Hidup Hinata bagaikan keluar dari neraka satu untuk masuk ke neraka lain. Tak ada satu haripun ia merasa tenang. Bahkan Sasuke yang seharusnya menjadi kekasih, justru ikut menyudutkannya. Di satu sisi ia berusaha lepas dari Naruto meski tak ingin.
Setelah mendengar pendapat Hanabi tentangnya, Hinata memutuskan untuk diam dan menjauh. Lagipula ia memang tidak pernah dianggap sebagai bagian dari Hyuga. Bahkan ayahnya sendiri tak ingin melihatnya. Adik yang menjadi anak kesayangan ayah juga pasti muak padanya.
Hinata berusaha sebisa mungkin tidak menunjukkan wajah dan bahkan sosoknya. Ia pergi sekolah pagi sekali sebelum mereka bangun dan kembali setelah mereka tidur. Ketika ia tak sengaja bertemu Hanabi atau ayahnya, ia akan segera lari atau berjalan mengendap-endap untuk menyamarkan sosoknya. Ia bahkan berusaha tidak meninggalkan jejak sedikitpun. Ia membawa piringnya sendiri ke kamar dan mengembalikan dalam keadaan bersih tanpa seorangpun tahu. Terkadang ia mendapat ramen instan atau makanan instan lain dari Tuan Chouza yang tanggal kadaluwarsanya sudah dekat, lalu menghabiskannya di luar sebelum ia pulang agar tidak meninggalkan sampah. Ia melakukan itu semua seakan untuk menyamarkan keberadaannya. Ayahnya membencinya dan Hanabi juga muak padanya. Mereka tidak akan peduli padanya, jadi untuk apa ia berusaha menjadi bagian dari Hyuga?
Jika saja Hinata memiliki tempat lain, ia tentu akan kabur dari tempat ini. Namun ia tak memilikinya. Tak ada seorangpun berada di pihaknya. Hyuga tidak menyukainya dan ibunya tak memiliki sanak keluarga lain. Hinata benar-benar sendirian.
Di sekolah, kehidupannya juga masih jauh dari kata tenang. Rasa tidak suka Sakura padanya semakin menjadi-jadi. Tak hanya memasukkan paku ke kotak sepatunya, tapi juga cacing, lumpur, belatung, dan makhluk hidup menjijikkan lainnya. Hinata tentu tidak bisa memakainya. Jika ia menggunakannya, lantai sekolah akan kotor. Jadi, dengan masih berbalut kaus kaki, ia ke toilet untuk mencuci sepatunya. Di situ, telah menunggu Sakura dan gengnya yang segera mendorong Hinata dan menguncinya bilik WC. Mereka menyiramnya dengan air lalu meninggalkan Hinata.
Tak peduli seberapa keras gadis itu berteriak memohon dan meminta tolong, tak ada yang mendengar. Pintu luar toilet wanita ditutup rapat dan pemberitahuan toilet rusak pun terpasang.
Hinata masih meraung-raung. Ia berteriak hingga bel jam pertama berbunyi. Gadis itu tertegun. Ia telah melewatkan jam kelas berharganya.
Sudah terlambat untuk menyusul. Ia juga tidak tahu apakah bisa keluar dari tempat itu dalam waktu singkat.
Gadis itu menangis. Ia tak lagi memohon bantuan, tapi ia menyimpan amarah. Ia memukul pintu, mendobraknya berkali-kali sebelum akhirnya tersadar bahwa bilik itu adalah properti sekolah. Bahkan jika ia sangat kuat hingga bisa membuka pintu itu, ia mungkin harus mengganti kerusakan jika melampiaskan amarahnya di sini. Sangat menyebalkan.
Hinata mencoba menenangkan diri. Sudah terlambat untuk kembali, apalagi kelas hari ini adalah Kurenai Sensei yang galak. Ia mungkin tidak akan selamat. Lebih baik keluar dari toilet, mencuci sepatunya yang kotor, lalu mandi dan mengganti seragam di UKS. Dia tidak berharap bertemu Naruto. Hinata takut jika bertemu dengannya lagi, ia mungkin akan luluh dan pada akhirnya akan kembali jatuh ke pelukannya meski dia sangat ingin.
Gadis itu menjernihkan pikirannya. Ia melihat sekeliling. Bilik WC itu cukup tinggi. Hinata bisa saja menaiki WC, tapi ia tak yakin bisa melompat. Kemampuan atletiknya sangat payah. Namun ia tak mungkin mendekam di tempat itu selamanya.
Akhirnya Hinata memaksakan diri. Dia melompat lalu jatuh, dan melompat lagi beberapa kali. Menaikkan kakinya ke dinding bilik dan dengan sekuat tenaga berhasil di atas bilik. Ia turun dengan melompat ke lantai. Karena tak berhati-hati, kakinya terkilir dan lututnya lecet.
Hinata berjalan tertatih-tatih menuju pintu. Seperti yang ia duga, pintu itu dikunci dari luar. Gadis itu menghela napas panjang. Ia beralih pada jendela. Syukurlah, ia berada di lantai satu. Jendela toilet mengarah ke lapangan sepak bola. Hinata tertegun ketika melihat Sasuke ada di sana. Rupanya kelas Sasuke sedang jam olahraga.
Gadis itu memilih fokus pada tujuannya. Dia mengambil kembali sepatunya yang kotor dan mencucinya hingga bersih. Noda sisa lumpur masih ada, tapi itu masih lebih baik daripada tidak sama sekali. Ia mengambil tasnya yang terjatuh. lalu pergi lewat jendela. Kali ini ia bisa menaikinya dengan mudah karena jendelanya cukup rendah. Ia melihat Sasuke memunggunginya, fokus dengan pertandingan sepak bola sederhana.
Kaki Hinata menenteng sepatu dan masuk lagi dari pintu depan. Ia segera menuju UKS. Kakinya yang terkilir tadi, entah mengapa semakin sakit. Sayangnya saat Hinata datang, Naruto ada di sana. Lagi-lagi pria itu mendekatinya dengan wajah khawatir. Apalagi Hinata datang dengan basah kuyup.
“Kau baik-baik saja? Sakura menindasmu lagi? Astaga anak itu…”
Suara Naruto yang menggeram marah membuat jantung Hinata berdebar tak karuan. Betapa ia ingin menangis di pelukan pria itu, ingin mencurahkan kekesalan dan kemarahannya. Ingin menceritakan adiknya yang memilih jalan yang salah dan semua keluh kesahnya. Namun ia tak bisa. Ia sudah berjanji pada Sasuke.
Hinata hanya diam saja ketika Naruto mendorongnya ke kamar mandi UKS dan bahkan memberinya handuk.
“Aku akan menyiapkan baju untukmu,” kata Naruto sebelum Hinata menutup pintu kamar mandi.
Saat Hinata keluar, Naruto menunggu di bilik tempat Hinata biasa mengganti bajunya. Di samping pria itu ada seragam ganti yang bisa digunakan gadis itu.
Hinata merasa canggung. Naruto diam di sana dan terus menatapnya. Pria itu lalu memindahkan seragam itu di belakangnya.
“Kita harus bicara, Hinata. Kau terus menghindariku. Ada apa?”
Hinata tak menjawab. Ia menundukkan kepalanya. Naruto segera menarik pinggang Hinata untuk mendekat. Balutan handuknya hampir terlepas.
Pria itu berkata lagi, “kau tahu kalau aku mencintaimu, kan? Aku akan lakukan apapun demi kau seperti yang selama ini kulakukan.”
“Se… sensei…” panggil Hinata ragu.
“Kenapa kau masih memanggilku Sensei? Kemana ‘Naruto-kun’ yang dulu selalu kau ucapkan ketika memanggilku?”
Hinata tahu, tak hanya fisiknya yang lemah, hatinya juga lemah. Mendengar suara Naruto yang begitu perhatian padanya, mendengar suara beratnya bernada rendah memanggil namanya, membuat dirinya terhanyut. Mungkin karena akhir-akhir ini hidupnya jauh lebih sulit dari biasanya, jadi hanya dengan suara Naruto saja sudah cukup membuatnya tergugah. Ekspresinya tak bisa terbendung lagi untuk menangis. Perlahan gadis itu mengucap nama Naruto dengan lirih dan pria itu menyambutnya dengan pelukan.
“Maaf, Naruto-kun. Sebentar saja… sebentar saja…”
Gadis itu duduk di pangkuan Naruto dan memeluknya. Pria itu juga memeluknya dengan erat.
“Kau tahu, kau bisa bercerita padaku, kan? Aku akan mendengarkannya dengan senang hati.”
Hinata menganggukkan kepala dan menangis dalam pelukan Naruto.
“Hoi, Kiba! Ambil bolanya!”
Kiba mengambil bola yang keluar dari lapangan. Bola itu membentur dinding. Pria itu mengambilnya dan entah mengapa penasaran dengan jendela di ruangan itu. Ia mengintipnya dan tercengang. Mata pria itu melihat Hinata berada di UKS dalam keadaan telanjang dengan Naruto yang memangkunya, tampak menghisap payudaranya. Pria itu terlalu tercengang, hingga tak sadar dengan keberadaan Kakashi di belakangnya.
“Apa yang kau lakukan?” tanya pria itu mengejutkan Kiba.
“Ka… Kakashi Sensei! Ti… tidak apa-apa.” Kiba segera berlari menuju lapangan.
Entah apa yang dilakukan Kakashi saat ini hingga ia bisa berada di lapangan sekolah. Ia mengamati jendela UKS yang menunjukkan adegan erotis guru kesehatan dan siswanya. Pria itu terdiam sejenak dan memandang lapangan sepak bola. Ia melihat Might Guy ada di seberang lapangan, melambaikan tangan padanya. Ia juga membalas lambaian tangan pria itu. Kakashi masih berdiri di depan jendela UKS, mengamati anak-anak bermain sepak bola. Bola yang terkadang datang mendekat ditepisnya dengan kaki dan dilemparnya kembali ke lapangan. Terkadang anak-anak yang tak sengaja mendekat karena posisi bermain menyapanya dengan hormat. Ketika ia melihat sosok Hinata tak lagi ada di UKS, pria itu pergi.
Hinata pulang hari itu dengan perasaan yang jauh lebih baik. Bertemu dengan Naruto membuatnya merasa tenang. Entah mengapa hari ini Sasuke tak menunjukkan batang hidungnya. Sakura dan gengnya juga tak terlihat setelah jam istirahat selesai, ketika Hinata masuk ke kelas. Mungkin mereka membolos? Entahlah, Hinata tak peduli. Justru lebih baik jika mereka tak terlihat. Hari itu, Hinata merasa diberi kesempatan belajar sangat bebas.
Ketika Hinata sampai di rumah, ia melihat seluruh rumah berantakan. Ayahnya terlihat panik dan membuka seluruh laci, kabinet dan semua tempat penyimpanan.
“Sial!” umpat Hiashi memaki entah pada siapa.
Hinata terpaku, diam di sana. Ia melihat ayahnya yang panik berjalan dengan gusar ke arahnya.
“Kau punya uang dari Si Chouza itu, kan? Cepat berikan padaku. Aku harus ke Kakuzu hari ini.”
Kakuzu adalah renternir sekaligus pemilik tempat judi yang cukup ternama. Rupanya akhir-akhir ini Hiashi pergi ke sana.
Hinata tergugup. Bentakan Hiashi membuatnya ketakutan. “Ti… tidak. Aku tidak punya uang.”
“Bohong! Aku tahu Si Chouza itu memberimu banyak uang. Cepat berikan!”
“A… ayah, aku sungguh tak punya. Tuan Chouza belum memberiku…”
“Sial!” Hiashi membanting vas di sebelah Hinata dan membuatnya terkejut. “Wanita itu datang dan mengambil semua uang yang kusimpan. Si jalang itu!”
Mata Hinata terbelalak. Ia segera berlari menuju kamarnya dan melihat ruangan itu berantakan. Kotak permen besi usang yang ia gunakan untuk menyimpan uang, telah terbuka dan isinya kosong.
Hinata menatap kotak itu dengan nanar. Ia menyimpan uang itu sedikit demi sedikit untuk bisa pindah dari kota ini setelah lulus. Meski terdengar tak mungkin, apalagi ia hanya bekerja di mini market, tapi Hinata berusaha sangat keras. Sekarang usahanya itu hilang sia-sia berkat wanita yang dipanggilnya ‘ibu’.
“Jadi kau menyimpan uang selama ini?” suara ayahnya menyindir, mengejutkan Hinata. Pria itu telah berdiri di depan pintu kamarnya. “Aku tahu kau menyimpannya di tempat lain, iya kan?” Pria itu berjalan dengan garang dan Hinata mundur ketakutan.
‘Ti… tidak, Ayah. Aku sungguh…” dan sebuah gamparan keras mengenai kepalanya. Hinata terhuyung sesaat sampai tangannya menyentuh rak sepatu untuk menopang tubuh.
“Bajingan! Kau tak ada bedanya dengan ibumu. Penipu! Pembohong! Berikan uangnya padaku! BERIKAN!” Hiashi memukul hingga Hinata tersungkur, menendang hingga tubuh mungil Hinata meringkuk. Puas melampiaskan amarah dan gadis itu tak bergerak, Hiashi membongkar kamarnya. Mengangkat ranjang dan membantingnya hingga patah, mengeluarkan semua pakaian, melepas laci, membuka lemari. Semua barang yang tersimpan dan tersembunyi dikeluarkannya tapi ia tak melihat sepeserpun uang.
“Sial. Tak ada satupun yang benar di rumah ini.” Pria itu pun pergi, meninggalkan Hinata yang terkulai lemas dan pingsan.
Gadis itu terbangun ketika hari beranjak malam. Tubuhnya terasa sakit hingga ia tak bisa bergerak sedikitpun. Lampu kamarnya belum dinyalakan dan hanya cahaya bulan saja yang masuk melalui jendela. Namun Hinata yakin, kamarnya saat ini bagaikan habis diterjang tornado. Dengan tubuhnya sekarang, ia tidak mampu membereskan kamar itu sendirian.
Hinata tertatih-tatih menutup pintu kamarnya. Cahaya bulan malam membuat Hinata masih bisa melihat bentuk ranjangnya yang patah. Bagian tengahnya ambruk dan menimbukan cekungan di tengah.
Hinata ingin tidur di kasur yang empuk, tapi kondisi ranjangnya tidak memungkinkan untuk digunakan. Akhirnya ia menarik selimut tebal miliknya dan menghamparkan benda itu di lantai. Gadis itupun tidur di atasnya, berharap ia telah mati dan pergi ke surga pagi harinya.
Sepanjang malam, memejamkan matanya, Hinata bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Jika ia ditemukan mati besok pagi, apakah Hiashi dan Hanabi akan menangisinya? Sepertinya tidak. Namun Hinata yakin Naruto Sensei akan sedih dan merasa kehilangan. Ketika mengingat Naruto, jantung Hinata berdegup kencang. Ia menangis. Hinata ingin sekali mati. Dengan begitu semua penderitaannya akan berakhir. Namun begitu ia mengingat wajah pria yang dicintainya, semua keinginan itu menghilang. Ia tak sanggup jika harus melihat wajah sedih pria itu dari alam sana.
Pada akhirnya yang bisa diucapkan Hinata dalam tidurnya yang penuh kesakitan hanyalah nama Naruto. Betapa ia ingin kabur, ingin pergi menemuinya. Namun kakinya terlalu lemah untuk berjalan, punggungnya terlalu sakit untuk menopang tubuh. Hinata terus terlelap dalam penderitaan hingga keesokan paginya.
Meski malam itu tubuhnya terasa mati rasa, Hinata tetap harus pergi sekolah. Ia tidak bisa kehilangan beasiswanya. Jadi, ia memaksakan diri untuk tetap berangkat. Tubuhnya sudah tak sesakit sebelumnya, tapi ketika ia bergerak terlalu heboh, seperti berlari atau memutar punggung, seluruh tubuhnya akan sakit. Gadis itu berjalan dengan pelan dan sampai di sekolah dengan selamat meski hampir terlambat.
Ketika Hinata sampai di kelasnya, Sasuke sudah duduk di atas mejanya. Pria itu memandangnya dengan garang dan lagi-lagi menyeretnya pergi dari kelas. Sasuke kembali memenjarakannya di ruang alat olahraga.
Gadis itu merintih merasakan punggungnya membentur dinding. Namun Sasuke tak peduli lagi.
“Bukankah sudah kukatakan untuk menjauhi bajingan itu?” bentaknya. “Kau sungguh ingin rekaman itu kusebar, hm?”
Hinata mendelik ketakutan. Bibirnya bergetar menyebut nama Sasuke. “A… aku tidak mengerti apa yang kau…”
“Bohong! Kau pikir aku tidak tahu? Kau dan bajingan itu bercinta di UKS. Ya, kan?”
Gadis itu merasa sulit menelan ludah. Ia terus menghindari tatapan Sasuke, tapi justru membuat pria itu semakin gusar. “JAWAB AKU!”
Hinata tak bisa berkata apapun karena sangat takut dengan suara menggelegar Sasuke. Pria itu kehilangan kesabaran dan membanting Hinata di matras. Gadis itu mengerang dan belum sempat ia beranjak, Sasuke sudah menindihnya serta mencengkeram kedua tangannya.
“Sa… Sasuke, tung…” Namun pria itu tak peduli. Ia mengoyak seragam Hinata, melepaskannya dengan terpaksa, berusaha mencumbunya meski gadis itu meronta. Namun kekuatannya jauh lebih besar dari Hinata. Ia menahan kedua tangan Hinata dan mencumbui sekujur tubuhnya yang tidak tertutup seragam. Seragam Hinata masih bertahan di sana, meski kancing bajunya terlepas. Pria itu tak melihat lebam tubuh gadis mungil di bawahnya dan terus menjilat, mengulum.
Hinata tak mendesah. Tak mungkin ia mendesah. Ia kesakitan karena gerakan hebatnya untuk meronta membuat luka-luka yang diberikan Hiashi semalam semakin meradang.
“Kumohon, Sasuke…” Ia mulai terdengar menangis. Namun pria itu masih tidak peduli. Bahkan meski Hinata berkata berkali-kali bahwa ia akan menjauhi Naruto, Sasuke masih tidak peduli.
Bel jam pertama berbunyi dan Sasuke masih merisak Hinata. Air mata yang turun dengan deras, erangan meronta kesakitan, warna lebam di perut, paha, pipi, semua itu tak dilihatnya sama sekali karen pria itu terbutakan amarah.
Sasuke mendengar cerita Kiba tentang apa yang ia lihat di UKS kemarin. Berkat itu ia menjadi geram. Namun ketika mendatangi kelas Hinata, Sakura mengatakan bahwa gadis itu pulang ke rumah lalu menyeretnya pergi membolos. Sepanjang hari pria itu terus memikirkan penghianatan Hinata hingga akhirnya ia bertemu dengan gadis itu pagi ini dan menidurinya.
Sasuke baru selesai setelah jam kedua berakhir. Hinata bolos dua jam pelajaran dan ia merasa sangat marah. Namun seluruh tubuhnya sakit dan lemas. Ia tidak bisa melakukan apapun selain menangis. Bahkan untuk mendorong dan menampar Sasuke saja ia tak mampu.
“Kau menangisi bajingan tak berguna itu? Sudah kukatakan, berhenti mencemaskan hal tak penting. Ayahku pemilik sekolah ini. Asal kau denganku, hidupmu akan baik-baik saja.”
Namun tak ada jawaban. Sasuke membetulkan kancing kemejanya dan membiarkan Hinata meringkuk di atas matras dengan tubuh telanjang tertutupi kemejanya sendiri dan kancing yang koyak.
Sasuke tak banyak bicara. Hinata masih saja menangisi absensi, pelajaran, yang tidak akan berguna jika punya uang. Padahal ia bisa saja ikut jalan yang nyaman dengan mengikuti semua keinginan Sasuke, tapi gadis itu justru memilih jalan tersulit. Sasuke tak mengerti. Apa yang sebenarnya gadis itu kejar? Bukankah semua gadis menginginkan ketampanan dan kekayaannya?
Sebelum pria itu pergi, ia melihat memar di pinggul Hinata. Ia segera memalingkan wajahnya. Entah apa yang dipikirkan.
Hinata terpaksa masuk kelas meski ia merasa tubuhnya hancur bagaikan vas retak berkeping-keping yang ditempel satu persatu dengan perekat. Dia masuk di saat Guru Orochimaru sudah masuk dan tentu saja mendapat ujaran sinis dari pria itu. Semua orang menatapnya. Hinata tak tahu, apakah mereka menatapnya dengan rasa kasihan, atau justru rasa benci dan risih. Ia berusaha membuka buku biologi yang saat dikeluarkan penuh dengan cairan lengket berwarna hijau-bening.
Hinata menahan diri. Hanya itu buku miliknya yang tersisa. Ia harus menabung dua bulan lagi untuk membeli buku itu. Ia berpikir, akan membersihkannya di lapangan saat istirahat. Mungkin sinar matahari bisa membantunya mengeringkan buku itu. Namun beberapa menit setelah Hinata memikirkan rencana itu, langit mendung menurunkan tetesan hujan. Gadis itu menghela napas panjangnya. Bahkan alam pun membencinya.
Sepanjang hari itu hujan turun cukup deras. Namun itu berhenti setelah jam sekolah selesai. Hinata terpaksa membawa kembali buku biologi menjijikkan itu ke dalam tasnya. Lalu ia mendengar gelak tawa Sakura dan gengnya. Lagi-lagi ia bersikap tuli dan tak mempedulikan mereka. Beruntung kelasnya lebih dulu keluar daripada kelas Sasuke. Jadi, ia bisa pergi lebih dulu tanpa harus ditarik pria itu kemanapun.
Hinata pikir ia bisa bebas atau setidaknya bernapas dengan lega untuk sementara. Siapa sangka wanita yang telah menghancurkan keluarga dan hidupnya itu muncul di depan gerbang sekolah. Ia juga datang bersama seorang pria dengan semir perak dan lidah bertindik, pacarnya.
“Hinata putrikuuuuuu!” Wanita itu, Miwako tiba-tiba datang dan memeluk Hinata. “Cantik sekali, putriku ini. Kabarmu baik, kan?” Miwako datang dengan pakaian mewah yang terlihat norak di tubuhnya. Topi lebar berwarna merah, mantel bulu berwarna pink, sepatu boots warna ungu dan pakaian yang entah apa namanya tapi menunjukkan belahan dada dan paha. Riasannya tebal dan kaca mata hitam di wajahnya.
Melihatnya saja membuat Hinata muak.
Baik? Wanita ini buta, ya? Pikir Hinata menahan marah. Apa wanita itu tak melihat bagaimana seluruh lebam yang ada di tangan dan pipinya? Apa wanita itu tak melihat baju lusuh penuh dengan peniti karena seragam cadangan UKS habis? Apa wanita itu tak mencium bau busuk dari tasnya berkat buku biologi yang terendam lendir menjijikkan?
Benar, juga. Lagipula sejak kapan wanita itu peduli padanya?
“Apa maumu?”
Miwako mengulas senyum. “Tak sia-sia putriku bersekolah di tempat sebagus ini. Dia sangat pintar.” Lalu wanita itu mengulurkan tangan. “Aku minta uang. Aku tahu kau dapat pekerjaan, jadi kau pasti banyak uang, kan?”
Rahang Hinata menggemeretak. Entah kemarahan sebesar apa yang berhasil ia keluarkan dari tubuh yang penuh kesakitan ini. Mungkin karena ia sudah lelah, mungkin karena semua stres dan tekanan yang ia alami sejak pagi memberikan amarah hebat padanya. Gadis itu melepas tasnya dan mengayun kencang menampar wajah Miwako hingga kaca mata hitamnya terlepas.
“Semua uangku telah kau ambil, bangsat!” Ini pertama kalinya Hinata mengumpat, tapi ekspresi Miwako sama sekali tak bergeming.
“Tidak mungkin… kau pasti punya, kan? Masa’ 100 Yen saja tidak ada?” Tiba-tiba wanita itu terdiam. “Ah… jangan bilang uang beasiswamu ditahan sekolah ini? Kurang ajar. Beraninya menindas putri Miwako!” Wanita itu lalu mencoba merangkul Hinata, “ayo kita temui kepala sekolahmu dan menuntutnya. Kau tidak boleh diam saja jika uang beasiswamu diambil orang lain.”
Hinata semakin meradang. Sekolah ini bahkan tak memberinya sepeserpun uang. Ia hanya dibebaskan dari uang sekolah, makanan kantin, seragam, buku, dan study tour. Di luar itu, ia harus menggunakan uangnya sendiri. Karena itulah ia bekerja, apalagi kalau bukan untuk mengganti seragamnya atau membeli ulang buku-bukunya yang rusak. Entah sejak kapan terakhir kali ia makan masakan rumahan karena Hiashi tidak pernah memasak, apalagi Hanabi yang selalu pergi. Jadi, ia makan dari uang hasil kerja sambilannya.
Wanita itu sama sekali tak tahu dan hanya berpikir yang enak-enak saja. Membuat Hinata muak, membuat gadis itu benci.
Hinata berusaha keras melepaskan cengkeraman Miwako yang menyeretnya memasuki sekolah lebih dalam. Energinya yang luar biasa tadi telah terkuras dan ia kembali tak bisa menghadapi cengkeraman kuat Miwako. Sampai akhirnya keduanya terpisah, Hinata tertarik kencang oleh lengang kekar seorang pria. Sasuke berdiri membelakangi Hinata. Tubuhnya yg kekar tinggi menjadi tameng bagi gadis itu.
“Oho! Siapa ini?” tanya Miwako dengan pipinya yang bersemu.
“Harusnya aku bertanya, siapa kau menyeret Hinata?” Sasuke mendelik menatap wanita berkacamata hitam di depannya.
Miwako justru melirik Hinata. “Putriku. Tak hanya bersekolah di tempat yang bagus, kau juga berkencan dengan pemuda tampan kaya raya, rupanya.” Mata wanita itu melirik ke arah jam tangan mahal milik Sasuke dengan tatapan menggoda.
“Pu…tri?”
“Ya. Pacarmu adalah anakku. Kau harus berterima kasih padaku, anak muda. Karena kecantikannya berasal dariku.” Miwako beralih pada putrinya. “Sayangnya ini buka sesi pertemuan mertua dan menantu. Hinata, tunjukkan padaku ruang kepala sekolah. Kita harus mengambil uang beasiswamu yang diambil.”
“Uang beasiswa?” Alis Sasuke mengkerut heran. Meski seorang putra bungsu dan bahkan sering menarik Hinata untuk membolos, ia tahu bahwa uang beasiswa Hinata tidak pernah diberikan dan bentuk uang tunai. Dengan Hinata yang masih bisa bersekolah saja sudah membuktikan bahwa kebutuhannya di sekolah, mulai dari buku, seragam, dan kegiatan sekolah telah terpenuhi dengan baik. “Apa maksudmu?”
“Sasuke!” sergah Hinata. “Pergilah, kumohon!”
“Ah, benar juga!” Miwako tiba-tiba teringat sesuatu. “Daripada meminta pada kepala sekolah, kenapa kau tidak minta pada pacarmu saja, anakku?”
Sasuke masih tidak mengerti ucapan Miwako sedari tadi dan meski Hinata menyuruhnya pergi, dia tetap tak bergeming. Ini pertama kalinya ia melihat ibu Hinata dan ia merasa aneh. Sama halnya seperti ketika ia melihat adik gadis itu. Malam itu, ia membiarkan Hinata pulang sendiri, tapi kali ini ia tak akan membiarkannya sendirian. Sasuke juga tahu, ia masih marah dengan Hinata yang kembali bercinta dengan Guru UKS bangsat itu. Namun ia tetap tak bisa membiarkan gadis yang dicintainya terlihat lemah karena orang lain.
“Aku tidak suka bertele-tele. Katakan apa maumu!”
“Sasuke!” Hinata masih menyanggah. Ia bahkan menarik kemeja Sasuke agar pria itu pergi, tapi tubuh kokohnya tak bergeming.
“Hmm, aku langsung suka karaktermu yang begitu anak muda. Aku akan merestui kalian kalau kau memberiku 500.000 Yen.”
“500.000 Yen? Apa dia gila? Bisa-bisanya merampok anak SMA.”
“Tapi itu Sasuke Uchiha. 500.000 Yen uang yang kecil baginya?”
“Aku tidak yakin. Apa pria itu mau memberikan uang sebesar itu untuk gadis menjijikkan seperti Hinata?”
“Hinata Hyuga. Tidak hanya miskin ternyata keluarganya juga busuk.”
Semua orang memperhatikan mereka dan suara-suara mereka terdengar ditelinga Hinata. Kini ia semakin tak memiliki kekuatan. Gadis itu merasa ingin segera menghilang dari bumi. Tangan kecilnya menggenggam kemeja Sasuke dengan sangat erat dan merintih meminta pria itu untuk pergi. Namun Sasuke masih tak juga bergeming.
“Tidak punya? Tidak bisa?” tanya Miwako bernada mengejek. “Atau kau ingin kabur? Kalau kau tidak punya, kau bisa memberikanku jam itu.” Mata berbinar Miwako tertuju pada jam tangan mahal milik Sasuke.
Pria itu lalu mendengus kecil. Dengan gerak tangan yang cepat, ia mengeluarkan dompetnya dan melempar black card miliknya ke tanah.
“Sasuke!” Hinata memekik. Ia berusaha mengambil kartu itu tapi kalah cepat oleh Miwako yang menjerit kegirangan.
“Apa ini cukup?” tanya Sasuke.
“Terima kasih, menantu. Aku akan habiskan dengan baik.” Wanita itu mencium kartu itu lalu pergi dengan riang. Ia memeluk pria asing di depannya dan pergi dari tempat itu.
Hinata menatap nanar semua kejadian itu. Kini ia menggeram dan tatapannya menyalang tajam menatap Sasuke. Dengan sedikit kekuatan tersisa, ia menarik lengan Sasuke dan pergi dari tempat itu ke tempat yang lebih terpencil dna jauh dari kerumunan.
“Kenapa? Kenapa kau memberikannya! Ini bukan urusanmu, Sasuke… BERHENTI MENCAMPURI URUSANKU!”
Sasuke tertegun. Ini pertama kalinya ia melihat Hinata berteriak padanya. Untuk pertama kalinya juga pria itu memperhatikan wajah lusuh dan badan penuh memar ditubuh Hinata. Tidak mungkin ini karena dia menidurinya tadi pagi, kan?
Namun Sasuke tetap bersikap dengan keangkuhannya. “Itu hanya sebuah kartu, Hinata. Wajar bagi seorang kekasih memberikan…”
“KAU BUKAN KEKASIHKU!”
Sasuke tertegun dengan mata membelalak dan Hinata yang menatapnya tak gentar. “Apa kau bahkan tahu penderitaanku? Apa kau tahu kalau kau adalah sumber dari semua kemalanganku? Kau kasar, emosional dan hanya ingin tidur denganku saja. Apa itu yang namanya kekasih?”
“Kalau begitu katakan padaku! Kau bahkan tidak pernah memberitahuku satupun tentangmu.”
“Apa kau bahkan pernah mendengarkanku? Kau yang hanya bergerak sesuai emosimu saja tidak akan pernah mengerti apalagi mendengarkanku. Itulah kenapa aku tidak ingin berhutang padamu. Aku tidak ingin kau mencampuri urusanku dan mengganggu hidupku karena kau takkan pernah mengerti! Kau tenang saja. Semua yang kau berikan padaku, aku akan membayarnya!” Suaranya terdengar tegas dan tak gentar meski mata peraknya bergetar, meski tubuhnya menggigil, meski rahangnya bergemeretak. “Aku akan membayarnya meski harus menjual tubuhku sendiri.”
Kini tatapan Sasuke menyalang. Dia benci ini. Kenapa gadis ini selalu saja menghindar darinya dan bahkan memusuhinya. Ia begitu frustrasi. Bagaimana agar gadis itu menyambut perasaannyaa? Bagaimana agar dia takluk dan tunduk padanya? Sasuke tak mengerti. Dulu ia bersikap lembut dan konservatif karena berpikir gadis itu adalah gadis baik-baik yang tak pernah berpikir kotor sekalipun. Namun setelah mengetahui hubungan gelap Hinata dengan Naruto, apakah salah jika Sasuke berpikir Hinata adalah gadis yang binal. Dia hanya terlihat baik di luar tapi seperti pelacur di belakang.
Sasuke mencoba bersabar. Toh ia tak ingin dianggap kasar dan bergerak atas dasar emosi seperti yang dikatakan gadis itu tadi.
“Hinata, kau tak perlu membayarnya, kau hanya perlu…”
“Aku tidak mau! Sampai matipun aku tidak mau denganmu! Karena kau, hidupku hancur. Karena kau…”
“Benar.” Persetan kesabaran. Kini setelah sedikit kekacauan itu pergi dan Hinata kembali dengan sikapnya yang anti-Sasuke, membuat pria itu mengenyahkan rasa sabarnya. “Karena aku, hidupmu hancur. Jadi, kau ingin menolakku lagi karena aku menghancurkan hidupmu? Karena aku memberi ibumu kartu kreditku? Kau tak ingin berhutang padaku dan kau lebih menjual diri dengan tidur bersama pria lai daripada tidur denganku? Ya, tolak aku, singkirkan aku, lalu kusebarkan video itu.”
Hinata segera terdiam tak bergerak. Ia juga tak bergeming sedikitpun. “Kenapa?” tanya Sasuke. “Kau terlihat terkejut. Bukankah hidupmu sudah hancur? Jika kuhancurkan lagi tidak ada bedanya, kan?”
Dalam video yang direkam Sasuke, ada Naruto. Satu-satunya guru pria dengan potongan rambut pirang cepak di sekolah ini. Kalau video itu disebar, Naruto bisa kehilangan pekerjaannya. Itulah alasan Hinata terus bertahan di tengah semua neraka ini.
Sasuke mendekatinya perlahan, mengusap wajah kecilnya. Seringainya merekah ketika melihat tubuh kecil gadis itu bergidik ketakutan. Inilah yang diharapkannya. Inilah yang diinginkannya. Hinata takluk, Hinata tunduk padanya.
“Hinata…” kata pria itu dengan ujung jemari menyentuh kulit dingin gadis itu. “Aku sangat mencintaimu. Kau tahu apa yang harus kau lakukan, kan?”
Tidak. Hinata tidak tahu. Ia tidak tahu keinginan Sasuke, ia tidak tahu kenapa pria itu bisa mencintainya. Ia hanyalah anak miskin dari keluarga yang hancur berantakan. Ia tidak memiliki apapun dan siapapun. Ia hanya memiliki dirinya sendiri. Apa yang dilihat Sasuke darinya hingga pria itu bisa mencintainya? Hinata bahkan membenci dirinya sendiri. Bagaimana bisa pria itu mencintainya?
Pria itu tak tahu cinta. Jika dia memang mencintainya, harusnya dia seperti Naruto, yang menjaganya, yang bisa menjadi penenang kegundahannya. Bukannya justru merusaknya dan melakukan segala cara untuk mengikatnya.
Cinta bukanlah seperti itu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰