
Dunia Hinata runtuh dua kali. Saat ia harus memiliki Himeka sendirian, dan ketika Sakura harus meninggal. Sasuke Uchiha kembali datang ke hidupnya saat Hinata memutuskan untuk melepas semua masa lalunya dan mencoba memulai hidup baru.
REMAKE ff lama saya dengan judul yang sama
Sasuke duduk di sebelah Hinata. Wanita itu tak bergeming, pandangannya hanya terarah pada Himeka. Satu persatu komponen mobilnya terangkat dan sebentar lagi anak itu bisa diselamatkan. Namun dengan adanya Sasuke di sampingnya, Hinata merasa waktu berjalan sangat lama. Bukan karena pepatah klise percintaan “bersamamu, terasa hidup seabad”. Tidak. Tidak demikian. Dalam hati Hinata, ia ingin agar masalah ini cepat selesai dan ia bisa segera menghilang lagi dalam kehidupan Sasuke.
“Jadi… kau telah menikah?” tanya Sasuke memecah keheningan di antara mereka, meskipun kondisi tempat itu cukup riuh dengan suara berisik mesin pemotong.
“Ya,” jawab Hinata singkat. Ia kembali terdiam dan Sasuke kembali bertanya. Kali ini tentang keberadaan suami Hinata yang tak muncul dalam situasi segenting ini. Hinata menjawab lagi, “ya” dan tersadar bahwa itu bukanlah jawaban yang tepat. Dengan begini, terlihat jelas bahwa Hinata hanya menjawab sekenanya hanya agar Sasuke diam.
“Dia… sudah mati,” jawab Hinata tanpa menatap pria di sebelahnya. Sasuke ingin berbicara lagi, tapi teriakan dari petugas ambulan yang memanggil Hinata bahwa Himeka telah sadar dari pingsannya dan menangis mencari Sang Ibu. Hinata segera berlari meninggalkan Sasuke. Pria itu melihat ekspresi khawatir Hinata dan menghembuskan napas panjang.
“Hime, ini Kaachan. Tenang, ya sayang. Kaachan di sini.” Hinata mencoba menenangkan Himeka karena anak itu menangis histeris ketakutan mendengar suara bising dan tempat sempit yang menjebaknya. Lagipula, siapa yang tak akan ketakutan jika berada di situasi yang sama dengan Himeka? Anak sekecil itu, terjepit bangku mobil dan beberapa orang di atas dengan mesin pemotong berisik yang memekakan telinga, mencoba memotong bagian atasnya.
“Tidak apa-apa, sayang. Tenang, ya. Sebentar lagi Himeka keluar.” Hinata masih menenangkan Himeka dan setelah Hinata memegang kepala Himeka untuk menenangkannya, perlahan tangis anak itu berhenti meski ia masih terisak.
Sasuke melihat semua itu dari jarak yang tak terlalu jauh. Samui menghampirinya setelah menyelesaikan urusan dengan polisi. Wanita itu mengamati Sang Atasan yang tak sekalipun berkedip melihat Hinata dan putrinya. Bahkan meskipun Samui sedari tadi sibuk memanggil ambulans dan bahkan ahli pemotong itu, wanita itu bisa melihat bagaimana Sasuke begitu mudahnya tertarik dalam arus kejadian ini. Biasanya Samuilah yang harus mengurusnya dan Sasuke akan memilih untuk tidur membalas dendam pada kelelahannya seminggu belakangan. Namun pria itu tak berpangku tangan dan bahkan membantu Si Wanita. Apakah pria itu kini beralih tertarik pada wanita yang telah menikah? Mengingat berbagai macam wanita telah datang dan pergi melewati hatinya. Atau memang Sasuke hanya bersimpati? Namun sangat aneh, melihatnya bahkan rela melukai tangannya demi menyelamatkan anak itu. Ataukah… pria itu dan wanita yang telah memiliki anak itu, telah lama saling mengenal?
Samui memutuskan untuk tidak ikut campur lebih jauh. Ia menyadari bahwa ada sesuatu di masa lalu Sasuke yang tidak ia ketahui dan rasa penasaran hanya akan membuang waktu dan energinya. Ia menjadi sekretaris Itachi selama dua tahun sebelum akhirnya pria itu meninggal dan selama itu pula, ia tak mengetahui masa lalu Sasuke. Ia baru mengenalnya setelah menjadi sekretaris pria itu.
Setelah hampir empat jam dari kecelakaan, Himeka akhirnya berhasil keluar. Hinata mengikuti para petugas ambulance dan Sasuke segera menghampiri Samui.
“Selesaikan semuanya, lalu antar mobilku ke rumah sakit.”
“Baik, Pak.” Samui pun melihat bagaimana pria itu berjalan menuju Hinata dan terlihat percekcokan sedikit. Tak membuat heboh, hanya saja terlihat jelas raut wajah Si Wanita itu tak menyukai kehadiran Sasuke. Keduanya bergabung bersama ambulance dan menghilang semakin jauh.
Himeka mendapatkan perawatan atas patah tulang lengan dan benturan pada kepalanya. Anak itu sudah lebih tenang, tapi ia jadi mengamati Sasuke dengan tatapan asing dan sesekali menatap ibunya. Mata peraknya itu menatap tangan terbalut Sasuke dan begitu juga tangan bergips miliknya. Pria itu mendapat beberapa jahitan karena luka sobek akibat memecahkan kaca jendela mobil.
“Siapa paman itu?” tanya Himeka menunjuk Sasuke yang duduk di bed bersebelahan dengan dirinya.
“Dia yang menabrak mobil Kaachan,” jawab Hinata yang segera disanggah Sasuke.
“Setidaknya perkenalkan diriku sebagai orang yang baik. Lagipula bukan aku yang menabrak mobilmu, tapi supirku. Aku juga berjanji untuk mengganti mobilmu, kan?”
Hinata mendengus. Enam tahun berlalu dan pria yang selalu menjahilinya di masa lalu itu berubah menjadi sangat cerewet. Wanita itu tak menggubris sedikit ucapan Sasuke dan memilih mengamati bekas jahitan di dahi putrinya itu. Ia berharap bisa memiliki sedikit dana untuk memulihkan bekas jahitan Himeka nanti untuk masa depannya.
Sasuke sadar bahwa dirinya diabaikan, tapi ia tetap berada di tempat itu. Ia duduk di sebelah kiri Himeka, bersisian dengan Hinata di sebelah kanan putrinya.
“Cantik sekali, siapa namamu?”
“Himeka Hyuga,” jawab Himeka yang segera membuat Hinata memalingkan wajahnya karena canggung dan Sasuke yang mengamatinya dengan curiga. Hyuga… jika wanita itu memang sudah menikah bahkan meskipun ayah dari anak ini meninggal, tak seharusnya Hinata masih mempertahankan nama keluarganya itu. Kecuali jika Hinata memilikinya sebelum pernikahan itu terjadi dan Si Pria menghilang.
Menanggapi tatapan kecurigaan Sasuke, Hinata lalu berbicara pada putrinya, “Hime, Paman ini adalah orang asing yang aneh. Apa Hime ingat kata Kaachan untuk tidak berbicara dengan orang asing?” tanya Hinata memperingatkan.
Tatapan polos Himeka menatap Hinata lalu Sasuke dan kemudian berkata. “Tapi Kaachan terlihat mengenal Paman ini.” Anak itu lalu berbicara pada Sasuke, “apa Paman adalah teman Kaachan?” tanya Himeka yang segera dijawab Sasuke dengan senyum sumringah.
“Paman dulu pacarnya Kaachan.”
“Sasuke!” sergah Hinata, tapi Himeka tak peduli dan menatap Sasuke dengan tatapan berbinar.
“Apa itu pacar?” Kini anak itu mulai tak menuruti ibunya dan memilih mengikuti rasa penasarannya. Hinata memperingatkan Himeka dan bahkan memanggil namanya, tapi anak itu justru menggenggam tangan Sasuke dan terus menanyakan istrilah yang baru di dengarnya itu.
Hinata tak punya pilihan lain. Ia tarik ujung belakang kemeja Sasuke dan membawanya keluar dari IGD.
“Kau sudah mendapatkan jahitanmu, silahkan pergi.” Hinata menagih janji Sasuke yang akan pergi setelah mendapatkan jahitan di tangannya, saat mereka sedikit bertikai di ambulans beberapa jam yang lalu.
“Sungguh terlalu. Apa kau pemilik tempat ini? Bagaimana bisa kau mengusir orang sakit sembarangan?”
“Oh, tapi kau terlihat baik-baik saja.”
Sasuke segera memegangi kepalanya dan merintih. Ia lalu beralasan sakit kepala akibat kecelakaan tadi masih terasa. Pria itu lalu memasuki rumah sakit lagi dan Hinata mengikutinya. Wanita itu lalu membereskan barang-barang Himeka dan Sasuke mencegahnya.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Sasuke.
“Berkemas. Putriku sudah mendapat perawatan, jadi sebaiknya kami pulang. Kalau kau ingin tinggal di rumah sakit, silahkan.”
“Hei, Himeka baru saja mendapat kecelakaan dan kau buru-buru pulang? Sebegitunya kau tak ingin bertemu denganku?” Hinata memalingkan wajahnya karena yang dikatakan Sasuke benar. Ia tak ingin bertemu dengannya, ia tak ingin Sasuke melihat putrinya. Melihat sikap itu, Sasuke menyerah. “Baiklah, aku akan menjauh. Tapi aku tidak akan pergi dari tempat ini karena aku masih memerlukan perawatan.”
Seorang perawat lalu menghampiri Sasuke untuk mengantarnya melakukan pengecekan MRI. Rupanya benar bahwa pria itu harus melakukan perawatan lain, sama halnya seperti Himeka. Sasuke menatap Hinata sejenak, lalu pergi.
Hinata terduduk, menutup kepalanya. Ia bertanya-tanya dalam hati, apa yang terjadi pada dirinya hingga bisa segugup itu di depan Sasuke? Hubungan mereka telah berakhir ketika Hinata memutuskan untuk pergi. Harusnya ia menganggap semuanya baik-baik saja. Namun ia begitu canggung hingga rasanya ingin menghilang begitu saja bak jin dalam lampu ajaib.
Himeka yang masih kecil, tentu melihat semua itu dari jauh. Ia memang tak mengerti dan tak dapat mendengar karena ramainya IGD saat itu. Namun anak pintar itu dengan cepat memahami bahwa ada sesuatu yang tak ia mengerti telah terjadi di antara Kaachan dan Paman itu.
Hinata kembali pada Himeka dengan ekspresi baru. Tersenyum lembut dan mengusapkan puncak kepala anak itu dengan tangannya.
“Kaachan tidak apa-apa?” tanya Himeka.
“Kaachan tidak apa-apa,” jawab Hinata. Seorang dokter jaga kemudian memanggil Hinata dan meminta waktunya sejenak. Wanita itu meminta Himeka untuk diam di ranjangnya dan jika Sasuke kembali hanya untuk mengajaknya bicara, Hinata berpesan agar anak itu tidak mendengarnya ataupun berbicara padanya. Anak itu hanya mengangguk dan membuat Hinata harus memintanya berkali-kali sampai Himeka tertawa dan berteriak kecil menyanggupi janjinya.
Mengikuti dokter ke tempat yang lebih kondusif, Hinata menunggu dokter itu bicara sambil melihat berkas hasil cek kesehatan Himeka.
“Dengan Ibu Hinata Hyuga, benar?” tanya dokter itu dan Hinata mengangguk. Ia juga menyebutkan dirinya sebagai ibu dari Himeka. “Melihat hasil pemeriksaan, saya pikir Ibu sebaiknya menemui Spesialis Hematologi.” Dokter itu kembali melanjutkan ucapannya. “Untuk jadwal hari ini, ada Dokter Kakuzu. Saya rasa sebaiknya Ibu menemui beliau untuk membahas ini.” Mendengar nama dokter itu sebelumnya, jantung Hinata serasa berhenti.
“Maaf, Dok. Apa ada yang salah dengan Himeka?”
“Kami mencurigai adanya bentuk abnormal pada sel darah Himeka. Ini harus dikonfirmasi ulang oleh Dokter Kakuzu.”
Jantung Hinata yang berhenti sesaat, kini berdebar begitu cepat. Kini berjuta rasa cemas menghantui pikirannya. Ia melihat Himeka yang masih duduk di atas bed-nya, memandang Sang Ibu sambil melambaikan tangan, dan kini ia mengkhawatirkan anak itu.
Ketika Sasuke kembali, hanya ada Himeka dan beberapa perawat jaga di ruang itu. Karena tak bisa membawa putrinya, apakah wanita itu akhirnya meninggalkannya? Namun ketika mengingat ekspresi kekhawatirkan Hinata beberapa jam yang lalu, Sasuke ragu jika wanita itu meninggalkan putrinya.
“Di mana Kaachan?” tanya Sasuke dan anak itu menjawabnya.
“Pergi bersama dokter.” Mendengar jawaban itu, Sasuke menganggukkan kepalanya lalu duduk di sisi ranjang Himeka.
“Hei, Nak. Berapa umurmu?” tanya Sasuke. Sayangnya kini Himeka mengunci mulutnya. Anak itu menutup mulut dengan kedua tangannya. “Kenapa diam saja?”
“Kaachan bilang, jangan berbicara dengan Paman aneh yang rambutnya klimis.”
Sasuke tersenyum masam. “Kau pikir rambutmu itu tidak klimis? Kau tidak lihat kemiripan kita?” Kini anak itu memegangi wajahnya dan kepalanya sendiri dengan satu tangan sehat yang tidak diperban gips. “Lagipula, kalau kau tidak ingin berbicara padaku, kenapa kau menjawab pertanyaanku tadi?”
“Itu karena Paman menanyakan Kaachan,” kata Himeka. “Aku pikir Kaachan hanya tidak ingin Paman mendekatiku.”
Tidak, Himeka. Ibumu tidak ingin kau menjawab satu patah kata pun. Sasuke tak mengerti, apakah anak ini tidak mengerti atau sebenarnya pura-pura tidak tahu dan mencoba mencari celah untuk membangkang. Entah sifat pembangkangnya ini mirip siapa.
Himeka hanya menjawab pertanyaan tentang ibunya, tapi tidak tentang dirinya. Sasuke lalu beralih menanyakan ayah dari anak itu.
“Papa sudah mati.”
“Mati?” tanya Sasuke semakin heran. Jika bercerai, ada kemungkinan sifat pendendam Hinatalah yang membuat ia mengganti nama ayah Himeka menjadi nama Hinata. Namun kalau alasan absennya ayah dari anak itu adalah karena kematian, bukankah sedikit aneh?
“Kata Bibi Sakura, Papa pergi meninggalkan Kaachan. Tapi kata Kaachan, Papa sudah mati.”
“Apakah Bibi Sakura itu saudara Kaachan?” tanya Sasuke lagi dan Himeka mengangguk.
Sasuke menganggukkan kepala, sedikit banyak memahami alasan Hinata. Wanita itu mencegah putrinya untuk mencari ayah kandungnya di masa depan nanti. Namun ada yang rancu di sini. Sasuke tak pernah meninggalkan Hinata. Justru wanita itulah yang meninggalkannya. Apa wanita itu membuat dirinya seolah-olah menjadi orang jahat dalam hubungan mereka? Padahal tersangka dari semua penderitaan Sasuke selama ini adalah wanita itu.
“Apa kau punya foto ayahmu?” tanya Sasuke dan Himeka menggeleng.
“Kata Bibi Sakura, foto ayah sudah hancur dibakar Kaachan yang patah hati.”
Menghilangkan jejak, rupanya. Pikir Sasuke. Sampai di sini, ia menemukan titik terang alasan wanita itu meninggalkannya. Ini jauh lebih rumit dari yang ia duga. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit siang itu, Sasuke berpikir keras apakah mungkin Himeka adalah putrinya yang dilarikan Hinata karena wanita itu takut Sasuke tidak akan mengakui darah dagingnya.
Itu adalah pernyataan yang konyol. Bagaimana bisa Hinata tidak mempercayai ketulusannya? Sasuke yakin, dengan dirinya yang di masa lalu pasti akan menerima Hinata dan anak mereka dengan tangan terbuka. Ia tidaklah sekeji itu. Bahkan jika saat itu Hinata mau datang kepadanya, ia bersedia meninggalkan keluarganya demi wanita itu.
Lagipula yang dihadapinya adalah Hinata, wanita pendiam dengan segala pikiran tak tertebak di dalamnya. Wanita itu selalu memiliki ketakutan tak beralasan dan memilih untuk menyimpannya sendiri. Sasuke pikir kekhawatiran Hinata adalah rasa khawatir yang normal. Ia terkadang panik jika mengingat dirinya pernah lupa menyerahkan satu lembar terakhir dari tugas, lalu merasa khawatir jika beasiswanya dicabut karena nilai yang minus. Ingatan Sasuke juga melayang pada Hinata yang tak menginginkan dirinya berkunjung ke rumah wanita itu dan mengenal Kakak Hinata. Wanita itu takut, Sakura akan menggodanya karena membawa pacar ke rumah meskipun status mereka saat itu masih berteman.
Hinata selalu memiliki banyak kekhawatiran yang pada akhirnya membuat Sasuke harus menenangkannya. Sasuke pun tidak merasa keberatan atas hal itu. Seperti halnya dia yang ketakutan melihat film horror dan Hinata akan menenangkannya, ia pun melakukan hal yang sama. Dengan begini artinya mereka saling menopang satu sama lain dan Sasuke merasa dirinya bisa diandalkan. Pria itu tidak akan menyangka, rasa khawatir dan ketakutan Hinata yang tak ia ketahui itu, akan membuat wanita itu meninggalkannya.
Sasuke menjauhi Himeka dengan tersenyum dan menepuk kepala anak itu perlahan. Ia terus memikirkan dugaan-dugaannya dengan langkah semakin mendekat ke bangsal perawat.
“Aku ingin membayar biaya perawatan Himeka Hyuga,” kata Sasuke.
“Anda…” perawat itu ingin bertanya dan Sasuke segera memotongnya dengan menyebut dirinya sebagai ayah dari anak itu. “Tunggu sebentar,” perawat itu lalu pergi setelah mengetikkan sesuatu di komputer. Sasuke memutar monitornya dan melihat data diri Himeka dalam catatan rumah sakit itu.
Nama, Himeka Hyuga. Tanggal lahir, 25 Desember 2016. Nama Ibu Kandung, Hinata Hyuga. Nama Ayah Kandung, -. Golongan darah…
Sasuke ingin melihat lebih banyak, tapi suara perawat yang berbicara dengan rekannya membuat pria itu refleks segera memutar kembali layar monitor. Ia lalu melihat Si Perawat datang dengan lembar kertas yang tampaknya adalah lembar persetujuan dari dokter jaga.
Setelah membayar segala perawatannya, Sasuke duduk tertegun menatap anak itu dari kejauhan. Ia perlu memiliki tempat sendiri untuk berpikir.
Anak itu lahir enam tahun lalu, hampir setahun setelah Hinata menghilang. Sasuke membuka ponselnya dan melakukan pencarian di web untuk mengetahui usia kandungan seseorang. Dari pencarian itu, ia mengambil kesimpulan. Himeka yang lahir pada bulan Desember 2016, jika ditarik 9 bulan Hinata mengandungnya, maka tepat di bulan saat wanita itu meninggalkannya. Sasuke memang tak ingat pasti nama bulannya, tapi ia ingat saat itu adalah masa-masa ujian tengah semester. Ia bahkan merelakan mata kuliah yang gagal karena absen selama ujian demi mencari Hinata.
Ini semua hanyalah asumsi. Perhitungan bulan tidaklah akurat. Satu-satunya cara adalah dengan melakukan tes DNA. Sasuke beranjak lalu menghampiri Himeka.
“Kita bertemu lagi, Nyonya,” kata Dokter Kakuzu ketika melihat Hinata memasuki ruangannya. Ia telah mendapatkan berkas hasil pemeriksaan medis yang ada di dokumen Himeka, tapi tak segera membuka atau mempelajarinya. “Bagaimana kabar anda?” tanya pria itu.
“Saya baik-baik saja, tapi Himeka…”
“Bagaimana rencana migrasi anda ke Norwegia?” tanya Dokter Kakuzu lagi. Hinata sebenarnya ingin segera mengetahui hasil pemeriksaan Himeka, tapi Dokter Kakuzu tampak ingin mengulur waktu. Meski begitu, ia tetap menjawab pertanyaan dokter itu.
“Berjalan lancar, kecuali kecelakaan tadi siang. Mobil yang ingin saya jual terpaksa ringsek dan menjadi besi rongsokan. Lalu Himeka juga…”
“Saya tahu.” Dokter Kakzuzu lalu membuka dokumen rekam medis Himeka dan mempelajarinya. Hinata terus menyinggung putrinya yang membuat pria itu menyerah dan memulai sesinya. Hinata terdiam dengan jantung berdebar. Dalam hatinya ia terus berharap agar tak mendapatkan masalah serius dalam diri putrinya. Setelah beberapa menit, Dokter Kakuzu lalu berkata. “Kalau berdasar pada hasil pemeriksaan, ada kemungkinan putri anda mengalami anemia sel sabit. Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, ini adalah penyakit turunan.”
Kini jantung berdebar Hinata berhenti berdetak. Begitu juga waktu dan napasnya. Ia tertegun, terdiam, tak bisa berkata-kata. Bahkan ucapan Dokter Kakuzu pun terlewat begitu saja oleh pendengarannya.
“I… ibu…” Hinata bergumam dan Dokter Kakuzu menimpali ucapan itu.
“Ibu dari anda atau suami bisa memberikan gen ini. Jika anda atau suami tidak memiliki penyakit ini, ada kemungkinan kalian berdua adalah pembawa gen resesif. Orang tua anda atau suami yang memiliki gen ini bisa menurunkan gen resesif pada kalian.” Dokter Kakuzu lalu membuat sebuah tulisan di kertas kosong dengan simbol bulat dan persegi. “Ini adalah anda, dan ini suami. Pembawa gen resesif akan memiliki gen dominan dan resesif bersama mereka. Jika suami anda juga pembawa gen resesif, anak-anak anda akan bisa mendapatkan gen dominan sekaligus gen resesif, atau gen dominan penuh dan gen resesif penuh melalui hasil persilangan gen dari kedua orang tuanya. Penyakit ini hanya timbul jika seseorang memiliki gen resesif penuh. Kemungkinan, Himeka memiliki gen resesif penuh yang membuatnya mendapatkan bentuk sel sabit dalam darahnya.”
“La… lalu bagaimana dengan pengobatannya?” Kakuzu lalu menjelaskan lebih lanjut mengenai pengobatan rawat jalan yang bisa Himeka jalani. Selama itu, ia akan berusaha untuk mencari donor sumsum tulang belakang yang cocok untuk Himeka. “Ada baiknya jika sumsum tulang belakang ini didapat dari keluarga dengan gen dominan penuh karena kemungkinan untuk cocok dengan Himeka akan lebih tinggi. Ada kasus di India dimana pasangan suami istri memiliki anak lagi agar anak tersebut bisa mendonorkan sumsung tulang belakangnya pada sang kakak yang memiliki penyakit ini. Hanya saja, saya pribadi kurang setuju dengan cara itu.”
Hinata mengakhiri sesi itu dengan hati yang sangat terluka. Ia mengetahui penyakit itu adalah penyakit turunan langka yang tak segera sembuh meski mendapat operasi. Wanita itu berjalan dengan tatapan kosong meratapi kenyataan ini. Ia sudah kehilangan Sakura dan ia tak ingin kehilangan Himeka. Dalam langkah perlahannya, wanita itu ambruk. Ia menangis. Dalam tangisannya, ia berkali-kali menyebut nama Sakura. Memohonnya agar tidak merenggut Himeka darinya. Ia sangat menyayangi Himeka, ia mencintainya sejak dalam kandungan dan semakin mencintainya setelah melihat wajah mungil merah yang menangis setelah dilahirkan.
Berusaha menenangkan diri, wanita itu mengusap air matanya. Ia menelan ludahnya bulat-bulat dan memaksakan diri untuk tenang. Ia berulang kali menghela napas setiap jantungnya berdebar untuk memuntahkan segala perasaan tapi ia harus mengatur diri. Ia harus segera terlihat biasa-biasa saja atau Himeka akan melihat kesedihannya.
Wanita itu muncul dari pintu IGD setelah sepuluh menit menenangkan diri dan dua menit berlari. Setidaknya dengan berlari, kesedihannya sudah lebih berkurang karena energi untuk menangis digunakan untuk memacu kakinya. Ia memanggil Himeka tepat ketika dilihatnya Sasuke menaikkan tangan ke atas kepala putrinya itu. Wanita itu mendekati Himeka dan menyalang tatapan tajam pada Sasuke.
“Kenapa kau melihatku seakan-akan ingin memakan anakku sendiri?” tanya Sasuke.
“Dia bukan anakmu.” Hinata melihat infus Himeka telah dilepas dan meminta pada perawat untuk mengurus pembayaran tapi perawat itu terlihat bingung dan menatap Sasuke.
“Aku sudah mengurusnya.”
Kini ekspresi Hinata meruncing, menunjukkan ketidaksukaannya pada Sasuke. Ia tidak berharap pria itu akan melakukan ini. Wanita itu lalu memberi isyarat pada Sasuke agar pria itu mengikutinya. Mereka keluar dari IGD dan berjalan ke koridor yang cukup sepi. Tanpa basa-basi, Hinata buka tasnya dan mengambil beberapa lembar puluhan ribu yen dan segera menyerahkan lembaran uang itu pada Sasuke.
“Apa ini?” tanya Sasuke menatap lembaran uang itu.
“Untuk mengganti perawatan Himeka,” jawab Hinata. Sasuke menolaknya dengan halus dan meminta Hinata untuk menganggapnya sebagai kompensasi dari kecelakaan atas supirnya. “Masalah kompensasi itu, bukankah sudah kuluruskan? Aku tidak ingin ada kompensasi dan merelakan mobilku menjadi besi rongsok. Aku juga tidak ingin berhutang apalagi padamu. Ambillah. Kau pikir aku tidak memiliki uang untuk membayar biaya perawatan anakku?”
Mendengar kata-kata Hinata, Sasuke merasa ia tak bisa bersabar lagi. Kekasih yang menghilang selama enam tahun lebih kini datang dengan seorang anak. Apakah salah jika Sasuke berpikir bahwa anak itu adalah darah dagingnya dan kemudian membayar semua biaya rumah sakitnya? Bahkan meskipun anak itu bukanlah Himeka dan wanita itu bukanlah Hinata, ia akan tetap membayar biaya rumah sakit. Lalu, dengan semua tanggung jawab Sasuke hari ini, Hinata masih bersikap acuh dan bahkan sinis padanya. Seakan wanita itu memiliki kebencian mendalam padanya.
“Kau pikir aku tidak bisa membayar biaya perawatan anakku juga?” balas Sasuke.
Hinata menatap Sasuke dengan binar peraknya yang menyalak. “Tidak, kau tidak bisa. Kau tidak ada saat anak itu hadir, jadi kau tak berhak.”
Sasuke tertawa sinis. “Apa kau sadar dengan yang kau katakan? Kaulah yang menyembunyikan kehamilanmu, kau juga yang menghilang dengan membawa Himeka. Lalu kau berkata seakan-akan akulah yang jahat di sini? Kau yang jahat! Kau mengambil anakku.”
Hinata terdiam. Dia tak bisa menyangkal satupun kata-kata Sasuke, jadi dia memalingkan wajahnya. Namun sikap keras kepalanya itu tetap menyangkal pengakuan Sasuke sebagai ayah dari Himeka.
“Kau bukan ayahnya.”
Sasuke tertegun lalu membuang napasnya dengan kasar. “Baik. Kalau begitu, kita lakukan tes DNA. Kita buktikan apakah Himeka adalah anakku atau bukan. Jika anak itu bukanlah darah dagingku, aku akan pergi sesuai keinginanmu, tapi jika benar… kau harus mengijinkanku menemuinya.”
Hinata terdiam. Ia masih tak ingin menatap Sasuke. Kedua opsi itu bukanlah pilihan yang ia inginkan, karena apapun hasilnya pada akhirnya Sasuke akan membawa anak itu darinya. Himeka adalah berkah yang diberikan pada Hinata dan ia takkan memberikannya pada siapapun. Ia tidak bisa membiarkan Sasuke melakukan tes DNA pada Himeka.
“Lupakan saja,” kata Hinata. Ia lalu memasukkan kembali uangnya. “Aku akan menerima kompensasi apapun yang kau berikan.” Wanita itu lalu membungkuk dan mengucapkan terima kasih. Ia segera berlalu bahkan meskipun Sasuke memanggil namanya.
Sasuke memijit kepalanya yang pening. Ia sudah mendapatkan mobilnya berada di lahan parkir tepat sesuai perintahnya pada Samui, tapi Hinata menolak tawarannya mengantar dua orang itu pulang. Wanita itu justru ikut masuk ke mobil dengan seorang pria berjambul perak menjemput mereka. Siapa pria itu? Sasuke tidak pernah melihat pria semacam itu di masa lalu mereka. Lagipula wanita itu menghilang lebih dari enam tahun lamanya. Sasuke tidak bisa berharap bahwa Hinata akan sama seperti ketika sebelum wanita itu meninggalkannya.
Pria itu mengusap air mukanya dan mulai menata pikiran. Hinata yang muncul secara tiba-tiba, datang dengan perasaan benci menguar di seluruh aura tubuhnya. Wanita itu bahkan menjauh dan berusaha untuk tidak berhubungan dengannya lagi bahkan setelah pertemuan mereka.
Sasuke lalu teringat dengan Itachi yang bunuh diri karena pernikahan paksa yang tidak membahagiakannya. Pria itu dijodohkan dengan Konan setelah sebelumnya mendapatkan larangan dari Sang Ayah untuk menikahi wanita pilihannya. Kini pikiran Sasuke tertuju pada ayahnya sendiri. Apakah mungkin Sang Ayah mengetahui hubungannya dengan Hinata di masa lalu dan memaksa wanita itu untuk pergi? Jika benar, maka sudah jelaslah alasan Hinata menghilang saat itu, dan ekspresi keengganannya untuk didekati oleh Sasuke.
Uchiha muda itupun menyalakan mesin mobilnya. Ia beralih kembali ke rumah orang tuanya untuk meminta alasan.
Ketika Sasuke datang, hari sudah malam. Fugaku dan Konan sedang menyantap makan malam dan tentunya Sasuke jelas harus mengikuti makan malam itu. Pria itu terpaksa harus bersabar. Mungkin karena sejak pagi tubuhnya sudah kelelahan, ditambah insiden kecelakaan dan bagaimana dia menyetir selama dua jam melewati macetnya ibukota, ia merasa sangat lelah. Tentu saja ia harus beristirahat dan memulihkan tenaganya.
Sasuke menurut saja ketika Nenek Chiyo, kepala pelayan di rumah mereka mempersilahkannya duduk. Ia juga membiarkan wanita tua itu meletakkan piring di depannya. Fugaku sedikit terkejut dengan kedatangan Sasuke, karena sekali pria itu pergi akan sulit untuk kembali dalam waktu yang singkat. Namun ia memilih untuk bersikap tenang dan meminta putranya untuk makan malam bersama mereka.
Makan malam berjalan tak terlalu lama. Fugaku yang menyelesaikan urusannya lebih dulu, beranjak dan Sasuke segera mengatakan tujuannya untuk berbicara secara pribadi dengan Sang Ayah.
Ketika Sasuke masuk ke ruangan ayahnya, Fugaku sedang menatap foto keluarga mereka yang tergantung di depan meja kerjanya. Pria itu kembali mempersilahkan Sasuke masuk dan menanyakan kondisinya.
“Aku baik-baik saja,” kata Sasuke lebih tenang. Waktu perjalanan juga makanan hangat Nenek Chiyo telah menenangkan batinnya.
“Aku tidak akan memaksamu untuk menikahi Karin. Aku juga tidak akan melarangmu menikahi wanita yang kau cintai.” Pria tua itu lalu menatap foto keluarganya lagi. Lebih tepatnya ekspresi dingin Itachi yang terlukis pada potret keluarga itu. Itachi dan surat-surat yang ditinggalkannya membawa Uchiha tua itu dalam penyesalan terdalam. Ia pun sama seperti putra sulungnya. Menikah karena perjodohan dan ia merasa bersyukur karenanya. Meski Mikoto adalah wanita yang lemah dan sakit-sakitan, justru bisa membuatnya mencintai wanita itu dengan segala kekurangannya. Bahkan meskipun ia dan putra sulungnya itu terikat oleh darah, keduanya adalah pribadi yang serupa tapi berbeda. Keduanya bisa mencintai seorang wanita dengan segala kekurangan mereka, sementara Fugaku bisa mencintai istrinya tapi tidak dengan Itachi.
Melepaskan pandangannya dari potret keluarga, Fugaku lalu menatap putra bungsunya dan menanyakan alasan kedatangan Sasuke yang tiba-tiba.
“Aku hanya ingin tahu, apa Ayah pernah menemui seorang wanita bernama Hinata Hyuga dan mengancamnya?” tanya Sasuke tanpa berbasa-basi.
Fugaku terdiam untuk berpikir sejenak. Dari alis berubannya yang tertaut, sudah menjelaskan bahwa ia tak mengenal nama yang disebutkan Sasuke.
“Apakah dia ada hubungannya dengan kekasih Itachi?”
“Ini tidak ada hubungannya dengan Itachi,” kata Sasuke seraya mengeluarkan ponselnya. Ia tampak mengusapkan sesuatu pada layar, seakan sedang mencari sesuatu lalu menunjukkannya pada Fugaku. “Mungkin Ayah melupakan namanya tapi tidak dengan wajahnya.” Foto Hinata semasa kuliah-lah yang ditunjukkan Sasuke pada Sang Ayah. “Apa ayah pernah bertemu atau melihatnya?”
Fugaku menggeleng ragu dan menanyakan wanita itu.
“Kekasihku semasa kuliah,” jawab Sasuke. “Dia menghilang enam tahun lalu. Tadi siang aku bertemu dengannya lagi dan dia membawa anak yang mirip denganku. Aku jadi berpikir, apakah mungkin Ayah… mengancamnya.”
Sasuke datang seakan membawa deklarasi perang tapi Fugaku tak lagi memiliki daya dan upaya untuk melawan apalagi membela dirinya. Pria tua itu kemudian merenung dalam diamnya. Enam tahun lalu Itachi membawa deklarasi perang yang sama tapi Fugaku memiliki kekuatan untuk mendominasi dan bahkan mengancam putranya untuk meninggalkan kekasihnya. Namun ketika Sasuke datang membawa tuntutan yang sama, Fugaku justru merasa lelah. Ia tak lagi memiliki tenaga untuk mendiamkan Sasuke dengan kekerasan yang sama dengan yang ia lakukan pada Itachi.
“Hanya sekali, wanita yang kuminta untuk meninggalkan anak-anakku. Yaitu kekasih Itachi. Wanita yang kutemui saat itu, bukan orang ini.”
Sasuke menyungging sinis. “Apa kau yakin?” tanya Sasuke. “Enam tahun lalu, Ayah mempersiapkan segalanya untuk menjadi anggota parlemen, termasuk membersihkan semua yang akan merusak citramu. Ayah bahkan melarang Itachi menikahi kekasih yang tak jelas asal usulnya. Kau yakin, tidak mengancam kekasihku juga?”
“Bahkan meskipun aku lupa, aku takkan melupakan wajah kekasih Itachi. Hanya dia yang kutemui dan aku tak pernah menemui perempuan yang kau sebut itu. Kenapa kau tak percaya pada ayahmu sendiri?” Bahkan Fugaku-pun mulai merasa frustasi.
“Karena kau adalah orang yang seperti itu!” Bentak Sasuke. Dalam hatinya ia bersyukur menikmati makan malam sesaat dan memulihkan tenaga untuk bisa menghadapi ayahnya. Sasuke lalu berkata lagi dengan lebih tenang meski intonasinya tetap terasa tegas. “Aku tak ada bedanya dengan Itachi. Aku juga mencintai wanita yang memiliki banyak kekurangan. Jika kau bisa menyingkirkan wanita itu dalam hidup Itachi, kau juga bisa menyingkirkan wanitaku.”
“Aku benar-benar tak melakukannya. Aku bersumpah, Sasuke.” Fugaku kini membela diri dengan mengeraskan suaranya. “Saat kau berada di Kyoto, tak satupun nama wanita yang kau sebut dalam teleponmu. Kau membuat ibumu khawatir karena mengira kau tak menyukai perempuan dan akhirnya menjodohkanmu dengan Karin. Percayalah, ini kali pertamaku mendengarmu menyebut nama wanita yang tak pernah kau ceritakan apalagi melihat rupanya.”
Sasuke memalingkan wajah karena menyadari kesalahannya sudah menuduh Sang Ayah. Bahkan meskipun pembelaan Fugaku terasa benar, sebagian hatinya menolak pernyataan itu. Kematian Itachi membuat penilaiannya terhadap keluarga sendiri sangatlah buruk. Ia merasa tak bisa kembali tenang jika tak memikirkan Sang Ayah sebagai dalang dibalik semua kejadian ini. Semua ketenangan yang ia pertahankan selama ini, runtuh ketika Fugaku memintanya mencari kekasih Itachi dan kemunculan Hinata yang tiba-tiba. Semua itu membuatnya semakin kalut.
Pria itu lalu menunduk dan jatuh terduduk memegangi kepalanya. Ia merasa sangat lelah, batin, fisik, maupun pikirannya. Ia berharap asumsinya benar, dan jika memang benar Sang Ayah mengancam Hinata, ia akan memohon ampun pada wanita itu. Ia akan melakukan segala cara agar Hinata mau mengampuni dirinya dan ayahnya. Lagipula tampaknya Fugaku sudah bukan pria berdarah dingin yang hanya mementingkan harta. Sasuke mendengar bahwa ayahnya itu akan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai anggota parlemen di akhir tahun ini. Padahal tahun ini adalah naiknya pamor Fugaku sebagai anggota parlemen yang paling disegani rakyat, tapi pria tua itu memilih meninggalkannya.
Sasuke memohon maaf pada Sang Ayah atas sikap kasarnya tadi dan itu membuat Fugaku tertegun. Hari ini ia mendapatkan dua permohonan maaf dari Sang Putra. Sesuatu yang tak pernah Fugaku lakukan ketika ia membentak atau mengancam anak-anaknya. Melihat yang dilakukan Sasuke hari ini justru membuat Fugaku semakin tertampar.
“Aku tahu kau sedang lelah. Tadi siang kau bahkan pingsan dan mendapat injeksi. Aneh sekali kau masih bisa berbicara padaku.” Fugaku menepuk bahu putranya dan Sasuke mengusap kembali air mukanya, berharap segala lelahnya menghilang. “Hari ini, tidurlah di sini. Beristirahatlah.”
Sasuke menganggukk. Ia mengakui, dirinya tak lagi memiliki tenaga untuk menyetir selam dua jam berikutnya ke rumah pribadinya. Ia pun menyerah dan meninggalkan ruangan itu. Pria itu kembali pada kamar lamanya, merebahkan diri. Ia mengingat lagi sosok gadis kecil cantik yang seakan perpaduan dirinya, tapi ada satu sisi di mana ia merasa gadis itu tak mirip dengannya. Sepertinya pencampuran dari gen Hinata berada di dalamnya.
Pria itu memejamkan mata dan ingatannya melayang saat Himeka berteriak memanggilnya.
“Paman! Paman!!!” Sasuke yang telah meneguhkan pikiran, mendekatinya tapi anak itu masih berteriak. “Paman di mana?” Sasuke merasa kebingungan, karena ia jelas berada di sebelah Himeka tapi anak itu seperti tidak melihatnya. Para dokter dan perawat pun memperhatikan mereka dan mendekat. Sasuke lalu menggenggam tangan Himeka dan anak itu mengulas senyum lega. “Paman di sini?”
“Ya, aku di sini.” Lalu senyum Himeka semakin melebar. Ia tampak bahagia. Seorang dokter lalu memeriksa kondisi matanya karena sebelumnya, anak itu sangat sehat kecuali patah tulang dan kepala yang terbentur.
“Sepertinya syok pasca kecelakaan. Ini hal yang biasa terjadi. Tidak masalah,” kata dokter. Sasuke mengangguk berterima kasih dan dokter itu melanjutkan pekerjaannya.
Masih tak dapat melihat Sasuke, Himeka lalu meminta pria itu mendekat dan anak itu berbisik.
“Hime sering seperti ini tapi Kaachan tidak tahu. Saat di TK, Hime ditemani banyak teman, jadi Hime tidak takut. Tapi di sini, Hime takut sendirian. Tolong jangan bilang pada Kaachan, ya. Hime tidak mau Kaachan khawatir.”
Sasuke tertegun lalu anak itu tersenyum lebar dan menatap Sasuke. “Lihat, Himeka sudah bisa melihat wajah Paman lagi.”
Sasuke mengingat hal itu dan menghela napas panjang. Banyak hal terjadi dalam hidup Hinata yang tidak ia ketahui dan ia merasa sangat bersalah meskipun ia tahu hal ini bukan kesalahannya.
“Apa yang terjadi padamu selama kau pergi, Hinata?”
Himeka melihat bagaimana Hinata mengeluarkan satu persatu pil dari dalam bungkusnya. Ia telah menyelesaikan sarapan pagi dan hari ini akan pergi ke kantor imigrasi untuk mengambil visa. Hinata juga harus melakukan survei ke beberapa agen pengiriman luar negeri untuk memastikan mereka bisa mengirim barang-barang Hinata ke Norwegia. Lusa, mereka akan berangkat.
Hinata mengamati putrinya itu meminum satu persatu pil obat dan mengeluhkan betapa kembung perutnya saat ini. Hinata tertawa kecil lalu mengusap kepala Himeka.
“Kaachan…” panggil Himeka saat Hinata membawa piring-piring kotor untuk dicuci bersih. “Apa Hime akan menyusul Bibi Sakura?” tanya anak itu yang membuat Hinata menahan napasnya. Tatapan Himeka tertuju pada bungkus obat yang belum terbuang. Bentuk dan warnanya sama seperti yang ia lihat terakhir kali di rumah sakit.
“Jangan berkata begitu,” kata Hinata meletakkan piring kotor. Ia lalu menghampiri putrinya. “Himeka sangat berarti untuk Kaachan. Kalau Hime pergi, Bagaimana dengan Kaachan?” Himeka menatap binar perak Hinata yang berkaca-kaca. “Jangan tinggalkan Kaachan, Hime,” kata Hinata lagi.
Anak itu tertunduk lalu berkata lirih, “Hime ingin melihat Papa. Kata Kaachan Papa ada di surga tapi kata Bibi Sakura, Papa pergi meninggalkan Kaachan. Kalau Papa masih hidup, bisakah Kaachan memanggil Papa kemari?”
Hinata merasa hatinya tertampar begitu hebat. Ia mengakui, telah menyatakan kebohongan agar Himeka tidak mencari ayahnya. Jika subjek yang disebutkan musnah di dunia, Himeka tidak akan memiliki kesempatan untuk mencari ayahnya. Namun Sakura justru mengatakan hal yang tidak-tidak. Hinata tidak ingin membawa ayah dari anak itu ke hadapan mereka. Ia tak ingin pria itu mengambil Himeka setelah mengetahui kenyataannya. Namun jika Hinata terus mengatakan kebohongan, ia takut Himeka akan menyerah pada hidupnya hanya karena mempercayai kebohongan Hinata dengan menemui “Sang Ayah di surga”.
Memejamkan mata peraknya, Hinata berpikir. Bagaimana agar Himeka tetap memiliki semangat hidup dan tetap bersamanya. Setelah menahan napas beberapa kali, Hinata pun memutuskan.
“Hime harus berjanji satu hal pada Kaachan.” Anak itu lalu menganggukkan kepalanya. “Hime tidak akan memberitahu hal ini padanya. Jika orang itu tahu, dia akan membawa Hime pergi dari Kaachan.”
Himeka terdiam. Ia lalu mengingat sikap aneh ibunya kemarin. Hinata memang tak memiliki banyak teman, dan sikap wanita itu pada Sasuke berbeda dari biasanya. Seakan keduanya saling mengenal dan memiliki permasalahan yang belum selesai di masa lalu.
“Apa Papa Hime adalah… Paman Sasuke?” tanya Himeka. “Paman Sasuke bilang kami memiliki kemiripan. Kalau begitu, kenapa Kaachan tidak ikut Paman Sasuke saja?”
“Tidak Hime. Himeka masih kecil, mungkin tidak mengerti.” Hinata tidak tahu apa ia bisa mengatakan hal ini pada anak berusia enam tahun itu. “Yang jelas, kalau Hime bertemu dengannya, tahan perasaanmu. Bukankah Hime hanya ingin melihat Papa? Hime tidak akan meninggalkan Kaachan dan pergi bersamanya, kan?” tanya Hinata memohon.
Himeka terdiam, menatap wajah sedih ibunya membuat dirinya ikut terhanyut. Bahkan meskipun ia masih kecil, ia mengetahui perjuangan Sang Ibu membesarkan sekaligus merawat Bibi Sakura. Ketika Bibi Sakura masih hidup dan Himeka sudah bisa berpikir, ia merasa iri melihat Sang Ibu begitu memperhatikan Bibi Sakura. Untuk mengusir kesepiannya, Himeka akan mencari kesibukan sendiri. Namun melihat kini Sang Ibu begitu memperhatikannya, ia ikut bersedih. Jika ia juga pergi, Ibunya pasti akan sangat sedih. Anak itu lalu memeluk ibunya.
“Hime tidak akan meninggalkan Kaachan.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
