Katastrofe part 2

4
0
Deskripsi

Part 2

 

"Aneh ya Dar, manusia sering kali ketakutan jika bersentuhan atau berhadapan dengan anjing. Beralasan jika hewan itu najis. Padahal najisnya bisa dihilangkan. Tapi manusia tidak takut bersentuhan dengan lawan jenis yang mana dosanya tidak tahu disucikan dengan apa." 

 

***

 

"Mau makan malam apa kita?"

Pertanyaan Kama dari arah pintu kamarnya mengejutkan ke sepuluh orang yang ada disana. Panji lebih dulu mendengus kesal karena tersangka utama penyebab mereka kelaparan seolah merasa tak memiliki beban. Menurutnya karena ini tempat rekomendasi Kama, yang mana untuk seluk beluk tempatnya belum mereka ketahui secara pasti, dan takutnya ada hal yang musti dihindari mereka sudah mencoba membangunkan lelaki itu namun sayang, hingga satu jam kemudian lelaki itu baru terbangun dengan pertanyaan seolah mereka mau jajan apa dan dimana. Sungguh menyebalkan.

"Makan Lo. Dasar kebo," balas Panji dengan nada judesnya.

Kama terkekeh, lalu meliarkan pandangan dan begitu matanya bertemu dengan Firman, lelaki itu berdecak kesal. "Padahal bang Fir tau tempat makan dimana. Tanya dia tadi," ujarnya santai yang seketika pandangan beralih ke Firman semua.

"Ckckck, Lo semua gak ada yang nanya. Ya gue diem aja," jawab Firman pelan seolah apa yang dia katakan semudah itu menghilangkan noda di tangan.

"Tetep aja gak diem aja dong, Bang, ah!" seru Tika yang memang kelewat kesal menahan lapar. Gadis itu sedari tadi diam karena memang mengirit energinya biar tidak terkuras habis. Tapi ketika mengetahui Firman yang sedari tadi duduk di sisinya, mendengarkan keluh kesahnya dan lelaki itu diam saja, tak salah jika Tika sampai marah.

"Salah gue nih jadinya?" tanyanya dengan wajah menyebalkan.

"IYA!!" jawab serempak orang yang ada disana.

Melihat kekompakan teman-temannya, diam-diam Darma tertawa dalam hatinya. Satu hal yang baru diketahuinya, ternyata Firman selain menyebalkan juga harus ditanya karena lelaki itu tidak ada gerakan inisiatif lebih dahulu. Entah ini sikap tak pedulinya atau memang bawaan sedari lahir.

"Tenang, tadi budhe gue ngabarin kalau nanti ada orang kesini nganter makanan."

"Kama!" seru Ajeng yang persis ada di sampingnya hingga lelaki itu terkejut.

"Gue salah lagi?"

"Ya iya, dari tadi kek bilang. Sumpah ya kalian menyebalkan," sahut Uwi memasang muka garang.

"Lo gak mau nambahin, Dar?" Lempar Panji memberikan kesempatan Darma untuk ikutan marah-marah.

“Nanti, lapar gue, pas kenyang baru deh lahap mereka,” jawabnya santai sambil berlalu.

Darma mengatakannya dengan raut santai, tapi apa yang Citra tangkap berbeda. Mungkin karena dia baru kali pertama melihat wajah seram Darma, gadis itu merengsek mendekati Dipta yang ada di sampingnya.

"Kenapa?"

"Gak papa, cuma ikutan lapar," jawab Citra pelan sembari melirik Darma yang santai mengambil minuman di dapur yang mana terlihat jelas dari tempat mereka berkumpul.

"Disini ada minimarket gak, Ka?" tanya Dipta pada Kama.

"Ada, rada jauhan sih. Kenapa?"

Dipta menggeleng, lalu mengatakan jika ada kebutuhan yang mau dia beli bersama Citra.

Usai makan malam, keduanya pergi setelah mendengarkan penjelasan Kama tentang letak minimarket berada. Keduanya pergi membawa motor paman Kama yang sengaja dipinjamkan ke mereka untuk transportasi jika sewaktu-waktu mereka perlu.

"Mereka gak beli pengaman kan?" celetuk Uwi yang sontak membuat orang yang berada di sana terperanjat.

"Ngawur!" seru Eka melempar kulit kacang ke hadapan wanita itu.

"Ya … siapa tahu kan, keduanya tiba-tiba ikut kesini, terus mau ngadain honeymoon versi belum halal siapa tahu kan. Ya gak Dar?"

"Ha? Apa?"

Darma, wanita itu sejak tadi sibuk dengan makanan yang ada di depannya terkejut begitu mendapat lemparan pertanyaan atas asumsi Uwi yang jelas-jelas sangat tidak baik itu.

"Dasar. Menurut Lo Dipta beli pengaman gak?" tanyanya sekali lagi pada Darma.

"Entah. Toh, kalau beli kenapa sih?"

"Lo … gak sakit hati gitu?" tanya Ajeng pelan yang kemudian mendapati atensi semua orang.

"Lo masih belum move on dari Dipta juga Dar? Selama ini? Gila … kalian pacaran cuma tiga bulan, itupun jaman masih SMP. Awet bener!" seru Panji dengan nada dilebih-lebihkan. 

Darma malu, sungguh. Apalagi saat melihat mata teman-teman lelakinya yang seperti menguliti dirinya.

"Ngarang aja, ini korelasinya apa sih move on sama pengaman tadi?"

"Ya, siapa tahu Lo sakit hati gitu tahu kalau Dipta sudah begituan--" Ajeng memperagakan gerakan jari telunjuk dan tengahnya dan saat Darma dirasa cukup sadar gadis itu melanjutkan, "jadinya kan selama ini pemikiran Lo tentang dia yang baik-baik saja hilang. Ya kan?"

"Mau dia lakuin itu apa gak, bukan urusan gue. Pun mau gue masih suka sama dia atau gak, gue gak tahu. Yang pasti gue masih belum nyaman ada di sekitar dia."

"Kalau Lo belum move on juga, berarti Lo suka sama dia sepuluh tahun dong, Dar! Gila, dia udah ganti beberapa kali Lo masih ngebucinin dia." Topan terkejut, tentu saja. Dia salah satu saksi hubungan antara Darma dan Dipta dulu. Tempat ngadu Darma karena Dipta begitu kaku.

"Sudah dibilang gue hanya gak nyaman. Pengalaman pacaran gue gak sebanyak kalian. Gue gak bisa sesantai kayak Panji dan Ajeng yang meski sudah mantan pacar tapi masih akur dan tukar kabar. Sampe sini paham?"


***

 

Apa yang dicemaskan serta diomongkan Uwi semalam tidak terjadi. Buktinya saat Darma bangun subuh tadi Citra masih lelap di samping Uwi. Pun semalam Citra dan Dipta tak pergi begitu lama ke minimarket terdekat. Keduanya kembali dua puluh menit kemudian membawa tentengan keresek berisi roti tawar serta selai coklat dan kacang. Tak ada pengaman yang dikhawatirkan, pun dirinya ikut bongkar belanjaan dan menyimpannya di kabinet dapur sendirian.

Bahkan saat bersiap tidur pun tak ada keanehan yang ditunjukkan gadis itu. Setelah berembukan posisi mana mereka tiduran, Darma yang paling akhir menutup mata juga tak menemukan kejanggalan jika tengah malam Citra pergi menemui Dipta atau lainnnya.

"Jahat banget dong ya, curiga gitu sama dia," gumam Darma setelah menuruni tangga padahal fajar baru tiba.

Membangunkan Uwi dan Citra ternyata butuh tenaga ekstra. Meski baru pertama kali jumpa--itu yang Uwi katakan padanya--keduanya memiliki kesamaan menganut jika hari libur adalah hari tidur.

Suasana sepi, hawa dingin, juga tamaramnya penerangan tak menyusutkan niat Darma yang ingin keluar melihat keadaan sekitar. Kapan lagi dia bisa melihat suasana berbeda dari biasanya kan? Bisa keluar dari rumah dengan perizinan ketat saja sudah begitu bersyukur. Jadi begitu ada kesempatan, ia menggunakannya sebaik mungkin. 

"Loh, kak Firman?" kejutnya begitu membuka pintu terlihat Firman tengah bersandar di pembatas pagar depan. Meski minim penerangan, postur tinggi Firman yang kemarin dihafal Darma cukup untuknya mengenali sosok yang tengah berdiri membelakanginya.

Lelaki itu membalikkan badannya, menatap Darma yang masih bertahan di tengah pintu. Bahkan menatap gadis itu menutup pintu dan perlahan mendekatinya.

"Ngapain?" tanya Firman datar dan mengamati penampilan Darma yang bisa dikatakan sudah cukup segar. Dengan harum sabun mandi menguar juga jejak basah di hijab yang dikenakan. Cukup menjadi penanda jika gadis itu sudah mandi di pagi buta seperti ini.

"Mau lihat luar. Mas kok udah disini? Dari kapan?" Pantas saja pintu tidak terkunci, dikiranya tadi semalam mereka lupa mengunci pintu.

"Baru saja. Mau kemana Dar?"

Darma yang mengetahui maksud pertanyaan Firman hanya bisa meringis pelan. Kebiasannya mandi saat subuh terbawa disini. Rasanya akan ada yang kurang jika dirinya tidak sekalian mandi sebelum shalat subuh.

"Udah jadi kebiasaan, Mas. Mas gak tidur semalam?"

"Tidur, cuma keganggu sama kaki Kama yang kemana-mana."

Darma mengangguk pelan kemudian keduanya terdiam menatap hamparan lautan yang terlihat kerlap kerlip diterpa sinar rembulan.

"Mau jalan-jalan?"


***


Keduanya menyusuri bibir pantai dalam diam. Darma membiarkan Firman di depan, berjarak lima langkah di depannya. Deru air laut yang tenang, udara dingin yang menusuk tulang, membuat Darma merekatkan kardigan yang ia kenakan. Bahkan kaki yang terlapisi kaos kaki kini terkana cipratan air yang malu-malu menghampiri ketika dia mendekati.

"Mas Firman saudara Kama?"

Dibanding mereka semua, Firman merupakan kakak kelasnya sewaktu Darma duduk di bangku SMP. Sosok kakak kelas yang tinggi dengan pesona kepiawaiannya mengkoordinir bola voly meski pada akhirnya dikalahkan oleh grup putra kelasnya. Meski begitu, dari sana Darma tau ada sosok Firman bermain disana.

"Huum."

Darma kembali diam. Seingatnya Firman cukup banyak bicara, dulu pada temannya. Pernah suatu ketika dia berada di satu ruangan dengan Firman saat mid semester berlangsung. Dan dari sana dia cukup tau, Firman yang cerdas, Firman yang tak pelit pada temannya, juga Firman yang akan mengomentari dirinya jika Darma terlalu cepat mengumpulkan jawaban.

"Lo ada pacar baru lagi setelah putus dengan Bhisma, Dar?"

Firman berhenti, begitu juga Darma yang mengambil posisi tak jauh darinya. Cukup jelas mendengar pertanyaan yang barusan dilemparkan untuknya. Dan sedikit kesal, mengapa tiap kali bertemu dengan teman-teman Bhisma selalu ini yang ditanyakan. Lalu jika bertemu dengan teman-teman seangkatannya selalu Dipta yang dibahas. Seolah eksistensinya kalah dengan mereka berdua.

"Huum." Darma bergumam, mengambil langkah kecil dan berdiri tepat di samping Firman yang mengamati sinar jingga yang mulai beranjak tinggi. "Lo tahu lah pasti, Mas, semalam juga anak-anak bahas itu kan."

"Dipta? Gak salah?" Darma merasa lelaki itu tengah menatapnya dengan alis tebalnya yang mungkin menukik tajam. Keheranan bagaimana dirinya bisa kepincut dengan pesona Dipta.

"Ya iya. Kami dulu satu kelas. Dan ya kita dekat. Lo tau lah Mas gimana anak sekolah kalau udah gitu. Pacaran tiga bulan, terus putus. Udah." Darma tak tahu mengapa dirinya harus mengatakan ini pada Firman. Hanya saja, dirinya tak ingin dianggap gagal setelah putus dengan Bhisma yang notabenenya saat itu cowok populer di angkatan Firman dan bila dibandingkan dengan Dipta tentu tidak ada apa-apanya.

“Dan gak bisa move on sampai sekarang? Serius?” tanyanya heran, “padahal dulu sama Bhisma cukup lama deh, enam bulan kan? Cepet gitu kok dapat gantinya.”

Darma menoleh, menatap Firman yang juga masih menatapnya. Wajah bersih nan tinggi itu mengharuskan Darma mendongakkan kepala. "Jujur gue sedikit bingung sih, Mas," aku Darma.

Gadis itu melengos, membuang muka seraya memohon ampun karena baru saja terpesona dengan lelaki di hadapannya.

"Benar sih setelah putus dari Dipta gue gak ada pacar lagi, sampai sekarang malah. Kalau dibilang masih suka dia, gue gak yakin. Tapi memang terkadang gue membandingkan cowok yang mungkin deketin gue pakai standar dia. Dipta itu pinter, gue kudu nyari yang sebanding dia atau di atasnya, Dipta itu tampan, setidaknya meski kurang dari dia orang itu kudu pinter. Dan lagi … " Darma kembali memfokuskan matanya ke Firman yang rupanya masih bertahan dari posisi awal, "…Dipta dulu selalu ada buat gue. Sebelum kita jadian, kita ini sahabat, Mas. Entah semua tolak ukur itu muncul karena apa gue gak tahu. Yang gue tahu, sejak saat itu gue kudu nyari orang yang di atas dia."

"Rumit juga," komentar Firman pada akhirnya.

Sesaat, keduanya terpekur pada bola api yang perlahan memunculkan jati dirinya. Menghantarkan kehangatan, juga sinar merah kekuningan, melambungkan doa bagi siapa saja yang melihatnya.

"Lo tahu Dar, bisa saja yang Lo rasa itu bukan cinta, tapi hanya fatamorgana belaka."

Darma mendengarnya, hanya saja dirinya terlalu takut menerka. Terlalu lama meyakini jika rasanya masih untuk Dipta dan belum bisa ada yang menggantikannya. Ah atau mungkin dia terlalu nyaman dengan kesendiriannya menggunakan tameng Dipta di sana.

"Mungkin, tapi---"

Ucapan Darma terhenti, mata gadis itu melebar dengan mulut menganga. Tangannya dengan cepat menyabet lengan Firman yang masih mencoba mendengarkan ucapannya.

"Mas, ada anjing!"


***


"Rileks, Dar, jangan tatap matanya!"

Darma menuruti ucapan Firman. Meski tak bisa dipungkiri jika untuk mengatur nafas menjadi biasa saja setelah berlari sejauh itu namun tetap dikejar anjing bukan hal yang mudah. Bahkan dirinya harus sedikit memepetkan tubuhnya dengan Firman saking ketakutan. Seumur-umur baru kali ini Darma berhadapan langsung dengan anjing. Jadi dia merasa panik tat kala matanya menangkap makhluk berkaki empat itu berlari menuju mereka. Gilanya, bukannya tenang dia malah ikutan berlari hingga akhirnya dikejar.

"Tangannya ke pinggang. Jangan diulurkan. Nanti digigit."

Sebagai antipati, Darma mendongakkan kepalanya seraya meyakinkan diri jika semua baik-baik saja, dan tak lama nafasnya mulai beraturan setelah hewan tadi perlahan menjauhi mereka.

"Sudah, Dar," ucap Firman, lelaki itu tersenyum melihat bagaimana pucatnya wajah Darma saat ini. Mata sipit itu perlahan terbuka dan bersibobrok langsung dengan miliknya.

"Sudah hilang beneran?" tanyanya meminta keyakinan. Firman itu usil, seingatnya. Takutnya anjing tadi masih ada di sekitarnya. Dan Darma tidak bisa jika disuruh tenang lagi.

"Iya. Tuh, sudah lari ke posisi awal."

Benar saja, begitu Darma melihat ke arah yang dituju telunjuk Firman, hewan berbulu tadi berlari menyusuri bibir pantai kembali ke tempat Darma melihatnya pertama kali.

"Aneh ya Dar, manusia sering kali ketakutan jika bersentuhan atau berhadapan dengan anjing. Beralasan jika hewan itu najis. Padahal najisnya bisa dihilangkan. Tapi manusia tidak takut bersentuhan dengan lawan jenis yang mana dosanya tidak tahu disucikan dengan apa."

Darma terpekur, ucapan Firman barusan sangat benar. Sering kali dirinya lupa, bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya atau bahkan bersalaman dengan mereka tanpa peduli dosanya. Dia menganggap itu hal yang wajar, kecuali jika dalam kondisi dimana dia sadar itu tidak boleh dilakukan.

"Lo setelah putus dari Dipta berusaha jaga diri gak Dar?"

"Hum?" Dara mengamati Firman, pertanyaan barusan juga menyadarkan dirinya jika dia juga membatasi pergaulan dengan lawan jenis. "Iya..."

"Bisa jadi, Lo itu bukannya terlalu berpatokan tinggi pada laki-laki, tapi itu salah satu bentuk penjagaan Allah sama Lo..."

Dan Darma baru sadar, belum pernah sekalipun dirinya berpikir demikian. Jadi, kesendiriannya itu bentuk penjagaan bukannya sebuah impulsif dari ketidakbisa move on-an dia pada Dipta?
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Katastrofe
Selanjutnya Kado tak Terwujud Part 26
9
0
Part 26 beserta tambahannya yang tidak ada di wattpad.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan