnya ia menerima tawaran atasannya itu untuk pergi ke Taiwan dan meliput aksi demonstrasi. Ia tahu bahwa akhir-akhir ini adalah masa terberat Sakura. Seharusnya ia menjaga wanita itu setidaknya di saat terakhirnya. Dalam hal ini, Hinata menyalahkan sifatnya yang sensitif dan mudah tidak-enakan pada beberapa situasi. Meminta rute taksi tercepat, Hinata berharap ia akan sampai lebih cepat. Lebih dari itu, ia berharap Sakura dan Himeka baik-baik saja.

Sesampai di rumah sakit, melewati pintu masuk yang sama, melewati meja resepsionis yang sama, mengambil rute yang berlawanan dengan kamar inap, Hinata akhirnya melihat pintu ICU. Malam itu sunyi. Hanya ada dua orang di tempat itu, selain Himeka dan Kakashi yang berdiri bersandar pada dinding. Hinata tertegun melihat keberadaan pria itu tapi pasti kemunculannya malam ini karena Himeka. Setelah Hinata, hanya Kakashi-lah yang menjawab panggilan anak itu.

"Kaachan!" mata Himeka berbinar lega tapi seketika menggenang air mata. Anak itu beranjak dari duduknya dan berlari memeluk kaki ibunya. Hinata cukup terkejut melihat Himeka masih belum juga tidur pada jam selarut ini. Anak itu cukup dewasa untuk mengerti bahwa di saat seperti ini adalah bukan saat yang tepat untuk tidur, atau mungkin Himeka memang sedang menunggu ibunya.

Hinata menggendong putrinya. Ia menghampiri Kakashi dan membungkukkan badan, menyapa sekaligus mengucapkan terima kasih pada pria itu.

"Apa yang terjadi?" tanya Hinata seraya membawa dirinya duduk sambil tetap membawa Himeja dalam gendongannya.

"Sepertinya komplikasinya semakin memburuk. Tadi pagi, ia sudah tak bisa melihat lagi. Ia juga mual dan muntah." Penjelasan Kakashi membuat Hinata menghembuskan napas panjangnya.

"Pada akhirnya semua pengobatan itu sia-sia," kata Hinata. "Setidaknya ia bisa melihat Himeka," pikirnya.

Hinata sudah mempersiapkan saat terburuk dalam menghadapi kenyataan Sakura. Namun tetap saja ia tak mampu. Ketika dokter keluar dari ICU dan menghampirinya, saat itulah ia tahu bahwa ia harus menghadapi ini.

Wanita itu meminta Kakashi membawa Himeka yang mulai terlelap. Anak itu sedikit terbangun ketika Hinata memindahkan tubuhnya, tapi dengan cepat ia memeluk Kakashi dan menyandarkan kepala di dada bidang pria itu.

Hinata menghampiri Sakura yang kondisinya sudah tak karuan. Luka-luka pada kulitnya bertambah sejak terakhir kali ia melihat wanita itu. Perutnya juga semakin membesar. Hanya tiga hari dan kondisi Sakura sudah seburuk ini. Wanita itu tak sadarkan diri dan mesin-mesin rumah sakit yang sering Hinata lihat dalam drama sore yang ditonton bersamanya, kini terpasang pada wanita itu.

Duduk di samping wanita itu, Hinata memegangi tangannya. Ia menggenggamnya perlahan dan melihat ruam-ruam serta luka terbuka yang muncul akibat komplikasi yang kini dialami Sakura. Tangannya lemas, dingin, pucat. Seakan tak ada kehidupan di sana.

"Aku kembali, Sakura. Maafkan aku."

Hinata terus menatap Sakura yang masih memejamkan mata, tak bergeming.

"Semua janji yang pernah kukatakan, akan kuwujudkan. Semua keinginanmu itu, akan kukabulkan. Maafkan aku, Sakura dan... terima kasih. Terima kasih telah bertahan."

Seakan mengetahui kehadirannya, Hinata melihat air mata Sakura menggenangi pipinya meskipun mata wanita itu terpejam. Lalu tak lama, mesin yang terpasang pada tubuh Sakurapun berbunyi panjang dan para dokter yang mendengar suara itu tak bisa mengatakan apapun selain mendekati Hinata yang matanya mulai berkaca-kaca.

Seorang dokter mulai mengarahkan perawatnya untuk memasang perangkat baru untuk memicu jantung yang telah berhenti berdenyut itu, tapi Hinata menghentikannya. Ia menangis dan mengasihani Sakura yang akan terus hidup dengan kondisi seperti itu.

Hinata menghindar, menjauh, membiarkan para dokter itu menutup seluruh tubuhnya dengan kain putih. Ia sempat melihat wajah pucat Sakura dan hatinya terasa remuk tak karuan. Perempuan yang besar dan hidup bersamanya di panti asuhan, perempuan yang bagaikan kakak dan adik baginya, saudara, sahabat, satu-satunya keluarga yang bisa ia ceritakan pada teman-temannya. Sekarang orang itu sudah tiada. Sudah kembali ke surga, seperti asalnya dan Hinata.

Para dokter yang melihat kekalutan Hinata mencoba menenangkannya, tapi wanita itu justru berterima kasih pada para dokter itu.

"Berkat kalian, dia bisa hidup lebih lama dari yang kubayangkan. Dia bisa..." ucapan Hinata terputus, wanita itu menelan ludahnya. "... bisa melihat Himeka. Terima kasih."

 

Pemakaman Sakura dilangsungkan dengan sangat sederhana karena tak banyak yang mendatangi pemakamannya. Hanya sebuah ruang duka kecil di krematorium dengan Hinata, Himeka dan Kakashi di sana. Hinata dan Sakura adalah generasi lama di panti asuhan mereka. Anak-anak sepersaudaraan mereka di panti itu telah lama pergi bersama orang tua baru mereka. Ada juga yang merantau sangat jauh dan tak dapat dihubungi. Ibu-ibu dan para pengurus panti lain yang bagaikan orang tua mereka telah lama meninggal. Bagi Hinata dan Sakura yang besar di panti asuhan, hanya gedung pantilah saksi hidup bahwa mereka pernah tinggal di sana.

Sementara teman-teman Sakura, tak ada satupun yang bisa Hinata hubungi. Sejak wanita itu dinyatakan sakit, satu persatu orang-orang itu menghilang. Seakan tidak ingin dimintai bantuan finansial untuk menyokong kesehatan Sakura, karena mereka tahu bahwa wanita itu tidak berpunya. Hinata bahkan tak pernah memohon pada mereka sama sekali. Dia lah yang bekerja membanting tulang demi meneruskan hidup Sakura. Lalu dengan seenak hati mereka berprasangka buruk dan pergi begitu saja.

Upacara pemakaman itu berlangsung sebentar karena memang tak banyak orang yang datang selain Hinata, Himeka dan Kakashi. Dua perawat dan satu dokter spesialis yang membantu merawat Sakura, datang untuk mengucapkan belasungkawa. Dokter dan perawat itu yang membantu Sakura sejak awal ia didiagnosa penyakit mematikan.

"Terima kasih, Dokter Kakuzu." Hinata membungkukkan badannya. Kakashi menundukkan kepala, mengikuti Hinata karena ia masih membawa Himeka dalam gendongannya.

"Saya yang mengucapkan terima kasih," kata dokter itu. "Berkat Nyonya Sakura juga anda, saya menyadari bahwa darah itu hanyalah cairan. Ikatan perasaan melebihi itu." Kakuzu mengamati Himeka yang kini memandanginya dalam diam. Anak itu melingkarkan lengannya di leher Kakashi

Hinata mengajak dokter dan para perawat itu untuk makan siang bersamanya. Sebuah rumah makan sederhana yang menyajikan ramen menjadi pilihan atas keinginan Himeka yang ingin menikmati kuah hangat. Mereka menyantap ramen tersebut dan Dokter Kakuzu melempar pertanyaan.

"Jadi... apakah kalian akan memutuskan untuk menikah?" tanya Dokter Kakuzu pada Hinata dan Kakashi. Kedua orang itu saling memandang dan kemudian melempar pandangan. Melihat reaksi itu, Dokter Kakuzu berpikir bahwa sesuatu memang terjadi di antara mereka dan ia berpura-pura menutup mata. "Sepertinya memang tidak ada sesuatu di antara kalian."

"Himeka sudah sering memberitahu Kaachan, tapi sepertinya Kaachan belum melupakan Papa."

"Himeka," sergah Hinata dengan senyum manis meminta anak itu berhenti. Biasanya anak itu hanya memikirkan dirinya sendiri, tapi dibeberapa kesempatan tak jarang membuat ibunya tersudut.

"Jadi, apa rencana anda selanjutnya?" tanya Kakuzu mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

Hinata terdiam sejenak, lalu berbicara pada Kakuzu. "Saya berencana untuk membawa Himeka pindah ke Norwegia."

"Tempat apa itu Kaa-chan?"

Hinata melihat putrinya dan menjelaskan, "tempat di mana kita bisa melihat aurora."

"Seperti cita-cita Bibi Sakura?" tanya Himeka.

Hinata lalu mengulas senyumnya. "Kita akan menyebar abu Bibi Sakura di sana." Hinata lalu berbicara lagi pada Himeka, "Bibi Sakura akan sedih jika kita meninggalkannya sendirian. Jadi, kita akan menemaninya di sana."

Himeka mengangguk dan lanjut menyantap ramennya meskipun kuahnya terciprat ke mana-mana.

"Saya cukup lega mendengarnya," kata Kakuzu. "Norwegia adalah tempat yang sangat bagus, udaranya bersih dan sangat segar."

Hinata serius dengan yang dikatakannya. Jika kondisi Sakura cukup memungkinkan untuk perjalanan jauh, ia berencana untuk membawanya ke Norwegia. Namun kenyataan berbicara lain. Wanita itu harus menyerah dan Hinata merelakannya.

Menerawangi masa lalunya bersama Sakura, sangat sult di percaya bahwa wanita itu telah tiada. Namun Hinata harus bangkit. Yang hidup pada akhirnya akan mati, dan yang masih hidup harus bertahan.

Menatap wajah putrinya yang berusaha mengambil helai mie ramen dengan sumpit, Hinata menyadari bahwa tujuannya kali ini telah berubah. Sakura telah pergi, dan hanya Himekalah yang masih bersamanya. Satu persatu beban tanggung jawabnya telah pergi. Meskipun perasaan sedih karena kehilangan luar biasa yang masih terasa, tapi setidaknya pekerjaan otak dan tenaganya telah lebih berkurang. Ia hanya perlu menenangkan dirinya. Hanya itu.

 

Rencana Hinata untuk pindah ke Norwegia mulai dipersiapkan oleh Kakakshi. Pria itu adalah salah satu bantuan terhebat yang dimiliki Hinata. Ia bertemu dengannya atas saran dari Sakura yang memintanya mencari pengacara dengan spesialisasi ahli waris. Kakashi memiliki kemampuan akan hal itu.

"Kenapa kau memerlukannya?" tanya Hinata ketika mendengar permintaan Sakura saat itu.

"Di laci pertama, di tumpukan baju paling bawah. Coba lihat." Hinata menyanggupi permintaan Sakura dan menemukan dua buku tabungan atas namanya. Tanggal terakhir transaksi yang tertera di buku itu tertulis sebulan yang lalu sebelum diagnosa Sakura dinyatakan. Setelah mendapat diagnosa, wanita itu langsung diminta untuk menjalani rawat inap.

"Apa ini?" tanya Hinata tak mengerti.

"Semua uang yang kamu kirimkan padaku," kata Sakura lagi. "Aku menyimpannya."

Hinata tak mengerti. Ia memang sering mengirim uang untuk Sakura, untuk memenuhi kebutuhannya. Wanita itu tak bisa memiliki pekerjaan yang berat karena penyakit anemianya. Sehingga Hinata yang sejak awal sudah tinggal bersama dengan Sakura selepas dari panti asuhan, menjadi tulang punggung mereka berdua ditambah satu janin dalam kandungan yang kemudian hadir di tengah-tengah mereka.

Saat itu Hinata pikir Sakura akan menggunakan uang simpanannya untuk membayar biaya rumah sakit mereka. Lagipula wanita itu selalu sepert itu. Berusaha agar ia tidak membebani siapapun.

"Kau tidak harus melakukan ini, Sakura. Aku bisa membiayai..."

"Bukan untuk pengobatanku," kata Sakura. "Ini untuk setelah kematianku. Aku memerlukan pengacara untuk memberikan wasiatku padamu."

Hinata tertegun. Ia tidak menyukai topik pembahasan ini dan sedikit membanting dua buku tabungan itu di atas meja nakas.

"Jangan bilang begitu," sergah Hinata. "Kau pasti sembuh. Aku yakin."

Namun Sakura hanya tersenyum seakan tahu bagaimana akhir dari dirinya nanti.

Menatap dua buku tabungan yang pernah ia lihat di laci, membuat Hinata mengingat kembali masa lalunya dengan Sakura. Menghela napas panjang, pada akhirnya satu persatu keinginan tersebut terlaksana.

Hinata tak ingin melihat nominal tersebut. Ia tahu, bahkan meskipun ia bersumpah tidak akan memberikan uang lagi pada Sakura jika wanita itu masih keukeuh akan memberikan buku itu setelah kematiannya, Hinata tetap saja mengirim uang padanya. Saat itu Hinata berpikir, uang yang dikirimkannya mungkin akan berguna untuk Sakura setelah sehat nanti. Mungkin saja, untuk melihat aurora seperti cita-cita wanita itu. Namun pada akhirnya, keinginan Sakura-lah yang terwujud. Wanita itu memilih menyerah dan meninggalkan semuanya hanya untuk Hinata dan putrinya. Hanya untuk wanita yang memperjuangkan kesehatannya selama ini.

Bahkan meskipun Hinata tak ingin mengetahui nominalnya, Kakashi tetap memberitahukannya. "300 juta yen," ujar Kakashi yang membuat Hinata sangat terkejut.

"Aku tidak ingat pernah memberinya uang sebanyak itu." Gaji koresponden tidaklah banyak. Karena itulah Hinata merasa heran.

"Sekitar 40 juta yen adalah hasil pengiriman atas nama anda beserta bunganya, 100 juta yen adalah uang duka dari asuransi, sisanya..." Kakashi terdiam, memikirkan perlunya mengatakan hal ini atau tidak.

Seakan mengerti apa yang dikatakan Kakashi, Hinata memintanya untuk berhenti. Ia akan menerima uang itu.

"Saya akan mempersiapkan agar uang ini dapat cair dan bisa digunakan untuk keperluan migrasi."

Hinata menimbang lagi keputusannya yang mendadak ini. Ia memang berencana untuk pergi ke Norwegia tapi bukan untuk tinggal dalam waktu yang lama. Keputusannya untuk menetap lama, semata-mata untuk mewujudkan keinginan Sakura yang ingin melihat aurora. Hinata pikir jika berada di Norwegia, maka semua keinginan Sakura akan terpenuhi. Memang terdengar melankolis dan klise. Secara logika, mana mungkin abu kremasi bisa menikmati pemandangan indah aurora dan dinginnya udara pegunungan Norwegia. Namun setelah Sakura dirawat di rumah sakit, wanita itu tak pernah sekalipun keluar. Ia juga harus memendam keinginannya untuk bisa ke Norwegia barang satu atau dua hari saja, karena harus menjalani pengobatan setiap hari. Setidaknya ini yang bisa Hinata lakukan setelah wanita itu meninggal. Lagipula sejak memiliki Himeka, ia tak pernah lagi memiliki keinginan apapun.

Migrasi ke luar negeri memang membutuhkan banyak persiapan. Ia harus mencari peluang bekerja di negara tujuan. Ia juga harus mengajukan pengunduran dirinya dan jika hal tersebut diterima, ia harus mengajari pegawai baru yang akan menggantikannya nanti. Ia juga harus mencari tempat tinggal yang tepat dan sekolah untuk Himeka.

"Masalah pekerjaan dan sekolah Himeka, akan menjadi tanggung jawabku. Sisanya, mungkin aku harus merepotkanmu sekali lagi." Hinata tersenyum canggung, tapi melihat bagaimana pria itu mengetukkan seluruh berkas dokumen untuk merapikannya, menunjukkan bahwa pria itu telah siap dengan pekerjaan barunya. Kakashi tahu bahwa mungkin ia akan melakukan hal-hal di luar pekerjaannya. Namun baginya, Hinata sudah seperti sahabat dan adik. Jadi, melakukan bantuan kecil seperti ini tak masalah baginya.

 

"Senior akan resign?" tanya Amaru. Hinata tertegun sejenak, karena ia belum mengatakan pada siapapun mengenai keputusannya untuk mengundurkan diri.

"Tahu dari mana?"

"Kak Ino." Jawaban Amaru segera membuat Hinata mengerti. Ino si pegawai imigrasi telah menjadi teman mereka karena koresponden yang sering ditugaskan di luar negeri seperti Hinata dan Amaru. Tentunya Ino tahu visa yang diajukan Hinata kali ini berbeda dengan visa dinas yang biasa diajukan. Namun melihat bagaimana tajamnya insting Ino dengan mengira Hinata takkan kembali, membuatnya terkesan.

"Hanya liburan biasa. Aku mengajukan cuti," kata Hinata sambil terus melanjutkan artikelnya untuk berita demonstrasi Taiwan.

"Benar juga. Selama aku bekerja di sini, tak pernah aku melihat Senior mengambil cuti."

"Hinata pernah cuti sekali, kok." Sara, salah satu pegawai senior di kantor Hinata, ikut dalam percakapan itu. "Saat itu kau belum menjadi jurnalis kita, Amaru."

Amaru sangat terkejut. Sepengetahuannya, Hinata adalah jurnalis yang bekerja sangat keras. Ia tidak pernah sekalipun mengambil cuti, meskipun beberapa hari lalu wanita itu terpaksa mengambil cuti karena anggota keluarganya meninggal dan itu sangat beralasan.

"Ternyata Senior bisa 'meliburkan diri' dari pekerjaan, ya," komentar Amaru.

"Tidak bisa disebut libur juga, sih," kali ini Sara menambahkan. "Dia mengambil cuti untuk melahirkan."

"Oh, Senior sudah punya anak?" Amaru semakin terkejut. Terdengar aneh, seorang wanita yang memiliki anak bisa se-workaholic itu. Hinata yang tahu dirinya menjadi topik pembicaraan, hanya melempar senyum pada Amaru.

"Ya, aku sudah punya anak," ujarnya singkat lalu kembali menggerakkan jarinya mengisi kata-kata akhir dalam artikelnya.

"Tapi aku tidak pernah melihat suami Senior."

Rasa ingin tahu Amaru yang tidak pada tempatnya membuat beberapa staff memperhatikan mereka. Shizune, atasan ketiga wanita itu berdeham kecil lalu menagih laporan Amaru dan Sara. Dua gadis muda itu teringat dengan pekerjaan tertundanya dan segera kembali ke biliknya.

"Jangan dengarkan Amaru dan Sara. Mereka memang suka seenaknya."

Kau juga kadang seenaknya masalah pekerjaan. Sungut Hinata dalam hati, lalu tersenyum dan berkata, "tidak apa-apa. Aku mengerti."

Berkat singgungan Amaru dan Sara, Hinata jadi mengingat lagi masa 6 tahun lalu. Setelah Hinata kembali, seluruh kantor berkomentar tentangnya. Tentang ia yang tak terlihat memiliki kekasih atau menikah, tapi mengajukan cuti melahirkan. Tubuhnya pun masih proporsional pasca melahirkan dan itu terasa aneh bagi sebagian orang. Salah satu pegawai yang juga hamil dan mengambil cuti melahirkan pun kembali dengan badan besar dan mengeluhkan sulitnya mengembalikan tubuh aslinya. Lalu rumor bahwa Hinata mengambil cuti melahirkan untuk berlibur. Wanita itu tak dapat dihubungi juga tak bersedia dikunjungi. Rumahnya kosong dan para tetangga berkata, bahwa ia pergi bersama seorang wanita yang dianggapnya kakak dan pergi ke suatu tempat.

Rumor itu terus dibicarakan dua bulan lamanya dan berhenti setelah pemakzulan rakyat Korea Selatan atas presiden mereka yang membuat kantor berita tempat Hinata bekerja sibuk mengulik kabar tersebut.

Hinata yakin, setelah Amaru menyinggung hal yang tak sempat selesai dibicarakan itu, kantornya akan semakin ramai dengan rumor dirinya sendiri.

Sebenarnya Hinata tidak terlalu peduli dengan kehidupan kantor yang bagi sebagian orang sangat tak nyaman itu. Bekerja dengan ekspektasi yang tinggi dan harus melampaui target, deadline yang tak menentu, belum lagi resiko ancaman jika mengulik berita berbahaya dan bayaran yang tak sepadan. Namun Hinata tak ingin mengambil resiko mencari pekerjaan lain. Alih profesi artinya harus memulai segalanya dari awal dengan gaji setara pegawai baru meskipun ia telah bekerja sangat lama. Gajinya pun meningkat seiring dengan lamanya ia mengabdi. Terlebih, memindahkan Sakura ke negara lain yang bisa menyembuhkannya kala itu membutuhkan biaya yang sangat besar. Saat itu, Hinata tak memiliki uang sebanyak itu.

Dengan mata tertuju pada layar komputer dan jari yang masih mengetik sisa artikel, Hinata berpikir. Seandainya saat itu ia memiliki 300 juta en, mungkin ia bisa membawa Sakura ke Amerika atau Inggris yang memiliki tekonologi kedokteran mumpuni untuk menyembuhkannya.

Pada akhirnya, semuanya adalah masa lalu. Sakura telah menyerahkan semua peninggalannya untuk Hinata dan Himeka. Dalam surat wasiatnya, wanita itu berkata bahwa semua uang itu adalah balasan atas ketersediaan Hinata menemaninya sampai akhir hidupnya.

Menekan tombol titik, menyudahi artikelnya, Hinata melamun. Ia teringat dengan ekspresi gembira Sakura ketika melihat bayi Himeka terlahir. Wanita itu menitikkan air matanya dan mengucapkan terima kasih dan maaf berkali-kali. Seperti saat ketika wanita itu meninggal, Hinata-lah yang terus mengucapkan terima kasih dan maaf.

Hinata menyelesaikan pekerjaannya hari itu. Ia turun lima lantai ke basement dan melangkah sedikit terburu-buru untuk menjemput Himeka di TK. Hinata memilih sekolah yang dekat dengan rumah sakit agar anak itu bisa menemani Sakura sepulang sekolah. Sekarang, setelah Sakura meninggal, Hinata harus kembali pada rutinitasnya mengantar jemput Himeka. Saat ia tak memiliki seseorang untuk menjaga Himeka, ia menitipkannya di tempat penitipan anak. Fasilitas seperti ini adalah hal yang lumrah karena kini ibu pekerja semakin marak di Jepang.

Menyetir dua puluh menit, Hinata sampai di TK. Hanya Himeka saja yang masih tinggal di tempat itu dengan ditemani gurunya. Tergopoh-gopoh, Hinata mengucapkan terima kasihnya pada guru itu.

"Tidak masalah, Nyonya Hyuga. Lagipula Himeka anak yang sangat manis." Hinata menatap putrinya yang kini melihatnya sekilas lalu memalingkan wajah. Akane, guru sekolah Himeka merasa tidak enak hati dan menanyakan kondisi Himeka.

"Kami akan segera pindah ke Norwegia," kata Hinata. "Mungkin dia sedih karena harus berpisah dengan Sensei dan teman-temannya."

Akane mengangguk mengerti, lalu membungkukkan badannya untuk menghibur Himeka. Anak itu mengangguk kecil dan memeluk ibunya.

"Setelah kondisi di sana sudah dipastikan, saya akan mengurus surat pindah Himeka." Akane membungkukkan badannya setelah Hinata mengucap salam. Ibu dan anak itu memasuki mobil dan tak lama, mereka menghilang.

 

Benar saja, esok harinya rumor di kantor Hinata merebak. Tentu Hinatalah topik utama rumor tersebut. Rumor tentang ia yang membohongi HRD tentang cuti kehamilan yang diebut hanyalah tipuan. Pagi itu, Hinata dipanggil HRD kantornya, Hidan. Pria itu sebenarnya mengerti kondisi Hinata yang merupakan single parent dan sejujurnya tak peduli dengan rumor yang beredar. Ia percaya bahwa Hinata memang mengambil cuti kehamilan tanpa maksud membohongi kantor.

"Aku sebenarnya ingin membelamu karena dedikasimu untuk kantor berita ini sangatlah banyak, tapi aku harus menjaga kenetralanku sebagai salah satu petinggi di sini. Kau bisa mengerti posisiku, kan?" tanya Hidan. Hinata menganggukkan kepalanya.

"Cobalah untuk membaur dengan yang lain," kata Hidan lagi. "Rumor ini tercipta karena orang-orang itu tidak mengenalmu dengan baik."

"Mereka bisa memilih untuk tidak peduli atau pura-pura tidah tahu, dibanding mengurus kehidupanku." Hinata berbicara dengan nada rendah yang membuatnya terkesan seperti tidak peduli dengan masalah ini.

Hidan menghela napas panjang. Sejak bekerja di kantor berita ini pertama kalinya, Hinata tetaplah sama. Menjauh dan menyendiri dari orang-orang, tak banyak bicara tentang dirinya dan selalu terlihat misterius. Wanita itu tidak akan berbicara jika bukan mengenai pekerjaan dan akan menjauh jika seseorang mulai menanyakan kehidupan pribadinya.

Orang-orang mulai mengetahui sedikit cerita tentang Hinata setelah wanita itu mengajukan cuti kehamilan. Saat itu mereka berpikir bahwa wanita antisosial sepertinya, ternyata bisa menikah dan memiliki anak juga. Namun ada salah satu rekan kerja yang melihat Hinata pulang dengan tidak tinggal bersama suaminya, melainkan dengan seorang wanita muda lainnya. Lalu rumor pun mulai merebak. Yang menyebut Hinata seorang lesbian dan menggunakan sperma donor untuk memiliki anak dengan kekasih wanitanya. Ada juga romor yang mendukurng rumor tersebut dengan mengatakan Hinata menjadi ibu pengganti, dengan menggunakan sel telur kekasih wanitanya dan sperma donor, ia melahirkan anaknya.

Hinata tak peduli, ia juga tak merasa memiliki kewajiban untuk menjelaskan situasinya. Baginya, semakin sedikit orang tahu tentang dirinya dan Himeka, semakin sedikit putrinya itu terjaga. Tidak masalah baginya mendapatkan rumor-rumor buruk tentangnya hanya agar jejak Himeka sebagai cucu petinggi negara ini bisa menghilang.

Melihat Hinata yang masih dengan ekspresi dingin-sendunya itu, Hidan memutuskan untuk menyerah. Akhir-akhir ini ada rumor baru bahwa Hinata akan mengundurkan diri. Wanita itu sudah banyak bekontribusi untuk perusahaan. Sangat disayangkan jika aset sebaik Hinata harus lepas begitu saja.

"Aku mengerti, aku mengerti. Kapan-kapan, bawalah anakmu kemari dan kenalkan pada kami. Kau sudah seperti keluarga di kantor ini. Peranmu sangatlah berarti."

Keluarga apanya? Pikir Hinata. Keluarga kandungnya pergi karena takdir Ilahi, wanita yang menjadi alasannya untuk bertahan hidup dan bekerja berdarah-darah juga telah tiada. Hinata tak ada alasan lagi untuk bekerja di tempat ini kecuali mendapatkan pesangon lebih banyak saat mengundurkan diri lagi. Hinata membenarkan kata-kata Kakuzu bahwa darah itu hanyalah cairan dan ikatan keluarga melebihi itu. Namun ada juga orang yang berdiri dibalik "keluarga" hanya untuk bertidak semena-mena pada anggota keluarga lainnya.

Hinata tak mengatakan apapun pada Hidan dan beranjak pergi. Ia kembali pada bilik kerjanya dan mengerjakan pekerjaan yang tertunda. Ia memutuskan akan menulis surat pengunduran dirinya nanti malam dan menyerahkannya besok pagi.

 

"Sepertinya dia baik-baik saja dan tidak mendapat detensi."

"Pasti Pak Hidan meloloskannya lagi. Jangan bilang Pak Hidan pakai alasan yang sama, karena wanita itu bekerja lebih keras dibanding kita."

"Apa kita tidak bekerja keras? Dia pikir pegawai di kantor ini hanya wanita itu saja?"

"Aku tahu, alasannya bukan karena itu. Dia pasti sudah menjual tubuhnya pada Pak Hidan. Memiliki anak tanpa suami saja hal yang biasa baginya, apalagi memanjakan atasan."

Hinata terdiam mendengar percakapan itu dari dalam kubikel toilet. Entah berapa orang di sana tengah membicarakan dirinya tanpa mengetahui bahwa sang topik pembicaraan telah mendengarnya. Ia tahu bahwa dirinya sering dibicarakan, tapi mendengar ucapan itu secara langsung adalah kali pertama dalam hidupnya. Rasanya memang sakit, tapi tidak sesakit melihat kondisi Sakura saat meninggal.

Mengingat nasehat Hidan bahwa rumor terjadi karena orang-orang ini tidak mengenal Hinata dengan baik, rasanya salah. Dari percakapan mereka saja sudah jelas bahwa orang-orang ini bukannya tidak mengenal Hinata. Mereka membencinya. Hinata tak perlu membuktikan dirinya pada orang-orang yang membencinya karena mereka tidak akan peduli.

Hinata menekan flush toilet dan seketika percakapan terhenti. Ia keluar dari toilet, menunjukkan wajahnya. Orang-orang itu terkejut dan memalingkan wajah mereka. Salah satu dari mereka adalah Amaru. Dengan tenang, Hinata mencuci tangan dan mengeringkannya dengan tisu lalu membuangnya di salah satu tas milik orang-orang itu.

"Lain kali perhatikan isi toilet sebelum membicarakan seseorang," kata Hinata berlalu.

Orang itu, Sara, merasa marah. Dia meneriaki Hinata tapi Hinata berteriak lebih keras darinya. Suara wanita itu menggema di seluruh dinding toilet. Beberapa orang mulai berkumpul di luar toilet wanita karena penasaran, tapi mereka tidak berani masuk.

"Kau pikir dirimu yang paling hebat? Kami juga melakukan pekerjaan yang sama beratnya denganmu, kenapa justru kau yang diistimewakan? Kau juga mengajukan cuti panjang, kan? Apa kau mau hamil lagi?" Sara menyeringai, mengejek Hinata tepat di depan wajahnya.

"Aku tidak mengajukan cuti," kata Hinata mencoba mengatur emosinya yang segera disergah oleh Sara.

“Kau pikir kami percaya? Penjilat kemaluan bos sepertimu pasti akan lolos dengan mudah.”

Hinata mendengus. Ia tertawa kecil. Rumor tentangnya jauh lebih buruk dari yang ia duga tapi ia tak terkejut sama sekali. Sara akan menggertak sekali lagi, tapi dengan cepat Hinata memotong. "Aku mengundurkan diri."

Semua orang itu tertegun seakan tak percaya dengan apa yang dikatakan Hinata. “Kalian memang tidak pernah menyukaiku, jadi… jangan halangi aku untuk keluar dari kantor berita sampah ini.”

Wanita itu tersenyum sekilas lalu pergi. Saking terkejutnya, orang-orang itu terdiam dan membiarkan Hinata keluar begitu saja dari toilet wanita.

Tentunya insiden pagi itu didengar oleh Hidan dan ketika Hinata menyerahkan surat pengunduran dirinya, pria itu merasa kecewa.

"Bukankah sudah kukatakan..."

"Percuma." Hinata memotong ucapan Hidan. "Percuma aku menunjukkan diri pada pembenciku. Mereka tidak akan mengerti. Mana mungkin juga aku menunjukkan Himeka pada orang-orang seperti itu. Mereka mungkin akan menyakiti anakku dengan ucapannya."

Hidan merasa kepalanya sangat sakit, tapi ia harus membuat Hinata bertahan. Semua artikel yang ditulisnya begitu akurat dan entah apa yang wanita itu lakukan hingga bisa mendapatkan sumber kredibel yang membuat kantor berita mereka melejit karena lengkapnya isi berita. Jika ia melepaskan Hinata, kemana lagi ia mendapatkan jurnalis kompeten seperti wanita itu.

"Baiklah, aku mengerti. Aku akan berkata pada mereka."

"Anda pikir itu jalan terbaik? Netralitas anda akan terganggu. Dengan anda yang meloloskan pengajuan cutiku saja, anda sudah manjadi bagian dalam rumor-rumor tentangku."

Yang dikatakan Hinata benar dan Hidan sama sekali tak berkutik.

"Tak bisakah kau membantu pekerjaanku? Jangan menyulitkanku dengan memberikan surat pengunduran diri ini, Hinata. Apa yang harus kulakukan untuk membuatmu bertahan? Kau ingin aku menolak izin cutimu? Baiklah, aku akan menolaknya."

"Tidak," balas Hinata seraya meletakkan amplop putih. Hidan memandang Hinata, penuh tanda tanya dan membuka isi surat itu. "Bahkan jika anda tidak mengijinkan saya untuk keluar, saya akan menjelaskan semua keributan yang terjadi pada Direktur." Wanita itu lalu keluar dari kantor Hidan. Seluruh staff melihatnya berjalan dengan tegak, dengan ekspresi dinginnya itu, kembali pada kubikel. Ia mengeluarkan kotak kardus di bawah mejanya dan mulai mengisi kotak itu dengan barang-barangnya.

Tak ada yang menahan kepergian Hinata dari kantornya. Seakan mereka tak mempedulikan wanita itu dan memang berharap agar Hinata segera pergi. Hanya Shizune, atasan sekaligus rekan kerja yang mengantarnya keluar gedung.

"Maafkan mereka, ya," kata Shizune mencoba menenangkan Hinata. Wanita itu tersenyum tipis.

Hanya Shizuna-lah atasan yang bisa mengerti dirinya. Wanita itu memang tidak membela dengan ucapan. Wanita itu juga tidak berusaha meluruskan permasalahan para pegawai kantor. Hinata lebih menyukai orang-orang yang seperti itu. Ada yang mengatakan ketidakpedulian adalah dosa, tapi bagi Hinata ketidakpedulian mendatangkan kebaikan. Ia tak perlu membuang perasaan berlebih jika nantinya orang yang mengatakan akan membelanya itu kemudian berkhianat.

"Aku sebenarnya sudah berencana untuk pergi."

"Kau tidak berbohong padaku, kan?" tanya Shizune dan Hinata tertawa kecil. Wanita itu mengira Hinata berkata demikian hanya agar Shizune merasa tenang.

"Mana mungkin. Aku memutuskan untuk pindah ke luar negeri. Aku dan putriku akan memulai hidup baru di sana." Hinata lalu berkata lagi. "Kami sedang mengurus semuanya. Rencananya jika tempat tinggal dan sekolah Himeka telah ditentukan, aku akan mengurus surat pengunduran diri. Pengajuan cuti yang kuminta sebelumnya pun sebenarnya untuk mencari rumah dan sekolah di sana. Aku rasa lebih baik mencarinya langsung daripada melihat rekomendasi di internet." Shizune tertegun, rupanya ucapan wanita itu untuk berhenti adalah serius. "Sayang sekali, aku harus pergi dengan cara ini. Tak masalah, sih. Toh, pada akhirnya aku akan berhenti."

Shizune lalu memeluk Hinata. Ia tahu, wanita itu akan segera pergi dan mungkin ia takkan bertemu dengannya lagi.

"Jagalah dirimu," kata Shizune dan Hinata mengangguk. Wanita itu pergi meninggalkan kantornya masih dengan langkah tegap.

Sebagai atasan, Shizune tahu sedikit banyak mengenai Hinata. Ia memang tak menjenguk Hinata saat persalinan, tapi ia pernah melihat putri Hinata, Himeka Hyuga. Anak itu sangat cantik dan terlihat mirip dengan Hinata berkat mata peraknya. Meskipun mata perak itu sedikit berbeda dengan perak Hinata, tapi Shizune pikir, karena anak itu juga mendapat turunan dari ayahnya yang entah siapa.

Hinata tak pernah menceritakan ayah dari anaknya. Setiap ditanya, ia selalu diam atau menjawab bahwa ayah anak itu telah meninggal, atau beralasan pria itu telah pergi entah kemana. Meski wanita itu selalu terasa misterius, Shizune cukup tahu bahwa Hinata memiliki satu orang teman yang disebut Hinata sebagai saudara meskipun mereka tak terlihat mirip sama sekali. Shizune tak peduli dengan urusan pribadi para bawahannya. Baginya, sepanjang pekerjaan berjalan baik, tak masalah baginya dan Hinata berhasil membuktikan hal itu. Dengan keadaan hidup yang tidak menyenangkan ditambah permasalahan kantor, Hinata berhasil membuat pekerjaannya tetap pada tempatnya.

Setelah penderitaan yang dilalui Hinata selama di kantor, Shizune berharap wanita itu akan baik-baik saja.

 

Hinata mengatur baju-baju untuk dimasukkan dalam dus. Ia mencicil barang-barang mana saja yang akan dibawanya ke Norwegia. Himeka melihat ibunya sibuk dengan berbagai macam barang tapi enggan menawarkan bantuan. Ia berpikir ibunya pasti akan melarangnya. Jadi, anak itu duduk dan membaca buku cerita.

Mereka tidak akan segera pindah. Hinata hanya mempersiapkan baju dan mencicil beberapa barang untuk kepergian mereka ke Norwegia dua hari lagi sebelum akhirnya kembali dan mengurus pindahan.

"Apakah Kaachan pernah ke Norwegia?" tanya Himeka.

"Tidak," jawab Hinata. "Kaachan hanya melihatnya dari internet."

"Apa Bibi Sakura juga melihatnya dari internet?" tanya Himeka lagi.

Memasukkan selimut simpanan, Hinata menjawab lagi kali ini dengan singkat, "mungkin."

Hinata jadi teringat ketika Sakura mengatakan bahwa ia ingin sekali ke Norwegia. Enam belas tahun yang lalu di musim dingin, mereka berlibur ke Hokkaido untuk merayakan diangkatnya Sakura menjadi pegawai tetap perusahaan telemarketing. Saat itu, Sakura masih sehat walaupun terkadang ia sering mengeluh capek dan lemah karena anemia yang dideritanya. Mereka melihat aurora borealis yang pertama kali muncul di Jepang saat itu. Melihat kilauan warna ungu dan magenta temaram menghiasi langit, wanita itu berkata ingin pergi melihat aurora yang lebih indah dari yang dilihatnya saat itu.

Saat itu Hinata tak mengerti apa bagusnya aurora. Baginya itu hanya sebuah fenomena alam yang akan hilang dan muncul silih berganti. Tidak bisa melihatnya saat ini, akan bisa melihatnya di masa yang akan datang. Jadi, Hinata hanya fokus pada dirinya sendiri, belajar yang rajin dan memiliki karir yang baik agar dapat membantu Sakura menopang hidup mereka.

Setelah lepas usia 17 tahun, anak-anak panti diminta untuk keluar dan mencari penghidupan sendiri. Anak yatim piatu dan keluaran dari panti asuhan mendapatkan pendidikan gratis, sehingga panti asuhan hanya membantu memberi uang saku untuk menyewa satu kamar kecil dan sisanya adalah urusan anak-anak itu dalam memperjuangkan hidupnya. Sakura telah keluar dari panti asuhan lebih dulu dan ia segera membawa Hinata bersamanya.

Mungkin sejak pemandangan indah yang keduanya lihat di Hokkaido, Sakura jadi sangat menyukai aurora. Ia bahkan menemukan negara-negara terbaik untuk melihat aurora.

"Meski hanya satu menit, aku ingin melihatnya secara langsung," kata Sakura saat mengatakan bahwa ia ingin pergi ke Norwegia.

Menyelesaikan satu pekerjaan terakhir, Hinata menutup kardus itu. Ia menggesernya ke tepi dinding dan meminta Himeka untuk berdiri. Mereka akan makan siang di luar bersama Kakashi.

 

Maaf, ada rapat dengan klien yang tidak bisa saya tunda.

Begitulah pesan Kakashi ketika Hinata telah mengemudikan mobilnya. Membereskan rumahnya seharian, Hinata lupa mengecek pesan pada ponselnya dan baru melihat pesan-pesan itu di sela-sela lampu merah. Mobil Hinata melaju setelah lampu hijau dan berbelok. Ia memutuskan untuk menikmati makan siang di kedai terdekat.

"Apa itu Paman Kakashi?" tanya Himeka.

"Ya," jawab Hinata. "Dia tidak bisa makan siang dengan kita."

Himeka terdiam. Ia memeluk boneka kelinci pemberian Kakashi yang selalu ia bawa kemana-mana.

"Kaachan, Hime ingin membelikan roti untuk Paman Kakashi boleh?"

"Tentu," kata Hinata lagi. Matanya masih awas menatap jalanan. Entah mengapa, ia teringat harus menjual mobilnya karena tak mungkin membawa kendaraan itu ke Norwegia. Biaya pengantaran ditambah paspor mobil, dan urusan lisensi lainnya yang merepotkan membuat Hinata merasa lebih baik membeli mobil di Norwegia saja.

Tak berapa lama, Hinata sampai di kedai yang ia maksud. Mereka membeli makan siang, memesankan paket anak-anak yang tidak pedas untuk Himeka dan menyantapnya dalam waktu setengah jam. Setelah membayar beberapa ribu yen, Hinata keluar dan menuju pemberhentian selanjutnya. Yaitu sebuah toko roti favorit Kakashi hasil intel dari Himeka. Terkadang Hinata heran, bagaimana anak itu bisa mengetahui semua tentang Kakashi melebihi dirinya? Padahal kalau dipikir pertemanan Kakashi dan Hinata berlangsung lebih lama dibanding Kakashi dengan anak itu.

Hinata membiarkan Himeka memilih kue untuk Kakashi. Ia tak tahu jenis kue apa yang disukai pria itu. Himeka juga bertanya apakah mereka bisa membeli kopi hangat untuk Kakashi dan disetujui oleh Hinata. Setelah memilih beberapa kue dan secangkir kopi, Hinata membawanya ke kasir.

"Kaachan, Himeka mau ke mobil. Usashi terjebak di mobil!" kata anak itu teringat dengan boneka kelinci yang tertinggal.

"Tunggu sebentar, Himeka. Sebentar lagi roti-rotinya selesai di bayar," kata Hinata mengeluarkan dompetnya. Kondisi toko roti cukup ramai saat itu dan Hinata tak menyadari bahwa putrinya telah keluar dari toko roti.

Hinata menyadari bahwa Himeka keluar dan menghela napas panjang. Anak itu memang suka semaunya sendiri. Ia meminta ijin pada petugas kasir untuk keluar sebentar dan membuka kunci mobil dengan alarmnya.

"Tetap di dalam, jangan keluar!" kata Hinata yang kemudian mendengar teriakan 'baik!' dari Himeka. Hinata kembali ke toko roti sambil sekali-kali mengamati anak itu yang membuka pintu mobil sendiri dan memasukinya.

Hinata kembali pada petugas kasir dan menanyakan total belanjaan yang harus dia bayar.

"Semuanya 15.500 yen, Nyonya." Hinata segera mencari uang pas untuk membayar kasir itu. Ia selalu melakukannya untuk menghindari pecahan uang memenuhi isi dompetnya. Hinata hanya perlu memberikan lima ratus yen yang entah mengapa tak ditemukan dalam dompetnya.

Ketika akhirnya mendapatkan koin lima ratus yen dan memberikannya pada kasir itu, saat itu juga suara benturan besi keras terdengar begitu kencang. Orang-orang di toko itu begitu terkejut dan mengerumuni dinding kaca untuk melihat. Mengingat Himeka, Hinata segera keluar. Siapa yang akan menyangka bahwa sumber dari benturan keras itu adalah mobilnya sendiri dan mobil yang dikendarai seorang pria.

Hati Hinata mencelos tak karuan. Bagian belakangnya ringsek dan mobilnya terdorong beberapa meter. Hinata berlari dengan tangan tetap menggenggam plastik roti pesanan Himeka. Cup berisi kopi panas itu sudah terjatuh dan membasahi kaki Hinata. Cipratan panasnya pun tak terasa karena wanita itu begitu terkejut.

Orang-orang mengerubungi mobilnya dan Hinata menyeruak dari kerumunan itu, mencoba membuka pintu mobil. Dilihatnya anak itu tertidur di lantai mobil, terjepit kursi depan dan bangku belakang. Jantung Hinata berdebar kencang. Ia tidak bisa kehilangan lagi. Tidak dengan Himeka.

"Himeka! Himekaaa!"

.


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Pandora
Selanjutnya Pandora - [Chapter 2] Yang Hilang tak Selamanya Hilang
25
0
Dunia Hinata runtuh dua kali. Saat ia harus memiliki Himeka sendirian, dan ketika Sakura harus meninggal. Sasuke Uchiha kembali datang ke hidupnya saat Hinata memutuskan untuk melepas semua masa lalunya dan mencoba memulai hidup baru.REMAKE ff lama saya dengan judul yang sama
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan