Centhini (KIsah Sepasang Kupu Putih di Langit Jurang Jangkung) #1

0
0
Deskripsi

CENTHINI [Kisah Sepasang Kupu Putih di Langit Jurang Jangkung] merupakan karya yang menjawab bahwa wanita Jawa bukan sekadar kanca wingking dan patner seks. Namun, wanita lebih diposisikan sebagai insan pemberani, pejuang, dan pembaharu. Hal ini dapat ditilik melalui tokoh-tokoh: Ratu Pandansari, Niken Rancangkapti, Niken Tambangraras, Centhini, Dewi Kilisuci, Ganda Arum, dan Kinanthi. Putra semata wayang Centhini yang merupakan tokoh utama dalam novel ini. Karenanya dengan membaca novel ini, Anda...

SEBENDEL LONTAR DI DALAM ALMARI KAYU

 

MATAHARI menyembul dari balik bukit timur. Kabut yang menggenangi desa Jurang Jangkung perlahan-lahan tersingkap. Burung-burung berloncatan dari dahan ke dahan pohon. Kupu-kupu dan capung-capung berterbangan tanpa menggendong beban di punggungnya. Semilir angin yang menggetarkan daun-daun dan rumputan memberikan kesejukan.

Langit safir yang tak tergores awan memayungi desa Jurang Jangkung. Desa yang menghampar di lembah dilingkungi perbukitan. Desa subur yang ditumbuhi aneka pepohonan: kelapa, mahoni, jati, rambutan, jambu biji, jambu air, kelengkeng, dan lainnya. Desa makmur dengan hamparan ladang jagung, tomat, cabai, bayam, bayung, sawi, kobis, kacang panjang, dan lainnya. Desa yang diyakini banyak orang sebagai irisan surga.

Sebagaimana orang-orang yang meladang dengan tubuh dan wajah bermandi keringat, Centhini masih tegar mengayunkan cangkulnya ke tanah garapan. Agar tanaman jagungnya yang baru berumur setengah bulan itu dapat tumbuh dengan baik. Memberi hasil jagung-jagung segar yang besar. Terbebas dari serangan hama dan ulat.

Di bawah matahari yang semakin terik, Centhini mengatur napasnya yang mulai ngos-ngosan. Menyeka leleran keringat di wajah dan leher dengan tapak tangannya yang kasar. Dengan memanggul cangkul, ia menuju gubug tepi pematang. Duduk di amben gubug itu. Menenggak air yang keluar dari lubang moncong kendi. Rasa segar menjalar ke sekujur tubuhnya. 

Centhini mendesah. Teringat pada keputusannya yang bodoh. Menerima perintah Syekh Amongraga untuk menikah dengan Monthel. Lelaki bertubuh tambun yang menceraikannya sesudah tergoda dengan janda kembang. Meninggalkannya tanpa mengingat nasib Kinanthi. Anak gadis semata wayang yang akan merasa damai tinggal di antara ayah dan ibunya.

Ambang matahari di titik terpuncak kubah langit, Centhini beranjak dari amben gubug. Dengan perut yang keroncongan, ia meniti pematang ladang. Pulang.  Meletakkan cangkul dan kendi di dapur. Membasuh wajah, tangan, dan kaki di sumur belakang rumah. Memasuki ruang depan. Menyantap secowek nasi jagung, sayur lodeh, dan lauk tempe garit goreng. Melepas lelah sambil menikmati secangkir secang gula aren yang dipersiapkan Kinanthi di atas meja kayu.

“Masakanmu sangat lezat, Kinanthi!” Centhini mengipas-ngipaskan salah satu selendang lurik pemberian Tambangraras ke lehernya yang basah keringat. “Secang gula aren buatanmu membuatku kemepyar. Bakat masak mendiang nenekmu telah kamu warisi, Ndhuk.”

“Apakah Nenek juga pintar masak, Mak?”

“Kalau tak pintar, nenekmu tak bakalan dipercaya sebagai tukang masak keluarga Ki Bayi Panurta.”

“Begitu ya, Mak?” Sejenak Kinanthi terdiam. “Oh ya, Mak. Ki Bayi Panurta itu siapa?”

“Beliau orang terhormat di padepokan Wanamarta. Pada keluarga beliau, aku dan nenekmu bekerja sebagai babu. Orang-orang yang dikastakan di tingkat sudra. Semoga kamu tidak malu memiliki nenek dan simbok yang pernah bekerja sebagai babu. Tak bisa baca dan nulis. Bisanya hanya memeras keringat untuk memenuhi perintah juragan yang ngasih upah. Kamu harus belajar! Mumpung usiamu masih belia. Biar kelak, kamu tak menjalani hidup sebagai babu.”

“Ya, Mak. Tetapi, pada siapa aku belajar? Di desa Jurang Jangkung kan belum ada guru yang bisa mengajarkan aku untuk bisa membaca dan menulis?”

“Memang, Ndhuk. Tapi bila kamu ingin belajar, aku dapat membawamu ke padepokan Wanatawang. Di padepokan itu, kamu dapat belajar pada Denmas Jayengresmi.” Centhini teringat pada putra sulung Ki Bayi Panurta dan Nyi Malarsih yang berwajah tampan dan berkepribadian halus. “Bagaimana, Ndhuk? Apakah kamu bersedia mencecap ilmu dari beliau?”

“Tentu, Mak.”

“Bagus!” Wajah Centhini senampak langit biru berlulurkan cahaya matahari. “Kalau begitu, persiapkan perbekalan secukupnya. Sebelum matahari terbit esok pagi, kita harus meninggalkan rumah. Pergi ke padepokan Wanatawang.”

Kinanthi menganggukkan kepala. Seusai Centhini beranjak dari ruangan depan untuk kembali meladang, Kinanthi memasuki biliknya. Mempersiapkan perbekalan pakaian, beberapa potong kebaya lurik dan jarit yang masih pantas dipakai. Dimasukkannya sepotong demi sepotong ke dalam kantong blacu.

***

 

MATAHARI merangsek ke barat. Perlahan-lahan, matahari menyelinap di balik punggung bukit. Kabut menggenangi lembah desa Jurang Jangkung. Kinanthi menyalakan lampu minyak jarak di ruangan depan. Sesudah menyiapkan makan malam, Kinanthi memasuki bilik Centhini untuk mempersiapkan jarik dan kebaya yang akan dikenakan esok pagi menuju Wanatawang. Manakala membuka pintu almari kayu, Kinanthi menyaksikan sebendel lontar di rak atas. Mengambilnya dengan hati-hati. Seusai membuka-buka halaman-halamannya, Kinanthi bicara dalam hati. “Aku berjanji. Bila Guru Jayengresmi telah mengajarkanku ilmu membaca, tak ada kitab yang pertama aku baca selain kitab ini.”

“Kinanthi….” Centhini memanggil lantang pada Kinanthi dari ruang depan. “Kemarilah! Ayo, kita makan! Nasi dan sayurnya keburu dingin.”

“Sebentar, Mak!” Kinanthi mengembalikan sebendel lontar itu ke tempatnya semula. Sesudah meraih jarik dan kebaya emaknya dari rak lain almari itu, Kinanthi menuju ruang depan. “Apakah jarik dan kebaya ini yang akan Mak kenakan besok pagi?”

“Sudahlah, Kinanthi! Kamu tak perlu repot-repot! Makmu ini masih sanggup memilih pakaian mana yang pantas aku kenakan esok pagi. Kembalikan pakaian itu ke tempatnya! Segeralah makan!”

Kinanthi membalikkan tubuhnya. Kembali memasuki bilik Centhini. Meletakkan pakaian itu di tempatnya semula. Menuju ruang depan.  Bersama emaknya, Kinanthi menyantap makan malam. Secowek nasi jagung sayur rebung. Beberapa saat kemudian, nasi jagung dan sayur rebung itu ludhes dari wadahnya.

Sebagaimana Centhini, Kinanthi menuang air kendi ke cangkir. Mereguknya. Hingga air yang terasa sesejuk air di kaki pegunungan itu menyegarkan seluruh tubuhnya. Karena tak ada sepatah kata yang meluncur dari setangkup bibir emaknya, Kinanthi memasuki ruang tidur. Duduk di bibir amben. Pikirannya tercurah pada sebendel lontar di almari itu. Kitab yang membuatnya tak sabar untuk belajar pada Jayengresmi. Guru yang mengajarkan ilmu membaca dan menulis pada anak-anak. Mengajarkan ilmu kebijaksanaan pada orang-orang muda. Mengajarkan ilmu kesejatian hidup pada orang-orang tua. Tak hanya mereka yang tinggal di desa Wanatawang, namun pula dari desa-desa lainnya.

***

 

WAKTU yang merayap tak dapat seorang pun mengendalikannya. Ambang tengah malam, Centhini beranjak dari ruang depan. Memasuki ruang tidur. Terheran-heran. Bukan pada pintu almari kayu yang terbuka karena lupa ditutup Kinanthi sewaktu mengambil jarik dan kebayanya, melainkan pada kitab yang diberikan Syekh Amongraga itu bergeser letaknya.

Sesudah menutup pintu almari kayu, Centhini menduga bila Kinanthi telah menyentuh kitab itu. Namun tak ada amarah yang tersirat di wajah. Sebaliknya, ia sangat senang. Lantaran Kinanthi mulai tertarik dengan sebuah kitab. Tak sia-sia ia akan membawa anak gadisnya itu menuju padepokan Wanatawang. Belajar membaca dan menulis lontar.

Tengah malam. Centhini meraih sapu lidi yang tergeletak di tepian amben. Membersihkan tikar mendong yang menghampar di amben itu. Sesudah dirasa nyaman untuk ditiduri, ia perlahan-lahan merebahkan tubuhnya di atas amben itu. Menatap langit-langit kamar tidurnya. Teringat pada catatan-catatan lama yang masih terekam di memori otaknya. Teringat pada Monthel yang meninggalkannya sesudah tergoda dengan penari ronggeng. Teringat pada Syekh Amongraga yang pernah meninggalkan Niken Tambangraras sesudah empatpuluh malam empatpuluh hari melintasi bulan madu di dalam kamar pengantin. Teringat pada Jayengraga, putra bungsu Ki Bayi Panurta yang pernah me-rudapeksa di kamar mandi dekat sumur di belakang padepokan Wanamarta. “Lelaki memang brengsek!”

Bersahut-sahutan kokok ayam jantan pertama terdengar dari kejauhan. Centhini menguap. Tak lama kemudian, perempuan yang menginjak usia ke tigapuluh itu telah memasuki alam tidurnya. Alam yang lebih indah dari alam jaga. Alam dimana ia dapat melupakan kebrengsekan lelaki yang menjadikan wanita sebagai dewi saat dibutuhkan. Dicampakkan senasib sepah tebu sesudah sari gulanya habis terisap.

***

 

AMBANG subuh, Kinanthi terbangun dari tidur. Bergegas ke dapur untuk merebus air, meliwet nasi, menyayur lodeh, menggoreng tempe, dan menyambal trasi. Seusai pekerjaan itu, ia menyusul Centhini ke sendang Klampeyan. Di sendang yang semula dijadikan tempat bertapa Syekh Amongraga itu, ia beserta emaknya mandi dan mencuci beberapa potong pakaiannya yang telah kotor.

Sekembali di rumah, Centhini yang mengenakan jarik kawung kebaya lurik pemberian Niken Tambangraras itu menuju ruang depan untuk menikmati sarapan. Kinanthi masih menjemur cuciannya di samping rumah. Memasuki ruang depan. Duduk di depan emaknya untuk mengisi perutnya.

Matahari terbit di ufuk timur. Diiringi semilir angin yang berhembus dari puncak bukit, Centhini dan Kinanthi meninggalkan rumah. Meniti jalanan berbatu yang di kiri-kanannya ditumbuhi aneka pohon dan semak-semak belukar. Melangkahkan menuju padepokan Wanatawang. 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya CENTHINI (Kisah Sepasang Kupu Putih di Langit Jurang Jangkung) #2
0
0
SERAT Centhini yang digubah Raden Ngabehi Ranggasutrasna, Raden Ngabehi Yasadipura, Raden Ngabehi Sastradipura, Pangeran Jungut Manduraja, dan Kiai Mohammad tersebut merupakan karya masterpiece dan sekaligus sebagai ensklopedi Jawa Karena selain mengungkapkan kisah tentang pengembaraan beberapa tokoh, semisal: Syekh Amongraga, Jayengsari, Niken Rancangkapti, Cebolang, Jayengresmi (Jayengwesthi), Jayengraga, Niken Tambangraras, Centhini, dll; Serat Centhini pula mengungkap berbagai tradisi, budaya, dan kearifan masyarakat Jawa.            Berangkat dari nilai-nilai kultural, edukatif, dan filosofis baik tersurat maupun tersirat di dalam Serat Centhini; maka serat yang ditulis dengan bentuk rangkaian pupuh tembang macapat berbahasa Jawa tersebut layak ditelaah, direinterpretasikan, dan digubah ke dalam bentuk karya fiksi (novel) dengan menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini agar nilai-nilai yang terkandung di dalam serat tersebut dapat dipahami oleh masyarakat luas.             Serat Centhini yang menjadi sumber inspirasi dalam Novel Modern: CENTHINI [Kisah Sepasang Kupu Putih di Langit Jurang Jangkung] merupakan karya yang menjawab bahwa wanita Jawa bukan sekadar kanca wingking dan patner seks. Namun, wanita lebih diposisikan sebagai insan pemberani, pejuang, dan pembaharu. Hal ini dapat ditilik melalui tokoh-tokoh: Ratu Pandansari, Niken Rancangkapti, Niken Tambangraras, Centhini, Dewi Kilisuci, Ganda Arum, dan Kinanthi. Putra semata wayang Centhini yang merupakan tokoh utama dalam novel ini.             Karenanya dengan membaca novel ini, Anda tidak hanya dapat mengikuti kisah dalam Serat Centhini, namun pula dapat mengambil nilai-nilai kearifan di dalamnya. Termasuk nilai-nilai kearifan masyarakat Jawa terhadap peran seorang wanita yang bukan sebagai obyek, namun sebagai subyek yang turut mewarnai kanvas zaman agar lebih beradab.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan