Hinata Hyuga, siswa peraih beasiswa di sekolah elit SMA Uchida mendapat penindasan di sekolahnya karena berkencan dengan Sasuke Uchiha, putra bungsu pemilik yayasan SMA Uchida. Berkali-kali dia ingin mati, tapi perasaannya selalu maju mundur dan takdir selalu menyelamatkannya.
Cipratan air mengenai wajah pucat Hinata. Air mengalir di seluruh wajahnya hingga menetes dan membasahi kemejanya yang sudah basah. Berkat air itu, Hinata yang hampir pingsan jadi sadar. Saat ini, rasanya lebih baik baik pingsan daripada sadar. Mata Hinata yang setengah terpejam, terbuka perlahan. Ia melihat beberapa pasang sepatu yang masih ada di posisi yang sama saat terakhir kali ia tertidur.
"Dia bangun lagi," kata Sakura.
"Kau tahu, kau akan mati kalau pingsan, kan?" tanya Sara.
"Jangan-jangan dia memang berniat mati?" Shion menimpali. Ketiga gadis itu di musim dingin yang perlahan hadir, masih duduk di sana meski suhu malam itu mulai dingin.
Hinata merasa seluruh tubuhnya kaku. Dinginnya malam mulai menusuk kulit dan menembus tulangnya. Hinata menyesal. Seharusnya ia mati ketika tidur.
"Hei, Kiba! Mau sampai kapan? Aku sudah tidak tahan. Dingin sekali di sini!" keluh Sakura. Sara dan Shion juga ikut mengeluh.
"Kau ingin membuatnya memohon? Fetishmu menjijikkan sekali."
Kiba merasa jengah. Sebenarnya ia juga mulai kedinginan, tapi pertahanan Hinata sangat kuat. Gadis itu tak sedikitpun memohon padanya dan bahkan lebih memilih mati, seperti yang dikatakan Shion.
Dua minggu lagi, mereka akan pergi karyawisata ke Hokkaido di pertengahan musim dingin. Guru memberi pelajaran cara bertahan hidup dan pertolongan pertama saat mengalami hipotermia. Salah satunya adalah dengan menghangatkan diri skin to skin. Kiba beralasan ingin mempraktikkan ajaran guru dan menjadikan Hinata sebagai partner berlatihnya. Karena itulah, dia meminta Sakura, Sara, dan Shion membawa Hinata ke atap sepulang sekolah dan menyekapnya. Mereka membuatnya kedinginan, menyiramnya berkai-kali dan ketika Hinata berontak, mereka akan menghajarnya hingga tak bisa berkutik lagi.
Sebenarnya Kiba hanya ingin melampiaskan nafsunya saja. Akhir-akhir ini ia tergoda dengan tubuh molek Hinata yang memukau. Ia sering mengintipnya saat berganti pakaian setelah kelas olah raga, ia juga sering mengintipnya mandi setelah kelas renang di sekolah.
Namun harga diri Kiba begitu tinggi. Dia tidak ingin terlihat memaksa ataupun memohon pada Hinata. Dia ingin gadis itu memohon padanya untuk diselamatkan. Namun gadis itu tak lagi berontak setelah digampar Sakura. Setelah tersungkur, ia terkesan seperti membiarkan dirinya diinjak dan ditendang hingga pingsan. Tak hanya Sakura dan dua sahabatnya. Kiba juga bosan dengan sikap menyebalkan Hinata.
"Aku tidak peduli lagi," kata Shion. Ia merajuk pada Sakura untuk meninggalkan tempat itu. Sakura sendiri sudah mulai merasa menggigil. Ia menyanggupi keinginan Shion dan beranjak.
"Ayo pergi. Aku tidak mau mati kedinginan bersama pelacur ini."
Sakura dan dua temannya pun meninggalkan tempat itu. Kini hanya ada Kiba dan Hinata. Entah mengapa dalam situasi seperti ini, Hinata justru merasa tidak tenang. Mungkin ucapan lebih banyak orang jauh lebih baik dari lebih sedikit orang itu benar adanya. Jika ada komplotan Sakura, meski mereka melukai Hinata, gadis itu masih merasa jauh lebih baik dibanding berdua saja bersama Kiba. Sakura dan gengnya tidak ada apa-apanya dibanding Kiba.
Hinata tak bisa menyembunyikan rasa takutnya. Ia sedikit merubah posisinya, berusaha menghindari Kiba tapi dengan cepat pria itu memenjarakannya dengan dua tangan kekar.
"Kau tidak bisa lari, Hinata." Pria itu setengah berteriak, "kau seharusnya memohon padaku. Aku jadi bisa bersikap lebih lembut padamu."
Hinata bergidik hingga tubuhnya yang menggigil bukan karena rasa dingin yang hebat tapi karena rasa takut.
"Ki… Kiba. Maafkan aku," kata Hinata menghindari tatapan dan deru napas Kiba. Baunya begitu memuakkan. Tercium aroma tembakau bercampur alkohol dari mulutnya. Hinata tahu, karena ayahnya pecandu alkohol.
"Nah, begitu." Kiba merasa senang dengan reaksi Hinata sekarang. Tepat seperti yang ia inginkan. Gadis itu tunduk, takluk, dan patuh.
"Kumohon... Kiba."
"Hmm... hmm..." Pria itu menyentuh kedua bahu Hinata yang telah menggigil. Ia meremasnya perlahan.
"Bu... bukan itu maksudku."
"Kau tidak ingin mati kedinginan, kan... Hinata?"
Tidak... Hinata ingin sekali mati. Kenapa mereka harus menyiksanya? Kenapa mereka tidak membunuhnya saja?
Hinata menggigit bibirnya, tapi jari Kiba yang dingin menyentuh bibirnya yang kini kering karena dingin.
"Aku kedinginan, Hinata. Kau juga kedinginan, kan? Kau tak mau membantuku? Bukankah guru berkata, kita harus saling membantu satu sama lain?"
Hinata tak bisa berkata apapun. Ia mengalihkan pandangannya, takut menatap Kiba. Di tengah ketakutan Hinata, pria itu sudah melepas seluruh seragamnya hingga hanya tersisa pakaian dalam saja. Pria itu juga tak ragu-ragu untuk merengkuhnya dan menjamahnya. Air mata Hinata mengalir setetes demi setetes. Dia bahkan tak bisa melenguh atau mendesah. Dia ingin menangis sesenggukan. Tidak. Dia ingin mendorongnya, menamparnya, lalu berteriak sangat kencang hingga mengguncang dunia. Namun tubuhnya yang lemah terasa sangat sakit. Bekas memar yang belum sembuh, kini bertambah. Bagian tubuh yang telah sembuh, kembali terasa sakit.
Malam itu di awal musim dingin, Hinata berjalan sendiri dengan tubuh penuh bercak. Seragamnya basah dan dengan langkah tertarih-tatih, Hanya seragam yang basah itu, yang ia miliki. Sepanjang jalan ia kedinginan dan orang-orang menatapnya dengan tatapan asing.
Langkah kaki Hinata terasa semakin berat. Entah karena rasa sakit akibat Shion menendang dan menginjaknya, atau karena udara semakin dingin.
Sekuat apapun Hinata melangkah, akhirnya ia jatuh juga. Di jalan beraspal yang dingin, di udara yang menusuk, di suhu rendah yang akan membekukan tubuh, gadis itu perlahan menutup matanya.
Apakah ia akan mati hari ini?
Dalam hatinya Hinata merasa bahagia. Jika itu yang terjadi, dia akan menyambutnya dengan senang hati. Kematian yang ia nantikan, kematian yang ia dambakan. Akhirnya saat itu datang juga.
Ketika Hinata membuka matanya, ia berpikir telah di surga. Ia yakin hal itu. Karena dialah yang selama ini menderita. Dialah korbannya dan tak ada orang yang menderita masuk neraka. Begitulah kata pastor yang memberi ceramah saat ia masih kecil. Saat itu keluarganya masih utuh dan lengkap. Betapa Hinata merindukan masa-masa itu.
Hinata sadar ia tidak berada di surga seperti yang diyakininya setelah melihat sosok pria dengan surai cepak pirang duduk di sampingnya. Ia mengenali pria itu. Naruto Uzumaki, guru di sekolahnya. Jika ia berada di surga, mungkinkah pria itu menyusulnya? Jika memang begitu, Hinata akan merasa sangat bersalah. Bahkan meski ia membenci dunia dan dunia membencinya, tapi dunia tidak membenci Naruto. Pria itu akhirnya mendapatkan pekerjaan yang diidamkan. Kedua orang tuanya yang seorang dokter menginginkan pria itu untuk meneruskan profesi mereka meski keduanya tahu Naruto sangat suka dengan dunia pendidikan. Akhirnya pria itu mengambil pendidikan dokter dan menjadi guru kesehatan sekaligus guru BK di SMA Uchida tempat Hinata bersekolah. Hinata tahu perjuangan dan rasa cinta Naruto pada dunia pendidikan. Jadi, apapun yang terjadi, bahkan jika Hinata mati, Naruto tak boleh mengikutinya.
“Ini di mana?” tanya Hinata berusaha bangkit, tapi dadanya terasa begitu sesak.
“Di rumah sakit,” kata Naruto. “Jangan memaksakan diri, Hinata.” Pria itu lalu mendorong bahu gadis itu perlahan agar kembali berbaring. Naruto lalu bercerita bahwa seseorang yang lewat membawanya ke rumah sakit. Nomor Naruto ada di angka 1 panggilan cepat. Karena itulah pria itu bisa berada di tempat ini. “Istirahatlah. Aku akan memberi surat ijin ke wali kelasmu agar kau bisa dirawat di rumah sakit.”
“Dirawat? Ti… tidak, Sensei. Aku harus pulang. Ayahku akan marah.” Hinata kembali berusaha beranjak. Ia telah berhasil duduk meski seluruh badannya terasa sakit. Tubuhnya telah kembali menghangat, tapi memar-memar itu terasa sakit ketika tubuhnya bergerak.
“Kau yakin, akan pulang? Bagaimana kalau kau pulang denganku saja?”
Hinata terdiam. Tawaran itu begitu menggoda. Naruto Sensei selalu baik padanya. Hanya pria itu saja yang baik dan memperlakukannya selayaknya manusia. Tentu Hinata ingin menerima tawaran itu. Ia juga ingin terlepas dari beban dan hidup dengan tenang. Ia ingin pergi dari semua bebannya. Namun bagaimanapun ia harus kembali pada kenyataan. Bahkan meski ia menginap di rumah Naruto Sensei, ia tetap harus pulang ke rumahnya. Ia juga tak mungkin tinggal terus menerus di rumah Sensei dan merepotkannya. Bahkan meski Hinata ingin kabur, ia tak bisa. Tak ada tempat yang bisa dikunjunginya, tak ada tempat baginya untuk bersembunyi. Bahkan jika ayahnya tak peduli padanya, akan ada seseorang yang selalu mencarinya hingga ia ditemukan.
“Ti… tidak, Sensei. Aku akan pulang.”
“Baiklah kalau begitu, tapi biarkan aku mengantarmu.”
Lalu Hinata mengangguk pelan.
Meski Hinata tak ingin, meski ayahnya terus marah, tapi ia tetap harus berangkat sekolah. Sekolah memang buruk, tapi tinggal saja dirumah akan membuatnya lebih buruk lagi. Meski begitu, Hinata tetap harus pulang setelah sekolah. Atau ayahnya akan menghukumnya dan menyiksanya lagi. Sekolah adalah pelarian dari rumah, dan rumah adalah kewajiban baginya untuk tetap tinggal meski tak ingin. Tak jarang, rumah menjadi tempat pelariannya dari segala penindasan di sekolah.
Hinata sungguh tak ingin hidup lagi. Jika Tuhan benar-benar ada, kenapa dia membiarkan seseorang yang lemah seperti Hinata diperlakukan seperti ini?
Pagi itu ia berangkat sekolah seperti biasa. Baju seragam satu-satunya yang kemarin kotor berhasil dicucinya meski warnanya sedikit menguning, entah karena apa. Seperti biasa, tatapan sinis Sakura dan komplotannya tertuju padanya. Mereka segera mengerubungi Hinata setelah gadis itu duduk.
“Jadi… bagaimana kemarin? Apa Kiba terasa nikmat?” tanya Sakura mengalungkan lengannya di tengkuk Hinata. “Kalian terlihat sangat serasi. Kau lebih baik bersamanya daripada dengan Sasuke.”
“Benar,” kata Sara. “Sasuke itu milik Sakura. Kau tidak akan memakan roti milik temanmu, kan?”
Shion yang tertawa mendengar ejekan teman-temannya tanpa sadar melihat Sasuke menghampiri kelas mereka. Ia segera memanggil teman-temannya dan mereka mendekati Sasuke yang kini muncul di depan kelas.
“Hai, Sasuke-kun,” sapa Sakura yang sikapnya berbanding terbalik dari sebelumnya. “Kudengar ada crroisant di kantin hari ini. Bagaimana kalau kita makan siang bersama?”
Namun Sasuke tak menanggapi dan hanya melewati Sakura. Pria itu berjalan tegap ke arah Hinata dengan segala tatapan tertuju padanya.
“Kau, ikut aku.”
“Ta… tapi kelas…”
Sasuke tak peduli dan segera menarik tangan Hinata. Pria itu membawanya keluar melewati Sakura dan gerombolannya yang menatap dengan kemarahan.
Hinata merintih setelah bahunya membentur dinding. Sasuke segera memenjarakannya dan memukul dinding samping gadis itu hingga membuatnya terkejut. Selalu begitu, kembali ke ruang olahraga sepi. Di mana Sasuke yang marah akan membawanya ke tempat ini.
“Kau… melakukannya dengan Kiba?”
“Sa… Sasuke… saat itu, aku…”
“Kau bahkan tak membiarkanku, tapi kau membiarkan Kiba?”
Hinata tak bisa mengatakan apapun. Ia hanya memalingkan wajahnya. Namun Sasuke tak suka diabaikan. Ia meremas paha Hinata yang tertutup rok selutut dan menariknya hingga membuat selangkan Hinata menyentuh miliknya.
“Katakan… kau dipaksa Kiba, kan? Kau bisa mengatakan padaku dan aku akan membantumu, Hinata.”
Gadis itu masih tidak menjawab. Hinata tahu yang dikatakan Sasuke adalah benar. Pria itu bisa saja membantunya. Lagipula dia punya pengaruh. Keluarganya pemilik yayasan yang menyokong sekolah ini. Mudah saja bagi Sasuke untuk mengeluarkan Kiba atau bahkan Sakura dan komplotannya.
Namun Hinata berpikir panjang. Apa dengan hal itu, lalu segalanya akan menjadi baik-baik saja? Untuk sekarang, mungkin Kiba dan komplotan Sakura adalah musuh terbesarnya. Namun pasti akan ada Kiba dan Sakura kedua, ketiga, dan seterusnya. Sasuke… Hinata juga tidak bisa mempercayai pria itu sepenuhnya. Bahkan meski Sasuke berkata akan membantu Hinata, tak ada yang bisa menjamin pria itu akan memperlakukannya dengan baik. Kalaupun Sasuke memperlakukannya dengan baik, bukan berarti orang-orang akan bersikap sama. Contohnya komplotan Sakura yang membencinya karena Sasuke secara terang-terangan mendekatinya.
Satu hal yang membuat Hinata tak ingin Sasuke membantunya. DIa tak ingin berhutang pada pria yang suka memaksa dan mengancamnya.
Namun bukan berarti Hinata bisa lepas dari cengkeraman Sasuke. Gadis itu begitu ringkih. Bahkan kekuatannya tak bisa mengalahkan tangan kekar pria itu. Yang bisa Hinata lalukan hanya merintih dan memohon agar Sasuke melepaskannya.
“Se… sebentar lagi kelas…” Tepat di tengah percakapan, bel sekolah menandakan jam pertama kelas dimulai, telah berbunyi. Hinata semakin panik. Ia ingin segera kembali ke kelas dan memohon pada pria itu. Namun Sasuke tak bergeming.
“Kenapa kau harus khawatir? Kau bisa bersekolah di sini karena uang ayahku. Tidakkah kau seharusnya berterima kasih padaku?”
“Sasuke… kumohon…” Hinata masih merintih, memohon dilepaskan. Mereka terlihat berseteru hingga tak menyadari ada seseorang di ruangan tersebut. Orang itu begerak, seperti sedang bangun dari tidur dan tak sengaja menendang kotak kayu berisi bola voli. Suara tendangan kecilnya terdengar dan mengejutkan Sasuke terutama Hinata. Ia takut seseorang akan melihat mereka.
“Siapa…” Sasuke menggertak dan tertegun ketika melihat pria itu menunjukkan dirinya. “Kakashi? Apa yang kau lakukan di sini?”
“Harusnya aku yang bertanya, apa yang kalian lakukan di jam kelas?” tanya pria itu dengan dua mata sayunya. Sepertinya ia baru saja bangun dari tidur. “Kalian tak mendengar bel jam pertama?”
“Ini bukan urusanmu!”
“Hoo, begitu. Baiklah, terserah kau kalau ingin tetap di sini, tapi aku perlu Hyuga. Dia harus diberi hukuman karena membolos dari kelasku.”
Sasuke menatap Hinata setengah melotot. Siapa yang akan menyangka kelas pertama Hinata diampu oleh Kakashi. Dengan setengah rela, Sasuke terpaksa melepas Hinata.
Setelah berjalan lebih jauh dari ruang olahraga, Hinata mengucapkan terima kasih pada Kakashi Sensei dengan suaranya yang lirih. Pria itu lalu menguap, tampak sisa kantuknya masih ada.
“Aku tidak membantumu, aku memanggilmu untuk membantuku membawa buku PR. Ingat! Ini hukuman.”
Meski Kakashi berkata begitu, tapi Hinata merasa lega. Dengan suara kecilnya, gadis itu berkata, “terima kasih, Sensei.”
Sepulang sekolah, Hinata tentu tidak bisa segera pulang. Ia juga tidak mengikuti ekskul. Ia akan dipanggil ke belakang sekolah oleh komplotan Sakura dan mereka akan menyuruhnya melakukan hal-hal yang membuat harga dirinya terluka. Sasuke kadang menyelamatkannya hanya untuk membuat Hinata masuk dalam lubang neraka yang lain. Pria itu akan memaksanya untuk menemani pria itu dan bahkan pergi dengannya hingga larut. Tak jarang pria itu mengajaknya ke tempat karaoke yang menyediakan minuman beralkohol. Anehnya penjaga atau pemilik tempat itu mengijinkan anak SMA memasuki tempat itu. Sepertinya pemiliknya mengenal Sasuke atau masih memiliki relasi dengan Uchiha. Hinata tak tahu dan tak mau tahu.
Hinata berharap ia bisa memiliki waktu untuk belajar dan untuk itu, ia memerlukan tempat yang lebih tenang dan pencahayaan yang lebih baik. Untungnya meski Sasuke terkadang suka memaksa, pria itu lumayan pengertian. Ia tahu Hinata memiliki pekerjaan sambilan sebagai kasir minimarket dan meski pria itu menawarkan uang untuk membiayai hidupnya (tentu saja sebagai gantinya Hinata harus berkencan dengannya), gadis itu menolak. Meski begitu, pada akhirnya Sasuke membiarkan Hinata kerja sambilan dan dia akan menunggunya di depan mini market bersama teman-temannya.
Sepulang bekerja, Sasuke akan menyeret Hinata ke tempat karaoke dan membuat gadis itu menemaninya hingga malam larut seperti hari ini. Ketika jam menunjukkan pukul 11 malam dan ia masih berada di tempat karaoke. Hinata dengan tangan Sasuke yang masih merangkulnya, keluar dari ruangan karaoke. Mata peraknya lalu membulat lebar ketika melihat sosok yang dikenalnya keluar dari bilik yang berbeda bersama seorang pria tua bertubuh tambun.
Sosok itu keluar dari karaoke dan pria itu tampak mabuk. Ia menggerayangi tubuh si gadis dan bahkan meremas pantatnya.
Hinata tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Ia meninggalkan Sasuke, membiarkan pria itu meneriakinya dan ia menarik lengan gadis itu.
“Hanabi!” Gadis itu, Hanabi, berbalik dan melihat wajah cemas kakak yang selalu dibencinya. “Apa yang kau lakukan di sini? Lalu…” Pria mabuk itu tampak tak suka melihat gadis yang bersamanya dihentikan oleh gadis lain.
Hanabi menyentak lengan Hinata. “Lepaskan. Ini tidak ada urusannya denganmu.”
“Ap… apa?” Hinata tergagap. Di saat begini, ia merutuk sikap takut dan ragu miliknya. “Ta… tapi. Kau… kau tidak mungkin, kan?”
Sesaat Sasuke pikir Hinata kabur darinya, sampai akhirnya ia tertegun melihat gadis itu tampak bersitegang dengan seorang gadis lain yang memiliki riasan tebal.
Hanabi menatap kakaknya dengan pandangan meremehkan. “Kenapa? Kau terkejut melihatku? Yah, silahkan terkejut tapi jangan mengganggu pekerjaanku.”
Menyadari Hanabi tak mengikutinya, pria pemabuk itu berjalan sempoyongan dan menarik Hanabi dengan kasar.
“Kenapa… hik, kau meninggalkanku? Kau ingin… hik, kabur, kan?”
Ekspresi Hanabi langsung berubah. “Oniichan, mana mungkin aku meninggalkanmu?” Hanabi lalu meninggalkan kakaknya tapi Hinata masih mencegah adiknya. Ia menarik lengan adiknya hingga membuat si pemabuk marah.
“Kau!” Si pemabuk awalnya ingin mendampratnya lagi, tapi ketika melihat wajah cantik Hinata yang terlihat lelah serta kantung matanya yang hitam, pria itu berubah. Ia mendekatinya dan bahkan menyentuh wajahnya. “Kau cantik sekali, hik… Kenapa tidak ikut dengan… kami?’
Bau alkohol yang menyengat membuat Hinata ingin muntah. Gadis itu mundur dengan panik hingga tak sadar telah menabrak perut Sasuke.
“Sa… Sasuke…”
Si pria pemabuk mendatangi Hinata dengan garang tapi tubuh besar Jugo membuatnya takut. Hanabi membantu pria pemabuk itu untuk melarikan diri. Ia bahkan tak peduli meski Hinata memanggil namanya.
Sebagai kakak, Hinata tak tahu bahwa adiknya menempuh jalan yang sama menyedihkannya. Meski Hanabi selalu memasang wajah ketus dan dingin padanya, tapi Hinata tahu bahwa ia baik-baik saja. Hinata tak masalah jika dirinya ditindas, tapi ia tak ingin Hanabi merasakal hal yang sama. Melihat adiknya baik-baik saja, ia merasa lega. Namun setelah melihat sisi gelapnya, Hinata tak tahu harus berkata apa. Ia merasa sangat buruk sebagai kakak.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Sasuke.
Hinata menggeleng. Mana mungkin ia baik-baik saja setelah melihat semua ini?
Namun ia justru berkata, “aku tidak apa-apa.”
“Itu hal yang biasa terjadi. Ayahku juga sering membawa yang seperti itu ke rumah dan ibuku juga melakukan hal yang sama.”
Sasuke tidak seharusnya berkata begitu, karena sekarang Hinata jadi membayangkan adiknya tidur bersama pemimpin yayasan. Sasuke sungguh tak bisa menenangkan orang yang sedang terpuruk dengan kata-katanya.
Hinata tak mengambil pusing dengan kata-kata Sasuke. Ia juga tidak protes atau marah. Ia tahu Sasuke hanyalah putra bungsu bergelimang harta yang selalu dimanja. Pria seperti itu takkan bisa mengerti perasaan kalutnya.
Meski Hinata merasa muak, ia membiarkan Sasuke mengantarnya sampai ke rumah. Untunglah ayahnya yang pemabuk itu telah tidur karena terlalu mabuk. Ia jadi bisa langsung ke kamar tanpa hambatan dan menguncinya. Setelah berada di kamarnya (satu-satunya ruangan yang rapi di rumah itu), ia menangis.
Tentu saja sejak kabar kencan Sasuke, Sakura jadi tak bisa terang-terangan menindas Hinata sepulang sekolah. Terlebih sejak kejadian bersama Kiba. Kiba yang suka pamer itu pasti berkata hal yang tidak-tidak. Sasuke menghajarnya hingga belur dan sejak saat itu, pria itu akan menjemputnya. Saat istirahat pun, Sasuke akan mengunjungi Hinata.
Satu-satunya yang bisa dilakukan Sakura untuk meluapkan amarahnya adalah di toilet wanita. Ia menyiramnya dengan air kotor bekas pel dan membuat Hinata harus ke UKS untuk meminta baju ganti. Di saat itulah Hinata bertemu dengan oasisnya. Pria yang selalu menjadi peneduh jiwa dalam segala masalah hidupnya. Pelarian, tempat bersembunyi, tempat bercurah. Guru kesehatan, Naruto Uzumaki. Pria itu menatapnya dengan pandangan cemas dan segera memberinya handuk.
“Kau mandilah, aku akan menyiapkan baju ganti,” kata Naruto mendorong Hinata ke kamar mandi. Ada sebuah kamar mandi kecil di ruang kesehatan karena sebelumnya ruangan itu adalah ruangan kepala sekolah. Setelah gedung sekolah direnovasi dan jumlah ruangan ditambah, ruang tersebut menjadi ruang kesehatan.
Hinata membersihkan dirinya. Entah mengapa ia mulai terbiasa dengan penindasan semacam ini karena ia pernah merasakan yang lebih buruk.
Selama membasahi tubuhnya dengan air, pikiran Hinata tertuju pada Hanabi. Pagi ini ia tak bertemu dengannya. Gadis itu berangkat sekolah lebih dulu. Hinata ingin sekali membicarakan masalah ini dengan Hanabi. Kenapa ia bisa melakukan pekerjaan seperti itu? Bukankah selama ini ia disayangi banyak orang? Bahkan Hiashi yang notaben ayah kandung keduanya, lebih suka memberi uang saku pada Hanabi dan tak pernah memukulinya.
Semua orang menyukai Hanabi. Gadis itu cantik dan paling mirip dengan Hiashi. Hinata sebenarnya juga cantik. Namun perawakannya yang lebih mirip Miwako, wanita yang pergi meninggalkan keluarganya demi laki-laki lain, membuat kebencian mereka pada wanita itu ditujukan kepada Hinata. Hiashi juga ikut membencinya dan selalu melampiaskan amarah padanya. Hinata pun menjadi samsak tak hanya di sekolah tapi juga di rumah.
Sejak Hiashi dipecat dari pekerjaannya dan menjadi pecandu alkohol, seluruh hidup ditanggung oleh adiknya, Hizashi. Namun keluarga Hyuga hanya ingin menyokong Hanabi saja. Mereka menyekolahkan Hanabi di sekolah yang lebih bergengsi daripada SMA Uchida. Barang-barang yang dimilikinya juga jauh lebih bagus dari milik Hinata. Tampaknya kebencian mereka akan Miwako sudah tak tertolong lagi. Bahkan meski Hinata adalah anak kandungnya, Hiashi setuju dengan keputusan itu. Ia sendiri tak berniat memperjuangkan Hinata ataupun menyekolahkannya. Beruntung gadis itu cerdas dan pintar belajar sejak kecil. Ia mendapat beasiswa dari SMA Uchida dan bersekolah di sana tanpa dipungut biaya.
Hinata merelakan dirinya diperlakukan demikian. Bahkan meski ia mengelak bahwa ia tidak mirip dengan ibunya, tentu tak bisa. Darah lebih kental dari pada air. Mau mengelak sekeras apapun Hinata tetaplah anak dari Miwako dan memberi luka pada semua orang karena kemiripan mereka.
… dan setelah semua pengorbanan itu. Setelah semua yang Hinata lakukan untuk mengalah dan membiarkan adiknya memiliki apa yang seharusnya menjadi miliknya juga, Hinata merasa sangat kecewa. Hanabi bahkan tidak menghargai dirinya sendiri. Lalu untuk apa selama ini Hinata mengalah?
Setelah mandi dan merasa lebih segar, Hinata mengenakan baju ganti di salah satu bilik tersembunyi. Ia melihat Naruto sedang memeriksa persediaan obat dan segera pergi tanpa memberi salam. Naruto menyadari Hinata akan pergi dan mencegahnya.
“Hinata… bagaimana kabarmu? Apa kau sudah membaik?” tanya pria itu. Terakhir kali mereka bertemu adalah saat ia dilarikan ke rumah sakit.
“Sa… saya baik-baik saja Sensei.”
Naruto terlihat kecewa. “Hinata, kau tahu kau tak perlu memanggilku sensei saat kita berdua saja.” Hinata masih tak bergeming. “Kenapa kau berubah? Katakan padaku.” Suaranya terdengar lembut, tak menuntut dan itu membuat Hinata menangis. Ia ingin sekali berlari ke pelukan pria itu dan mencurahkan segala isi hatinya seperti yang mereka lakukan sebelum-sebelumnya. Namun ia teringat perjanjian yang harus ditaatinya. Perjanjian untuk menjauh dari Naruto atau video percintaan mereka akan disebar dan pria itu dipecat dari pekerjaannya.
Pada akhirnya yang bisa Hinata lakukan adalah meminta maaf. Ia buru-buru keluar dari UKS dan menghilang dari pandangan Naruto.
Hinata bertemu dengan adiknya setelah pulang sekolah. Hiashi menghilang entah kemana. Mungkin minum bersama tetangga atau teman-temannya yang lain. Hanabi sedang menyantap makan malam ketika Hinata datang dan dia langsung pergi seakan tak ingin melihat wajahnya.
“Hanabi,” panggil Hinata. “Kita harus bicara.”
“Apa?” tanya gadis itu dengan tatapan sinis. Usianya 16 tahun, 2 tahun lebih muda dari Hinata tapi dia sudah menjajakan tubuhnya.
“Sebenarnya apa yang kau inginkan? Kenapa kau sampai…”
“Hah, masalah itu lagi.” Hanabi terlihat jengah. “Kau pikir berada dalam posisi yang tepat untuk menceramahiku? Lihat dirimu. Apa hidupmu sudah benar sampai kau bisa mengguruiku?”
Hinata merasa ditampar dengan sangat kencang. Ia merasa sedih, kecewa, sekaligus marah. Tidak hanya kepada Hanabi, tapi pada dirinya sendiri.
Hanabi tak membiarkannya berbicara sepatah katapun. Ia terus saja memaki Hinata. “Kudengar kau ditindas disekolah. Aku tidak tahu apa yang kau alami, tapi orang yang hidupnya menyedihkan sepertimu tidak pantas mengajariku tentang hidup.”
Hanabi segera berlalu. Ia merasa tak tahan harus berdiri di depan kakaknya. Gadis itu meninggalkan Hinata sendiri bersama dengan perasaan kalut yang berkecamuk luar biasa.
Kini Hinata hanya bisa tertunduk. Apakah dirinya memang sehina itu? Apakah ia memang semenjijikkan itu? Serendah itu? Semua orang membencinya, bahkan Hanabi. Jika begitu, lalu untuk apa dirinya dilahirkan? Untuk apa ia dibiarkan hidup hanya untuk mendapatkan perlakuan seperti ini?
Hinata merasa dia seharusnya mati.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰