Sleeping Betty Bab 11

1
1
Deskripsi

Begitu tertidur, Betty akan berubah menjadi batu yang tak terusik oleh apa pun. Tidak peduli kapan pun, di mana pun. Namun, terjebak dalam situasi salah paham bersama Pandu, pria asing yang ternyata bos barunya di kantor membuat gadis itu memimpikan pria tersebut sebagai pangerannya. Terdengar mustahil, sampai Pandu memintanya menjadi pacar pura-pura. 

Logikanya, sih, Betty bakal sulit menolak. Pandu tak cuma kaya, tapi juga tampan. Incarannya pula. Masalahnya, dengan status tersebut kenapa pria itu malah mencari pacar bohongan? Dan, kenapa Betty?

Betty mematut diri di depan cermin kamar, memastikan penampilannya cukup pantas untuk bertemu Pandu. Tapi,  bukannya merasa cantik, rok yang dipinjamnya dari Aliana justru membuat Betty merasa aneh. Ia terlihat seperti umbul-umbul agustusan alih-alih cantik.

Mengembuskan napas panjang, Betty akhirnya melepas pakaian tersebut dan kembali memakai pakaian ternyamannya. Kaos longgar dan celana jins.

Betty bukan gadis tomboi, tapi juga tidak feminim. Mungkin lebih tepat jika ia disamakan dengan sikat gigi. Ia fleksibel. Bisa menyesuaikan diri. Hanya saja celana panjang terbukti yang paling nyaman untuk ia pakai.

Segera setelah yakin dengan penampilannya, Betty pun tersenyum senang. Disambarnya jaket hoodie dan tas selempang untuk melengkapi. Lalu, ia melangkah ringan keluar kamar.

"Astaghfirullah, Om Luis," seru Betty yang terlonjak mendapati sang paman sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Apalagi ekspresi Luis datar, kosong. Orang bisa salah mengira pria itu sedang berjalan dalam tidur atau bahkan kesurupan. "Ngapain di sini? Kalau mau masuk napa nggak ketuk pintu, sih?"

"Pacarmu datang, tuh. Ganggu tidur siangku aja. Mana aku kalau udah kebangun susah mau tidur lagi. Iya kalau kamu, ada gempa bumi juga nggak bakal bangun," keluh Luis. Pantas saja mukanya setengah sadar. Namun, tetap saja mengomeli Betty tidak pernah absen dalam situasi apa pun. "Kalian mau ke mana, sih?"

Masih jam empat sore. Betty sendiri belum tahu mau diajak kemana oleh Luis. Ia hanya tahu jika jalan bersama di sore hari terbilang lebih aman dan minim risiko. Berbagai tempat masih ramai, dan ia tak perlu takut melanggar jam malam Luis karena pulang larut.

"Belum tahu, Om. Pak Pandu belum bilang."

"Awas kalau macem-macem."

"Palingan juga cuma makan bareng di mana gitu. Pak Pandu nggak mungkin macem-macem. Satu macem aja." 
Luis melotot mendengar balasan Betty. Tapi gadis itu hanya meringis lalu mencolek lengan sang paman. "Becanda. Om ganteng, deh."

"Kamu pikir aku mempan dengan pujian nggak ikhlas gitu? Modal dikit, dong. Bawain martabak spesial kek, piza, kek."

"Oh, siap, Om." Betty berlagak memberi hormat pada Luis, tapi kemudian bergegas pergi menemui Pandu. Pria itu tengah duduk menunggu di ruang tamu. Ketika Betty muncul, ia sedang sibuk dengan ponsel.

Betty tidak langsung menegur Pandu meski kehadirannya tidak disadari oleh pria itu. Ia tengah memanfaatkan kesempatan yang ada untuk mengagumi sang bos. Mumpung dalam jarak dekat dan tidak dalam lingkungan kerja.

Pandu sore itu mengenakan kaos polo bergaris dan celana jins berwarna pudar. Sama sekali tidak tampak seperti CEO-nya selama ini. Aura bosnya berganti dengan pria tampan idaman Betty. Gaya rambut Pandu juga tak serapi biasanya, malah terkesan berantakan. Betty tidak tahu apakah memang itu gayanya atau angin di jalanan terlalu kencang hingga mengubah tatanan rambut sang bos.

Betty senyum-senyum sendiri menikmati pemandangan tersebut. Dalam mimpi, Pandu adalah pangeran tampan berkuda putih. Di dunia nyata kini, pria itu juga tetap tampan. Hanya berganti peran. Sayangnya, peran yang Pandu miliki tidak terlalu Betty sukai. Bukan sebagai atasan, tapi sebagai pacar pura-pura. Itu benar-benar plot twist.

“Betty?” Lamunan Betty terhenti saat Pandu akhirnya sadar dengan keberadaannya. Pria itu menyimpan ponselnya dan berpaling pada sang asisten. Tak lupa senyuman manis favorit Betty terukir di bibirnya. “Sudah siap? Kita berangkat sekarang?"

“Oke, Pak.” Betty menjawab dengan penuh semangat. Tapi sebelum ia melangkah pergi, Pandu yang sempat celingukan pun bertanya.

“Kita nggak pamit dulu sama Luis?”

“Nggak usah, Pak. Palingan Om Luis tidur lagi."

“Oh, kalau gitu tadi saya pasti ganggu tidurnya, ya?” Pandu tampak merasa tidak enak. 

“Nggak papa, Pak. Udah kelamaan juga dia tidur siang. Dari jam satu tadi,” ujar Betty melebih-lebihkan. Sebab, nyatanya Luis baru tidur setelah Betty mendapat telepon dari Pandu. Dan itu terjadi kurang dari setengah jam yang lalu. “Ayo, Pak.”

Pandu pun menurut. Keduanya kemudian meninggalkan rumah Luis, berjalan menuju mobil BMW yang terparkir di depan teras. Betty mengernyit. Seingatnya sang bos memiliki mobil yang sama dengan Luis. Itu pula alasan ia sampai terjebak insiden memalukan dengan Pandu. Tapi menanyakan apakah kenaraan tersebut benar milik Pandu atau bukan terdengar konyol. Sebagai seorang CEO, pastilah Pandu memiliki banyak mobil. Pria itu hanya tinggal memilih ingin memakai yang mana sesuai dengan kebutuhan.

“Bapak nggak pakai mobil yang kaya punya Om Luis itu?” Tapi Betty pada akhirnya tetap bertanya meski dengan kalimat yang berbeda.

“Oh, mobil itu sebenarnya hanya sewaan. Bukan milik saya pribadi." terang Pandu seraya membukakan pintu mobil untuk Betty. “Silakan.”

Betty menahan diri untuk tak bertanya lebih jauh mengenai mobil tersebut. Juga mengendalikan bibirnya untuk tak terus tersenyum karena menerima perlakuan Pandu tersebut. Padahal hanya dibukakan pintu mobil, tapi sudah membuat hati Betty berubah jadi taman bunga. Tidak aneh juga, mengingat ia memang belum pernah mendapatkan perlakuan seperti itu. Cuma Luis yang makhluk bernama pria yang selalu memberi Betty tumpangan ke mana pun. Dan, jangan tanya soal perlakuan. Betty bahkan selalu bertugas mendorong saat mobil tersebut mogok.

Setelah keduanya berada dalam mobil, Pandu mulai menyalakan mesin lalu berpaling pada Betty yang sedang dalam mode norak. Terkagum-kagum karena bisa menaiki mobil mewah di luar urusan pekerjaan. Dalam hati, gadis itu mengira-ngira harga untuk mobil sebagus itu. Tanpa sadar, jemarinya pun membuat gerakan menghitung. 

“Ada masalah?” tanya Pandu yang merasa Betty tengah memikirkan hal lain. 

Betty menggeleng menyadari kebodohannya sendiri. Mereka sedang hendak berwisata kuliner, kalau tidak bisa disebut berkencan. Tapi, ia malah sibuk menghitung angka-angka dengan jumlah fantastis. Padahal ia belum pernah melihat apalagi memegang uang dengan jumlah di atas gajinya tiap bulan. Sia-sianya lagi, nominal yang ia hitung itu sama sekali bukan miliknya. Dengan kata lain, Betty sedang membuang waktu, tenaga dan pikirannya hanya untuk mengurusi kekayaan orang lain. Tindakan yang membuat status Betty sebagai karyawan perlu ditanyakan. Sebab, hanya orang kurang kerjaan yang sibuk mengurusi kehidupan orang lain.

“Kita mau ke mana, Pak?”

“Saya ada rekomendasi restoran yang enak. Kamu keberatan kalau kita ke sana?”

“Nggak, Pak. Kebetulan saya juga tidak ada ide mau ke mana," ujar Betty. 

“Oke. Kalau begitu kita ke sana.” Pandu akhirnya memutuskan. Ia lalu mulai menjalankan mobilnya untuk keluar dari halaman rumah Luis. Tapi, belum jauh dari pagar, Betty tiba-tiba memanggilnya.

“Pak, boleh nggak sambil kita dengerin musik?” Betty bertanya sembari memasang wajah tanpa dosa. Lebih tepatnya tidak tahu malu. Pemilik mobil, bukan. Pacar juga cuma pura-pura. Tapi Betty malah ingin menikmati perjalanan nyaman lebih dari sanf pemilik asli.

“Boleh.” Tangan Luis kini berada di radio mobil. Bersiap mencari saluran siaran yang sesuai dengan keinginan Betty. Walaupun ia bisa sedikit menebak lagu kesukaan gadis itu. Hampir seratus persen Pandu yakin jika Betty adalah penggemar K-Pop. Namun, ia tetap bertanya sebagai formalitas belaka. “Oh, ya, kamu mau dengerin lagu apa, Bet? K-Pop?" 

“Nggak, Pak. Saya bukan K-Popers,” sangkal Betty. 

“Oh. Saya pikir kamu menyukainya. Jadi, musik apa?” 

“Dangdut koplo, Pak. Biasanya jam segini ada siarannya di salah satu radio.” Betty menjawab dengan santai. 

Tangan Pandu yang sedang memutar tombol tuning pun seketika berhenti. Ia menatap Betty tak percaya. Namun, sedetik kemudian kembali mencari saluran radio seperti yang dimaksud. Hanya untuk mendapati Betty bersenandung, bahkan bahu dan kepala gadis itu sesekali bergerak mengikuti irama. Melihat tingkah sang asisten, Pandu hanya bisa tersenyum. Perdangdutan bukanlah musik favoritnya, malah ia hampir tidak pernah mendengar musik genre tersebut. Akan tetapi, melihat Betty sampai merem melek sangking menikmatinya lagu, Pandu pikir tak ada salahnya juga. Hitung-hitung mencari pahala karena sudah membahagiakan sang asisten.

*** 

Restoran yang Betty dan Pandu datangi ternyata adalah restoran susyi. Salah satu tempat makan yang tidak pernah menarik minat Betty untuk didatangi. Ia memang menyukai makanan khas Jepang, hampir semuanya kecuali yang satu itu. Susyi. Tapi mereka sudah ada di sana, menempati meja dan kursi seraya menunggu pelayan memberikan buku menu. Rasanya sungguh tidak sopan untuk mengajak Pandu pergi dan mencair tempat lain. Bagaimana kalau bosnya itu jadi memandang Betty tidak tahu diuntung? Sudah ditraktir makan, masih mau pilih-pilih.

“Kamu mau pesan apa, Bet? Mau disamakan juga dengan pesanan saya?” tanya Pandu seraya melihat-lihat buku menu yang baru saja diberikan pelayan padanya. 

Kalau di restoran lain, mungkin Betty akan langsung mengiakan. Tapi, ini di restoran susyi. Jelas Pandu tidak masalah dengan itu karena tampak sedang serius memilih menu. Masalahnya itu berarti ia akan dipesankan makanan itu juga oleh sang bos. 

“Pokoknya makanan selain susyi, Pak.” Jawaban Betty tak hanya membuat Pandu, tapi juga si pelayan mentapanya heran. Mereka pikir Betty pasti sedang mengigau. Bagaimana mungkin ia datang ke restoran susyi tapi tak mau memesan susyi?

Betty pastilah rekan kencan yang menyebalkan. Banyak mau dan terkesan memalukan. Namun, Pandu tidak tampak marah atau jengkel. Setelah melihat-lihat lagi daftar menu, pria itu akhirnya menyebutkan sebuah nama pada si pelayan. Betty tidak tahu arti nama tersebut sebab ia bahkan belum pernah makan susyi di manapun. Wajar jika ia buta soal varian makanan tersebut. 

Pandu terlalu baik. Kalau itu Luis, Betty pasti sudah diturunkan dari mobil di tengah jalan atau ditinggal di restoran untuk mencuci piring karena tak mampu membayar makanan yang sudah ia santap. Dalam hati, Betty berharap Pandu tidak kapok mengajaknya jalan lagi. 

Setelah sang pelayan membawa pergi catatan pesanan mereka, Betty dan Pandu kini bisa mengobrol sembari menunggu makanan datang. Hanya saja, Betty tidak tahu harus membicarakan hal apa. Ia tidak punya topik menarik untuk didiskusikan dengan sang bos kecuali fakta jika Pandu adalah pangeran impiannya yang menjelma di dunia nyata. 

Hal itu sama sekali tidak terdengar sebagai ide yang bagus. Malah Betty yakin bisa-bisa Pandu langsung angkat kaki dan kabur darinya. Kalaupun memaksakan diri untuk bertahan, Betty hanya akan mendapat tatapan penuh iba darinya. Seorang gadis jomlo yang terlalu kesepian, hingga mengkhayalkan mimpi jadi kenyataan.

“Betty, apa selama ini kamu dan Ryan dekat?” Tiba-tiba saja Pandu sudah mengajukan pertanyaan. Cukup mengejutkan pula. Mendadak Betty teringat dengan dugaannya jika Pandu mungkin cemburu pada Ryan. Yah, secercah harapan untuknya kembali muncul.

“Tidak terlalu, Pak. Kami hanya sering mengobrol di sela-sela syuting. Di luar itu hampir tidak ada interaksi, sih.”

“Jadi, kalian bisa dibilang sebatas rekan kerja saja? Tidak sampai hang out bareng, kan?” Pandu kembali bertanya untuk memastikan. Betty hanya mengiakan karena memang itulah kenyataannya. Ia justru lebih penasaran dengan alasan Pandu sampai menanyakannya. “Lalu, kenapa kemarin dia ngajak kamu jalan?”

Betty mengangkat bahu. “Saya juga nggak tahu, Pak. Biasanya Ryan nggak pernah gitu, kok.”

Pandu terdiam dan berpikir, lalu menatap Betty yang tengah bertopang dagu sembari memainkan jemari di atas meja. 

“Lebih baik kamu jangan terlalu dekat dengan Ryan," pinta Pandu, yang membuat alasan cemburu semakin kuat bagi Betty. Sang bos tak rela pacarnya didekati pria lain, bahkan meski hubungan mereka hanya pura-pura. Kalau benar begitu, harapan di hati Betty malah semakin tumbuh. Sebab, bukan tidak mungkin karena percikan-percikan cemburu tersebut hubungan palsu mereka bisa jadi nyata.

“Kenapa, Pak?” Betty bertanya dengan harapan mendengar jawaban ‘karena saya cemburu.’ Namun, gadis itu harus menelan kekecewaan tatkala Pandu mengurai jawabannya.

“Sebenarnya tidak masalah kalau sedari awal kalian memang dekat. Orang lain tidak akan terlalu mempermasalahkannya. Tapi jika kalian hanya sebatas rekan kerja yang jarang berinteraksi, kedekatan kalian akan merusak rencana kita.”

Betty mengernyit. Ia menduga akan mendapatkan jawaban yang mengecewakan lagi. Karena alasan cemburu tadi tiba-tiba saja terasa jauh. Mustahil.

“Apa kata orang nanti kalau pacar saya justru dekat sama pria lain? Saya sejujurnya tidak terpengaruh, tapi justru aneh kalau begitu. Jika saya tidak peduli dengan kedekatan kalian, orang-orang justru akan mempertanyakan di mana rasa cemburu saya sama kamu. Apakah kita benar-benar pacaran atau itu hanya kedok untuk sesuatu yang lebih penting?” Sungguh, Pandu memang sebelas dua belas dengan Luis saat dalam mode menjelaskan sesuatu. Hebat, tapi Betty tidak berharap pria itu memiliki tabiat yang sama juga dengan pamannya. Tidak sama sekali.

“Jadi?” Betty bertanya dengan lesu. Sudah tidak sesemangat tadi.

“Kalau semua orang mempertanyakannya, sudah jelas Marissa akan lebih tidak percaya.” 

Betty menghela napas panjang. Ternyata semua kembali pada tujuan awal mereka menjalani hubungan pura-pura itu, yakni meyakinkan Marissa agar berhenti mengejar Pandu. Betty berharap terlalu banyak.

“Saya paham, Pak.” Selera makan Betty yang tadinya hampir tidak ada kini benar-benar lenyap. 

“Baguslah. Saya yakin kamu bisa diandalkan.” Pandu berniat memuji Betty, tapi gadis itu justru tidak tampak senang atau terkesan. Namun, ia urung bertanya lagi karena pesanan mereka akhirnya datang. 

Betty melirik piring Pandu yang berisi susyi dalam bentuk potongan-potongan kecil. Sementara miliknya sendiri berisi tempura udang yang kuning keemasan menggugah selera. Namun, kecewa karena salah duga tadi menjadikannya tak mau memakan makanan tersebut. 

“Kamu nggak makan? Bukan susyi, kan?” Betty juga tahu itu. Karenanya ia ingin memberikan alasan lain sebagai jawaban.

“Sebenarnya saya tiba-tiba jadi nggak lapar, Pak." Sayangnya, alasan Betty hanya membuatnya mempermalukan diri sendiri, karena sedetik kemudian perutnya justru memainkan orkestra. “Eh, tapi tiba-tiba jadi laper lagi.”

“Kalau kamu nggak suka, kita bisa pesan yang lain lagi, Bet,” ujar Pandu seraya menahan senyum. Tapi, Betty segera menggeleng.

“Nggak usah, Pak. Ini aja.” Betty sadar diri, tak tahu malu pun ada batasnya. Lagipula hal terpenting sekarang memang mengisi perutnya dulu. Jadi, mengabaikan segala rasa malu, ia pun mencomot tempuranya dan menikmati hidangan itu dengan lahap. Yah, bagaimanapun juga memang tidak ada yang bisa mengalahkan rasa lapar. 

*** 

Mobil Pandu berhenti di depan rumah Luis saat jam di tangannya menunjukkan pukul tujuh. Masih dua jam dari jam malam yang ditetapkan paman Betty tersebut. Karenanya Betty tidak tampak khawatir sebab berarti tidak akan disambut dengan omelan. Sementara Pandu juga mendapat poin plus karena selalu memegang janji untuk mengantarnya pulang sebelum waktu yang ditentukan. 

“Makasih untuk hari ini, Pak,” ujar Betty seraya melepaskan sabuk pengaman. 

“Sama-sama. Tapi lain kali sebaiknya kamu saja yang pilih tempatnya, ya.”

Betty tertegun sejenak mendengar ucapan Pandu tersebut. Masih ada lain kali untuk acara kencan mereka. Yang artinya masih banyak kesempatan untuk Betty bisa mengubah hubungan pura-pura mereka menjadi nyata. Seharusnya ia senang, meski pun memang dibutuhkan banyak usaha untuk mencapainya. 

Betty tidak tahu Pandu memang benar-benar payah dalam hubungan asmara atau tidak pernah mengalaminya sama sekali. Selain tidak romantis, Pandu juga tidak bisa membaca keinginan pasangan. Karena selama pertemuan mereka, semua hal yang dibahas hanya tentang orang lain. Tentang Ryan, Marissa dan ujung-ujungnya malah merembet ke masalah pekerjaan. Seperti mereka kurang sibuk saja di kantor. 

Namun, Betty berusaha memaklumi. Selain ia sendiri juga bukan orang berpengalaman dalam hubungan asmara, bagaimanapun juga mereka hanya pura-pura. Sebelum ada keajaiban dalam hubungan itu, Betty tidak bisa berharap banyak. Pandu memperlakukannya dengan baik saja sudah bagus.

“Tentu. Lain kali akan saya cari tempat yang lebih nyaman buat kita berdua, Pak.” Betty sudah bersiap membuka pintu mobil untuk keluar. Namun, Pandu menahannya.

“Tunggu dulu, Betty.” Pandu berbalik ke belakang untuk mengambil sesuatu dari kursi penumpang. Boneka apel besar berwarna merah tampak dalam rengkuhan pria itu. Benda yang tidak Betty sadari ada di sana sejak tadi. Sepertinya Pandu membeli benda berwajah lucu itu saat mereka berada di taman tadi meski pun ia juga tidak tahu kapan pastinya. Yah, mereka tidak mungkin menghabiskan tiga jam di restoran jadi setelah makan, keduanya pergi ke taman dan mengobrol di sana. Benar-benar hanya mengobrol. “Untuk kamu.”

Sejujurnya Betty bukan penggemar benda-benda imut. Bantal guling di rumahnya saja polos. Dan, satu-satunya boneka yang ia miliki adalah boneka boba ukuran sedang hadiah dari Aliana. Namun, menolak pemberian dari Pandu terasa salah. Sayang sekali jika harus menyia-nyiakan niat baik pria itu. Kalaupun Betty tidak benar-benar tertarik, ia bisa menganggapnya sebagai bentuk menghargai sang bos.

“Eh, makasih, Pak. Baru kali ini saya dapat boneka apel.” Betty berusaha terlihat antusias dengan pemberian sang bos. 

“Saya keingat putri tidur, makanya saya beli itu buat kamu.”

“Putri tidur? Saya?” Betty tahu kebiasaan tidurnya sungguh buruk, tapi diungkit langsung oleh pria yang diam-diam ia kagumi rasanya jadi sangat memalukan. “Bapak bisa aja. Mentang-mentang kita pertama ketemu waktu saya lagi tidur. Tapi apa hubungannya coba sama buah apel?” Dan, seketika bayangan tentang dirinya tidur dalam mode burung walet kembali mencuat. Membuat Betty langsung ingin berteleportasi ke kamarnya sekarang juga.

“Putri tidur kan makan apel beracun.” Pandu tersenyum seolah jawabannya adalah sesuatu yang membahagiakan. Padahal Betty sudah berpikir liar karena mendengar kata racun. “Tapi saya jamin apel yang ini nggak beracun, malah bisa buat nemenin kamu tidur.”

Seketika wajah Betty merona mendengar kalimat terakhir Pandu. Bisa-bisanya pria tersebut menggombal dengan ekspresi seperti itu. “Sekali lagi makasih, Pak. Kalau begitu saya masuk dulu.”

Tak ingin wajahnya semkain memerah dan berubah jadi seperti kepiting rebus bumbu tomat, Betty pun memilih untuk segera berpisah. Mencari tempat berlindung teraman yakni rumah. Meski ia tidak sepenuhnya yakin rencana itu akan berhasil.

“Sama-sama. Segera istirahat. Tidur yang cukup juga biar besok segar saat bekerja, ya,” pesan Pandu. Lagi-lagi tak menyadari efek ucapannya pada Betty. “Selamat malam, Betty.”

Betty hanya mengangguk dan menyajikan senyuman manis untuk mengiringi kepergian Pandu. Bahkan, sampai mobil pria itu tak tampak lagi, berbelok menuju jalan utama. Ia segera masuk ketika giginya mulai kering karena terpapar angin malam. Hanya untuk menyadari jika sepertinya ia akan sulit tidur malam ini. Sial.

***

Waduh, si Bos ini ngetes apa gimana, sih? Bikin Betty doki-doki mulu.

 

 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Sleeping Betty Bab 12
1
1
Begitu tertidur, Betty akan berubah menjadi batu yang tak terusik oleh apa pun. Tidak peduli kapan pun, di mana pun. Namun, terjebak dalam situasi salah paham bersama Pandu, pria asing yang ternyata bos barunya di kantor membuat gadis itu memimpikan pria tersebut sebagai pangerannya. Terdengar mustahil, sampai Pandu memintanya menjadi pacar pura-pura.  Logikanya, sih, Betty bakal sulit menolak. Pandu tak cuma kaya, tapi juga tampan. Incarannya pula. Masalahnya, dengan status tersebut kenapa pria itu malah mencari pacar bohongan? Dan, kenapa Betty?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan