
Katastrofe dalam KBBI
Ka.tas.tro.fe : -Malapetaka besar yang datang secara tiba-tiba.
-penyelesaian akhir suatu drama, terutama drama klasik yang bersifat tragedi.
Sinopsis:
Menyimpan rasa suka terhadap seseorang dalam diam dengan minimnya komunikasi dan pertemuan memang bukanlah hal yang mudah dilakukan. Ah, atau mungkin sangat mustahil dirasakan apalagi dalam kurun sepuluh tahun berselang. Tapi hal itu ada, dan nyata dirasakan seorang Darmawanti, gadis yang masih menyimpan rasa cintanya terhadap...
Darma terkejut begitu pelukan tiba-tiba diberikan untuknya. Padahal dia baru tiba. Baru saja turun dari kendaraan yang mengantarkannya tepat di depan rumah Kama. Tapi entah apa yang terjadi pada Uwi yang begitu erat mengukungnya.
"Maaf, gue beneran gak tau kalau dia bakalan ikut. Apalagi kini dia bawa pacarnya juga. Sorry banget, Dar, gue beneran gak tau."
Darma melepaskan pelukan Uwi yang--ayoah keduanya ini bukan baru saja dipertemukan setelah sekian lama berpisah. Bahkan saking seringnya bertemu Darma sampai muak melihatnya. Aneh banget pasti tiba-tiba keduanya berpelukan sampai-sampai Kama, si tuan rumah menghampiri keduanya yang tidak kunjung masuk ke rumahnya.
"Ngapain?" tanya lelaki itu. Kentara sekali jika dia ingin mengetahui aksi tiba-tiba Uwi yang sungguh mengherankan hati.
"Gak tau. Uwi tiba-tiba meluk gue."
"Pasti Lo kan yang ngajak Dipta ikutan?"
Darma menatap Uwi paham. Baru menyadari maksud ucapan temannya saat nama tersebut disebutkan. Darma hanya terkekeh sekaligus salut akan kekhawatiran Uwi yang mungkin takut jika suasana hatinya akan berubah. Padahal agenda liburan kali ini untuk melepaskan penat setelah berhari-hari ngadep kerjaan yang tidak ada habisnya. Baru saat ada libur panjang tiba, Kama, sebagai sang pencetus ide adanya liburan sebentar dengan embel-embel healing.
"Gue gapapa, Uwi, sumpah. Gak usah gitu ah. Mau dia ada ataupun gak ada gue udah biasa aja." Tapi yang namanya Uwi, orang yang menjadi tempat sambatannya selama bertahun-tahun dalam urusan percintaan yang tidak ada habisnya hanya bisa mendengus lalu mengikuti langkah Darma yang kini mulai memasuki rumah Kama yang sudah ramai oleh teman-temannya.
"Baru kali ini gue liat Darma telat, biasanya seorang Darmawanti kan on time, jadi pengatur dan pengingat orang. Lah ini malah paling akhir datang," seloroh Eka yang duduk senderan di samping pintu masuk.
"Sesekali ganti keadaan. Gue mulu nanti kalian jenuh," jawab Darma santai mulai menyalami temannya satu persatu hingga tiba di urutan terakhir, gadis yang dia gak pernah melihatnya dan kemungkinan inilah orang yang dimaksud Uwi tadi.
Dengan santai Darma mengambil duduk di samping gadis tadi yang bahkan dirinya belum berniat bertanya siapa namanya. Ada perbedaan atmosfer yang cukup dia rasakan saat mengambil duduk di samping gadis tadi. Alih-alih mengikuti lambaian Uwi yang memintanya duduk di sampingnya. Jelas Darma menolaknya, selain bersisian dengan laki-laki dia juga tidak ingin bersisian dengan Panji yang … ia yakini mulutnya masih sama berbahayanya seperti dulu. Manis banget, sampai Darma gemas ingin menampolnya ketika Panji mulai mengeluarkan aksinya.
"Citra, kamu siapa?"
Kepalanya menoleh begitu suara lembut tadi terdengar, pun bukan hanya dirinya yang menoleh, mungkin semua yang ada di ruang tamu Kama tengah memperhatikannya keduanya. Apalagi tatapan tajam Dipta yang mungkin siap menghunusnya jika nyatanya gadis ini adalah kekasihnya.
"Darma," ucapnya membalas jabatan tangan Citra yang sekarang dia yakini adalah pacar dari Dipta.
Setelah berbasa-basi sejenak, mereka berkumpul di depan kendaraan yang sebelumnya disewa Kama memakai dana pribadinya untuk transportasi menuju sebuah tempat wisata yang ada di daerah kelahiran ibunya. Darma tidak tahu pastinya tempat itu dimana. Tapi dari perkataan Kama yang mengatakan jika tempat tersebut menyajikan pemandangan pegunungan di belakang penginapan juga menyuguhkan birunya lautan tepat di depannya berhasil menggoyahkan pendiriannya yang biasanya memilih hibernasi panjang begitu libur kerja tiba.
"Untuk keselamatan kita selama perjalanan, semoga diberikan kemudahan dan kelancaran tanpa ada halangan dan kejadian yang tidak diinginkan, berdoa mulai," aba-aba Panji memulai sesi berdoa. "Selesai." Sontak saja mereka menjerit kesal karena baru lima detik berselang Panji sudah menyelesaikan sesi berdoa nya.
"Nji, bisa seriusan dikit gak?" seru Darma yang berada tepat di belakang Panji dengan cepat memukul pundaknya mengunakan kipas tangan yang dipegangnya.
"Ya Allah, Darma," pekik Panji memegang pundaknya dengan tawa berderai di bibirnya. "Sumpah ya, Lo itu paling gak bisa diajak bercanda."
"Ini doa, gak ada kata bercandaan. Jebolan penjara suci harusnya lebih khatam daripada gue yang abal-abal," ucap Darma dengan perasaan dongkol. Panji yang menyadari kesalahannya mengulang kembali doanya dan kini terdengar sangat lama seolah sedang berdoa untuk kelulusan ujian sekolah.
"Padahal loh cukup doa naik kendaraan sama shalawat, ya Allah," desah pasrah Darma sesaat setelah mengaminkan doa. Lagi-lagi Panji tertawa menampilkan wajah tak berdosanya.
Kama dan Eka menempati bagian depan karena keduanya yang akan bergantian mengemudikan, disusul Ajeng dan Tika yang memilih berada di belakang dengan Topan yang mereka seret sebagai pengisi kesunyian.
Darma yang ingin naik ditahan Uwi yang rupanya ada Firman lalu Citra yang ingin naik lebih dulu disusul Dipta yang persis berada tepat di depannya. Tak ada percakapan antara keduanya bahkan untuk bertegur sapa menanyakan kabar sekalipun. Dipta yang kelewat diam dan Darma yang memilih ikutan.
Berada di belakang Dipta terasa lama padahal Darma yakin tidak sampai lima menitan. Tapi memang jika berada dalam satu tempat dengan orang yang dihindari waktu seolah berjalan lambat. Setelah Dipta naik, Uwi lebih dulu menyerobot dan berasalan ingin di samping jendela menghindari mabuk perjalanan jika berada di tengah-tengah. Engap katanya. Karena tak mungkin membiarkan Panji berada di tengah di sisi Uwi, terpaksa Darma mengambil kursi tengah tersebut dan Panji berada si sampingnya dengan sekat tengah jalan ke belakang.
Setelah memastikan semuanya siap, kendaraan yang dilajukan Kama beranjak meninggalkan halaman rumah dan bersiap membawa mereka ke tempat tujuan.
Seperti ada penahan yang menahannya agar tidak menoleh ke belakang tepat dimana Dipta berada, Darma hanya berharap semoga bukan hanya mengusir kepenatan lelah bekerja, agenda ini juga bisa menyembuhkan lukanya lalu harapan baru menghampirinya.
Semoga, semoga dengan melihat kedekatan Dipta dengan Citra membawa kenyataan untuknya hingga dirinya bisa melupakan Dipta meski rasa itu telah melekat di hatinya satu dekade ini.
Ya, semoga.
***
Seperti dugaannya, selama perjalanan berlangsung bahkan beberapa kali berhenti untuk sekedar mengistirahatkan diri atau buang air kecil di pom bensin atau minimarket terdekat, Uwi masih tetap bertahan dengan tidurnya yang konon jika terbangun takutnya dia akan mabok dan itu bisa merusak kesenangannya nanti. Terpaksa selama setengah perjalanan--yang kata Kama tinggal dua jam lagi mereka sampai ke tempat tujuan-- Darma sama sekali tidak membangunkan Uwi. Membiarkan dirinya kesepian yang untungnya dia membawa sebuah novel yang dia niatkan untuk berjaga-jaga saat tidak mengetahui akan melakukan apa.
Sialnya kesamaan membaca ini juga turut serta dimiliki oleh Panji yang memang sedari dulu mengoleksi berbagai macam genre novel, entah itu pinjaman atau beli sendiri. Yang pasti, apapun novel yang sedang dibahasnya dengan Ajeng sering kali Panji ini mengetahuinya. Dan kadang Darma--yang memiliki keterbatasan untuk membeli kecuali jika memang sudah disiapkan jauh-jauh hari--merasa minder karena tidak mengetahui topik yang sedang di bahas.
"Dar, Lo tidur apa melek?"
Seruan dari arah belakang yang kentara sekali suara Ajeng menyahut begitu mobil berhenti di depan minimarket.
"Melek. Kenapa?" balasnya menyeru tanpa mau menoleh ke belakang. Sungguh dirinya tidak ingin ada adegan yang mana mengharuskan dirinya bertatapan dengan Dipta yang persis ada di belakangnya.
"Beliin permen sama roti dong, Dar, belum sarapan gue. Mana rotinya dihabiskan Topan semua," kata Ajeng dengan masih mempertahankan nada tingginya.
"Jeng, jaraknya deket, jangan teriak kayak di hutan napa," omel Panji yang kini melepas headset yang tadi menyumpal telinganya.
"Mantan dilarang ikut nimbrung."
Sontak saja perkataan Ajeng tadi membuat seisi mobil tertawa terbahak. Apalagi Darma yang memang saksi hidup kisah cinta mereka yang tidak ada romantis-romantisnya. Julukan buaya bersorban bahkan melekat pada Panji yang dia sematkan untuk lelaki itu. Saking banyaknya gadis yang saat itu terjatuh pada pesona si buaya. Bahkan Ajeng yang Darma pikir sangat teramat jauh dari tipe Panji ikut dipacari.
"Apa lagi? Sekalian gue mau beli tissue, lupa bawa," sahut Darma. Setelah mengatakan barang titipannya, ditambah pesanan yang lainnya yang mana mau tak mau dia iyakan, Darma turun menyusul Eka yang lebih dulu masuk untuk sekedar mengosongkan kantung kemihnya.
Pandangannya yang terfokus pada gawai di tangan membuatnya tak sengaja ingin bertubrukan dengan seorang ibu-ibu yang tengah kerepotan membawa barang bawaan. Hampir saja perang dunia antara dua wanita beda generasi itu terjadi, untungnya sebuah punggung memportal Darma hingga gadis itu berhenti dan mendongak melihat ada punggung yang baru saja ditabraknya.
"Kalau jalan lihat depan, bukannya sibuk sendiri."
Darma yang masih terkejut hanya diam tanpa menimpali kata-kata barusan yang terdengar begitu dingin dan datar. Yah, dirinya tak menyangkal jika kini degup jantungnya jumpalitan tidak karuan setelah berada di jarak yang cukup dekat atau bahkan bisa dikatakan sangat dekat karena hidungnya masih bisa membaui harum Dipta.
"Ya Allah, belum juga sampai tujuan rasanya sudah pingin menyerah saja," desahnya pelan lalu berjalan mengambil barang pesanan Ajeng dan Tika.
Seperti kebiasannya yang selalu membawa apa saja sebagai penyedia apapun hingga Ajeng menjulukinya ibu-ibu, Darma juga mengambil stok pembalut takut-takut entah dirinya atau temannya atau bahkan orang yang mungkin nanti kesulitan menemukan barang tersebut ketika sedang membutuhkan.
Begitu sampai di kasir, bersamaan dengan Dipta yang juga ada di sampingnya. "Gabung sama ini Mbak," ucap Dipta pelan dengan membawa keranjang belanja Darma lalu digabung dengan miliknya.
Darma dan reaksi tubuhnya yang teramat menjengkelkan menurut Ajeng dan Uwi jika sudah berkaitan dengan Dipta. Sering kali dia diejek lebay atau lebih parahnya dikatakan orang paling gak bisa move on padahal kisah sudah berakhir sepuluh tahun lalu lamanya. Tapi Darma masih saja menyimpan rasa dan menyebalkannya efek Dipta masih sering membuatnya tiba-tiba nge-freez begitu berada di satu tempat yang sama.
"Punya gue habis berapa tadi?" tanyanya mencoba sesantai mungkin, berharap getar di suaranya tidak disadari lelaki itu.
Dipta hanya menyerahkan struk belanja pada Darma dan berjalan lebih dulu menuju kendaraan mereka.
"Lah, kenapa tadi gak nitip sekalian atau dia aja yang turun beli? Padahal belanjaan juga hampir mirip," gerutunya melihat daftar belanjaan yang sama seperti titipan teman-temannya.
Darma menyusul langkah Dipta yang sudah anteng duduk di samping Citra. Begitu menoleh ke belakang berniat memberikan struk pada Ajeng dan Tika agar mengganti uang ke Dipta, matanya dengan sangat kurang ajar melihat ke arah Dipta yang tengah mengusap peluh di pelipis Citra. Sekurang-kurangnya kedua sejoli itu tertawa seolah keberadaan dirinya dan yang lain hanya pajangan semata.
Bukan salah mereka juga jika bertindak hal demikian. Ini tentu salah Darma yang masih menyimpan rasa pada mantannya hingga kini rasa tak nyaman menyelimutinya.
"Punya gue?"
Mata belo Darma kontan melebar saat terdapat tangan menyentuh telapak tangannya yang masih menengadah menunggu Ajeng mengambil struk yang dia sodorkan. Keterkejutan itu membuat Darma reflek memukul tangan Panji yang dengan kurang ajarnya menyentuh kulitnya.
"Panji, tanganmu mau tak patahin, ha?"
Panji yang mungkin terkejut terdiam sejenak sebelum tersenyum menyadari kesalahannya. "Maaf, Dar, duh lupa banget," ucapnya dengan penyesalan yang kentara.
"Bukan muhrim, Nji, main pegang-pegang aja. Mok kira Darma buah di pasar yang bisa di mek-mek sesuka Lo?" sentakan tiba-tiba Uwi yang entah kapan membuka mata seketika membuat Darma dan Panji yang membelakangi Uwi terkejut.
"Uwi!" seru Darma memegang dadanya berharap mengurangi degup terkejutnya. "Sorry banget, Nji, gue tadi … " Darma memejamkan mata, merasa bersalah juga pada Panji, apalagi lelaki itu juga sangat merasa bersalah, "… gue terkejut, jadi reflek njerit, dan ya … gue gue.." jarang bersentuhan dengan lawan jenis, sambungnya dalam hati.
Untung saja Panji mengetahui hal tersebut, maka dari itu lelaki itu merasa teramat bersalah meski awalnya memang sengaja melakukannya. Panji kira itu adalah hal yang biasa, ternyata Darma masih menjaga batasan tersebut.
"Jeng, uangnya kasih ke Dipta aja, tadi pake uang dia soalnya," ucap Darma pada akhirnya dan saat berbalik, matanya sengaja melihat ke posisi dimana Dipta dan Citra tadi duduk bersisian. Rasa tak nyaman segera menyergapnya apalagi saat melihat wajah Citra yang memerah malu yang mungkin mendengar penuturan Uwi atau mungkin aksi spontannya.
"Lo kapan bangunnya?"
Yang ditanya hanya mesem lalu kembali memejamkan mata seolah apa yang baru dikatakannya bukan hal apa-apa. Tidak menyinggung orang lain, padahal Darma tahu Uwi sengaja melakukan tadi.
"Dasar, malu dia tadi. Gak kasihan apa?"
Meski yang hanya melihat aksi Dipta dan Citra tadi hanya dirinya dan Panji yang memang menghadap belakang tadi, rupanya Uwi juga melihatnya.
"Niat gue baik, Dar, gak boleh melakukan hal yang tidak patut sebelum pasangan itu halal. Apaan di mobil pegang-pegangan tangan sambil lap-lap keringat. Mau pamer?" balas Uwi tak kalah berbisik dengan Darma.
"Yeee, itu Lo yang emang ngiri," ucap Darma yang tak diacuhkan Uwi. Gadis itu kembali menyambung tidurnya hingga kendaraan sampai di depan penginapan bergaya klasik dengan rumah kayu yang tampak hangat tersebut.
Uwi dan Darma bersisian menunggu Kama membuka pintu. Mereka memasuki penginapan tersebut dan meletakkan tas bawaan di ruang tamu sebelum akhirnya pembagian tempat tidur dilakukan.
"Gak mungkin kan Dipta sama Citra sekamar, jadi melihat postur tubuh Darma dan Uwi yang mini cukuplah kamar kalian diisi tiga orang. Sedangkan Dipta terserah mau gabung ke kamar siapa atau tidur sendiri."
Darma terdiam, yang dia berikan hanya berupa ulasan senyum yang tak cukup lebar.
Batinnya tak nyaman, mengapa pula harus satu kamar dengan Citra yang notabennya kekasih mantannya?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
