
BL | BxB
Ketika terbangun di suatu pagi, Juan Alluca mendadak kehilangan segalanya. Tahta, harta, dan juga ingatan. Kini dia menjadi tahanan yang dibenci di seluruh negeri.
Hanya satu orang yang tak pernah berubah dan tak membencinya.
“Pengkhianat.”
Ketika ucapan itu kulontarkan, sinar matamu meredup. Kau tampak terluka.
Tentu kau tahu, dari seluruh jenis manusia di dunia ini, aku membenci pengkhianat. Mereka yang bermuka dua, yang memasang topeng tersenyum namun mengutuk dan menyumpahiku di baliknya.
Kau menggeleng resah, menyangkal setiap tuduhanku. Namun aku yang terlalu takut untuk menaruh rasa percaya lagi mengenyahkan segala ucapanmu dan berbalik pergi. Sambil berlalu, cairan hangat mengaliri wajahku. Dan meski kudengar kau memanggil namaku, aku tetap melangkah pergi.
Seandainya saat itu aku memaafkanmu, mungkinkah segalanya berbeda?
Akankah kau masih berada di sisiku? Dan mungkinkah kebebalanku tidak akan menghadirkan petaka?
Namun seberapa seringpun aku memikirkannya, kenyataan tetap tak bisa berubah.
Aku kehilanganmu. Dan segalanya.
*****
Kedua mataku perlahan membuka. Seketika cahaya terang menerpa, memaksa kedua mataku kembali tertutup. Setelah beberapa saat beradaptasi, pandanganku berangsur normal, dan dapat kulihat pemandangan langit-langit ruangan dengan sebuah kandil menjuntai. Sambil pikiranku mengawang, kuupayakan tubuhku yang kaku untuk terduduk. Lalu dari atas ranjang, kuedarkan pandanganku memutari ruangan tiga kali enam meter itu. Ada beberapa objek yang kutemukan, seperti sofa rotan di pojok kamar, pintu jeruji, sepetak meja kayu, serta...
Prang!
Bunyi pecahan beling itu menciptakan keributan. Aku spontan menoleh ke arah sumber suara. Kudapati keberadaan seorang gadis berseragam pelayan di balik pintu. Gadis itu tampak syok, memandangiku seperti baru saja menemukan penyelundup. Dia lalu berlari tergesa-gesa begitu saja, meninggalkan kekacauan yang diciptakannya. Sementara aku hanya mampu duduk tergamang, tak paham mengapa dia sangat terkejut.
Kulirik sisa ruangan itu. Tidak ada yang spesial, hanya terdapat perabotan kamar seperti pada umumnya. Namun aku mulai merasa janggal karena tempat itu sangatlah asing, tidak menyerupai kamar tidur yang biasa kutempati. Kamar megah dan indah yang ada di istana sangatlah jauh berbeda dari rupa ruangan sempit dan kumuh semacam ini.
Tunggu, ngomong-ngomong mengapa aku bisa ada di sini? Dan mengapa aku memakai busana polos seperti kaum jelata?
Tak lama berselang, terdengar gemuruh derap langkah kaki manusia. Beberapa prajurit beserta pelayan wanita itu tiba di depan kamar, memandangiku dari balik jeruji. Dahiku spontan berkerut ketika menyaksikan wajah tegang mereka. Aku sama sekali tidak mengenal— oh tunggu, ada satu pria yang kukenali wajahnya.
“Matt?”
Sang pemilik nama bertubuh jangkung itu terkesiap ketika namanya kupanggil. Semua orang serentak menatapnya.
“Kenapa aku ada di sini?” tanyaku. “Tempat apa ini? Keluarkan aku.”
Pertanyaan itu, sayangnya, tidak dijawab yang bersangkutan. Justru sirat kebingungan semakin memadati wajah mereka. Begitu aku berdiri, mereka malah terperanjat dan beringsut mundur.
Aku tergamang bingung, namun memutuskan untuk tidak menggubrisnya. “Kalian kenapa? Tidak dengar? Keluarkan aku!” sahutku meninggikan intonasi. Tetapi miris, tiada satu orang pun menuruti perintah itu.
Sungguh sikap mereka sangatlah aneh. Sebelum sempat berseru lagi, kedatangan seorang pria berbaju zirah mengejutkanku. Pria berpostur tinggi besar dan berkumis tebal itu adalah ayah Kim Matthew: Jenderal Kim. Dia perwira tinggi kerajaan yang sudah mengabdi pada keluarga kami sejak kecil. Melihatnya, aku berharap pria itu akan bersikap normal, tidak seperti mereka.
“Jenderal, tolong suruh mereka membukakan pintu. Mereka bersikap sangat aneh, melihatku seperti melihat setan,” tuturku padanya. Namun tidak sesuai harapanku, Jenderal Kim melirik orang-orang di sekitarnya dan malah bersungut-sungut bersama mereka. Aku mulai merasa curiga ada sesuatu yang tidak beres.
“Hei, kalian sedang apa?! Kubilang keluarkan aku!” seruku emosi. Kesabaranku habis sudah.
Baru setelah aku berteriak, mereka kembali memandangku dalam diam. Aku merasa rendah, seperti pameran hewan liar yang mereka bisa sepuasnya pandangi dari balik jeruji pembatas. Lalu kudengar Jenderal Kim berkata, “Jadi dia amnesia...”
Aku tak mengerti apa maksudnya. Rasanya kami seperti memiliki bahasa yang berbeda, karena mereka tidak menggubris ucapanku seolah tidak mengerti apa yang kukatakan dan malah menuturkan kata-kata aneh. Kemudian Jenderal Kim berkata lagi, “Laporkan ini pada Yang Mulia, dan bawa dia ke istana utama.”
Kali Ini ucapan itu membuatku benar-benar tercengang. Siapa yang dimaksudnya dengan 'Yang Mulia'? Bukankah... itu julukanku?
Para bawahannya menurut dan akhirnya membukakan pintu besi itu. Kulihat mata awas mereka mengamati gerak-gerikku. Aku tidak tahu mengapa, tapi aku merasa seperti seorang tahanan yang sangat berbahaya.
“Silakan keluar. Tolong jangan memberontak,” ujar Matthew, membuatku sungguh tersinggung dengan ucapannya. Kesannya aku seperti binatang buas yang suka mengamuk.
“Beraninya kau berkata begitu pada anggota keluarga kerajaan?” ucapku geram, berharap di wajahnya akan timbul rasa bersalah. Memang raut muka Matthew berubah, namun bukan kecemasan yang muncul di sana. Melainkan rasa awas.
Sungguh, aku murka. Mereka tidak menghormatiku, dan sekarang menganggapku seperti seorang tahanan? Pangeran mereka sendiri?
Saat itu, hasrat membangkang muncul di benakku. Ketika pintu terbuka, aku berusaha tidak melawan dan membiarkan mereka menuntunku. Namun begitu mereka mengeluarkan seutas tali untuk mengikatku, aku tidak tinggal diam. Kugunakan salah satu kakiku untuk menendang bagian privat salah seorang penjaga di sana, hingga dia merintih kesakitan dan melepaskan genggamannya dari lenganku. Saat itu juga aku berlari kencang, membuat semua orang berteriak panik dan mengejarku.
Ah, aku akhirnya ingat tempat ini. Ini adalah penjara Maxwell, penjara khusus di area istana. Penjara ini biasa digunakan untuk menahan bangsawan dan konglomerat. Ternyata di sini aku berada, menjadi seorang tahanan di istanaku sendiri?
Aku terus berlari dengan pikiran kalut hingga mencapai halaman depan. Saat itulah upayaku kabur berakhir. Para penjaga mencekalku, dan mereka bahkan melumpuhkanku ke tanah. Aku meringis kesakitan atas sikap kasar mereka dan spontan memaki, “Hei, lepas! Beraninya kalian bersikap lancang padaku!?”
Matthew serta para prajurit lain akhirnya tiba. Mereka menjerat tanganku, mengunci seluruh gerakanku dengan membaringkanku di tanah secara tengkurap.
“Lepas!” teriakku sambil memberontak. Ikatan yang mereka berikan terlalu kencang sampai rasanya mustahil untuk melepasnya. Mereka lalu menyeretku menuju lobi istana. Tapi aneh, ada yang berubah dari istana itu. Misalnya, kini ada pekarangan bunga di dekat gerbang utama, dan berdiri sebuah gedung baru di sisi barat istana. Semua itu baru kusadari ketika kakiku dipaksa berjalan oleh petugas keamanan.
Setelah mencapai halaman istana utama, tubuhku diempas kembali ke tanah. Betapa syok diriku dengan perlakuan lancang itu. Aku sampai berpikir, apa ini hanyalah mimpi? Tapi ini kenyataan, karena tubuhku terasa nyeri setelah didorong jatuh.
Saat masih terbaring di tanah, kudengar jelas cemooh yang seorang prajurit tuturkan untukku, “Tunggu di sini, keparat. Kau tak akan bisa lari.”
Aku semakin tak percaya dengan semua peristiwa ini. Mereka pasti sudah gila bisa mengataiku seperti itu. Apa mereka tak tahu, hukuman untuk siapapun yang menghina anggota keluarga kerajaan adalah mati?
Merasa geram, aku memberontak sekuat tenaga. Aku ingin mencakar pria tak tahu sopan santun itu kalau saja mereka tidak mengikat tanganku. Kami terus bergelut hebat, hingga aku yang merasa terdesak menggigit lengan prajurit itu. Lantas dia mengerang kesakitan, lalu dengan refleks memukul wajahku.
Aku kembali tersungkur ke tanah. Para bajingan itu lalu berusaha menyekap mulutku. Rasanya nyawaku sedang dipertaruhkan sampai aku berpikir, apa salahku? Apa yang menyebabkan mereka berani memperlakukanku seperti ini, pangeran mereka sendiri?
Dan saat sisa tenagaku hampir habis, kudengar sebuah suara berseru kencang, “Berhenti!”
Suara itu, aku mengenalnya. Suara rendah dan berat yang selalu mengisi keseharianku. Suara yang selalu hadir di setiap pagi hingga malam hariku.
Seketika para prajurit itu melepasku. Perlahan aku mengangkat wajahku yang nyeri. Dengan susah payah, kulihat sosok itu berdiri kokoh dalam rentang jarak beberapa meter, lengkap dengan seragam kebesarannya.
Ah...itu dia. Mata besarnya, bibir tebal merahnya, kulitnya yang cerah dan rambut hitam legamnya, tak ada yang berubah dari sosok seorang Sergio Caresen.
Pria itu berderap mendekat, berlutut untuk melihat wajahku lebih cermat. Aku nyaris tersenyum karena merasa lega dia datang, namun segera kubatalkan niatku ketika kutatap wajahnya dari dekat.
Kedua mata indahnya berkaca-kaca seperti kristal, menatapku pilu. Sangat pilu.
Tanpa membiarkanku sempat berbicara, Sergio menarikku ke dalam pelukannya. Mencengkeram tubuhku erat, seperti yang biasa dia lakukan ketika aku merengek memintanya. Namun kali ini dia yang melakukannya tanpa perlu diminta.
Dalam pelukan gemetarnya, kudengar suara lembutnya pun bergetar. Melepas bisikan,
“Maafkan aku, Juan..."
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
