Rasa Separuh Surga #CeritadanRasaIndomie

0
2
Deskripsi

Tahun 2022 seharusnya menjadi Tahun Bunuh Diri bagiku. Tetapi, pada hari yang kupilih sebagai waktu yang tepat untuk mati, tanpa sadar aku memasak Indomie yang mengundang kedatangan seorang banci. 

Sumber foto: Canva.com

Banci itu menyebut Indomie masakanku memiliki rasa separuh surga. Itulah awal dari segala keajaiban…

Tahun 2022 adalah Indomie.  

Tahun itu, aku hidup untuk Indomie dan Indomie menghidupiku. Setiap hari di tahun Indomie, aku memasak Indomie. Tiada hari tanpa Indomie. Dari pagi sampai pagi kembali, aku memasak Indomie. Indomie membuat diriku menemukan kembali arti hidup. Selagi masih bertemu Indomie, aku bertekad untuk tidak dilumpuhkan panggilan untuk bunuh diri.

***

Aku sudah lama menderita penyakit yang sering memanggilku untuk bunuh diri: schizophrenia. Sudah bolak-balik berobat ke Rumah Sakit Jiwa. Di dalam dan di luar negeri. Sudah tidak terhitung lagi psikolog dan dokter ahli jiwa yang merawatku. Semua usaha itu hanya membantuku sekadar bertahan, tidak bisa memenangkan pertarungan melawan schizophrenia.

Sumber foto: canva.com/Editing: penulis 

Schizophrenia mengakibatkan diriku kesulitan untuk bekerja sampai akhirnya pengangguran. Semasa hidup, orangtuaku menanggung beban biaya pengobatan untuk menghadapi penyakit tersebut. Sebelum meninggal dunia, orangtuaku telah memberiku harta warisan yang cukup besar dan cukup pula bagiku untuk bertahan hidup sambil berobat--untuk beberapa tahun ke depan.

Sial!

Biawak merampas harta yang diwariskan orangtuaku itu.

***

Biawak adalah panggilanku untuk seorang kakak perempuanku. Ia lulusan S2 perguruan tinggi ternama di Indonesia dan bekerja sebagai PNS. Orang-orang memanggilnya dengan nama depannya: Santi.

Santi, dalam bahasa Sanskerta, berarti kedamaian, ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan. Tetapi, kakak perempuanku itu, tidak memiliki sifat Santi. Sepanjang usianya diabadikan membuat keluarga menderita, terutama merampas harta orangtua.

Maka, kugantilah Santi dengan Biawak. Sebab, biawak merupakan hewan yang sangat rakus, persis seperti sifat kakak perempuanku itu.

***      

Seandainya seorang banci tidak terkulai di depan pintu rusun yang baru kutempati, Tahun 2022--bagiku--tentu menjadi Tahun Bunuh Diri.

“Aku diperkosa,” rintih banci itu dengan suara alto palsu yang begitu mirip dengan warna suara vokalis RSD, Dewi Lestari.

Tubuhnya memar di sana-sini. Gaun sutra dan 'stocking' jaring-jaring yang dipakainya, sobek di sana-sini. Anyir darah berbaur dengan aroma farfum murahan yang menguar dari tubuhnya. Rambut palsu sewarna jagung yang bertengger di kepalanya tampak acak-acakan.

“Aku tinggal di lantai lima,' tutur banci itu. ”Namaku Memey...."

Aku memang baru seminggu tinggal di sini. Tetapi aku sudah tahu siapa dirinya.

“Memey namamu dari pagi sampai sore hari," ujarku. “Bila malam tiba, berubah menjadi Meme*."

Banci itu tersenyum membenarkan.

“Apakah aku bisa istirahat sejenak di kamarmu?” tanya banci itu. "Tubuhku terasa remuk dan kepalaku teras pusing, sehingga aku tidak kuat untuk naik ke lantai lima."

Semestinya, aku tidak mengizinkan banci itu masuk.

Meskipun dia banci, dirinya tetaplah memiliki kelamin lelaki, bukan?

Bagaimana bila dirinya memperkosa diriku?  

Namun, hari itu aku sudah memutuskan untuk bunuh diri. Arsenik dalam segelas kopi sudah kusiapkan untuk menghabisi nyawaku. Dalam rentang waktu kurang dari dua jam lagi, aku sudah tidak bernyawa lagi. Jadi, keperawanan bukan lagi sesuatu yang penting bagiku. 

“Masuklah,” ujarku sambil menguak daun pintu lebih lebar. 

Banci itu terdiam sesaat. Ia tampak mengumpulkan seluruh tenaganya yang tersisa. Lalu, ia perlahan-lahan bangkit dan melangkah tertatih-tatih ke dalam unit 913 yang aku tempati.

Sumber foto: canva.com/Editing: penulis 

“Tampaknya kau baru saja memasak makanan lezat,” ujar banci itu dengan hidung kembang-kempis.

"Aku hanya memasak Indomie," sahutku sambil menutup pintu.

"Kau bercanda ya?" tanya banci itu dengan nada penuh keraguan. "Tidak ada Indomie yang aromanya selezat ini."

“Hari ini aku akan bunuh diri. Jadi, tidak ada gunanya bagiku berbohong!” seruku dengan nada sedingin es. ”Bila kau tidak percaya, masuklah ke dapur dan cicipi sendiri."

Memey tidak menghiraukan penjelasanku bahwa diriku akan bunuh diri. Langkahnya yang semulanya tertatih; tiba-tiba tegap dan gagah. Dalam hitungan detik, ia telah sampai di ruangan belakang yang difungsikan sebagai dapur. Matanya berbinar-binar menatap wajan. Uap hangat Indomie menyapu wajahnya.  

Dari jarak lima langkah, kulihat Memey menyuap secentong besar Indomie ke mulutnya. Matanya berkejap-kejap. Sebelum secentong Indomie itu tuntas dikunyah, secentong Indomie telah menyeruak ke dalam mulutnya. Lalu secentong lagi. Secentong lagi. Dan, secentong lagi.

“Bagaimana rasanya?” tanyaku sambil meraih larutan kopi dan arsenik dalam gelas yang kutaruh di atas televisi. Dalam pikiranku, aku berharap Memey menyebutkan: 'Indomie Mie Goreng Rasa Rendang'.  

Sumber foto: Shopee/Editing: penulis 

"Rasa orgasm....” sahut Memey dengan seluruh suara sopran khas Hetty Koes Endang.        

"Hari ini aku akan bunuh diri, Memey!" potongku. ’Karena itu, aku tidak ingin mendengarkan kata-kata mesum!"

“Rasa separuh surga!” soraknya dengan cengkok Melayu khas Iyeth Bustami.

“Rasa separuh surga?” ulangku dengan dahi berlipat.

“Betul!' sahut Meymey. ”Menyantapnya membuatku merasa memiliki separuh surga!"

Aku benar-benar merasa tersanjung!

Sejak kecil, aku memang memiliki bakat memasak yang sangat menonjol. Konon, bakat itu turun dari Nenek Buyut yang pernah menjadi koki ternama di masa perang kemerdekaan Repubik Indonesia. Dapur-dapur umum yang menjadi tempat Nenek Buyut memasak selalu 'diserbu' pejuang yang kelaparan.    

Namun, seumur hidup, masakanku belum pernah dipuji setinggi yang dilontarkan Memey. Tidak heran bila gelas--berisi larutan kopi dan arsenik di tanganku--jatuh ke lantai. Cairan mematikan itu langsung kering diserap sera-serat karpet.  

"Oh, seandainya aku memiliki mulut lebih dari satu,’' keluh Memey dengan suara Gita Gutawa, "aku akan menyantap Indomie ini dalam satu waktu."

Para perempuan hebat yang suaranya ditiru Memey. Sumber foto: Liputan6.com/editing:penulis

"Bawalah, Memey!" pintaku sambil menghenyakkan tubuh di karpet yang menyerap cairan yang nyaris membinasakanku.

"Hah?!" desis Memey sambil menatap ke arahku. Secentong besar Indomie tertahan di ujung mulutnya. “Kau bercanda ya?” 

“Tidak, Memey!” sahutku. “Pergilah bersama sewajan Indomie itu! Sekarang, aku ingin sendiri.”

"Baiklah, bila itu keinginanmu!" sahut Memey sambil mengangkat wajan yang masih berisi banyak Indomie. Maklum, aku memasak sepuluh bungkus sekaligus. “Tetapi berjanjilah padaku, jangan bunuh diri. Sebab, bila kau mati, aku tidak bisa lagi menyantap Indomie rasa separuh surga.”

Sambil bernyanyi dengan berbagai suara vokalis perempuan ternama, Memey pun melangkah tegap dan penuh harga diri.  

Indomie... 
Indomie...
Rasa separuh surga...

Indomie...          
Indomie... 
Di masak bidadari surga
di lantai tiga

Di dalam kamarku, aku menjerit sejadi-jadinya, menumpahkan beban dalam kepalaku ke dunia.  

***

Keesokan harinya, 2 Januari 2022, pintu kamarku diserbu ribuan penghuni rusun. Mereka menodongku mangkok ayam jago kosong dan selembar uang. Riuh seperti pasar malam.

“Indomie rasa separuh surga lezat sekali!”

'Muhammad bilang engkaulah yang memasaknya!"

“Kata Muhammad harganya semangkok hanya sepuluh ribu!”

“Muhammad?” desisku bingung.

Di hadapanku, sebuah antrian mengular dan seolah tak berujung. Aku mulai diserang kepanikan. Untunglah, sebelum serangan schizophrenia menjajah jiwaku, Memey mencuat di hadapanku.

Memey tidak lagi memakai gaun sutra, ‘stocking’ jaring-jaring, lipstik, atau bantalan payudara. Rebana yang selama ini setia ditangannya telah berganti dengan gitar akustik. Rambutnya sudah dicukur rapi. Ia memakai tanktop gym dan celana jeans; memamerkan lekuk-lekuk tubuhnya yang kekar dan jantan. Tidak terlihat lagi jejak banci yang kemarin diperkosa.  

“Memey....” ujarku dengan nada tak percaya.

“Panggil aku Muhammad!" serunya tegas.

Lalu, bagai gitaris profesional, Memey--maksudku Muhammad!--mulai memetik dawai-dawai gitar sambil bernyanyi dengan suara pria yang berganti-ganti. Mulai dari suara Anang Hermansyah, Afgan, Vidi Aldiano, Iwan Fals, Petra Sihombing, hingga--bila aku tak salah dengar--Presiden Jokowi.         

Sumber foto: canva.com/editing: penulis 

 Indomie... 
Indomie...
Rasa separuh surga...

Makanlah...
Makanlah...
Sebelum kiamat tiba...

Sejak hari itu, dengan dibantu Muhammad, aku menerima pesanan masakan Indomie. 

Para pria hebat yang suaranya ditirukan Muhammad. Sumber foto: Liputan6.com/Editing: penulis

Pada 3 Januari 2022 dan hari-hari berikutnya, aku masih hidup dan menerima pesanan mie yang seolah tidak putus. Penghasilanku memang tidak besar untuk ukuran orang Jakarta, tetapi cukup untuk hidup layak, biaya berobat, dan menabung.

Hingga akhir tahun 2022, enam puluh tiga rasa Indomie kubuatkan untuk warga rusun. Tetapi, 'rasa separuh surga’ betul-betul sudah melekat dari dalam ingatan mereka. Apa pun rasa Indomie, bila aku yang memasaknya, warga rusun yang sudah kuanggap sebagai pengganti keluargaku, tetap ‘rasa separuh surga’.          

Tahun 2022 adalah Tahun indomie, bukan Tahun Bunuh Diri!     
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Lelaki Tua dan Shalawat Munjiyat #CeritadanRasaIndomie
1
0
Seorang lelaki tua tiba-tiba muncul di gerbong kereta yang aku tumpangi. Ia mengemis sambil melantunkan shalawat munjiyat. Sumber foto: Canva.comTak ada yang bisa kuberikan selain 'Indomie Kuliner Indonesia Mie Goreng Aceh" yang sempat kubeli sebelum dompetku raib. Di sisi lain, seluruh penumpang seolah sepakat untuk tidak memberikan apapun pada lelaki tua itu. Mungkinkah aku akan memberikan Indomie itu atau mematuhi kesepakatan para penumpang?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan