PREMIS HARUS BANGET PAKE FORMULA?

1
0
Deskripsi

Sejujurnya, Stereospace gak terlalu suka untuk terlalu mendasari semuanya pada teori yang ada. Teori itu ibarat standar yang membuat berkarya jadi general. Menurut Stereospace, nulis bukan sesuatu yang bisa digeneralisasi. Setiap pencetus karya berhak membuat karya mereka dengan cara mereka sendiri. Namun, terlepas dari sentimen tersebut, teori pun sebenarnya ada untuk membantu kita yang masih di tahap basic atau baru mulai. Gak ada teori yang salah, bukan berarti semua teori bisa diaplikasikan...

Sejujurnya, Stereospace gak terlalu suka untuk terlalu mendasari semuanya pada teori yang ada. Teori itu ibarat standar yang membuat berkarya jadi general. Menurut Stereospace, nulis bukan sesuatu yang bisa digeneralisasi. Setiap pencetus karya berhak membuat karya mereka dengan cara mereka sendiri. Namun, terlepas dari sentimen tersebut, teori pun sebenarnya ada untuk membantu kita yang masih di tahap basic atau baru mulai. Gak ada teori yang salah, bukan berarti semua teori bisa diaplikasikan di realita yang ada. Nah, baru  setelah kita mengumpulkan pengalaman dari teori, kita bisa memilih apakah teori tersebut cocok untuk kita aplikasikan atau enggak.

Untuk membahas topik yang satu ini, kita perlu melakukan breakdown terhadap teori yang sudah ada dulu nih. Dalam menentukan premis, ada 1 teori yang dikenal sebagai 3C:

  1. Character
  2. Conflict
  3. Conclusion

Kalau dijadikan satu kalimat premis, maka akan seperti ini kira-kira:

Karakter……. menghadapi konflik……. untuk mencapai sebuah konklusi…….

Karakter di sini mengacu pada tokoh utama, konflik mengacu pada proses yang dilalui tokoh utama sepanjang cerita, yang mendekatkannya pada konklusi--yang adalah akhir dari cerita (bisa berupa pengertian yang didapat si tokoh setelah melewati rintangan, atau keberhasilan/kegagalan dari apa yang diperjuangkan si tokoh. Bisa juga moral of the story). Misi utama dari 3C adalah memberi benang merah pada karakter, konflik yang dihadapi dan tujuan utama yang ingin dicapai dari konflik tersebut--yang akhirnya dirangkai menjadi 1 kalimat yang dinamai ‘premis’.

Oke, setelah tahu teori premis di atas, mari kita lanjut ke argumen yang satu ini:

Apakah untuk membuat premis harus selalu menggunakan 3C?

Belum tentu. 3C bukan formula kaya rumus matematika yang eksak. Ayo ambil contoh dari buku karya Stephen King berjudul 'Cell', yang memiliki premis bahwa 'teknologi mengurangi sisi kemanusiaan':

Dari premis tersebut, muncul [karakter] Clayton Riddell, yang menemukan [konflik] bahwa semua pengguna ponsel berubah menjadi zombie dan otak mereka dikontrol oleh sinyal dari ponsel. [Konklusi] Seluruh dunia yang bergantung pada sinyal untuk berkomunikasi telah dikuasai oleh energi tertentu, yang membuat mereka kehilangan sisi kemanusiaan. 

Dari sini, kita bisa tahu kalau 3C (karakter, konflik, konklusi) adalah aspek-aspek yang pasti ada di dalam sebuah cerita, entah itu hubungannya dari premis ke pengembangan cerita, atau pengembangan cerita ke premis. Inilah yang mendasari argumen Stereospace di artikel sebelumnya tentang ‘premis pasti ada dalam cerita kita’ (hayo, udah baca belum? Kalau belum, nanti baca yaa!).

Nah, karena 3C sebenarnya adalah aspek dalam cerita, berarti premis ga selalu harus berbentuk seperti ini:

Karakter……. menghadapi konflik……. untuk mencapai sebuah konklusi…….

Kita ga selalu harus berkutat di seputar tokoh utama untuk menemukan premis. Sebaliknya, tokoh utama bisa berkutat di sekitar premis, demi konklusi di akhir cerita. Mungkin di premis gak ada penjelasan tentang siapa karakternya, apa konfliknya atau konklusi, tapi, di plot pasti akan ada. Begitu juga sebaliknya. Jadi, gak salah kalau kita bikin premis seperti ini:

'Perbedaan adalah sesuatu yang menyatukan manusia'

Nah, apa yang harus dilakukan kalau kita kepiliran plot atau hal-hal lain dulu sebelum menemukan premis? Ini beberapa kondisi yang mungkin para writers sedang hadapi, dan cara mengakalinya untuk menemukan si premis:

  • Kalau kamu kepikiran adegan/sepotong plot/akhir cerita sebelum premis:

Coba perjelas adegan tersebut dalam kepala kamu. Lalu, coba pikirkan, kira-kira di situasi apa adegan tersebut akan menjadi sangat krusial dan menjadi penentu? Contohnya seperti ini, anggap saja kamu kepikiran adegan di mana seorang wanita berdiri di sebuah kapal kecil di tengah laut. Situasi yang kelihatannya biasa aja, bukan? Tapi, adegan itu bisa jadi klimaks sebuah cerita, ketika plotnya menceritakan bahwa si wanita menaiki perahu tersebut untuk menceburkan diri ke laut agar bisa terbangun dari mimpi buruk, dan ketika terbangun, si wanita tidak sengaja membunuh anaknya, lalu wanita tersebut pergi ke laut dengan perahu yang sama, untuk melompat ke laut agar terbangun dan…..

Nah, dari bayangan di atas, maka premis ceritanya mungkin bakal kayak begini:

Seseorang yang tidak bisa lepas dari kesalahannya yang menghantuinya.

  • Kalau kamu kepikiran tokoh utama sebelum premis:

Coba gali lebih dalam tentang si tokoh utama yang ada dalam benak kamu. Cari tahu dia orang yang seperti apa. Apa cita-citanya? Fobia apa yang dia miliki? Apakah ada trauma? Kenapa? Apa kelemahan dan kekuatannya?

Contoh alur pemikiran:

Apa yang paling penting bagi si tokoh utama?

(Ketika kamu udah tahu jawabannya, maka kamu bisa lanjut mempertanyakan:)

Bagaimana reaksinya ketika hal yang paling penting itu hilang?

Apa yang dilakukan si tokoh utama untuk mendapatkannya kembali?

(nah, di titik ini, kamu bisa tahu konflik yang dihadapi si tokoh utama bakal kayak gimana)

Apakah dia berhasil?

Apa yang dia pelajari setelah dia berhasil/gagal?

(Di sini, barulah sampai pada moral of the story)

Setelah itu, maka premis kita akan seperti ini:

Si tokoh utama kehilangan….. dan mencoba untuk mendapatkan….. yang pada akhirnya….. dan dia menyadari bahwa…..

Nah, ini 2 kondisi yang paling banyak jadi dilema dalam dunia tulis menulis. Kalau kamu punya dilema di luar dua ini, boleh tulis di kolom komentar ya, biar nanti kita bahas bareng-bareng! Sekali lagi, ini bukan teori, melainkan hanya sudut pandang lain dalam menemukan premis. Kalau cocok untuk kamu, boleh deh diikutin. Tapi, bukan berarti harus karena ini yang paling benar loh! 

Semoga kamu bisa dapat sudut pandang baru yang mencerahkan yaa!

Next bahasan: 

‘KUNCINYA BIKIN PREMIS YANG POWERFULL.’

[Gak setuju dengan opini di atas? Coba deh kasih argumen kamu di kolom komen!]

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya TEKNIK SHOWING VS TELLING?
7
2
Belum lama ini, ada perdebatan lagi di antara para writers internasional, yang mengangkat soal teknik showing vs telling. Apa itu teknik showing dan telling? Singkatnya, itu adalah dua teknik yang digunakan writer untuk mendeskripsikan sesuatu kepada pembaca, supaya pembaca bisa mengerti alur cerita yang disajikan.Terus, apa perbedaan di antara keduanya?Teknik telling menggunakan deskripsi dan memberi konklusi yang jelas kepada pembaca, sedangkan teknik showing lebih merangkum suatu kejadian dan hanya sebatas memberitahu apa yang terjadi, tanpa menjelaskan kesimpulan. Artinya, pembaca harus mengambil kesimpulan sendiri dari apa yang terjadi dalam plot.*Sedikit pelajaran sejarah* *ahem*Teknik showing ini sering dikaitkan dengan Anton Chekov (1860), seorang aktor dari Rusia, yang terkenal karena pernah berkata:Don't tell me the moon is shining; show me the glint of light on broken glass.(Jangan katakan kepadaku bahwa bulan bersinar; tunjukkan berkas cahayanya padaku lewat pecahan kaca)Setelah itu, teknik showing dipopulerkan oleh Percy Lubbock dalam bukunya yang berjudul The Craft of Fiction (1921), yang akhirnya mengubah teknik kepenulisan di masa itu. Dalam teknik showing, pembaca lebih leluasa buat menarik kesimpulan, karena penulis ga memberitahu kesimpulannya secara eksplisit. Pembaca harus menilai sendiri dari adegan yang ditulis, dialog dan reaksi tokoh dalam cerita. Sedangkan dalam teknik telling kebalikannya, pembaca mengambil konklusi karena diberitahu oleh penulis.BINGUNG?Stereospace kasih contoh yaa!Telling: ‘Ketiadaan pijakan itu membuatku takut. Setiap suara yang bersumber dari bawah sana membuat jantungku berdetak semakin cepat. Aku sedang jatuh ke sana, tanpa bisa berhenti.’Showing: ‘Tidak ada lantai solid di bawah kakiku. Di bawah sana hanya ada kegelapan. Dasarnya tidak terlihat. Meskipun begitu, aku terjatuh ke sana...’Pada dasarnya, teknik showing memberikan kesempatan buat pembaca untuk menyimpulkan apa yang terjadi dan menentukan apa yang seharusnya dirasakan saat membaca deskripsi tersebut. Contoh lainnya, ketika seorang anak jatuh dari sepeda, metode telling akan memberitahu bagaimana perasaan si anak, dan langsung mengultimatum bahwa ada rasa sakit karena lututnya berdarah. Sedangkan metode showing lebih menjelaskan seberapa parah luka anak itu dan jejak darah di aspal. Perbedaannya adalah, kalau teknik telling membuat pembaca mengerti apa yang dirasakan si anak, teknik showing akan membuat pembaca mendeduksi sendiri apa yang dirasakan kalau seandainya ada luka parah berdarah di lutut mereka. Aduh, lebih kerasa ngilu kan?Nah, kelihatan bedanya kan? Pada dasarnya, pasti jauh lebih gampang buat kita nulis dengan teknik telling, karena keseluruhan ceritanya ada di otak kita, dan kita cenderung ingin pembaca mengerti apa yang kita berusaha sampaikan agar mereka bisa merasakan adukan emosi, cliff hanger atau plot twist yang kita mau. Ibarat seorang guru yang sedang menjelaskan pelajaran ke murid deh! Tapi, teknik showing banyak disarankan oleh writer senior karena menghadirkan puzzle, dan memberikan pembaca andil untuk memecahkan teori dan masalah yang ada dalam cerita. Dan biasanya, itulah yang membuat pembaca terjebak dalam cerita kamu dan gabisa kabur sampai halaman akhir!Memang udah gabisa didebat lagi, kalau narasi yang ditulis memakai teknik showing akan terasa lebih mantep. Tapi, bukan berarti teknik telling ga terpakai loh! Teknik yang satu itu juga bisa jadi sangat berguna di kondisi-kondisi tertentu! Mau tahu kapan teknik telling terpakai?Tunggu minggu depan ya :)Wajar kalau kita sebagai writer cenderung menggunakan teknik telling di awal drafting. Menulis pakai teknik showing itu butuh latihan terus menerus loh! Tapi, jangan lupa, setelah drafting pertama, masih ada: REVISI.Dalam revisi inilah, kita biasanya mulai mengidentifikasi mana bagian yang oke pakai teknik telling, dan mana yang harus diganti dengan teknik showing. Dalam teori dan contoh di atas sih, gampang-gampang aja membedakan mana teknik yang mana. Tapi, realitanya, lumayan susah loh mengidentifikasi mana yang udah termasuk teknik telling dan mana yang belum.Ada tips?ADA DONG!Coba tanyakan pertanyaan berikut ini saat kamu bingung memutuskan apa paragraf yang kamu tulis itu merupakan teknik telling atau showing:            1. Apakah itu semua bisa tertangkap kamera?Salah satu metode yang paling gampang untuk memisahkan showing dan telling adalah mempertanyakan ini. Contohnya:Telling: ‘Kakiku sakit, aku tidak mampu berlari lagi.’Showing: ‘Lecet di jari kelingking dan pergelangan kakiku mulai berdarah. Aku sudah memakai sepatu hak tinggi ini selama dua belas jam, dan berlari dengannya selama lima menit. Bukan hanya napasku yang sekarat di sini.’Dari contoh di atas, kita gak bisa menangkap ‘rasa sakit’ di kamera. Tapi, kita bisa menangkap ekspresi dari rasa sakit, seperti lecet yang mulai berdarah, keterangan berapa lama si tokoh aku memakai sepatu hak tinggi (yang pastinya bisa dibayangkan gimana rasanya oleh para writer wanita di sini, hehehe..). Semua keterangan itu dikumpulkan, dan pembaca bisa menyimpulkan bahwa si tokoh aku sudah tidak kuat berlari dan sedang kesakitan.           2. Kata siapa?Kalau kita lagi nulis cerita dengan sudut pandang orang pertama, akan jauh lebih susah untuk membandingkan yang mana showing dan telling, karena di sudut padang orang pertama, kita pun harus menjelaskan pemikiran si tokoh utama, selain mendeskripsikan segalanya dari kacamata orang pertama. Maka, cara yang paling mudah untuk mengidentifikasinya adalah dengan menanyakan pertanyaan di atas.Penulis buku populer Understand Show, Don’t Tell (And Really Getting It), Janice Hardy menulis: ‘A common rule of thumb: As long as it feels like the character is thinking it, you're usually okay. But as soon as it sounds like the author butting in to explain things, you've probably fallen into telling.'Intinya adalah, jika suatu deskripsi itu rasanya berasal dari pemikiran si tokoh dalam cerita, maka paragraf kita memakai teknik showing. Tapi, ketika deskripsi itu rasanya seperti si penulis yang tiba-tiba muncul dan menjelaskan hal tertentu, itu sudah masuk ke teknik telling.Dalam prakteknya, Stereospace kasih contoh yaa:Telling: ‘Aku takut dengan keberadaan lelaki itu di kota ini. Dia lelaki yang kejam, semua orang di Bridge City tahu itu. Itu sudah jadi buah bibir semua orang, dan aku meyakininya.’ Di sini, pembaca seolah dipaksa untuk meyakini bahwa si lelaki adalah orang yang kejam. Kalau kita tanyakan ‘kata siapa?’, maka jawabannya adalah, lelaki itu kejam karena kata penulis, yang bilang kalau seisi kota takut sama dia. Ga masalah sih dengan pemilihan kosa katanya, tapi kayak ada yang kurang, kalau dibandingkan dengan ini:Showing: ‘Aku selalu beranggapan kalau dia lelaki yang kejam, meskipun kaya. Istrinya yang sakit keras itu dikurung di kamar teratas. Sejak sepuluh tahun lalu, aku tidak pernah lagi melihat wanita itu.’Kalau kita tanyakan ‘kata siapa?’, maka jawabannya adalah, kata si tokoh aku, yang beranggapan bahwa lelaki itu kejam karena yang dilakukannya terhadap istrinya. Dia suami yang kejam adalah klaimnya, sedangkan kenyataan bahwa istrinya yang sakit dikurung selama tiga puluh tahun adalah bukti seberapa kejam suaminya. Lebih kerasa teganya kan?           3. Penting untuk siapa?Ketika kita punya paragraf penjelasan yang gatau apakah itu perlu atau enggak, maka coba tanyakan, kira-kira paragraf itu penting buat siapa? Contohnya:Telling: ‘Aku membawa-bawa M&P di pinggangku, tersembunyi di balik kemeja yang ujungnya dikeluarkan dari celana. Isinya 6 butir peluru, tapi jarak tembaknya cukup jauh. Semi-otomatis, jadi tidak perlu mengisi ulang amunisi sampai tembakan yang keenam.’ Nah, kenapa ini masuk telling? Kerasa ga, si penulis berusaha memberi kita informasi tentang senjata, yang sebenarnya gak perlu? Saat menulis ini, si penulis berpikir bahwa info itu penting. Penting untuk siapa? Bukan untuk si tokoh yang membawa senjata (karena sudah jelas dia tahu banyak soal senjatanya sendiri), tapi untuk pembaca yang mungkin gak ngerti apa itu M&P. Mungkin memang banyak audiens yang gak ngerti soal hal-hal mendetail kayak gitu, tapi bukan berarti semua informasi itu harus disajikan di dalam cerita. Nah, coba bandingkan sama yang ini:Showing: ‘Si polisi mengacungkan senjatanya, dan aku balas mengacungkan M&P yang kubawa. Kalau ini duel, maka sudah pasti dia yang menang; M&P tidak secepat assault riffle. Kalau dia menembak, aku pasti mati sebelum bisa membalas.’ Nah, di sini, penulis membeberkan info, tapi yang berguna bagi pembaca untuk mengetahui resiko dan dilema apa yang dihadapi si tokoh, sehingga, pembaca dapat menentukan sendiri, kira-kira situasi dalam cerita bagus apa enggak. Kalau kita menempatkan diri sebagai pembaca, dengan informasi bahwa M&P kalah cepat dengan assault riffle (yang kemungkinan dibawa si polisi), maka kita bisa merasakan ketegangan yang dialami si tokoh aku saat berhadapan dengan polisi yang membawa senjata lebih hebat daripada yang dimilikinya. Jangan lupa, info yang kita masukkan ke dalam cerita juga harus dipastikan kebenarannya ya! 4. Siapa yang berpikir begitu?Khususnya untuk kamu yang menulis pakai sudut pandang orang pertama. Saat kita nulis dengan kacamata tokoh utama untuk keseluruhan cerita, kita kadang menggunakan inner thoughts untuk mengisi gap yang ada dan membangun mood. Nah, biasanya, inner thoughts inilah yang paling susah diklasifikasikan. Untuk mempermudah proses menentukan mana inner thoughts yang showing atau telling, kita bisa bertanya: siapa yang berpikir begitu?Stereospace kasih contoh ya:Telling: “Aku tidak mau melakukan kesalahan yang sama.” Katanya sambil memalingkan wajah, merasa malu dengan apa yang telah terjadi, tapi tidak berani menatap mataku karena takut aku bisa melihat apa yang bakal terjadi. Dia berbohong.Showing: “Aku tidak mau melakukan kesalahan yang sama.” Katanya. Tapi, dia memalingkan wajahnya dariku.“Kalau begitu, jangan.” Balasku tajam.Di contoh pertama, karakter aku entah bagaimana bisa mengetahui secara pasti kalau lawan bicaranya sedang berbohong, hanya didukung oleh gestur umum semata. Setelah itu, langsung ada ultimatum bahwa si lawan bicaranya berbohong. Itu, kemungkinan besar bukan opini karakter aku (kecuali kalau si aku ini punya ilmu baca pikiran). Sedangkan di contoh yang kedua, kita sebagai pembaca bisa menangkap maksud tokoh aku yang bicara dengan nada tajam mengatakan ‘kalau begitu, jangan’ seolah menegaskan lagi kata-kata lawan bicaranya. Kita bisa menyimpulkan kalau si tokoh aku ini gak percaya dengan statement lawan bicaranya. Jadi, jangan bingung-bingung lagi soal yang mana teknik showing dan telling ya, writers! TAPI INGAT!Apapun teknik yang kamu pilih, ga jadi masalah! Kita sebagai writer juga harus bisa menentukan yang mana teknik yang cocok untuk kita, supaya kita bisa punya keunikan masing-masing dalam bercerita. Teknik showing pun adalah buah pemikiran anti-mainstream di zamannya loh! Jadi, jangan takut untuk berbeda. Kalau kamu merasa teknik telling lebih cocok, coba kembangkan teknik kamu, hingga punya ‘suara’ sendiri. Jika teknik showing oke untuk kamu, maka cobalah berlatih menulis dengan teknik tersebut, sampai kamu menemukan ritme yang tepat :)Jadi, jangan bingung-bingung lagi soal yang mana teknik showing dan telling ya, writers!  Next bahasan: ‘TIPS MUDAH PAKAI TEKNIK SHOWING.’[Gak setuju dengan opini di atas? Punya pertanyaan? Coba deh kasih argumen/pertanyaan kamu di kolom komen!]
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan