
Malika dan Riri tidak mengecap duka, sampai duka menghidangkan dirinya. Apa makna rumah, ketika tidak ada Ambu di dalamnya? Di mana sapu, dan kenapa tidak ada mesin cuci? Kenapa makan malam begitu hambar buat Malika dan Riri? Lewat serangkai tugas domestik, ini adalah cerita pendek tentang sepasang kakak adik (tidak sebatang kara, tidak pula durhaka) yang merindukan ibu mereka.
Sejak Ambu masuk rumah sakit, Malika dan Riri baru sadar betapa di antara keduanya tidak pernah benar-benar ada sosok manusia.
Yang ada cuma sosok sok sibuk: Kerja dari pagi sampai malam, habis itu ngantuk. Tidak ada yang keluar kamar kecuali perlu.
Dan kecuali hari ini, hari kelima Ambu kemoterapi. Lantai rumah mulai terasa lengket, dan koleksi kaus panitia mereka sudah hijrah semua ke keranjang cuci. Malika sudah sedari pagi membolak-balik isi rumah, mencari penyedot debu.
“Kak,” ujar Malika ke kakaknya yang masih selonjoran di sofa, “Kita tuh ada vacuum cleaner, gak sih?
“Kayaknya nggak,” gumam Riri.
“Aku gak mau banget ya pegang sapu,” rengek Malika, sambil mengempaskan diri ke sofa. “Udah paling enak bersihin lantai tuh pakai vacuum aja.”
Riri tidak menyahut. Kakinya yang jenjang mencuat dari balik selimut sofa, ujung jempolnya menghujam pundak Malika. “Lebih pilih sapu atau kucek baju?” ujarnya.
Malika melotot. Dia tepiskan kaki kakaknya dan buru-buru terbang ke arah dapur untuk mengklaim sapu, begitu juga tugasnya. Kucek baju sebenarnya tidak masalah, tapi hoream kalau sebakul gitu mah, sungutnya dalam hati. Di Amerika, cuci baju semuanya sat-set pakai mesin cuci dan pengering. Yang dikucek cuma sebatas baju dalam atau kaus-kaus antik mahal yang haram masuk disko mesin cuci. Melihat kakaknya bersimpuh bersama jolang cucian di kamar mandi, Malika bersyukur dia kalah suit.
Keduanya mencuci dan menyapu dalam diam. Malika memikirkan rapat kerja yang terpaksa dia lewatkan hari ini. Riri memikirkan teman-temannya yang sedang di Bali. Sejak pertama kali Ambu bilang bahwa Ambu sakit dan akan kemoterapi, Malika merelakan koleganya mengambil alih tugasnya, sementara Riri membatalkan semua rencana liburan selama cuti. Tanpa sadar, keduanya kompak menghela napas, dan melirik angka di Apple Watch masing-masing. Keduanya berharap waktu bisa berhenti sejenak selama mereka melakukan serentetan tugas domestik ini, supaya masih tersisa waktu untuk bekerja dan hura-hura. Keduanya pun sedih. Mengucek dan menyapu bikin mereka kangen Ambu. Bukan karena mereka punya kenangan manis ngucek baju dan nyapu bertiga, melainkan karena Ambu selalu pastikan mereka bisa nyaman bekerja dan istirahat di rumah tanpa gangguan tugas apapun. Keduanya belum sadar detik itu, kalau rasa kangen mereka sangat problematik, agak durhaka sedikit.
Malika selesai menyapu lebih dulu, meski dari sudut matanya dia masih bisa melihat sisa-sisa helai rambutnya terurai di sisi kaki sofa. Cuek, ia kencangkan cepolan rambutnya seraya melenggang ke meja makan. Di bawah tudung saji ada sayur bening, nasi merah, telur dadar. Dia hampiri Riri yang putus asa membilas cucian untuk ke-tujuh kalinya.
“Pesen makan kali ya, Kak,” gumam Malika setengah memelas.
“Kan ada sayur bening,”
“Kakak mau makan sayur bening?”
Riri mendongak, menatap Malika sebal. Ingin ia toyor kening si adik dengan tangannya yang bersimbah busa deterjen. Dasar si paling bule, pikirnya. Tapi artinya dia harus toyor juga dirinya sendiri, karena Riri pun melenguh pagi tadi melihat Teh Kasih, tetangga mereka di ujung jalan, membawakan rantang yang isinya itu-itu lagi.
“Makan yang ada,” katanya tajam, sekalian menusuk dirinya sendiri.
-
Sayur bening, nasi merah, dan telur dadar sebetulnya mewah kalau Malika dan Riri tahu cara menikmatinya. Namun setelah nyaris empat tahun sekolah dan bekerja di Amerika, tanpa sadar Malika dan Riri sudah kembali awam dan kikuk dengan cita rasa kampung halaman yang asli. Mereka duduk dan makan dalam hening. Setelah piring masing-masing licin, mereka menatap mata satu sama lain, saling mengirim sinyal: keduanya masih lapar, tapi terlalu kenyang untuk makan nasi telur lagi.
“Dek,” ujar Riri, “sayur bening nggak boleh nyisa.”
“Kakak lah abisin,”
“Bagi dua deh,” bujuk Riri. “sambil kita bikin mi.”
Seketika air muka Malika cerah. Ia acungkan jempol dan telunjuk kanannya ke arah Riri penuh sayang, sebelum melesat ke lemari makan dan mengeluarkan kaleng kerupuk—tempat Ambu menyimpan Indomie. Dia rogoh satu bungkus Indomie Goreng Jumbo dan satu bungkus Indomie Goreng biasa, menimangnya ke dapur, mengekor Riri yang membawa mangkuk sayur.
Meski risih kucek baju dan lupa cara nyapu, Malika dan Riri boleh bangga dengan keuletan mereka masak Indomie. Keduanya acapkali memamerkan senarai cita rasa nusantara lewat supremasi Indomie ke teman-teman mancanegara mereka, yang selalu berdecak kagum, mengamini, tanpa tahu bahwa masak Indomie adalah keterampilan dasar paling minimal yang bisa manusia Indonesia lakukan di muka bumi.
“My kind of perfect noodles are not just when they’re simply cooked,” ujar Malika, belepotan Bahasa Inggris saat pertama kali masak Indomie untuk teman-teman kuliahnya dulu. “Jadi bukan sekadar matang! Cook a little too long, you’ll end up with soggy noodles. I don’t care how others do it, but mi nyemek is just not my genre. You know nyemek? Nih satu dolar kalau tau nyemek, hahaha!”
“But undercooked noodles are not great too, though, are they?” celetuk salah satu temannya. “Emak gue suka ngomel ngingetin bahaya makan mi yang nggak mateng.”
“Oh, betul, bahaya kalo itu,” sahut Malika.
“Makan mi yang nggak mateng?”
“Bukan; kena omel emak lu!”
Ada setitik air jatuh ke dalam panci. Malika yang sedari tadi menatap isi panci—hanyut dalam kenangan Indomie di Amerika—auto melotot. “Kak, yang bener aja,”
Sontak ia memiringkan kepalanya, menangkap raut wajah Riri yang menunduk termangu, persis di atas panci. Yang Malika takutkan benar terjadi. Mata kakaknya membelalak, menahan air mata untuk tidak meluap ke pipinya. “Eyelash extension-ku mahal, Dek.”
Malika mendorong Riri pelan ke samping dan mengambil alih nahkoda Indomie mereka. Dia juga ingin menangis, tapi dia tahan—tidak menyangka akan keduluan. Indomie ini seharusnya jadi pelipur lara malam mereka. Bukan karena menu yang tidak menggugah selera, melainkan karena Ambu tidak bersama mereka.
Malika dan Riri belum benar-benar memproses kejutan pahit dari Ambu yang menyambut mereka pulang. Keduanya belum ada yang menangis, bahkan saat sendiri. Mereka merasa malu. Ambu tidak pernah merengek meminta mereka pulang—tidak untuk Lebaran, atau ketika Ambu ulang tahun. Tidak pernah pula bilang kalau sedang sakit. Ambu juga melarang sepupu-sepupu untuk memberi tahu. Keduanya pulang karena kebetulan Riri ditugaskan ke kantor cabang Jakarta, dan Malika menggunakan kesempatan ini untuk ambil cuti. Seminggu setelah mereka kembali di kamar masing-masing, Ambu mengajak duduk bertiga, dan mengumumkan bahwa minggu depan Ambu akan kemoterapi.
“Semuanya sudah diurus, jadi Malika dan Riri bisa tenang,” ujar Ambu sambil tersenyum. “Tapi jangan jadi keluyuran karena Ambu nggak ada, ya! Ambu sudah minta tolong Teh Kasih bawain rantang, supaya kalian tetap makan enak di rumah. Ambu juga sudah stok Indomie. Jangan sering-sering tapi. Kalau lagi kangen Ambu aja.”
Malika merasa matanya mulai panas. Ia menoleh ke arah kakaknya. Riri sedang jongkok di bawah, kepalanya menunduk supaya air matanya langsung jatuh ke lantai. Sambil merobek bungkus Indomie, Malika bisa mendengar kakaknya mengisak lirih.
Malika menjepit ujung bungkus bumbu trio kecap, sambel, dan minyak, lalu mengibaskannya tiga kali supaya minyaknya menyatu, sebagaimana diajarkan Ambu. Dengan satu gerakan tangkas nan elegan ia layangkan gunting memotong ujung bungkus, persis meniru gerakan Ambu. Kemudian ia tuang isinya ke mangkuk, mangkuk kesayangan Ambu. Tidak ada gerakan yang sia-sia. Tidak ada yang gugur, barang satu tetes minyak pun.
Riri bangkit dari jongkoknya dan mengambil mangkuk sayur bening dari sisi kompor, lalu menyuap sesendok sayur ke mulut adiknya. Malika mengernyit sedikit.
“Mungkin Ambu juga lagi makan makanan yang nggak enak,” kata Riri.
“Mungkin Ambu juga pingin makan Indomie,” kata Malika.
Di meja makan, Riri dan Malika makan Indomie goreng satu mangkuk berdua.
“Besok bawain kali ya, buat Ambu,” gumam Riri. “Indomie goreng kotak.”
Malika terkekeh. “Kalo Ambu gak mau, aku yang habisin. Hadiah aku akhirnya bisa nyapu.”
Keduanya tergelak.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰