Pandora - [Chapter 5] Yang Tak Ingin akan Menolak

34
2
Deskripsi

Dunia Hinata runtuh dua kali. Saat ia harus memiliki Himeka sendirian, dan ketika Sakura harus meninggal. Sasuke Uchiha kembali datang ke hidupnya saat Hinata memutuskan untuk melepas semua masa lalunya dan mencoba memulai hidup baru.

REMAKE ff lama saya dengan judul yang sama

Malam itu terasa berbeda dari malam-malam sebelumnya. Di mana Hinata dan Himeka yang telah menyelesaikan makan malam akan berkumpul di ruang keluarga dan menonton televisi. Kali ini, kehadiran Sasuke membawa aktivitas baru di malam itu. Pria itu bersama Himeka duduk bersisian di sofa dan membaca buku cerita. Mata berbinar anak itu memperhatikan lembar demi lembar buku cerita yang dibacakan Sasuke.

“Anak rusa yang menangis pun berkata, ‘aku juga ingin terbang sepertimu’.” Sasuke membalik halaman lagi ketika Hinata datang dengan sepiring penuh potongan buah. Camilan micin dari Sasuke sudah habis dan Hinata datang untuk membersihkan racun-racun micin itu dengan buah.

“Kaachan sini!” Himeka meminta Hinata duduk di sebelahnya, sehingga anak itu akan diapit Sasuke dan Hinata.

“Kaachan harus membereskan beberapa barang,” kata Hinata dan wanita itu memasuki kamar. Sasuke mencermati perkataan Hinata dan melihatnya hingga wanita itu menghilang.

Himeka menarik kemeja Sasuke dengan dua jarinya dan berbisik di telinga. “Kami akan pergi ke Norwegia dua hari lagi.” Lalu anak itu menutup bibirnya dengan satu jari sebagai isyarat untuk menyembunyikan hal ini. Sasuke tertegun dan menepuk kepala Himeka.

“Hime, waktunya tidur. Lalu, biarkan Paman Sasuke pulang.” Hinata muncul dari dalam kamar. Nampaknya ia menyiapkan ranjang untuk dapat digunakan Himeka beristirahat. Mendengar ucapan ibunya, anak itu merangkul lengan Sasuke dan menunjukkan wajah cemberutnya.

“Tidak mau! Aku mau ditemani Pa…” Himeka melihat mata tajam Hinata memandangnya dan mengganti kata-katanya. “Paman Sasuke.”

“Tidak bisa, Himeka. Sasuke punya rumahnya sendiri. Dia tidak bisa menginap di sini.” Mendengar itu, Himeka hampir menangis lagi dan Sasuke nampaknya cepat tanggap dengan menggendong Himeka.

“Sudahlah, tidak apa-apa.” Justru Hinatalah yang merasa ini adalah masalah. Jadi ia hanya bisa menyorot Sasuke dengan tatapan mata tajamnya. Pria itu membawa Himeka ke tempat tidur dan menyelimutinya.

“Paman Sasuke tidak akan pergi, kan?” tanya anak itu. Sasuke hanya tersenyum canggung dan meminta anak itu tidur. “Aku mau dengar cerita Paman Sasuke,” kata Himeka lagi.

“Bukankah Himeka sudah mendengar banyak cerita hari ini?” tanya pria itu.

“Bukan cerita dalam buku, tapi cerita Paman Sasuke.”

Hinata bersandar pada pintu, melihat Himeka dan Sasuke dengan pandangan khawatir. Ia seakan sedang mengawasi untuk memastikan putrinya tertidur dan bisa mengusir Sasuke dari tempat ini.

Sasuke terdiam dan memikirkan cerita menarik apa yang bisa ia berikan pada Himeka. Namun kalau dipikirkan kembali, cerita yang ia miliki hanyalah cerita depresif, menyakitkan, menyedihkan, dan tak sebaiknya dikatakan pada anak-anak. Bahkan meskipun itu cerita tentang Hinata… Sasuke menatap wanita itu lalu tersenyum pada Himeka.

“Apa Hime mau mendengar cerita tentang Kaachan?” Segera saja mata anak itu berbinar. Sasuke lalu memulai ceritanya dengan pertemuan mereka saat masih SMA dulu. Tentang bagaimana ia terkesan dengan kecerdasan Hinata, atau tentang bagaimana wanita itu begitu cantik ketika dalam keadaan serius memikirkan jawaban dari soal ujian.

“Apa benar Kaachan secantik itu? Kaachan sangat menyeramkan ketika sedang marah.” Keduanya membicarakan Hinata tanpa mengetahui bahwa orang yang dibicarakan sedang memerah malu. Sasuke juga bercerita tentang bagaimana populernya Hinata. Bahkan seorang pemuda tampan dari sekolah lain yang juga menjuarai olimpiade pun menyukainya. Banyak pria mengagumi Hinata tapi selalu menolak dengan mengatakan bahwa wanita itu telah menyukai seseorang.

“Siapa yang disukai Kaachan?” tanya Himeka. Kini keduanya memandang Hinata.. Wanita itu mengalihkan pandangannya dan Sasuke tertawa kecil.

“Siapa lagi kalau bukan aku?” Mata berbinar Himeka meredup seiring dengan mata sayunya perlahan terpejam. Anak yang begitu bersemangat mendengarkan cerita, ternyata bisa merasa lelah dan mengantuk karena cerita.

“Paman di sini saja, ya.” Himeka menarik tangan Sasuke dan memeluknya sebagai pengganti boneka. Sasuke mengamati wajah tertidur anak itu lekat-lekat. Hembusan napas tenangnya membuat anak itu ikut terhanyut dan tertidur lelap. Surai legam, bentuk mata runcing khas Uchiha. Tidakkah Hinata terlalu kejam jika memaksa Sasuke untuk percaya bahwa anak ini bukanlah anaknya?

Himeka telah mendengkur dan Sasuke perlahan menarik tangannya. Pria itu merapatkan selimut Himeka lalu keluar untuk mendapati bahwa Hinata telah duduk di sofa. Wanita itu hanya memalingkan wajah, tak ingin berdebat dengan Sasuke.

“Pulanglah. Aku ingin beristirahat,” kata wanita itu tanpa menatap Sasuke sedikit pun. Pria itu justru merebahkan dirinya di sofa dan tampak tak mempedulikan Hinata.

“Aku terlalu lelah menyetir,” kata pria itu beralasan.

“Rumahmu hanya beberapa blok dari rumahku!”

“Apa kau tahu aku mencarimu seharian ini? Sekarang aku lelah, menuruni tangga saja aku tidak mampu.” Hinata tahu alasan Sasuke mengada-ada. Satu-satunya cara untuk menendang pria ini dari rumahnya adalah dengan menyeretnya sekuat tenaga. Namun melihat wajah Sasuke yang segera tertidur ditambah dengkurannya yang cukup keras, membuat Hinata urung. Wanita itu kembali ke kamar dan membentangkan selimut untuk pria itu, lalu kembali dan menutup pintu.

Berkat kehadiran Sasuke, Hinata tidak bisa mempersiapkan barang-barang untuk keberangkatan mereka besok pagi. Ia tidak ingin dengan perilakunya itu, pria itu akan mencurigainya menghilang lagi. Yang lebih buruk, pria itu akan membuntutinya hingga ke Norwegia.

Sarapan pagi itu hanya berjalan membahagiakan bagi Himeka. Ia melihat ibunya memasak sementara Sasuke membaca koran pagi di sampingnya.

“Apa itu menarik?” tanya Himeka menunjuk koran Sasuke.

“Mungkin tidak, bagi Hime-chan.” Pria itu tersenyum dan menerima salad dari Hinata.

“Apa kau tidak bekerja?” tanya Hinata seakan menagih pria itu untuk segera pergi dari rumahnya. Menanggapi Hinata, pria itu menggeleng dengan mulut penuh salad. “Kau tidak sengaja membuat dirimu dipecat karena aku dan Himeka, kan?”

“Lagipula ada Samui yang akan mengurusnya,” kata Sasuke. Ia lalu memandang mata berbinar Himeka. “Lebih baik aku di sini bersama Hime-chan.” Ia lalu mengusulkan diri untuk mengantar Hime ke sekolah bersama. Untuk sesaat anak itu mengulas senyum lebar penuh kegembiraan, tapi senyum itu segera menghilang. Anak itu tahu, bahwa kemarin adalah hari terakhirnya bersekolah sehingga kedatangan Sasuke dirasa agak terlambat.

“Himeka tidak bersekolah hari ini,” kata Hinata, seakan mencoba menghalangi interaksi berlebih antara Sasuke dan putrinya.

“Kalau begitu, kita bisa ke taman bermain. Bagaimana?” tanya Sasuke dan anak itu berseru senang. Ia menghabiskan makanannya sebelum Sasuke dan Hinata, lalu beranjak menuju kamar. Ia keluar lagi dengan brosur selebaran iklan taman bermain.

“Hime mau ke sini!” Sasuke memperhatikan isi wasiat itu dan mengangguk setuju.

“Kau tidak ada pekerjaan, kan?” tanya pria itu pada Hinata dan wanita itu hanya memalingkan wajah.

Akhirnya di hari itu, dengan berat hati Hinata menyanggupi keinginan Himeka untuk pergi ke taman bermain bersama Sasuke. Mereka akan menuruti keinginan Himeka mencoba wahana bermain anak-anak lalu menyantap makan siang. Karena mereka membawa anak kecil, sudah tentu Hinata harus menyiapkan bekal agar sewaktu-waktu Himeka yang lapar bisa terpuaskan perutnya. Sehingga persiapan pagi itu diisi dengan Hinata yang kembali memasak dan Sasuke yang sibuk mengurus perlengkapan lain dan bahkan rencana wahana yang akan dituju. Ia juga menyempatkan diri untuk mandi dan mencuci bajunya, mengingat semalaman dirinya tak juga pulang.

 

Ketiganya sampai di wahana setelah hampir setengah jam Sasuke mengemudi. Pria itu meminta Hinata membeli tiket sementara dirinya menggendong Himeka. Sebenarnya hal itu adalah siasat Hinata agar tidak membawa kabur Himeka saat ia pergi membeli tiket. Lagipula dengan semua yang terjadi beberapa hari ini, ia menjadi tidak percaya dengan semua yang dikatakan Hinata.

“Hime harus ingat, ya. Hanya memilih wahana yang Paman sarankan,” kata Sasuke setelah mereka berhasil memasuki taman bermain.

“Kalo yang itu?” tanya Himeka menunjuk sebuah komidi putar raksasa, dan Sasuke mengijinkannya hanya jika anak itu tidak takut ketinggian.

Wahana pertama yang Himeka coba adalah wahana permainan yang digunakan bersama anak-anak lain untuk melatih ketangkasan. Permainan memanjat, berlari, ketangkasan. Sasuke dan Hinata duduk tak jauh dari mereka. Di tempat itu tak hanya ada anak-anak, tapi juga pasangan suami istri. Hinata menatap sekelilingnya dengan canggung, sementara Sasuke tampak lebih santai dengan memperhatikan Himeka, seakan memastikan bahwa anak itu baik-baik saja.

Hinata memperhatikan bagaimana Sasuke begitu peduli dengan putrinya. Sedikit banyak, ia merasa bersalah atas masa lalu mereka juga ucapan-ucapan kejamnya pada pria itu. Namun ia juga memiliki alasan kuat. Ia dan Himeka tak boleh mengganggu Sasuke dan sebaliknya. Pria itu tak boleh mengganggu kehidupan damai mereka. Jadi ia melakukan apapun yang ia bisa untuk menghindar dari Sasuke, karena ia tahu pria itu tidak akan melakukannya. Sampai kapanpun, pria itu tidak akan melepaskannya pergi.

Hanya untuk memecah keheningan di antara mereka, Hinata lalu bertanya pada Sasuke. “Jadi, bagaimana kabarmu akhir-akhir ini?”

Ini pertama kalinya Hinata menanyakan kabarnya. Sasuke menganggap ini sebagai permulaan yang baik setelah sebelumnya ia selalu secara aktif mendekatinya.

“Aku baru saja membatalkan pertunanganku.” Hinata terkejut mendengar pengakuan itu.

“Tunggu…. kau tidak membatalkannya karena…”

“Tidak. Itu terjadi sebelum aku bertemu denganmu.” Sasuke lalu bercerita tentang tunangannya, Karin, perempuan manja dari keluarga Uzumaki. “Ibuku juga meninggal setelah Itachi menikah. Kira-kira tiga tahun lalu.”

“I… Itachi?”

“Ya, Itachi. Kakakku.” Sasuke juga bercerita bahwa setahun setelah Itachi menikah, dia meninggal.”

Hinata terkejut, tapi ia menyimpan keterkejutan itu hanya untuk dirinya sendiri. Sasuke tak menyadari hal itu dan terus bercerita, kali ini tentang ayahnya yang akan mengundurkan diri dari parlemen.

“Tu... tunggu. Kenapa?”

“Entahlah.” Sasuke menggeleng. “Ayahku menemukan kotak milik Itachi yang ditulis sebelum dia bunuh diri. Mungkin karena melihat isi kotak itu, dia jadi menyesal dan memutuskan untuk turun dari parlemen. Dia juga tidak mempermasalahkan batalnya pertunanganku dengan Karin. Ayahku sepertinya sudah berubah.”

Sasuke menyelesaikan ceritanya dan melihat Hinata melamun dengan mata kosongnya. Wanita itu melamun beberapa saat sampai Sasuke harus menyadarkannya.

Himeka datang di saat yang tepat. Anak itu datang dengan wajah cerah berbinar. Kulit putihnya memerah karena keingat dan sinar matahari. Anak itu terlihat sangat senang. Ia datang menghampiri Sasuke dan Hinata untuk meminta minuman segar setelah sedari tadi berlari dan memanjat permainan.

“Mau main lagi?”tanya Sasuke dan Himeka menggeleng. Anak itu ingin mencoba permainan lain dan karena itulah ketiganya pun beranjak dari tempat itu.

Masih mencermati kisah masa lalu Sasuke selama mereka berpisah, Hinata tertinggal beberapa langkah dari pria itu. Ia mengamati punggung lebar Sasuke dan senyum lebar Himeka. Untuk sesaat ia merasa gugup. Namun setelah mengatur napasnya, rasa gugup itu menghilang dan pandangannya berubah. Ia sudah membuat keputusan dan apapun yang terjadi, keputusan itu tidak akan berubah.

Setelah puas bermain di tiga wahana, Sasuke membawa Hinata dan Himeka untuk menyantap makan siang di salah satu restoran di taman bermain itu. Keduanya sibuk memilih menu dan Hinata hanya bisa menopang dagu melihat putrinya begitu antusias memilih menu makanan.

Seorang pelayan datang dan mencatat menu mereka. Hinata mengamati beberapa nama masakan disebut dan mengerutkan kening.

“Himeka, apa kau bisa makan sebanyak itu?” tanya Hinata dan anak itu hanya mengulas cengiran lebar.

“Kalau begitu, Kaachan saja yang makan kalau tidak habis.” Hinata mendengus dan mengatakan pada pelayan bahwa ia hanya memesan jus stroberi.

“Himeka, apapun yang kau pesan, itulah yang kau habiskan. Kau tidak bisa membuat Kaachan menyantap sisa makananmu,” kata Sasuke menasehati.

“Tapi Hime ingin mencicipi semuanya.” Anak itu merajuk dan Sasuke pun tersenyum. Pria itu berkata bahwa mereka bisa berbagi makanan dan itu jauh lebih menyenangkan.

Memotong percakapan ringan itu, Hinata beranjak. Ia berkata ingin pergi ke toilet dan meninggalkan putrinya bersama Sasuke. Menyelesaikan urusannya dan mencuci tangan, Hinata baru tersadar. Bagaimana bisa ia begitu pasrah menyerahkan penjagaan Himeka pada Sasuke? Pria itu meyakini bahwa anak itu adalah darah dagingnya. Bisa saja Sasuke mengambil Himeka darinya ketika ia sedang lengah.

Terburu-buru keluar dari toilet, Hinata tertegun ketika melihat Sasuke masih berada di tempatnya bersama Himeka. Anak itu tertawa kecil ketika Sasuke bercanda dengannya. Pria itu memainkan sebuah trik kecil yang membuat Himeka tertawa.

Entah sejak kapan terakhir kali ia mendengar Himeka tertawa. Bukankah suara tawa anak-anak adalah suara paling indah? Saat itulah ia sadar, ia tak pernah melihat Himeka tertawa.

“Senior Hinata!” Lamunan Hinata pecah ketika seseorang menyebut namanya. Wanita itu mendapati Sara, Amaru dan dua pria yang tak dikenal Hinata mendatanginya. “Jarang sekali melihat senior ke tempat seperti ini,” kata Sara yang kemudian bertanya, “apa yang senior lakukan di tempat ini?”

Hinata tidak bisa menjawabnya. Ia tidak merasa keduanya cukup dekat hingga ia bisa memberitahu apa yang ia lakukan di tempat ini. Ia juga tidak bisa menyebut situasinya sekarang. Makan siang bersama putri dan seorang pria dari masa lalu? Atau, makan siang bersama putri dan seorang pria yang menjadi temannya? Hinata tidak ingin merepotkan dirinya sendiri dengan memberi jawaban yang rumit dan menimbulkan asumsi berlebih dari orang lain, jadi ia hanya menjawab dengan dua kata.

“Makan siang.” Jawaban yang tepat dan Hinata segera menghilang.

Beberapa saat kemudian pelayan datang membawa makanan mereka. Himeka melihat piring-piring saji terlewat di depan matanya dengan mata berbinar. Makanan itu terlihat sama lezatnya dengan yang ada di buku menu. Anak itu menggigit satu potongan daging bersaus dengan garpu dan memeasukkannya ke mulut sekali lahap. Sasuke tertawa kecil melihat mulut cemong Himeka dan menyeka sausnya. Sayangnya baru menikmati sekali-dua kali lahapan, Sara dan Amaru mendatangi meja mereka.

“Jadi Senior datang bersama keluarga, ya?” tanya Amaru. Wanita itu membungkukkan sedikit badannya dan menyenggol Sara yang tampak terkesima melihat Sasuke. “Perkenalkan, saya Amaru dan ini Sara. Kami rekan kerja Senior dulu.”

Sasuke mencermati perkenalan itu, tapi tidak menunjukkan keheranannya. Sepenangkapan Sasuke menurut Realtor dan Himeka, Hinata mendapat pemindahan tugas ke Norwegia. Namun ucapan dua wanita ini terdengar rancu. Apa Hinata mengundurkan diri dari pekerjaannya?

“Ya, salam kenal.” Sasuke tampak tak peduli dengan kedua wanita itu dan ingin menyantap makan siangnya sekali lagi tapi lagi-lagi Sara dan Amaru berbicara padanya.

“Apa anda mungkin… suami Senior Hinata?” tanya Sara.

“Senior tidak pernah memperkenalkan suami dan anaknya, membuat kami jadi khawatir.” Amaru menambahkan.

“Oh, ya. Bagaimana dengan pekerjaan Senior, apa Senior sudah dapat pekerjaan baru?” tanya Sara lagi.

“Senior keluar begitu saja, kami jadi khawatir. Senior tidak menimbulkan masalah di tempat baru, kan?” Sasuke yang awalnya tidak peduli jadi memperhatikan dua wanita itu dengan tatapan heran. Amaru yang melontarkan pertanyaan itu menjadi gugup dan melirik Sara.

“Tuan… umm… tidak tahu? Senior Hinata menggoda HRD kami agar bisa cuti sesuka hati.”

Hinata segera menutup telinga Himeka dan melemparkan tatapan menyalang tajam pada dua wanita di depannya. Hinata selalu heran. Dia tidak pernah mencoba menyinggung siapapun, tapi orang-orang ini selalu mengganggunya. Biasanya Hinata akan menghindar tapi tampaknya kesabarannya harus berakhir sampai di sini.

“Amaru-san, Sara-san…”

“Lalu?” tanya Sasuke memotong ucapan Hinata. Pria itu memperhatikan Sara dan Amaru dengan senyum tenangnya. “Kudengar Hinata juga sudah mengundurkan diri, bukankah itu seharusnya bukan menjadi masalah lagi bagi kalian?” Sasuke memang berkata seperti itu, tapi tentu Amaru dan Sara tidak bisa menerimanya begitu saja. Terlebih Hinata yang lagi-lagi memilih diam dan membiarkan orang lain membelanya. Seperti ketika wanita itu masih bekerja di kantor berita.

“Sara-san, Amaru-san.” Hinata memecah keheningan sesaat itu dan kemudian berkata, “apa kalian tak melihat bahwa kalian mengganggu acara makan siang kami?”

Kedua wanita itu sudah terpojokkan oleh kata-kata Sasuke dan harus menerima kalimat pedas dari Hinata. Amaru yang penakut masih bisa berpikir ulang untuk membuat keributan. Namun tidak dengan Sara yang tempramen. Dengan geram wanita itu menyiram Hinata dengan jus jeruk milik Himeka.

Sebenarnya sejak awal anak itu sudah ketakutan dan berkali-kali ditenangkan oleh Sasuke lewat isyarat. Namun karena anak itu berada dalam dekapan Hinata ketika penyiraman itu terjadi, ketakutannya memuncak dan Himeka-pun menangis.

Tentu saja keributan itu mengundang perhatian dari banyak orang. Restoran yang ramai itu kini memperhatikan mereka. Sara dan Amaru tak bisa berkutik dengan rasa malu mereka dan memutuskan untuk pergi.

Selepas kepergian kedua pengganggu, keadaan menjadi sedikit runyam di antara Hinata dan Sasuke. Beruntung Hinata membawa baju ganti untuk Himeka jika sewaktu-waktu anak itu berkeringat. Namun tidak dengan Hinata yang menggunakan baju jauh lebih basah dari putrinya. Sasuke menunggu keduanya bersiap di depan toilet wanita sampai Himeka keluar dan memeluknya.

“Kaachan belum selesai?” tanya Sasuke.

“Kaachan bilang harus berias,” kata Himeka.

Tak lama kemudian Hinata keluar meskipun bercak oranye mewarnai baju putih polosnya. Setidaknya ia sudah jauh lebih rapi. Wanita itu bergabung dengan Himeka dan Sasuke dengan ekspresi sendunya. Sepertinya kejadian tadi siang mempengaruhi mood-nya.

Himeka berkata bahwa ia ingin menaiki komidi putar. Ia mendengarkan penjelasan Sasuke bahwa ia bisa melihat pemandangan kota Tokyo dari atas dan hal itu membuatnya sangat antusias. Jadi mereka menaiki komidi putar besar yang bergerak cukup lambat.

Selagi box itu bergerak, Himeka seakan terhibur dan melupakan insiden tadi siang dengan menikmati taman bermain yang semakin mengecil. Anak itu berdiri di bangku dan Sasuke memastikan agar dia tidak terjatuh dengan menjadikan tangannya sebagai pegangan dan penjagaan.

Meski begitu, sesekali Sasuke mengamati Hinata. Wanita itu kembali membisu seakan berkutat pada pikirannya sendiri. Bahkan jika wanita itu berbicara, ia pasti akan memilih berbicara pada dirinya sendiri.

Hampir satu jam komidi putar itu bergerak naik, dari pertama kalinya mereka menginjakkan kaki di box itu hingga mereka mendarat dengan selamat. Bahkan ketika makan malam dan menikmati night parade mengelilingi wahana, Hinata juga hanya terdiam melamun. Entah apa yang terjadi pada wanita itu. Hanya saja Sasuke berpikir, mungkin kejadian tadi siang mengguncangnya. Sasuke tak tahu, dan bahkan meskipun ia ingin mencari tahu, Hinata pasti menolak memberi tahu.

Pukul 10 petang, mereka sampai di apartemen Hinata. Himeka sudah mulai menguap dan ditengah kantuknya, Hinata mengganti bajunya dengan piyama. Meski begitu, Himeka masih memiliki kekuatan untuk menarik Sasuke agar mau menemaninya tidur. Perlu waktu lima menit agar anak itu terlelap. Jauh lebih cepat dari biasanya. Biasanya Hinata harus membacakan satu buku cerita barulah anak itu terlelap.

Sasuke keluar dari kamar setelah selesai menidurkan Himeka. Ia melihat Hinata melipat tangan dan duduk di sofa. Pria itu tertegun sejenak, merasakan dejavu. Terasa seperti kemarin. Sasuke jadi berpikir, bagaimana cara wanita itu akan mengusirnya kali ini?

“Aku dengar kau akan pergi. Apa kau akan… meninggalkanku lagi?” tanya Sasuke lirih. Ia sudah tidak marah lagi sejak kejadian kemarin. Ia tak ingin membicarakan ini dengan emosi. Pria itu menghampirinya dan duduk di samping Hinata.

“Keputusan itu kubuat jauh sebelum aku bertemu denganmu kemarin. Dari mana kau mengetahuinya?” tanya Hinata. Dengan cepat wanita itu bisa mengerti. “Apa kau bertanya pada realtor rumah ini saat sedang mencari tempat kosong untuk mengawasiku?” Sasuke tertegun. Ia tercengang melihat Hinata bisa mengetahuinya. Hinata tersenyum tipis melihat keterkejutan Sasuke dan berkata lagi, “melihat gelagatmu kemarin dan ucapanmu tadi, kupikir kau pasti tak ingin melepaskanku.”

“Bagaimana bisa aku melepaskanmu? Sejauh ingatanku, hubungan kita saat itu baik-baik saja. Aku membutuhkan waktu yang sangat lama untuk bisa beradaptasi, dan ketika kupikir semua baik-baik saja, kau datang tiba-tiba. Apa kau pikir aku akan baik-baik saja setelah ini?” tanya Sasuke. Wanita itu masih tak bisa menatapnya, jadi pria itu bertanya. “Kenapa kau meninggalkanku saat itu dan sekarang?”

Masih dengan tak menatapnya, Hinata balik bertanya. “Jika aku mengatakannya, apa kau berjanji untuk tidak kembali dan melepaskan kami?”

Sasuke tertegun. Ia hanya menginginkan alasan, kenapa wanita itu harus membuatnya berjanji pada hal yang tidak akan bisa ia lakukan?

“Kalau begitu, aku tidak akan bertanya lagi.” Pria itu merebahkan punggungnya. “Aku tidak bisa melepaskanmu apalagi membuatmu pergi meninggalkanku lagi.”

“Bahkan meskipun kau tak menyanggupi keinginanku, kau harus melepaskanku, Sasuke. Jangan katakan bahwa kau tak bisa. Kau bisa melakukannya. Kau punya kemampuan untuk itu. Kau bisa melupakanku. Jadi, daripada aku memutus hubungan dengan cara baik-baik, lebih baik aku menghilang dan membuatmu membenciku, dengan begitu kau akan merasa muak dan berhenti mengganggu hidupku lagi.”

Sasuke terdiam hingga hampir beranjak dari posisinya. Ia baru pertama kali mendengar hal ini. Hinata ingin Sasuke membencinya. Kenapa?

“Kenapa aku harus membencimu? Kau tahu aku tak bisa.”

“Apa harus kukatakan dengan jelas?” tanya Hinata, “dunia kita berbeda. Itulah yang membuatku membenci hubungan ini. Sekeras apapun aku berusaha, aku tidak akan bisa mencapai posisimu.”

Sasuke tertegun. Hinata di hadapannya terasa bukan seperti Hinata yang ia kenal di masa lalu. Wanita itu berani membahas uang yang bahkan tak pernah Hinata di masa lalu sebut di setiap pertengkaran kecil mereka.

“Jadi ini tentang uang?” tanya Sasuke dengan suara bergetar. “Apa… ayahku membayarmu untuk meninggalkanku?”

Hinata terkesiap, setengah terkejut dan mengalihkan pandangan untuk memulihkan emosinya. Dalam hatinya, ia mengingat rasa sakit atas masa lalunya dan ia takkan membiarkan hal itu terjadi lagi ketika Himeka masih hidup.

“Benar, ini tentang uang. Kau pikir beban yang kupikul untuk menjadi kekasihmu itu tidak berat? Sangat berat sampai aku merasa lebih baik mati daripada hidup denganmu.”

Sasuke tercengang. Wanita itu memilih mati daripada hidup dengannya. Hinata sekali lagi membuatnya terluka dan kecewa. Namun semakin sering pria itu disakiti, keinginannya untuk membawa kembali Hinata semakin besar. Apa yang dialami wanita itu hingga menjadi seperti ini? Hati kecil Sasuke berteguh bahwa ini bukanlah kesalahan Hinata. Apa yang wanita itu lakukan sekarang bukanlah keinginannya. Pasti seseorang yang telah membuatnya menjadi seperti sekarang.

“A… ayahku. Pasti dia mengancanmu, kan? Katakan saja.” Sasuke lalu berkata lagi, “dia sudah berubah Hinata. Bahkan meskipun dia tidak berubah, aku akan melindungimu darinya. Aku akan menjagamu.” Sasuke menggenggam kedua bahu Hinata, seakan ingin menyadarkannya bahwa ia bisa bergantung padanya. Bahwa ia bisa percaya padanya. Bahwa Sasuke akan melakukan segala upaya untuk melindungi Hinata dari pengaruh Fugaku. Namun wanita itu justru mendorongnya.

“Menjagaku?” Hinata tertawa sinis. “Apa dengan menjadi tamengku, akan menghindari luka yang ditimpakan dari belakangku?" Wanita itu memalingkan wajahnya. “Aku tidak diancam siapapun. Ini keputusanku sendiri.”

Mendengus, Sasuke lalu berkata, “baik. Kau memilih mati daripada hidup bersamaku, lalu bagaimana denganku? Apa perasaanku tidak penting? Apa kenangan indah di masa lalu itu tidak berarti? Kau pergi menghilang begitu saja dan membuatku hidup bagaikan orang mati. Aku bisa mati tanpamu tapi kau…”

“Tapi kau tidak mati, kan?” tanya Hinata memotong ucapan Sasuke. “Kau masih hidup hingga sekarang. Kalau saja kau tidak bertemu denganku kemarin, kau bisa menikahi seseorang dan hidup normal seperti biasa.”

“JANGAN BERCANDA!” Pada akhirnya pria itu hilang kendali. “Hidup normal, katamu? Kau pikir aku bisa hidup normal tanpamu? Apa kau tahu penderitaanku selama ini? Apa kau tahu kutukan yang terus menimpaku? Ini semua terjadi karena kau tak ada dan kau berkata aku bisa hidup normal?”

“Lihat realitanya. Kau bahkan tersiksa. Menurutmu ini baik bagimu? Itu karena kau tak ingin melepasku. Bahkan jika aku yang bertahan untuk membuatmu tetap hidup, akulah yang mati. Harus berapa luka kuberikan padamu agar kau pergi, Sasuke?”

Keheningan seketika tercipta. Sasuke yang terguncang akan kata-kata Hinata dan Hinata yang tak dapat melanjutkan kata-katanya setelah melihat ekspresi pria itu. Keduanya saling berkutat dalam pikiran masing-masing. Hinata yang berharap Sasuke akan menyerah, dan Sasuke yang merasakan darah mengalir di batinnya yang terdalam. Keheningan itu pecah ketika Sasuke tertawa meratap. Hatinya menolak untuk percaya bahwa Hinata telah berubah. Bahkan hingga saat ini ia masih meyakini bahwa seseorang telah menghasut atau bahkan mengancam Hinata.

“Begitu, ya. Aku yang tak bisa hidup tanpamu, dan kau yang memilih mati daripada bersamaku. Seperti katamu, kita berbeda.” Pria itu menghela napas. “Kau benar…” ujarnya. “Ya, kau benar.” Hinata melihat Sasuke beranjak dan berjalan perlahan ke pintu keluar. Wanita itu mengikutinya, memastikan kearah mana pria itu pergi dan ketika Sasuke telah menutup pintu rumahnya, Hinata menghela napas lega.

Apakah kini ia bisa bernapas lega? Apakah dengan begini ia bisa kembali hidup tenang dengan Himeka?

 

Pagi itu tentu mewarnai pagi Hinata dengan tangisan anak kecil. Himeka tidak menemukan Sasuke di sisinya seperti yang dijanjikan. Ia terus saja menangis dan meneriakkan ‘papa’. Hinata kewalahan, tentu. Ia hanya bisa memeluk anak itu dan mengelus punggungnya setelah sebelumnya anak itu tantrum. Beberapa menit setelahnya anak itu tenang dengan sesekali sesenggukan.

“Apa Hime sudah bisa mendengarkan Kaachan?” tanya Hinata. Anak itu mengangguk melalui kepalanya yang mungil. “Apa Hime ingat janji Hime pada Kaachan? Hime hanya melihat Paman Sasuke saja. Bukan begitu?”

Hinata melihat bibir mungil anak itu merucut, lalu wanita itu mengelus kepalanya. Anak itu teringat pada janjinya dan ia merasa kesal karena harus menepatinya. Layaknya anak kecil yang diberi satu permen dan menginginkan permen lainnya, Himeka juga demikian. Ia tak pernah menemui laki-laki selain Kakashi yang sempat ia kira sebagai ayahnya.

Sekarang, setelah menemukan seseorang yang menjadi ayahnya, ia harus menahan diri untuk tidak menyayangi pria itu seperti teman-temannya menyayangi ayah mereka. Himeka juga ingin pulang sekolah dijemput ayahnya, atau pergi ke taman bermain bersama ayahnya. Namun ia hanya memiliki dua ibu. Hinata Kaachan yang selalu sibuk dengan pekerjaannya, dan Bibi Sakura yang selalu menemaninya sepulang sekolah meski harus berbaring di atas ranjang rumah sakit. Bahkan meskipun ia berhasil mewujudkan impian kecilnya kemarin, ia tetap ingin Sasuke berada bersamanya.

“Tapi… Hime juga ingin seperti Sumire dan papanya.”

Hinata memeluk putrinya semakin erat dan berkata, “apa Hime ingat yang dikatakan Kaachan? Dia bisa membawa Hime pergi dari Kaachan.”

Himeka melihat ibunya dan memeluk wanita itu. Ia menangis lagi dalam dekapan Hinata. “Hime kangen Papa.”

Hinata hanya dapat menepuk dan mengelus surai putrinya. “Kaachan tahu. Kaachan juga merindukan Papa, tapi Himeka harus mengerti. Kita bukanlah milik Papa. Suatu hari nanti, Hime pasti akan mendapatkan Papa yang baik untuk Hime.”

Anak itu menyadari bahwa ia takkan pernah menemui Sasuke lagi, pria yang begitu mirip dengannya, yang begitu baik padanya. Pertemuan mereka begitu singkat tapi untuk sekali saja, ia ingin memanggilnya dengan sebutan ‘papa’. Sekali saja ia ingin bermain bersamanya. Sekali saja ia ingin melihat wajahnya sepulang sekolah. Menyadari bahwa ia takkan bisa melakukan hal itu, Himeka menangis dalam dekapan ibunya.

 

Sasuke tidak tahu apa yang terjadi setelah ia keluar dari rumah Hinata. Ia mencoba melakukan apa yang wanita itu katakan. Yaitu dengan hidup normal dan melanjutkan hidupnya. Hanya saja, apakah pria itu memang bisa? Seperti kutukan yang selalu menimpanya, Sasuke kembali memimpikan Hinata. Tentang wanita itu yang selalu tersenyum padanya, atau wanita itu yang menyebut namanya.

Pria itu memutuskan untuk pergi ke psikiater hanya untuk mengetahui bahwa ia mengidap skizofrenia. Pikiran bodoh Sasuke percaya bahwa psikiater atau psikolog bisa menghipnotisnya dari bayang-bayang Hinata. Sungguh tak masuk akal. Dokter berpikir bahwa ia berhalusinasi dan membuatnya berpikir yang tidak-tidak.

Tentu saja Sasuke tidak meminum semua obatnya kecuali obat tidur. Sederhana, karena ia masih ingin menemui Hinata dalam mimpinya, dan bahkan meskipun ia mempercayai diagnosa dokter, ia tidak ingin menghilangkan bayangan Hinata lewat pil-pil konyol itu. Pada akhirnya pria itu menjadi hipokrit dan kembali terjebak dalam masa lalu. Ia menolak kenyataan bahwa Hinata telah berubah. Ia menolak keras dugaan yang menyebut dirinya berhalusinasi tanpa menyadari bahwa ia terjebak dalam lingkaran setan yang dibuatnya sendiri. Sasuke ingin terbebas, tapi bahkan meninggalkan Hinata dalam mimpinya adalah sebuah kemustahilan.

Sasuke yakin Hinata telah mendarat dengan selamat di Norwegia. Ia juga mendengar dari Dokter Kakuzu bahwa Hinata dan putrinya memutuskan untuk hidup di Norwegia dan takkan kembali ke Jepang. Dengan begini, ia harus kembali menjalani hidup bagaikan neraka.

Pria itu pulang dari kantor setelah menjalani rutinitasnya. Satu persatu kancing kemeja dilepasnya dan terhenti di kancing ketiga ketika oniknya melihat kotak berukir milik Itachi. Pria itu jadi teringat dengan permintaan ayahnya untuk menemukan kekasih Itachi. Dengan syarat, ia harus membaca surat-surat di dalamnya.

Sasuke percaya bahwa surat-surat itu hanyalah keluh kesah belaka yang membosankan. Jadi, ia mengabaikannya. Lagipula beberapa hari yang lalu ia sibuk dengan Hinata dan segala permasalahan wanita itu. Ia tak memiliki cukup waktu untuk duduk santai dan membaca curhatan Itachi tentang istrinya.

Tunggu dulu.

Sasuke mengingat ucapan ayahnya yang mengatakan akan mengampuni Konan. Apakah mungkin bukan ayahnya, melainkan Konanlah yang menjadi alasan Itachi bunuh diri? Lalu, setelah semua ‘pengabdian’-nya untuk keluarga Uchiha, Fugaku memutuskan untuk mengampuni wanita itu dan mencari kekasih Itachi. Jadi bahwa Sang Ayah telah berubah adalah benar.

Duduk di tepi ranjang, Sasuke membuka kotak itu dan membaca suratnya selembar demi selembar.

Hari pertama setelah pernikahanku.
Seseorang yang kukenal mencoba membesarkan hatiku, bahwa ada yang namanya ‘cinta karena terbiasa’. Seseorang terbiasa hidup bersama dengan orang asing. Pada awalnya tak punya rasa, dan setelah saling mengenal akan tumbuh rasa. Bukankah setiap pertemuan begitulah alurnya?
Dia berkata bahwa aku terlalu kaku, terlalu memaksa diri untuk hidup pada prinsip. Bagaimana jika aku berpikir dari sisi lain? Tidak berpikir bahwa menikah harus dengan seseorang yang dicintai, melainkan menikah untuk mencintai.
Apakah aku bisa melakukannya? Rasanya berbicara dan berteori lebih mudah daripada melakukan.

Hari kedua setelah pernikahanku.
Aku terkejut melihat wajah asing bersamaku di ranjang pagi ini. Satu menit kemudian aku teringat bahwa diriku telah menikah.
Tak seperti dia yang meninggalkanku, Konan adalah wanita yang pendiam. Ia tak banyak bicara. Apa aku bisa mencintai wanita seperti ini? Aku pun tak banyak bicara, terlebih pada seseorang yang tak terlalu kukenal. Dengan adanya dia, rumah ini semakin sepi saja.
Aku merindukannya. Apa salahku, hingga dia harus meninggalkanku?

Hari ketiga setelah pernikahanku.
Ibu mulai menyebutkan perihal anak, meskipun ia tahu pernikahan ini baru berjalan selama tiga hari. Bagaimana bisa memiliki anak dalam tiga hari, terlebih… aku enggan menyentuh wanita itu. Hatiku merasa sangat bersalah jika memikirkan untuk menyentuhnya sementara hatiku terisi oleh wanita lain.
Kenapa kau harus meninggalkanku?

Hari keempat setelah pernikahanku.
Aku memimpikannya. Dia yang meninggalkanku datang padaku malam ini. Apakah dia merindukanku seperti aku merindukannya? Sehingga ia mendatangiku dalam mimpi.|
Tidak. Dia telah meninggalkanku. Dia pergi begitu saja tanpa pertanda, tanpa peringatan dan meninggalkan cincin yang kuberikan.. Ayah pasti menemuinya. Ayah pasti mengancamnya. Namun tak peduli sekeras apapun aku mencarinya, dia telah pergi menghilang bagaikan hantu.
Kemana, kau? Kenapa kau harus pergi meninggalkanku?

Sasuke tertegun setelah membaca surat keempat. Ia mearasa familiar dengan kisah ini dan sedikit rancu dengan kata-katanya. Dugaannya awalnya segera terbantahkan dengan adanya surat ini. Bukan hanya ayahnya yang mengancam kekasih Itachi, tapi wanita itu juga pergi. Lalu yang perlu digarisbawahi, Itachi juga mencari kekasihnya dan nihil dan memimpikan wanita itu. Kenapa ini terdengar seperti kisahnya di masa lalu?

Pria itu membolak-balik halamannya untuk menemukan tanggal pembuatan surat dan tak menemukannya. Namun kunci dari surat itu ada pada hari pernikahan Itachi tiga tahun yang lalu. Pria itu lalu mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Samui.

“Aku hanya ingin tahu, apa kau mengetahui sesuatu tentang Itachi dan kekasihnya?” tanya Sasuke dan ia mendengar bahwa Samui tidak mengenal wanita itu kecuali alamat rumahnya yang terdahulu.

“Tuan Itachi pernah meminta saya mengirim hadiah untuknya.” Samui juga bercerita bahwa ia tidak mengetahui wajah penerimanya, karena saat itu ia meminta mendiang Supir Kim untuk mengantar hadiahnya. Sasuke mengingat pria itu. Supir Kim adalah supir lama Itachi yang sudah melayani keluarga Uchiha sejak Itachi masih kecil. Pria yang sudah tua itu telah meninggal karena sakit beberapa bulan setelah Sasuke lulus kuliah.

Dari panggilan itu, Sasuke mendapatkan alamat kekasih Itachi dan siapa yang akan menyangka, alamat pengiriman hadiah yang ditujukan untuk kekasih Itachi dekat dengan apartemen lama Hinata semasa kuliah.

Pria itu tertegun tak percaya, berdiri di depan apartemen lama yang ditujukan sesuai alamat dari Samui. Sasuke mengingatnya. Apartemen itu adalah apartemen lama Hinata semasa kuliah. Sasuke pikir alamat dari Samui hanya berada dekat dengan apartemen Hinata. Ia tak menyangka alamat dari Samuilah, apartemen wanita itu.

Sasuke menaiki tangga menuju nomor apartemen yang tertera. Ia tahu, wanita itu tak mungkin tinggal di sana tapi entah mengapa kaki dan hatinya tergerak untuk mengunjungi apartemen itu.

Pria itu mengetuk pintunya dan seorang wanita yang tengah hamil muncul, menatapnya dengan tatapan heran.

“Aku hanya ingin tahu, apa anda mengenal seorang wanita bernama Hinata Hyuga, penghuni apartemen ini sebelumnya?” tanya Sasuke. Wanita muda itu memanggil suaminya dan seorang pria muda mendatangi mereka.

“Hinata Hyuga?” tanya pria itu heran. Ia berpikir sejenak lalu teringat sesuatu. “Memang benar seseorang bernama itu menghuni apartemen ini sebelumku, tapi seingatku dia pria dan bukan wanita.”

Sasuke tersentak. Informasi macam apa ini? Ia mengingat jelas apartemen ini. Apartemen lama tempat ia selalu mengantar-jemput Hinata selama kuliah. Apartemen ini juga yang menjadi saksi bisu ciuman perpisahan yang dilakukan wanita itu sebelum akhirnya menghilang.

“Apa kau yakin dia seorang pria? Apa kau pernah bertemu dengannya?”

Pria itu merasa gugup karena Sasuke bertanya dengan cukup emosi.

“I… iya. Dia seorang pria yang telah menikah. Ia dan istrinya memberikan kunci apartemen ini sebelum pindah.”

Sasuke tak percaya. Apakah ini hanya kebetulan semata? Apartemen yang diberikan Samui sebagai alamat kekasih Itachi justru mengarah pada apartemen lama Hinata semasa kuliah, dan ketika Sasuke akhirnya mengetahui seseorang yang mengenal Hinata, pria itu justru mengatakan bahwa Hinata yang ditemuinya adalah seorang pria. Semua ini terasa tidak masuk akal.

Pria itu memasuki mobilnya dengan perasan teraduk-aduk. Ia merasa kepalanya sangat sakti dan membentur-benturkan dahinya berkali-kali di ujung stir.

Apakah mungkin yang dikatakan psikiater dan psikolog itu benar adanya? Ia mengidap skizofrenia. Ia hanya berhalusinasi. Bahkan meskipun pertemuannya dengan Hinata beberapa waktu lalu adalah kenyataan, di mana ia bisa menemukan wanita itu lagi dan membuatnya mengaku semuanya? Membuat wanita itu menjelaskan semua ketidakjelasan ini padanya?

Untuk pertama kalinya, Sasuke merasa ia ingin mati saat ini juga.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Pandora
Selanjutnya Pandora - [Chapter 6] Yang Menghindar Tak Bisa Lari
35
3
Dunia Hinata runtuh dua kali. Saat ia harus memiliki Himeka sendirian, dan ketika Sakura harus meninggal. Sasuke Uchiha kembali datang ke hidupnya saat Hinata memutuskan untuk melepas semua masa lalunya dan mencoba memulai hidup baru.REMAKE ff lama saya dengan judul yang sama
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan