Rafa dan Devi

0
0
Deskripsi

Tidak ada yang menjamin sebuah hubungan akan kekal abadi, selain hubungan itu sendiri. Dia ditunggangi takdir yang semau dia mau apa dan bagaimana. Dua insan hanya bisa terus berusaha dan bertahan, sisanya terserah masa depan.

Rafa dan Devi sedang melalui masa itu sekarang.

Di tengah keheningan yang sebentar setelah asik mengobrol tentang apa saja dengannya, dia lantas berkata :

"Aku rasa aku terlalu cepat mengenalmu, "

Aku melihat wajahnya. Dia masih memasang wajah ceria.

"Maksudnya, kamu menyesal udah kenal sama aku? " tanyaku keheranan.

"Bukan itu, tapi aku cuma merasa semua ini terlalu cepat, kita terlalu cepat untuk kenal satu sama lain, " dia mulai menatapku lalu menatap ke jalan yang dilalui lalu lalang kendaraan.

Kita duduk di taman kota setelah jajan cilor. Sudah agak siang tapi karena awan sedikit mendung udara pun masih sejuk.

"Terus apa yang kamu mau, Ra? " aku kini mulai serius.

"Ga ada. Cuma pengen bilang gitu aja, "
"Ga mungkin, Ra. Kamu ingin kita udahan kan? "
"Loh, kok jadi kesana arah pembicaraannya? "

Dia menatapku lagi sambil bingung kenapa aku mulai tidak nyaman duduk bersamanya.

"Ini cuma perasaan aku aja, Vi. Itu aja."

Aku memainkan cincin di jari tengahku. Cincin aluminium ini adalah cincin couple yang aku sengaja beli buat tanda bahwa aku adalah pacar Rafa. Dia juga memakainya di tangan kanannya.

Sudah setahun berlalu, kita menjalani hubungan pacaran ini. Minggu kemarin, kita merayakan hari jadi kita yang setahun di sebuah kedai seblak kesukaanku. Kita berdua memesan satu porsi seblak dengan selera kita masing-masing. Aku dengan seblak level 7 kesukaanku, sedangkan dia hanya seblak bening. Minumannya sama sama es teh gula batu. Sederhana, tapi membuat kita sangat bahagia.

______________________________________________

Awal aku mengenal dia, ketika kelas kita mengadakan liburan ke sebuah kebun binatang. Guru kita, Pak Alif mengajak kelas kita untuk berlibur kesana.

Aku sebagai anak rumahan tadinya tidak mau ikut, tapi sebagai ketua kelas, aku terpaksa pergi kesana.

Satu angkatan sekolahku pergi ke kebun binatang sambil merayakan tuntasnya UAS semester ini. Karena libur panjang, suasana di sana cukup ramai oleh pengunjung. Tadi juga di pintu masuk kami antri untuk membeli tiket masuk.

Kami lalu bersama-sama mengelilingi kebun binatang dipimpin oleh pa Alif selalu wali kelas. Kita bisa memberi makan hewan hewan disana yang memang diperbolehkan oleh petugas. Setelah cukup lama melihat-lihat hewan yang kita temui, akhirnya kita berpencar sambil mencari jajanan untuk mengisi perut kami.

Dita, sahabatku pergi membeli es krim sedangkan aku menunggu di kursi di tepi jalan. Tiba-tiba ada seorang laki-laki duduk di sampingku.

"Eh, maaf. numpang duduk, ya, " aku hanya mengangguk.

"Kamu Devi, kan? Ketua kelas A?" aku mengiyakan.

Dia memperkenalkan dirinya. Namanya Rafa. Aku tahu dari teman-temanku kalau dia itu jago sepak takraw. Bisa dilihat dari tubuhnya yang cukup atletis. Tahun lalu, sekolahku menjuarai sepak takraw tingkat kota, meskipun akhirnya kalah di tingkat nasional. Dia salah satu anggota tim yang menjuarai lomba itu.

"Gimana liburan kali ini? " dia bertanya sambil meminum air soda yang dia bawa.
"Cukup menarik, sambil healing juga, kan"
"Hewan favorit lu apa? "
"Kucing,"
"Kenapa cewe selalu sama? Kucing. Padahal banyak hewan-hewan lain loh"
"ya karena lucu, imut. Kalo lu, apa hewan favorit lu?" aku balik bertanya padanya
"'Coba tebak, "
Dia menatapku. Aku sedikit canggung dan pura pura berpikir
"Kelinci?"
Dia tertawa. Aku keheranan.
"Tebakan gua bener, kan?"
"Kok kelinci sih?" dia tetap tertawa.
Dari sanalah kita mulai akrab berbincang satu sama lain.

Minggu libur sudah berakhir. Aku dan semua temanku kembali masuk kelas untuk memulai semester baru. Ini adalah semester terakhir dimana kita sudah sibuk menghadapi ujian akhir. Karena itu, aku dan Rafa sering belajar di salah satu perpustakaan di kota ini.

"Lu nyadar ga sih bahwa lo itu dikagumi di sekolah ini?" tanyaku tiba-tiba.

"Hem, gimana ya? Nyadar sih cuma gua cuek aja. Karena gua ga menginginkan itu. Gua cuma menjadi apa yang gua suka, " katanya sambil mengetik di laptopnya.

"Lu suka ya sama gue?" tanyanya dengan senyum tengil yang membuatku kesal.

"Apa sih? " aku langsung saja mencubit tangannya sampai dia mengerang minta ampun sambil tertawa.

"Bukti apa yang lu punya sampai lu bilang gue suka sama lu?"

"Ini, lu nyaman duduk sama gue berdua di perpustakaan ini, " dia tersenyum tengil lagi. Aku mencubitnya lagi.

"Eh bukan itu, " katanya, " Ini dia buktinya, " dia menunjukkan kulitnya yang memerah bekas jariku yang mencubitnya.

"Setauku lu ga pernah nyubit laki laki selain gue kan?"

Aku memang jarang akrab dengan teman laki-laki sekelasku. Tapi entah kenapa, aku bisa ngobrol panjang dengan Rafa. Pertanyaannya membuat aku sejenak terdiam dan bertanya pada diri sendiri, apakah aku menyukainya?

"Kalo iya, kenapa?" tiba-tiba kata-kata itu keluar dari mulutku. Dia kaget, apalagi aku. Aku langsung membuka buku yang ada di depanku untuk menghapus rasa canggung.

"Ya, gapapa, " jawabnya datar, "berarti kita sama"

Hari itu adalah hari yang paling canggung sekaligus yang paling bahagia di dalam hidupku

______________________________________________

"Lu ga berubah, Ra. Lu selalu nyembunyiin perasaan yang harusnya gua tau, " aku coba mencari penjelasan tentang kata-katanya tadi.

Dia menatapku. Memang ada sesuatu yang dia simpan selama ini. Dia menghela nafasnya.

"Lu pernah ga kepikiran, kenapa kita bertemu sekarang pas kita masih labil, masih banyak kurangnya, masih banyak berantemnya? Kenapa ga nanti aja pas aku udah siap, terus langsung bisa hidup bersama?"

Kita terdiam. Aku menatapnya yang memandang langit sore. Semakin mendung, pertanda hujan sebentar lagi. Angin menabrak segala yang dilaluinya.

"Lu agak kesal sama takdir, ya Ra? " tanyaku menerka kegelisahan yang Rafa alami.

"Menurut gua, kita tinggal jalanin aja dulu. Selama kita masih bisa usaha, ya apa salahnya pertahanin. Ga semua yang Lo pikirin itu bakal terjadi, kok"

Aku coba memahami dan menenangkan pikiran Rafa. Aku sudah yakin bahwa dia memang benar-benar tulus menyayangiku.

"Pada akhirnya kita kalah sama takdir, ya. Seberapa usaha kita untuk bersatu, kalo takdir tak merestui, ya mau gimana lagi. Juga sebaliknya, meskipun udah berusaha untuk menjauh, takdirnya berjodoh, pasti akan bertemu." ucap Rafa sambil tersenyum. Aku terus menatapnya yang seolah pasrah akan keadaan.

Langit semakin gelap. Aku dan Rafa memutuskan untuk pulang. Sekelumit perasaan bimbang dan pertanyaan-pertanyaan aneh memang sering muncul. Tapi, kita harus menghadapinya dengan sikap bijak. Di perjalanan pulang, kita sama sama memilih untuk diam. Kita sama sama khawatir. Kita tak bisa bersama selama yang kita mau.

Aku beruntung memiliki dia yang mempunyai ketakutan kehilanganku. Lelaki yang sewajarnya akan biasa saja tentang hal ini, tapi dia tidak begitu. Dia tetap dengan prinsipnya : dia ingin bersamaku selamanya.

Setelah kelulusan SMA, aku dan Rafa memutuskan untuk melanjutkan hidup masing-masing. Aku dengan kuliahku di Yogyakarta, sedangkan dia mencoba peruntungan di Jakarta menjadi seorang desainer grafis. Selain atlet takraw, dia juga suka seni rupa. Keahliannya dalam menggambar rupanya membuatkan hasil. Sekarang dia magang di salah satu industri kreatif.

Sebelum sepakat berpisah, kita sama sama memegang satu kata-kata : sejauh apapun jarak di antara kita, takdir yang akan menentukan semuanya.

Aku bersyukur mengenal Rafa sedalam yang pernah aku alami. Laki laki riang dan perhatian membuat aku sulit mencari alasan untuk berpaling darinya. Dia pernah berkata, bahwa setelah aku lulus, dia akan menemuiku. Sebuah harapan yang aku tunggu-tunggu selama aku tinggal di Yogyakarta.

Dan harapan itu benar-benar menjadi harapan.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Kategori
Cerpen
Sebelumnya Cowok Setia
0
0
Gua sekarang hidup di zaman dimana gua ngefollow cewe, terus tiba-tiba cowonya nge-dm gua dan nyindir ke gua, like WTF!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan