
Seorang gadis terdampar di Pulau Pisang. Kehadirannya menyalakan harapan di hati penduduk Pulau Pisang untuk menjaga tanah leluhur. Budi pekerti dan pengabdiannya membuat banyak lelaki Pulau Pisang jatuh cinta.
Siapakah gadis itu? Mengapa ia tidak kunjung menyebutkan namanya? Mengapa ia tidak kunjung mengakui darimana dirinya berasal? Mungkinkah ia memilih salah seorang lelaki Pulau Pisang sebagai tambatan hati?
Tepat, saat masing-masing tangan kanan pendekar mencakar leher lawannya sama-sama siap memecahkan batang jakunsebuah teriakan menghentikan nafas bumi. Membuat pendekar beserta penonton sesaat menjelma batu. Diam dan tak bergerak. Butuh beberapa menit untuk mencari mata angin yang menembakkan teriakan itu. Begitu mereka menemukan arah mata angin tersebut, mereka langsung terperangkap dalam jaring-jaring ketakutan.
Teriakan itu melesat dari salah satu dahan saudaraku yang meranggas. Di dahan itu, seorang perempuan yang duduk sambil bersidekap. Tubuhnya yang ringkih dan bersalut kulit sekeriput wajah bulan.
'Perempuan tua itulah siluman yang kumaksud," jelas Angin yang melintas sejenak. Dia-lah yang menjaga pulau ini dan melindungi si gadis asing.
“Siapakah perempuan tua itu?” tanyaku penasaran.
'Itulah Ibu Bumi," jelas Angin Selatan. Bisikannya membuat aku tersentak, sehingga dahan terakhir yang tersisa ditubuhku, jatuh ke wajah bumi.
‘Ibu Bumi?" tanya Angin Utara. “Apakah dia yang melindungi Pulau Pisang ini?”
"Benar!' sahut Angin Selatan.
Selanjutnya, Angin Selatan menjelaskan. Menurutnya, Orang-orang di berbagai belahan dunia memanggil Ibu Bumi dengan nama yang berbeda. Di Yunani, orang-orang menamakannya Gaia. Rakyat Mesir memujanya sebagai Dewa Keb. Sebagaimana nama-namanya, Ibu Bumi pun muncul dalam wujud yang berbeda. Di Pulau Pisang, ia muncul dalam wujud perempuan tua. Ia memang jarang menampakkan diri, tetapi matanya tersebar di seluruh titik semesta. Meski terlihat serapuh gelagah dan seringan kertas, dirinya tidak bisa menyembunyikan pendar-pendar aura seorang ratu. Saat ia bicara, semesta seolah takluk dan bersujud padanya, sehingga keheningan yang meresahkanmenjaring Pulau Pisang dari seluruh penjuru mata angin.
‘Bila kalian tidak saling menjaga dan melindungi, maka binasalah kalian semua," teriak perempuan tua tersebut. ’Dan, kamu berdua!" sambungnya dengan telunjuk kanan menuding kedua pendekar sikinci-kinci. “Apakah hanya karena seorang gadis kalian tega membinasakan saudara sendiri?” Kedua pendekar pun terpaku. Tubuh mereka gemetar bagai kelopak-kelopak mawar yang dikecup angin musim penghujan. Keringat sedingin es langsung membanjiri pelipis mereka.
Ibu Bumi tidak hanya duduk diam. Bagaikan seekor kupu-kupu yang baru meninggalkan serat-serat kepompong, ia meloncat-loncat dari ranting ke ranting dan dari dahan. Selendang yang menjadi kerudungnya, jatuh ke bahu, sehingga rambutnya yang seputih perak berkibar bagaikan panji-panji perang. Meskipun meranggas, dahan ataupun ranting saudaraku yang diinjaknya, tidak berpatahan atau rontok ke tanah.
Aku sudah hidup selama ribuan tahun, jelas perempuan tua itu. Aku telah menyaksikan kehancuran demi kehancuran. Penyebab kehancuran selalu dimulai dengan perbuatan yang kalian lakukan hari ini.
“Apa yang harus kami lakukan?' teriak seorang pemangku adat. ‘Apakah kami harus bertahan atau meninggalkan pulau ini? Apakah gadis itu harus diusir atau tetap dilindungi?"
Ibu Bumi tidak menyahut. Ia terus melompat dari dahan ke dahan dan dari ranting ke ranting. Kadang, ia duduk sambil menatap orang-orang Pulau Pisang dari ketinggian.
‘Apa yang harus kami lakukan?’ tuntut pemangku adat kembali.
‘Jangan pernah melanggar ‘piil-pesenggiri’!" sahut Ibu Bumi. “Bila ‘piil-pesenggiri’ di langgar, tidak hanya cengkeh yang binasa, tetapi juga seluruh kehidupan di pulau ini dan kalian semua.
"‘Piil-pesenggiri’ apa yang sudah kami langgar?" seru pemangku adat. “Agama dan adat kami junjung tinggi. Tamu pun kami muliakan. Tak seorang pun yang rugi bila berada di Pulau Pisang. Di sini, semua adalah keluarga. Para perantau dari Jawa dan Sumatera menjadi saksinya. Mereka kami sambut sebagai keluarga. Di sini, mereka mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan layak. Mereka bisa memiliki tanah dan rumah.”
‘Untuk apa kalian tanam terlalu banyak pohon cengkeh?’ potong Ibu Bumi. Nada suaranya penuh tuntutan. 'Pohon-pohon cengkeh yang ditanam sepuluh tahun yang lalu, telah memberikan hasil panen yang berlimpah. Tetapi, kalian tidak merasa cukup. Lima tahun terakhir, kalian tanam pohon cengkeh dua kali lipat jumlah pohon cengkeh yang sudah ada. Untuk apa semua itu, hah? Kalian serakah!"
'Kami minta maaf," ujar pemangku adat dengan nada penyesalan.
Selanjutnya, perempuan tua itu melompat ke angkasa. Lalu, ia menjelma asap beraroma dupamenyatu dengan partikel-partikel kabut sore. Setelah sang perempuan itu raib dari pandangan, satu per satu penonton kembali ke rumah, meninggalkan kedua pendekar sekinci-kinci. Angin Utara kembali berlari ke utara. Angin Selatan berlari ke selatan. Keheningan menyergap tanah pertanian yang dipenuhi pohon-pohon cengkeh yang sekarat.
Di bawah tubuhku yang meranggas, dua pendekar ‘sekinci-kinci’ saling tatap dan kikuk. Tergeragap sesaat. Lalu, mereka buru-buru bersalaman dan berpelukan. Perasaan malu sewarna merah koral menyalut rona wajah mereka. Seumur hidup, baru kali ini kedua pendekar itu merasa dipaksa berlari memutari Pulau Pisang dalam keadaan telanjang. Meskipun menahan tangis, airmata tetap mencurah di wajah mereka, menyirami tanah yang telah lama tidak dicium hujan. Tanpa sadar, mereka telah melanggar sumpah setia ketika berguru sekinci-kinciuntuk saling menjaga saudara seperguruan sebagaimana menjaga batang leher sendiri.
***
Meskipun mendengar kabar tentang pertarungan di kebun cengkeh, gadis asing yang terdampar di Pulau Pisang itutidak berhenti menenun kain tapis. Ia pun tidak menghiraukan buah bibir orang-orang tentang dirinya. Alih-alih, ia semakin tekun bekerja. Dalam benaknya terpahat kuat sebuah kalimat yang pernah ditulis Bung Hatta. Kalimat itu menguntai dalam sebuah buku yang dibacanya sewaktu menjadi mahasiswi ilmu pertanian di perpustakaan kampus. Kalimat itulah yang meneguhkan bukti keberadaan dengan perbuatan. Biarlah perbuatanku menjadi penjelasan keberadaanku, bisiknya sambil terus menenun sampai tuntas. Setelah tenunannya selesai, ia menyulamkan benang emas, sehingga kain tapis itu berkilau.
Selama ini, belum ada seorang pun yang bisa menghasilkan kain tapis seindah dan serumit itu. Beragam ornamen jalin-menjalin: pilin berganda, pucuk rebung, belah ketupat, geometris, tajuk bergaya, bulung kibang, burung-burung, bunga-bunga, naga, hingga pohon hayat.
Luar biasa, bisik seorang pemangku adat di dalam hati. Tangannya gemetar saat menyentuh kain tapis tersebut. Inilah adat yang sesungguhnya. Tidak boleh dipisah-pisahkan.
'Bila menatap kain itu," para lelaki seolah merasa jatuh cinta untuk pertama kalinya pada perempuan tersebut. Mereka mendambakan seorang istri yang bisa menenun dan menyulam kain tapis seindah kain itu. Hati para lelaki lajang menjelma burung-burung dengan kaki terjerat helai-helai benang dari kain tapis tersebut. Cerita tentang kain tapis itu segera merebak ke seluruh penjuru mata angin.
Kain tapis itu membuat si gadis asing di mata para lelakimenjelma mahapuisi. Airmatanya puisi. Peluhnya puisi. Senyumnya puisi. Rambutnya puisi. Hidungnya puisi. Alisnya puisi. Lehernya puisi. Langkahnya puisi.
Para ‘mekhanai’ beramai-ramai menuliskan puisi yang bertebaran di seluruh tubuh gadis asing itu. Bahkan, tidak hanya para mekhanai, para duda pun terpikat padanya. Karena tidak pernah memberi tahu namanya; mereka sepakat menyapa gadis itu dengan sebutan Bidadari Pulau Pisang dalam seluruh puisi yang mereka tulis. Mereka menulisnya di permukaan daun-daun kering dengan tinta dari arang. Dalam hitungan hari, daun-daun bertuliskan puisi-puisi, menyerbu lamban balak yang ditempati gadis asing itu. Meskipun tidak seorang yang memperoleh balasan, para lelaki lajang tidak pernah lelah menulis puisi. Puisi-puisi itu tetap mengalir sederas arus sungai seusai hujan lebat.
'Dulu, aku pikir, bidadari hanya ada di surga," ujar seorang mekhanai.
“Benar!” sahut mekhanai yang lain. “Aku juga berpikir begitu.”
Ternyata, bidadari juga ada di Pulau Pisang, tambah seorang duda sambil tertawa.
Dari hari ke hari, gadis itubersama muli-muli terus menenun kain tapis. Setelah kain tenun tuntas, mereka menyulamkan ornamen dengan benang emas. Setelah kain-kain bersulam emas itu menggunung, ia pun mengemasnya dan membawanya ke perahu yang ditemukan bersama dirinya pertama kali. Waktu itu, orang-orang pekon menyangka dirinya akan pergi dan tidak akan kembali.
Semoga kain tapis bisa menjadi bekal gadis itu, ujar seorang muli penenun kain tapis.
Bersambung ke bagian 4….
Daftar istilah:
[1] piil-pesenggiri: [Hukum adat Lampung] Malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri.
[2] Biarlah perbuatanku menjadi penjelasan keberadaanku dikutip dari ari kalimat Bung Hatta: "Hanya satu negara yang menjadi negaraku. Negara itu tumbuh karena satu perbuatan. Dan itu perbuatanku
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
