
⚠️WARNING⚠️
Fine dining di kastil tua terasa menegangkan karena Kenzo yang bersikap dingin pada Quinzel selama Jocasta Rose bertanya tentang hari-hari Quinzel sebagai murid baru di Palm Hills Kingdom. Quinzel harus temukan cara untuk membuat Kenzo bicara. Apa sebabnya Kenzo marah pada Quinzel hingga membiarkan Quinzel menjadi bulan-bulanan di sekolah tanpa menawarkan tangannya untuk menolong Quinzel?
🎶 Midnight Waltz 🎶
▶️ Quinzel walks down the stairs, welcoming and then conversing during fine dining.
—————————————————————
Beberapa meter di depan, Kenzo berjalan lawan arah dari Quinzel dalam detik yang seolah diperlambat khusus padanya di antara orang-orang yang berlalu cepat di sekitarnya. Mudah menyorotnya karena dia lebih tinggi dari mereka yang berlalu-lalang di koridor dan tampilannya terbilang mencolok meski dalam balutan seragam.
Sedikit perbedaan kontras adalah warna rambut yang berbeda dari terakhir bertemu. Ash brown kini berganti fawn.
Bukan hal baru melihat Kenzo gonta-ganti warna rambut. Itu untuk kebutuhan stage dan photoshoot. Mengingat Kenzo pergi untuk bisnis, tampaknya dia ada panggilan mendadak untuk tampil di atas catwalk, makanya rambutnya diwarnai lagi. Mungkin itu juga kenapa Kenzo terlambat pulang.
Sering terjadi. Banyak brand, event, atau fashion designer yang jika mendengar Kenzo sedang ada di negara mereka akan langsung mengontrak Kenzo untuk kerja sama. Tapi, begitu pulang, Kenzo biasanya langsung mampir ke kastil. Quinzel selalu jadi tujuan pertamanya sesampainya di Indonesia, terutama jika kepulangannya melewati jadwal seharusnya. Tentu Quinzel terkejut melihat Kenzo langsung ke sekolah.
Hal pertama yang Quinzel ingin tunjukkan adalah senyuman miris, ingin perlihatkan betapa malang nasibnya pada Kenzo. Jadi, begitu tatapan mereka bertemu, Quinzel tarik garis bibirnya. Sepintas.
Entah Quinzel berlebihan berharap Kenzo menghampiri dan menanyakan apa yang terjadi padanya atau Kenzo saja yang terlalu tak tertebak, yang jelas Quinzel tahu Kenzo menyadari kehadirannya. Mata Kenzo tidak berbohong. Tapi, entah untuk alasan apa, cowok itu mengalihkan tatapan dan berjalan melewati Quinzel. Begitu saja.
Seketika itu juga Quinzel stagnan di tempat. Berpikir mungkin dia salah, Quinzel berbalik.
Tidak salah. Cowok itu benar Kenzo. Dengan punggung semakin menjauh tanpa sekali pun menoleh. Abai saat Quinzel sangat membutuhkannya sampai Quinzel berpikir apa Quinzel sudah gila?
Lalu, Quinzel tersadar. Bukan Quinzel. Kenzo yang gila!
Ada apa dengan cowok itu? Kenapa dia pulang tanpa memberi kabar dan masuk sekolah tanpa memberitahu Quinzel? Mereka seharusnya berangkat bersama, bukan? Seperti ke mana pun mereka pergi?
Dan ini pertama kalinya Quinzel sekolah. Bagaimana bisa Kenzo bersikap tak mengenal Quinzel di sekolah saat seingat Quinzel, terakhir kali bersama, Kenzo sampai ingin batal berangkat ke Brussels demi menemani Quinzel sekolah?
Sungguh, Quinzel nyaris gila memikirkan apa yang terjadi dan kenapa Kenzo tidak penasaran bagaimana Quinzel selama Kenzo tidak ada, tapi Quinzel tak punya cara untuk bertanya. Quinzel tidak sekelas dengan Kenzo dan tidak punya teman untuk ditanyai Kenzo di kelas mana. Quinzel juga tidak bisa keluar kastil. Artinya, dia tak bisa bertemu Kenzo, kecuali Kenzo yang menemuinya.
Menghubungi Kenzo? Quinzel tak diberi ponsel. Satu-satunya cara mereka berkomunikasi hanya lewat telepon yang sengaja diletakkan di satu ruangan khusus dengan kendali jarak jauh. Ruangan itu hanya bisa dimasuki jika Kenzo berkehendak. Itu pun biasanya Kenzo menelepon hanya lewat Ella untuk memastikan kabar Quinzel. Quinzel tak pernah dibiarkan dekat-dekat telepon.
Tapi, tampaknya keberuntungan yang sangat jarang terjadi sedang berpihak kepada Quinzel karena malam harinya, Jocasta Rose mengabari Ella bahwa dia akan mampir makan malam di kastil. Seharusnya Kenzo juga ikut. Mungkin mereka bisa bicara nanti.
"Merci, Ella," ucap Quinzel begitu permen karet berhasil diangkat sepenuhnya dari rambutnya menggunakan ramuan yang diracik Ella.
Ella tersenyum hangat. "Biar saya siapkan pakaian Anda, Nona."
Quinzel merasa lega setelah memandang ulang rambutnya di cermin. Kemudian, dia beranjak ke kamar mandi. Selesai mandi, Ella membantunya berpakaian dan berdandan. Tampilannya harus selalu istimewa bak putri kerajaan tiap kali bertemu Jocasta Rose.
Ella membantu Quinzel mengikat tali belakang Victorian corset dress dengan aksen renda pada garis dada. French tule pada bawahan yang megar sampai ke betis membuat gaun hitam itu terlihat elegan. Sentuhan merah di beberapa bagian gaun memberi warna pada kulit pucat Quinzel. Bando renda bulu-bulu menghiasi rambutnya yang juga sudah ditata indah.
Setelah berputar di depan kaca hingga gaunnya mengembang, Quinzel berjalan turun dengan angkle boot renda berwarna merah. Pita kecil hitam menjadi sentuhan manis, juga aksen rantai pada sepatu yang berbunyi layaknya gelang kaki saat menapak tangga. Bunyi ketukan tumit di lantai memberi tanda kehidupan di kastil yang tampak kosong seolah tak berpenghuni.
Hidangan makan malam yang dilengkapi dekorasi mewah dihidangkan di atas meja makan. Seperti biasa, juru masak didatangkan untuk membuatkan jamuan makan malam keluarga.
Quinzel berdiri manis di ruang makan, siap untuk menyambut. Pertemuan ini terhitung jarang karena Jocasta Rose lebih sering di luar negeri mengurus pekerjaan.
Sama seperti Kenzo, tampilan Jocasta Rose yang mewah, berbeda, dan elegan memberi warna baru bagi mata Quinzel yang biasa terkunci dari dunia luar. Quinzel selalu menyelipkan pujian untuknya.
Malam ini, Jocasta Rose berjalan dengan sanggul tinggi. Slim long dress merah hati membalut tubuh tingginya. Sarung tangan beludru sepanjang siku turut menghiasi kedua tangan. Di sampingnya, berdiri Kenzo yang tak kalah modis. Dalam balutan turtle neck hitam dilapisi jas.
Makan malam dimulai dengan iringan permainan instrumen indah oleh Geviano, pemain piano klasik yang memang sering diundang Jocasta Rose ke kediamannya. Tidak selalu untuk acara besar. Kadang Geviano dihadirkan hanya untuk menghibur Jocasta Rose setelah lelah bekerja sebagai bentuk healing di rumah versinya.
Di tengah jamuan, Jocasta yang duduk di kursi ujung meja membuka obrolan, "Suka sekolahnya, Zel? Is it nice as you expected?"
Quinzel menusuk brokoli tanpa semangat. "Define nice," katanya pelan.
Sambil tetap mengukir senyum di wajah yang seolah tak pernah dimakan usia itu, Jocasta lirik Kenzo yang duduk di seberang Quinzel, di sisi kiri Jocasta. Cowok itu terlihat acuh tak acuh meski sesekali tertangkap melirik Quinzel di tengah-tengah santapan malamnya.
Jocasta menjelaskan, "Nice as in murid-muridnya ramah bersahabat. Guru-gurunya menyenangkan dan ajarannya mudah dipahami. Suasana sekolah bikin kamu nyaman. Kamu dapat bantuan saat kesulitan belajar."
"Hmmm," gumam Quinzel sambil berpikir. Tampaknya sekolah sama sekali tak seperti yang digambarkan itu. Mendekati pun tidak.
Quinzel ingin mengungkapkan yang sejujurnya, tapi saat melirik Kenzo, Quinzel mengurungkan niat. Dari cara Kenzo menatap Quinzel gelap disertai pengawasan, Quinzel tahu Kenzo berharap Quinzel mengatakan apa yang Kenzo mau dengar. Well, bersiaplah kecewa, Kenzo!
"Lumayan, kok," jawab Quinzel.
Dan Kenzo lepaskan Quinzel dari kuncian tatapannya.
"Yes, it should be," kata Jocasta. "Palm Hills Kingdom itu sekolah elite terbaik. Kamu pasti akan diperlakuan sangat baik di sana, kecuali selama sebulan masa orientasi."
Quinzel mengangkat alis. Ah, ternyata Jocasta tahu juga orientasi di sekolah itu berat.
"But I'm sure it's not so bad either. Kenzo told me it was pretty easy for him back in seventh grade, right, Kenzo?" kata Jocasta, tapi Kenzo hanya terus makan tanpa menjawab. "Mereka semua sangat baik kepada Kenzo."
Ya, karena Kenzo akan mencungkil mata siapa pun yang sekadar menatapnya dan dia tidak suka. Ah, rasanya Quinzel ingin tersenyum sinis saja. Tentu wajah malaikat Kenzo itu tak memberi gambaran sedikit pun bahwa Kenzo bisa menjadi sangat anarkis.
"Lagian, kamu punya Kenzo di sana." Jocasta tersenyum sambil berganti-gantian menatap Kenzo yang diselimuti diam dan Quinzel yang dipenuhi kepura-puraan. "Kenzo will make it easy for you."
Senyuman Quinzel berubah masam. Untungnya, Jocasta tidak melihat karena ponselnya berdering, sementara Kenzo yang menangkap senyum masam itu tak memberi respons apa-apa.
Sungguh, Quinzel tak mengerti kenapa cowok itu sangat dingin seharian ini. Meski tahu sikap Kenzo sering tak terprediksi, ini tetap menyebalkan. Bagaimanapun, Quinzel sedikit menunggu kehadiran Kenzo di sekolah sejak mengalami perundungan. Tentu dia agak kesal ketika Kenzo akhirnya masuk sekolah dan justru mengabaikannya.
"Ah, ini telpon penting," kata Jocasta, seperti biasa tak pernah menyelesaikan waktu berkumpulnya bersama Kenzo dan Quinzel.
Jocasta meneguk wine di gelasnya, lalu membersihkan bibir merahnya dengan napkin. Dia bangkit berdiri. "Kalian lanjut saja dinner-nya, ya," katanya sembari memberi isyarat ke meja makan dengan tangan. "Saya sudah selesai. Kalian nggak usah nunggu saya dan nikmati saja makan malamnya. Sampai besok, Kenzo, Quinzel."
Basa-basi tentunya. Mereka tak akan bertemu besok karena Jocasta Rose adalah orang sibuk yang sangat sulit ditemui. Meski malam ini dia dan Kenzo menginap di kastil, keesokan pagi sebelum Quinzel atau Kenzo bangun, dia pasti sudah tak ada di kastil. Pergi untuk mengurus segala pekerjaan pentingnya.
Jadi, pilihan kata yang tepat untuk mengakhiri pertemuan alih-alih mengucapkan sampai besok yang terdengar hampa, Quinzel dan Kenzo sepakat membalas, "Bonne nuit."
Tentu hanya permainan piano yang tersisa menemani sunyi di ruang makan sepeninggal Jocasta Rose. Tidak lama. Bahkan satu lagu pun tak selesai dimainkan ketika Kenzo menarik napkin di paha dan mengusap mulutnya, lalu meletakkan napkin di meja seiring bangkit berdiri.
Makanan dan minumannya masih tersisa lebih dari setengah. Biasanya Kenzo tak keberatan menghabiskannya sekalian menikmati waktu bersama Quinzel. Tapi, kali ini, Kenzo kehilangan selera makan. Bahkan sejak tadi, dia hanya makan sebagai formalitas saja. Begitu Jocasta Rose pergi, dia pun beranjak seolah kehadiran Quinzel tak ada harganya.
Quinzel mengernyit. Dia tak merasa berbuat kesalahan untuk diperlakukan seperti itu.
Maka, sebelum Kenzo keluar dari ruang makan, Quinzel cepat-cepat memanggil, "Kenzo." Quinzel membersihkan mulut ala kadarnya. "Apa kita akan berpura-pura kayak nggak ada apa pun yang terjadi?"
Quinzel bisa rasakan di belakang kursi yang dia duduki, Kenzo berhenti berjalan. Tak ada bunyi langkah kaki dari sepatu Kenzo hingga Quinzel meyakini Kenzo mendengarnya. Jadi, Quinzel bangkit berdiri dan memutar arah menghadap punggung Kenzo.
"Kenapa kamu diem aja saat kamu tau apa yang terjadi?" protes Quinzel.
Quinzel yakin Kenzo tahu dia tidak baik-baik saja di sekolah. Baju Quinzel basah. Wajahnya juga kotor. Rambutnya begitu berantakan karena berusaha melepaskan permen karet. Kenzo selalu sangat detail memperhatikan Quinzel. Kalau Kenzo diam saat Quinzel kacau, artinya Kenzo memang tidak mau tahu saja, bukannya tidak melihat.
"Kenapa kamu nggak ngomong waktu Rose nanya tadi?" cecar Quinzel.
Kenzo diam saja meski bisa merasakan Quinzel sudah berdiri cukup dekat di belakangnya. "That school is horrible!" sahut Quinzel yang akhirnya berhasil membuat Kenzo berbalik menghadapnya.
"Did I already tell you that school isn't nice, it sucks?" tanya Kenzo.
Ya, Kenzo sudah mengatakannya ratusan, mungkin jutaan kali sejak pertama Quinzel minta disekolahkan seperti Kenzo yang pergi sekolah. Kenzo selalu menolak dengan alasan sekolah itu tidak enak. Quinzel tidak akan nyaman, apalagi suka. Meski kini tahu Kenzo benar, Quinzel masih saja ingin menyangkal.
"It's pretty nice for you, judging by what your mother said and how you were at school," cecar Quinzel. "Pake seragam sekolah," katanya penuh penekanan, memastikan Kenzo tahu dia ingin penjelasan untuk itu.
Terus terang, kalau bukan karena penampilan Kenzo yang begitu menonjol, Quinzel bisa saja keliru mengira Kenzo kakak kelas karena seingat yang dia perhatikan, tidak ada peserta SO yang melanggar aturan pakaian. Ya, sampai dia melihat Kenzo.
Namun, Kenzo kelihatan tak tertarik menjelaskan. Dia hanya mengangkat bahu tanpa setitik ekspresi pun di wajahnya. "Not everyone has charm like me."
Hah? Mudah sekali bicaranya?
"That charm you should share with me, don't you think?" tanya Quinzel, terlebih karena selama ini, Kenzo bebaskan Quinzel menyentuh hampir semua miliknya. Quinzel tak temukan alasan kenapa Kenzo harus keberatan membagi sedikit keberuntungan pada Quinzel.
"Kenzo will make it easy?" sahut Quinzel mengutip ucapan Jocasta Rose tadi.
Mana mudahnya? Sekadar menyapa Quinzel sebagai satu-satunya teman di sekolah pun Kenzo tak sudi.
Kenzo mengangkat sebelah alis. "So, it's Kenzo now?"
"Ha?" Quinzel mengernyit, tapi Kenzo diam saja. "Maksud kamu? Kamu, kan, yang bersikap kayak stranger di sekolah?"
Kenzo tersenyum sinis, kemudian maju selangkah. "Lo punya pacar? Enggak." Dia terus melangkah ke arah Quinzel. "Lagi suka seseorang? Enggak juga." Setiap kalimatnya membawa langkahnya semakin dekat pada Quinzel. "Mau jadi pacar gue?"
Kenzo berhenti tepat di depan Quinzel. Matanya menatap dengan sorot dingin dan untuk menghindarinya, Quinzel perlahan tunduk.
"Mau fokus sekolah dulu." Kenzo menyelesaikan kutipan itu.
Quinzel menelan ludah. Tentu ucapan Kenzo itu tak terdengar asing di telinganya. Meski diulangi persis tanpa kurang satu kata pun, tapi Kenzo mengucapkannya tanpa adanya kesan rayuan seperti yang diucapkan kakak kelas mereka tempo hari.
"Someday mau, hm?" tanya Kenzo dingin.
Sial. Ternyata Kenzo sudah pulang dari beberapa hari lalu. Dia mungkin langsung ke sekolah untuk menemui Quinzel, tapi yang dia dapati justru... Quinzel bersama cowok-cowok lain. Dari situlah asal muasal semua sikap aneh dan dingin Kenzo ini.
"It's givin' 'Kenzo who?' or am I wrong?"
"Kamu marah cuma karena itu?" tanya Quinzel.
"Harus berapa kali gue bilang nggak suka diremehin?" tanya Kenzo dengan rahang terkatup rapat. "Cuma?"
Ya, semua hal jika sudah bisa disebut masalah, maka itu besar bagi Kenzo. Tidak ada hal kecil disebut masalah. Karena itulah jika tidak masalah, orang akan mengatakan, "Not a problem, it's nothing."
Nothing. Tanpa no, itu akan menjadi thing. Thing saja sudah bisa dijadikan suatu masalah. Tak peduli kecil atau besarnya, intinya masalah.
Itu pelajaran nomor sekian dari Kenzo yang telah memberi Quinzel ratusan pelajaran beserta hukuman jika Quinzel gagal mempelajari. Sebaiknya, Quinzel cepat memperbaiki.
"Oke, maaf," kata Quinzel saat mengangkat pandangan. "Tapi, aku nggak tau ucapan itu salah dan kamu tersinggung karena ternyata denger. Aku belum terbiasa juga sosialisasi sama banyak orang, Kenzo," katanya lelah. "Masa' kamu nggak maklumin kalo aku salah ngomong? Nggak harus kamu langsung sengaja bikin sekolah jadi kayak neraka buat aku, kan?"
Kenzo mengangkat sebelah alis. "Lo yang tersiksa di sekolah, kenapa jadi nyalahin gue?"
"Karena kamu segitu nggak sukanya aku sekolah sampe terus-terusan tanamin di kepalaku kalo sekolah itu nyeremin, ngeyakinin aku nggak akan betah. Tapi, karena aku ngotot, kamu implementasikan ucapan kamu di sekolah biar aku mau berhenti sekolah."
"Bangun, hey." Kenzo mengetuk pelipis Quinzel dengan kedua jari tangannya. "Lo di sekolah gue apain emangnya, hm?"
Quinzel menelan ludah, tersadar Kenzo memang tak berbuat apa-apa. Dia diam, bahkan abai.
Kenapa itu membuat Quinzel marah? Mungkinkah... diam-diam sebenarnya Quinzel berharap Kenzo melakukan sesuatu untuknya seperti... membelanya?
Ah, terasa seperti isi hati Quinzel mengkhianati pikirannya yang tak membutuhkan Kenzo. Bahkan ucapannya mungkin terdengar begitu bagi Kenzo.
Lihat saja. Cowok itu sudah tersenyum angkuh seolah ingin menunjukkan bahwa dia dibutuhkan. Sampai kapan Quinzel sanggup bertahan tanpanya?
"Lo jangan ngomong kayak bukan gue yang masukin lo sekolah," kata Kenzo. "Bukan lo duluan yang anggap gue stranger?"
Quinzel terhenyak. Ya, butuh bertahun-tahun Quinzel membujuk Kenzo dengan berbagai cara sampai akhirnya Kenzo izinkan dia sekolah. Setelahnya, Quinzel malah tak mengakui Kenzo. Saat dia kira itu baik untuknya, rupanya itu justru mempersulit kehidupan sekolahnya.
"Lo bicara di sekolah kayak gue bukan siapa-siapa buat lo, sementara gue yang masukin lo ke sekolah itu. With my permission," kata Kenzo penuh penekanan. "Dan sekarang kenapa lo anggap gue yang bikin sekolah kayak neraka buat lo cuma karena gue nggak ikut campur sama masalah lo?"
Lagi-lagi, Quinzel tak bisa bicara.
"Lo butuh gue?" Kenzo tersenyum mengejek. "Orang yang lo nggak suka ini?"
Quinzel menggigit pipi dalamnya. Quinzel selalu benci keangkuhan Kenzo dan kenyataan bahwa Quienzel tak bisa merangkak ke luar kastil tanpa Kenzo.
Oh, Tuhan, kapan Quinzel bisa berhenti bergantung pada Kenzo? Dia tak suka memberikan kenikmatan dan kekuasaan penuh pada Kenzo.
Kenzo suka Quinzel tak berdaya tanpanya dan Quinzel suka menyiksa pikiran Kenzo dengan bersikeras berupaya menunjukkan bahwa Quinzel tak perlu meminta tangan Kenzo, kecuali Kenzo tawarkan hanya agar Kenzo tahu Quinzel bisa bertahan tanpanya.
Faktanya? Omong kosong!
Selalu tangan itu yang dicarinya. Diam-diam, Quinzel tahu dia akan merangkak untuk meraih tangan itu karena hanya itu yang dia punya.
"I made my own way to make school easier for me," kata Kenzo. "Dan karena lo enjoy kesendirian lo yang mau fokus sama sekolah, bukan pacar atau apa pun itu, kenapa nggak coba sendiri bikin sekolah mudah buat lo tanpa bantuan gue?"
Quinzel bergeming.
"Besides, you think it's me who makes your school life miserable, don't you?"
Quinzel hanya bertahan diam karena dia tak punya cara untuk membela diri.
Kenzo mengangkat kepalan tangannya sekilas ketika berkata, "Semangat, Quin." Dia mengulum senyum mengolok. "Lo, kan, mandiri. Nanti kalo udah nggak sanggup tanpa gue, bilang aja."
Kemudian, Kenzo membungkuk sedikit. Senyumannya masih mengembang ketika berbisik di telinga Quinzel. "Say, "I'm yours, Kenzo.""
Jantung Quinzel berdetak tak keruan.
Kenzo menikmati ini. Dia jelas-jelas masuk lebih dalam lewat suaranya saat berkata rendah, "Crave me."
♥️tbc♥️
Support by like or tip, deal?
—❌⭕️❌⭕️—
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
