Indonesia Day

0
0
Deskripsi

Bab 14

Sebuah banner bertuliskan “Welcome to Indonesia Day” terpampang gagah berdiri di depan pintu masuk Ames Public Library. Menyusul kemudian tulisan di bawahnya “Building friendship through education, arts, and cultures”. Terdapat bendera merah putih berdampingan dengan bendera merah putih biru dengan 50 bintang di bagian paling atas banner itu, lambang persahabatan kedua negara.       

Di bagian dalam, ruang pameran perpustakaan publik terbesar di kota Ames itu telah disulap menjadi panggung pertunjukan. Ornamen-ornamen yang kental akan budaya Indonesia menghias di setiap sudutnya. Ketika membuka pintu, pengunjung akan disambut meja-meja kecil berisi pernak-pernik dan souvenir khas nusantara lengkap dengan pamflet tentang Indonesia berbahasa Inggris. Benda-benda tersebut sengaja diangkut dari asal daerah keduapuluh anggota kelompok kami. 

Sedemikian rupa kami merancang layout ruangan pertunjukan. Menata ini dan menghias itu demi menyambut para tamu dengan kelumit pameran kecil tentang kebudayaan dan kesenian nusantara. 

Seorang eks manajer Event Organizer memimpin dalam tugas pendekorasian ruangan itu. Ia adalah Bang Irenk. Pertemuan kami waktu itu menjembatani jalinan silaturahmi yang kental antara ia dengan seluruh anggota grup kami. Ia kerap berkunjung dan mengguyur apartemen kami dengan bermacam-macam makanan dan camilan. Perhatiannya yang besar membuat kami menganugerahkan gelar kehormatan padanya sebagai “Kakak Besar”. Dan kali ini, sang kakak besar itu mengerahkan seluruh pengalamannya membantu hajatan penting kami. 

Selain Bang Irenk, turut pula membantu kami para pemuda dan pemudi anggota Perhimpunan Mahasiswa Indonesia Amerika Serikat (Permias) di kota Ames. Mereka berpakaian batik rapi dan mengemban berbagai fungsi, antara lain: penerima tamu, fotografer, videografer, dan pengatur sound system.  

Seorang perempuan berwajah lokal di usia 50an membuka acara. Kepala pengelola Ames Public Library itu menyambut antusias penyelenggaraan acara ini. Ms Alyssa menyambung setelahnya. Beliau mengharapkan pementasan kami mampu menumbuhkan semangat persahabatan lintas negara. Ms Alyssa kemudian memperkenalkan anggota kelompok kami satu demi satu. Kami melangkah ke panggung mengenakan pakaian adat daerah masing-masing.

Hatiku seketika berkecamuk dengan apa yang terjadi pada kami sekarang. Lihatlah bule-bule itu! Tak kurang dari 400 orang tengah bersiap menanti apa yang akan kami pertunjukkan. Dan pertunjukkan itu dimulai dengan mengajak mereka berdiri. Kami akan mengumandangkan lagu paling sakral di tanah air: “Indonesia Raya”. 

Suasana seketika hening. Tidak ada yang bersuara. Bahkan nyamuk-nyamuk yang tengah lewat pun sejenak ikut berhenti dan diam. Musik iringan diputar Bang Irenk dari laptopnya. Nada keramat itu mulai berbunyi. Lagu agung itu hendak dinyanyikan. Secara perlahan, kurasakan getaran-getaran dahsyat yang membuncah-buncah di segenap aliran darah. Upacara bendera yang selalu kulakukan dahulu setiap hari Senin pagi di sekolah tak pernah memberiku perasaan seperti ini. Mungkin karena telah terbiasa. Namun, berada di tanah asing ternyata memberikan sensasi yang berbeda. Tiba-tiba jiwa nasionalismeku meluap-luap. Setiap inci tubuhku merinding. Hatiku berdegup-degup kencang. Perasaan haru bercampur bangga menyelimuti sendi-sendi badan, merasuk ke dalam sel-sel tulang terdalam. Pelupuk mataku seketika menghangat ketika lagu sakral itu menyentuh bait pertama, 

“Indonesia tanah airku.”

“Tanah tumpah darahku.” 

“Di sanalah aku berdiri.”

“Jadi pandu ibuku.”

Sejalan dengan lirik yang terus berganti, mataku semakin memanas. Jiwaku terpanggang api patriotisme yang berkobar-kobar. Kutahan sekuat tenaga bola salju di mataku agar tak runtuh. Tapi gagal. Pertahananku hancur ketika lagu menyentuh lirik, 

“Indonesia Raya merdeka merdeka ….”

“Tanahku, negeriku yang kucinta.”

Air mata membanjir di wajahku. Aku berubah menjadi pemuda cengeng. Sesaat kuperhatikan teman-teman di sebelahku. Mereka menunjukan reaksi serupa, larut dalam suasana bangga.

Lantunan lagu “Indonesia Raya” selesai. Penonton dipersilakan duduk kembali. Kami bergeser ke belakang panggung untuk berganti pakaian. Bang Irenk menayangkan video profil Indonesia pada layar raksasa di atas panggung demi mengisi kekosongan.

7 menit video diputar, kami kembali ke panggung dengan pakaian tari saman. Kepala kami diikat dengan bulung teleng. Sementara badan kami mengenakan baju kerawang, celana, dan kain sarung. Seragam ini dipinjam dari sanggar tempat Puja mengajar tari. 

Bang Irenk memfokuskan lampu sorot ke tengah-tengah pentas. Tarian kemudian dimulai. Puja menyanyi dalam bahasa Aceh tanpa diiringi alat musik. Kami menari mengikuti irama nyanyiannya. Dengan menggunakan pola lantai horizontal, kami melakukan berbagai gerakan dari gerak guncangkireplingang, dan surang-saring. Terkadang kami menepuk-nepuk tangan, dada, lantai, atau tangan penari di sebelah kami.

Gerakan-gerakan kami lincah menyesuaikan komando dari Puja. Semakin lama, tempo tarian kami semakin cepat, memperlihatkan dinamika gerakan tarian ini. Penonton tampak penuh khidmat menyaksikan aksi kami.

Beberapa waktu kemudian, tarian kami pun selesai. Hasil latihan selama hampir dua bulan penuh kami tampilkan dalam pertunjukan berdurasi tak lebih dari 7 menit. Tepuk tangan riuh seketika menggema di ruang pameran Ames Public Library, penanda bahwa para hadirin telah terpesona. 

Puja memberi aba-aba. Kami yang tadinya duduk, serempak berdiri. Ia berjalan dari pinggir ke tengah-tengah panggung dan menghadap penonton. Kemudian bersama-sama, kami menelungkupkan tangan di dada dan membungkuk, memberi penghormatan kepada para penonton. Bule-bule itu kembali melambungkan applause ke udara. Puja kembali menepuk tangan memberi tanda, kami mengikuti dengan menuju ke ruang ganti.

Penonton kembali disuguhi video profil Indonesia di waktu jeda. Kali ini, video banyak menampilkan tempat-tempat wisata yang indah di Indonesia. 8 menit di ruang ganti, kami kembali ke panggung. Pertunjukan selanjutnya adalah ketoprak berbahasa Inggris dengan lakon Damar Wulan.

Rama yang berparas rupawan berperan menjadi tokoh utama. Puja memerankan Ratu Kencana Wungu, sementara aku ditugaskan memainkan karakter Menak Jinggo yang hendak memberontak kepada Majapahit. 

Para awardee yang lain berperan sebagai dayang-dayang dan juga para prajurit. Sementara Febri bergabung dengan Bang Irenk di bagian operator demi membacakan narasi cerita. Aksennya yang jelas dan bersih itu membuat kata demi kata yang ia ucapkan mudah dimengerti penonton.

Satu persatu adegan dan dialog digelar. Pemirsa disuguhi pertunjukan opera versi Jawa. Pementasan drama ini berjalan jauh lebih lama, hampir satu jam.  

Dikisahkan bahwa Damar Wulan adalah abdi kerajaan Majapahit yang mendapat tugas dari Ratu Kencana Wungu untuk menumpas pemberontakan Menak Jinggo. Pertempuran sengit pun pecah karena kedua tokoh itu memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Di akhir cerita, Damar Wulan akhirnya mampu mengalahkan Menak Jinggo dan menikahi Ratu Kencana Wungu. 

Gegap gempita penonton bertepuk tangan menyambut penutupan acara ini. Raut wajah mereka menunjukan sesuatu yang jelas dapat diartikan sebagai kepuasan. Banyak dari mereka menyelamati kami dan berterima kasih karena telah menyuguhkan kesenian yang amat mereka nikmati.   

Kami akhirnya dapat bernapas bangga. Acara yang kami susun jauh hari sejak di tanah air itu mencetak satu lembaran istimewa dalam perjalanan hidup kami. Pengelola Ames Public Library, Ms Alyssa, Bang Irenk, dan para anggota Permias turut membantu kami menorehkan pencapaian itu. Hari ini, kembali kusaksikan bahwa semangat gotong royong mampu mengalunkan simfoni yang demikian indah. 

Ms Alyssa hadir di tengah-tengah kami seusai acara. Disalaminya para laki-laki dan dipeluknya para perempuan satu demi satu. Ujaran terima kasih tak henti-hentinya mengalir dari bibirnya. 

Kesuksesan memperkenalkan budaya Indonesia menerbitkan rasa puas di dada kami. Penonton pun terkesima. Sekelumit keindahan Indonesia telah menyemai di hati mereka. Selamanya mereka akan terkenang akan hal itu. Tak hanya untuk warga Ames, tapi juga Ms Alyssa. Sorot matanya yang berbinar-binar mengesankan bahwa Ibu Amerika kami itu amat bangga. Dan semoga, kami juga membuat Ibu Pertiwi merasakan hal yang sama. 

Semoga.

*** 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya I Left My Heart in Ames
0
0
Bab 15
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan