I Left My Heart in Ames

0
0
Deskripsi

Bab 15

Pukul 1 dini hari, aku mengayunkan kaki keluar rumah demi mengencani udara malam. Sore tadi, kami menggelar jamuan makan untuk terakhir kali bersama Ms Alyssa. Beliau datang membawa tumpukan sertifikat kelulusan program kami.   

Kini, semua jadwal kami telah tuntas terpenuhi. Segala agenda telah terlaksana. Menyisakan acara terakhir, perpisahan. 

Sementara teman-temanku terlelap demi mengisi daya, aku berjalan-jalan tanpa tujuan. Langkah-langkahku berkelok-kelok mengelilingi rumah-rumah, taman-taman, hingga jalan raya. 

Daun telingaku terusik manakala tertebar suara perempuan tersedu-sedan. Rasa penasaran mengukuhkan keberanianku untuk mendekati sumber suara itu. Mataku terkesiap mendapati sesosok perempuan dengan pakaian serba putih tengah duduk di bangku pinggir jalan. Rambut hitamnya yang terurai ke punggung memercikkan suasana seram. Horor menyelimuti interaksi kami yang kini hanya berjarak beberapa langkah saja. 

Nalarku memprotes keadaan ini. Bagaimana mungkin sesosok Kuntilanak berkeliaran di sini? Ini adalah tanah Amerika. Jika mesti berpapasan dengan hantu, harusnya berjenis casper, bell witch, slender manghost rider, dan sebangsanya. Bukan makhluk halus yang kerap menangis dan cekikikan sendiri itu.

Aku paham akan kecanggihan teknologi informasi dapat memudahkan manusia bertransaksi barang apapun. Namun apakah hal itu turut memicu Amerika untuk mengimpor hantu dari negara lain? Tak cukupkah mereka dengan spesies memedi yang mereka punyai saat ini?  

Kupompa kembali nyaliku demi melangkah mendekat. Aku berjalan berjingkat-jingkat ke arah sosok perempuan itu. Vibrasi langkah-langkahku sepertinya terdengar olehnya sehingga makhluk itu menoleh dan menyibakkan enigma yang sedari tadi mengganduli pikiranku. Wajah itu pucat pasi seolah telah ribuan purnama dirundung nestapa. Matanya sembam seakan air mata tak pernah berhenti mengalir dari pelupuknya.

Udara malam jelas memberondongkan peluru-peluru es ke tubuhnya. Tapi sosok itu tak mengenakan pakaian tebal. Ia seperti sengaja mengumbar tubuhnya untuk menjadi santapan kebengisan angin jahat. 

Aku mengambil posisi duduk di sampingnya. Nyaliku tak lagi menakut karena aku mengenal makhluk ini dengan baik. Ia adalah teman akrabku di sini. 

Suasana hening. Sosok itu malas bersuara. Pikirannya mungkin tengah dilamun derita. 3 buah mobil melintas beriring-iringan di depan kami merusak kesunyian. Kuhancurkan sekalian kesenyapan ini dengan mulai berbicara.

“Kamu menangis, Feb. Kenapa?” 

Febri menoleh lagi ke arahku. Sorot matanya semakin layu. Pipinya semakin basah. Mendung di wajahnya demikian kentara. “Tidak apa-apa, Mas. Aku emang lagi pengin nangis aja.”

Aku mendesis kecil, kemudian mengulum senyum. “Kamu itu aneh. Masa punya keinginan, kok, nangis?” 

“Ya ndak apa-apa, kan, Mas? Ndak ngerugiin orang ini. Toh, Tuhan juga menciptakan air mata. Ya, kan?”

“Kamu masih belum rela kalau besok kita harus pulang ke Indonesia?”

“Sepertinya begitu, Mas. Waktu terasa berjalan dengan sangat cepat.” 

“Aku masih ingat. Dulu awal-awal di sini kamu menangis meraung-raung karena kangen dengan rumah. Sekarang kebalikannya. Kamu menangis karena tak ingin pergi dari sini.”

Febri terdiam. Hening lagi sesaat.

“Sekarang aku sudah mampu beradaptasi, Mas. Malah merasa nyaman.”

“Meskipun begitu, kita harus pulang besok sesuai jadwal.”

I want to stay longer, Mas. Aku masih ingin bertualang lagi di sini. Aku masih ingin jalan-jalan ke Minnesota, pergi ke kampus tiap hari, melakukan pertunjukan Indonesia Day. Aku ingin melakukan semuanya lagi. Apakah tidak boleh?” Suaranya kini parau, terdengar memelas.

Aku menghela napas. “Tidak ada yang salah dengan itu. Jujur saja, aku juga merasakan hal yang sama. Ingin berada di sini lebih lama. Waktu 2 bulan terasa sangat sebentar. Tapi, kita, kan, harus taat peraturan.”

“Iya sih, Mas. Tapi kenapa harus besok pulangnya? Tak bisakah ditunda satu minggu lagi? Masih banyak hal yang ingin kulakukan di sini.” 

“Hei, anak manis. Akan ada banyak kesempatan untuk perempuan berbakat dan pekerja keras seperti dirimu di masa depan. Termasuk, peluang untuk kembali lagi ke sini. Misalnya untuk S2, atau bahkan S3.” 

“Apa mungkin aku bisa, Mas?”

“Hei, kenapa ragu seperti itu? Itu tidak seperti Febri yang kukenal.”

“Memangnya, Febri seperti apa yang Mas Suca kenal?”

“Febri yang aku kenal adalah seorang perempuan mandiri, percaya diri, dan punya keinginan kuat untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Dan dia tidak akan menyerah sebelum meraih mimpi-mimpinya itu.”

“Apa Mas Suca percaya bahwa Febri yang Mas kenal dapat menggapai mimpi-mimpinya itu?”

“1000 persen percaya. Ia adalah salah satu perempuan luar biasa yang pernah kukenal dalam hidupku.”

Perlahan senyum di wajah Febri memegar. “Terima kasih, Mas. Sudah menjadi orang yang sangat suportif.” 

“Bukankah itu sudah menjadi tugas seorang kakak?” Aku turut tersenyum.

“Besok-besok, jangan pernah lelah, ya, Mas, untuk menyemangati adikmu yang cengeng ini.”

“Pasti,” jawabku mantap. “Yaudah. Sudah larut dan dingin juga. Kalau di sini terus, bisa-bisa kamu kesurupan ntar. Tidak lucu kan, kalau tiba-tiba kamu histeris.” Aku menirukan perkataan yang pernah ia ucapkan padaku ketika di bandara Cengkareng dulu.

“Kamu mencuri kata-kataku, Mas.”

“Bukan mencuri, tapi mengembalikannya padamu. Sekarang ayo kembali ke rumah. Besok kita akan melakukan penerbangan panjang.”

Febri terlihat enggan. Namun dinginnya malam yang makin tak ramah membuatnya menyerah. Kami beranjak. Beberapa langkah, Febri berhenti.

“Sebentar, Mas Suca!” 

“Ada apa lagi?”

“Aku ingin menuliskan sesuatu di sini.”

Febri mengambil sebuah batu dan mengukirkan namanya di trotoar jalan.

“Itu buat apa?” tanyaku heran.

“Bukan apa-apa, Mas. Buat penanda aja kalau aku pernah di sini. Dan siapa tahu, aku dapat ke sini lagi suatu saat nanti.”

“Ya, ampun! Ada-ada saja kamu.”

Kami pulang ke rumah dan masuk kamar masing-masing demi beristirahat sebelum melakukan perjalanan pulang ke tanah air.  

***

Hukum kehidupan berbunyi: pertemuan dan perpisahan datang silih berganti. Maka pagi itu, kami resmi berpamitan dengan Ames, kota istimewa yang telah memberi kami ilmu, pengetahuan, pengalaman hidup, dan kenangan manis tiada tara. Meskipun kami sedih, namun kota itu tetap tersenyum. Ia seakan tak peduli dengan hati kami yang tengah dilanda duka.   

Ms Alyssa turut mengiringi kami ke Des Moines International Airport. Beliau terus menemani kami di dalam bandara. Ms Alyssa sepertinya belum rela berpisah dengan kami. Para perempuan di grup kami berjalan di dekatnya dan memegang tangannya erat-erat, seolah tak ingin melepaskannya. Mereka layaknya anak-anak kecil yang tak rela bersurai dengan sang ibu. 

Kami duduk di ruang tunggu mengelilingi Ms Alyssa. Berkali-kali, orang yang paling berjasa dalam program kami di Iowa State University itu menyeka air mata yang deras mengalir di pipinya. 

Everyone!” Beliau mulai berbicara. “Setiap hari yang saya lewati bersama kalian adalah hari yang istimewa. Kalian tahu, kalian adalah hadiah terindah yang pernah saya dapatkan di sepanjang hidup saya. Kalian tidak tahu betapa bahagianya saya mendapatkan 20 putra-putri luar biasa seperti kalian. Jikalau pun saya harus mati esok hari, saya tidak akan menyesal." 

Ucapan Ms Alyssa langsung disambut suara mengharu kami, “Awwww.....”

I can't say thank you enough guys. I feel so blessed to get to know you all,” tutupnya.

Ms Alyssa, bukankah kami yang sepatutnya berterima kasih? Kenapa engkau menjarah kata-kata yang seharusnya kami ungkapkan?

Tiba-tiba, Puja berdiri memberi aba-aba. Kami langsung mengerti maksudnya. Kami memang telah mempersiapkan penampilan khusus untuk ibu kami itu.  

Dengan hitungan satu, dua, tiga, kami serempak mulai menyanyikan sebuah lagu sendu yang dipopulerkan oleh Maywood. Lirik lagu itu kami sesuaikan dengan kondisi kami. 

“Mother, how are you today?”  

“Here is a note from your children”

“With us everything is okay ….”

“Mother, how are you today?” 

“Mother, don’t worry we’re fine.”

“Promise to see you this summer.”

“This time, there will be no delay.”

“Mother, how are you today?”

“We found the one of our dreams.”

“Next time you will get to know it.”

“Many things happened while we were away.” 

“Mother, how are you today?” 

Nyanyian grup paduan suara berisi 20 pemuda-pemudi Indonesia itu menggelegar memenuhi ruang tunggu Bandara Internasional Des Moines. Suasana mendadak ramai. Para penumpang lain mengarahkan pandangan ke arah kami, penasaran dengan apa yang terjadi.  

Demi mendengar kami bersenandung, Ms Alyssa kembali sesenggukan. Beliau tersedu sedan memeluki anak-anak perempuannya. Kami menangis bersama. Suasana makin mengharu biru. Beberapa menit kami larut dalam suasana itu sebelum akhirnya panggilan boarding menjemput. Mau tak mau, kami harus berpisah, meninggalkan ibu angkat kami itu sendiri.

Masih kulihat lamat-lamat bangunan Bandara Internasional Des Moines yang mengantar kepergian kami dari jendela pesawat yang kutumpangi. Seberapa besar pun keinginanku untuk tetap tinggal, namun waktu jualah yang memaksaku pergi. Meski hanya 2 bulan, namun kenangan yang kubuat di sana akan tersimpan abadi. Kota cantik itu telah mencuri hatiku. Selamat tinggal Ames. Hari ini aku titipkan sekeping hatiku padamu. Suatu saat, aku akan datang kembali untuk mengambilnya. 

***

Hari merangkak menuju pagi ketika pesawat yang membawa kami mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Perjalanan panjang dari Amerika itu berakhir setelah kami tempuh selama 29 jam. Lebih cepat dari waktu keberangkatan.   

Sesampainya di tanah air, riak-riak kesedihan telah menanti. Satu demi satu, ke 19 anak-anak muda luar biasa itu melangkah pergi manakala terdengar panggilan boarding pesawat yang akan mereka tumpangi. Febri kembali ke Jawa Timur, Puja ke Aceh, Rama ke Samarinda, dan teman-teman lain ke daerah asalnya masing-masing.

Kutunggui dan kulepas mereka satu persatu. Rama menjadi yang terakhir. Kami berpelukan erat sebelum akhirnya pemuda itu juga beranjak meninggalkanku sendiri. 

Palu godam sekongyong-konyong menghantam dadaku. Sakit sekali. Serasa tak puas memisahkanku dengan Ames, Iowa State University, Schilleter Village, dan Ms Alyssa, sang waktu kini merenggut teman-teman awardee dariku. Lihatlah! Betapa ia tak peduli akan terlukanya hatiku yang tersayat-sayat. 

Dua hal yang tak dapat kupahami tentang takdir adalah: mengapa kami dipertemukan hanya untuk kembali dipisahkan? Mengapa kami diberi kenangan manis hanya untuk membuat mata menangis?   

Kusudahi lamunanku. Kembali kuraih titik kesadaran. Meski hatiku belum rela, aku juga harus pergi. Di pool bandara, bus Damri telah menunggu. Kuayunkan kakiku menuju ke sana. Bus itu akan membawaku kembali ke kota tempat tinggalku sebelumnya, Ciputat.

***

London, November 2018

Aku mengakhiri cerita di bagian ini dengan sebuah senyum.     

“Hmm. This part of the story is very interesting.” Moritz berkomentar.

Yeah, pengalaman di Amerika membuatku lebih dewasa dan terbuka. Mataku telah melihat dunia yang berbeda,” ucapku.

“Kata-kata yang bagus sekali, Suca!” Anna menyahut. “Aku rasa ada banyak hal di dunia ini yang membuat kita bisa bertumbuh menjadi orang yang lebih matang. Sama seperti pengalamanmu di Amerika, pengalamanku mengajar di sini juga membuatku bertambah dewasa.” 

Aku mengangguk mendengar komentar Anna. “Apakah ada kendala selama kamu mengajar di sini, Anna?”

“Aku tidak menyebutnya sebagai kendala, tapi lebih ke tantangan. Meski terkadang terasa berat, aku berusaha menjalani hari-hariku di sini dengan perasaan bahagia.”

“Kamu orang yang sangat berdedikasi.”

You know, Suca? We only live once. So, it has to be meaningful.”

“Kata-kata yang sangat manis.” Aku tersenyum mengapresiasi perkataan Anna. “Berarti semua pengajar di sini harus bisa bahasa isyarat, ya?”

“Iya.”

“Jadi, anak-anak yang mempunyai masalah pendengaran di sini tidak bisa belajar dari orang yang tidak bisa bahasa isyarat.”

“Bisa saja. Seperti dengan tulisan. Tapi tentu akan lebih mudah dengan bahasa isyarat.”

Mendengar keterangan itu, tiba-tiba terlintas sesuatu di kepalaku. Aku diam sejenak memikirkannya.

“Ada apa, Suca?” Anna terkejut dengan perubahan mimik mukaku.

Guys, aku tidak tahu apakah ini mungkin, tapi tiba-tiba aku menemukan sebuah ide.” Aku menghaturkan usulanku pada Nhat, Moritz, dan Anna. Mereka bertiga mendengarkan dengan saksama. Selesai meresapi penjelasanku, mereka mengangguk-angguk.

“Ide ini menarik sekali, Suca,” komentar Moritz. 

“Jika kalian bisa menciptakan aplikasi seperti itu, aku yakin banyak orang yang akan terbantu.” Anna berujar. “Dan aku secara pribadi akan sangat berterima kasih.” 

“Pertanyaannya adalah, apakah ide ini bisa direalisasikan?” tanya Nhat. Meski masih dalam tahapan gagasan, ia ingin agar semuanya terukur.

Aku menatap Moritz, sebagai seorang programmer, ia pasti tahu teknologi jenis apa yang dibutuhkan untuk mewujudkan ide baru itu. “What do you think, Moritz?”

Moritz terdiam sejenak seolah tengah merenungkan sesuatu. Tak lama, sebuah senyuman kepuasan mengembang di bibirnya. Ia kemudian bertutur, “Well, fake it till you make it.” 

Aku dan Nhat berpandangan dan mengangguk bersamaan. Nhat menghela napas pendek sebelum mengambil kesimpulan. “Oke, kita pakai ide ini untuk pitch competition.

Sore itu, kelompok kami bersemangat demi menggarap ide baru dalam perhelatan penting yang akan kami ikuti di kampus.  

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Pitch Competition
0
0
Bab 16
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan