
Cerita ini ditulis sekali duduk, jadi jika ada salah penulisan atau typo dibeberapa kalimat mohon dimaafkan. Cerita ini ditulis dari pengalaman pribadi penulis, tentang bagaimana merangkai cerita yang gagal, dan tulisan yang dirangkai sedemikian rapi menjadi seakan tak berarti.
Sugiati
Menulis, bagiku adalah jantung. Ketika jantung itu berdegup, semangatku juga mulai tak meredup. Seakan membara dan kembali menyala. Cerita ini dimulai, bagaimana aku yakin menemukan satu ide untuk ku jadikan judul tulisan sederhana yang tidak sederhana sebenarnya. Kok bisa? Ya, karena tulisan ini terdiri dari beribu-ribu rentetan kata.
Pagi itu aku duduk diatas kasur dalam kamar indekos sederhana, kamar satu petak itu menjadi saksi betapa sat-setnya aku menemukan ide sekali duduk diruangan tidak terlalu luas, tapi agaknya ekspetasiku tentang ide itu yang terlampau besar. Kepalaku penuh, sesak dengan ide-ide yang menumpuk tak terarah, namun ada satu ide yang membuatku tertarik untuk ku tarik dalam sebuah tulisan yang akan ku tulis. Tak berselang lama, handphone biruku berdering lirih.
“Sudah menemukan ide?” tanya kawanku dalam chatting whatsapp itu.
“Sepertinya aku sudah kepikiran” jawabku yakin, ideku berbeda dengan yang lain.
“Tapi, enggak boleh sama ya katanya dengan teman-teman lainnya”. Tanya, Bulan. Sapaan akrabnya.
“Iya, tenang! punyaku enggak akan sama dengan siapapun, dijamin”. Jawabku, dengan agak sedikit mendongakkan kepalaku keatas.
Dengan ide yang berserakan dalam pikiranku, aku yakin itu berbeda dengan yang lain, aku yakin ideku menarik, dan yang paling penting harus lebih bagus dari yang lain. Ah, keyakinanku terlalu berlebihan, aku terlalu arrogant dengan ekspetasi-ekspetasi yang belum tentu terjadi.
Aku mulai menulis, satu per-satu huruf untuk merangkai kata disatu margin yang sama, banyak hal yang ingin ku tuangkan dalam tulisan itu, dengan yakin aku menuangkan semuanya, dengan yakin aku mencoba melihat dari sisi yang berbeda. Sesekali mataku melihat keatas, sesekali aku terlentang diatas kasur sampingku menulis waktu itu, dan sesekali aku sedikit mendekat ke arah kipas angin.
“Tulisanmu sudah selesai?”
“Otw” dengan yakin aku menjawabnya, meskipun baru mendapat ratusan dari ribuan kata yang harus kutuntaskan.
Rupanya pikiranku sudah penuh, sesak rasanya sehingga ide-ide ini mampet dan tidak bisa berkembang. Aku memutuskan berhenti dulu hari itu, bukankah istirahat boleh, yang tidak boleh berhenti seterusnya dan tidak melanjutkan, kan?
Aku memutuskan keluar sebentar, sekadar mencari angin dan melihat lalu lalang kendaraan, menikmati segelas es teh jumbo, dan pentol kesukaan.
“Mbak, es tehnya satu sama pentol lima ribu ya!”
Tanpa sepatah katapun perempuan dengan pandangan tajam itu membuatkan pesananku, selesai dibuatkan, ku putar sepeda merahku ke arah jalan kos yang berlatar tembok hijau, hari ini sudah menjadi abu-abu. Ya, sesederhana itu healingku. Aku kembali ke kamar indekosku, menikmati segelas teh jumbo dan seplastik pentol yang menurutku surga dunia. Sejenak moodku lebih baik, be better daripada sebelum aku menikmati teh jumbo dan pentol kesukaanku. Aku memulai menulis kembali, untuk menuntaskan ribuan kataku yang belum ku tuliskan hingga tuntas.
Ku buka seluruh ide yang menumpuk, yang tersembunyi dibalik pikiran-pikiran yang tertimbun hampir lapuk. Ku selesaikan tulisan itu, meski sesekali aku harus terlentang sebantar ditempat tidur, tapi tulisan dengan sebelas lembar lengkap dengan identitasku, siap untuk diserahkan.
Bagai amalan, “kerjakan, hilang, lupakan” ku serahkan tugasku dengan yakin, tanpa berpikiran apapun, tanpa berpikiran untuk direvisi, bahkan dikembalikan. Aku kembali menjalani hari-hari dengan bebas. Hari Sabtu, aku dan kawan-kawanku berencana ke Sidorajo untuk sekadar merefresh otak setelah penat menyelesaikan pekerjaan, meskipun nanti kami tidak tahu ada tugas lain yang menanti.
“Jangan lupa bersiap, besok kita berangkat” kata kawan-kawanku mengingatkan.
Kami berangkat menggunakan kendaraan umum, dengan kebersamaan yang begitu hangat. Mengingatkanku tentang kata-kata indah nan sederhana “bahagia, tidak harus mewah”. Benar adanya. Kami tiba dirumah kawan sekitar pukul 12.30 WIB siang hari, dengan rentetan orang-orang memandangi kami, karena memang dirumah Bulan sedang ada acara hajatan, sehingga tetangganya membantu menyiapkan konsumsi.
Dengan segala perasaan yang berkecamuk, kami memilih untuk menciptakan bahagia lewat tawa, dan candaan sederhana. Tiba-tiba, salah satu kawan tergumam mendapat notifikasi di whatsappnya, ya Ana mendapat notifikasi pengumuman revisi tulisan yang kemarin kami buat. Ana tidak satu kelas denganku, namun aku tetap khawatir akan hasil yang sudah aku tulis dan ku serahkan dengan yakin kemarin dulu. Begitu banyak revisi, dari deretan nama yang disebutkan membuat jantungku berdegup lebih kencang dan menanti giliran kelasku, namun rupanya kelasku bukan hari ini pengumumannya. Kembali ku hempas perasaan cemas itu, mencoba membuat bahagia kembali bersama kawan-kawanku disana. Sampai akhirnya, waktu kami disana harus berakhir. Kami kembali, menanti tugas dan revisi-revisi.
Malam itu, aku tiduran dengan memainkan handphoneku, memandangi layar handphone, seperti biasa kebiasaanku adalah scroll-scroll media sosial. Tiba-tiba ada notifikasi yang mendebarkan, pengumuman revisi dan penolakan karya diumumkan malam itu, aku ingat benar bagaimana rasanya jantungku berdegup kencang menanti namaku disebut, dan pada urutan ke tiga diakhir pengumuman nama singkat itu disebut, ditolak, harus diganti, dan dicapslock. Betapa aku tidak kalang kabut membaca itu, rasanya jantungku hampir copot, pikiranku tidak karuan, tulisanku gagal. Namun, aku tetap berusaha tenang, memikirkan langkah selanjutnya, ide-ide baru, dan tak terlalu berminat membuka handphone biru itu. Tulisanku gagal.
Tiga hari berlalu, dari pengumuman itu aku baru bisa bangkit dari perasaan gagal itu. Memikirkan ide-ide baru, menampung segala saran, dan masukan orang-orang terdekatku. Akhirnya, aku membuat tulisan baru. Meskipun harus tertatih-tertatih, dengan banyak pekerjaan yang harus aku sesuaikan, ribuan kata yang harus ku tuntaskan. Tapi, gagal bukan berarti bodoh. Tuhan hanya ingin melihat seberapa usaha kita, Tuhan hanya ingin melihat kita belajar lagi. Aku bisa, baru-baru ini aku mendapat nilai A.
Terimakasih Tuhan, atas rencananya.
TAMAT
Terimakasih sudah membaca ceritaku, semoga apa yang aku tulis pada setiap alurnya memberikan emosi positif bagi kawan-kawan semua.
Mau menulis bareng, di karyakarsa? bisa!
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
