
Adaptasi telah berhasil membuat kita bersenyawa.
Katanya, kita adalah senyawa yang amat begitu sempurna.
Kita pernah bilang, 'sempurna gak akan punya makna kalo gak ada kamu di sana'.
Tapi, siapa?
Siapa yang sebenarnya jadi si Sempurna itu?
Siapa yang sebenarnya menjadi si pemenang makna?
Mengapa dari sekian banyak orang yang ada di dunia, harus kamu yang memberikan aku luka?
Kimberly
Pada akhirnya, gue menunjukkan sisi terlemah gue kepada Johan. Baru berprasangka aja hati gue udah seancur ini, gue gak bisa bayangin akan serusak apa dunia gue nanti jika– seandainya, seandainya Johan melakukan sebuah kesalahan yang gak akan pernah bisa gue tolerir.
Gue sempat bilang, kan? Ibu pernah diselingkuhi sama Ayah, bahkan nggak cuma sekali. Oleh sebab itu, gue punya trust issue yang serius mengenai masalah tersebut. Gue tau gimana tersiksanya Ibu gara-gara Ayah. Gue tau gimana rasanya jadi seorang anak yang suasana di rumahnya mati karena perasaan kedua orang tuanya yang juga mati. Maka jika suatu hari Johan mulai bosan dengan gue, atau dia merasa jika ada orang yang lebih baik dalam segala hal dari gue, gue gak akan berpikir panjang untuk pergi dari dia karena gue enggan menyiksa diri sendiri dan juga anak-anak.
Harus dengan cara apa gue memvalidasi firasat gue ini?
Di satu sisi, gue ingin kebenaran. Gue ingin tahu; sebenarnya ada apa dengan Johan? Tapi di sisi lain, gue takut. Gue gak siap, atau bahkan gue gak pernah siap untuk mengetahui fakta menyakitkan jika memang ada yang salah dengan hati Johan.
Demi Tuhan, Johan jahat banget sih kalo dia sampe berbuat macam-macam di belakang gue. Dia lebih paham dari gue soal permasalahan rumah tangga dan keluarga, kita sama-sama punya pengalaman buruk soal kedua hal tersebut. Keterlaluan namanya kalau Johan berbuat demikian. Pikiran gue makin kacau, gue semakin ingin membuktikan apakah firasat ini benar atau salah?
"Kan, kan, ngelamun lagi. Bukannya Pak Suami udah telepon Dokter Kim?"
Waktu Johan nelepon, gue baru aja beres ngasih tindakan pengambilan darah kepada salah satu tahanan. Otomatis klinik lagi ramai, Dokter Bima ada di dekat gue karena dia lah yang memberikan arahan kepada Sipir Lapas untuk mengantarkan darah tersebut ke laboratorium pilihan.
Dengan lunglai, gue duduk di atas kursi sambil menarik napas dalam-dalam. "Udah sih, tapi hati saya gak tenang banget, Dok."
"Kok bisa?" Dia mengangkat kursi yang posisinya ada di dekat tempat instrumen lalu meletakkannya di sebelah gue. Dokter Bima duduk di situ, dengan kebiasaan yang gak pernah berubah; melipat kedua tangan di depan tubuh.
"Gak tau," soalnya kalau gue tau,gue gak mungkin gelisah gini. "Yang barusan tuh tahanan kejaksaan ya, Dok?" Beberapa menit lalu, ada pasien darurat yang dibawa ke klinik karena sesak napas. Waktu diperiksa, ada indikasi alergi yang penyebabnya belum diketahui.
"Iya, baru masuk dua hari lalu. Ini antara dia gak ngomong kalo dia punya alergi makanan, atau emang dia gak tau kalo dia ada alergi." Pantesan Pak Ranu sampe turun tangan ke klinik. Mana mukanya panik banget lagi, takut kena omel kepala sipir deh kayaknya. Padahal secara teknis bukan tanggung jawab Kasubseksi Pembinaan juga.
"Hari ini Dokter Kim nggak bawa kendaraan, ya?" Buset, jeli banget.
Gue tercengir kikuk, "Enggak, emang biasa dianter jemput suami sih walau jauh. Kadang-kadang aja berangkat sendirinya, kalo dia sibuk atau ada acara di luar, pasti nyetir sendiri."
"Oh," Dokter Bima mengangguk paham. "Dokter Kim mau ikut saya gak?" Tanyanya.
"Ke mana, Dok?"
"RSUD, ngambil salinan medical record tahanan dan warga binaan kita selama sebulan terakhir ini untuk pelaporan." Ketika gue melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan, Dokter Bima meneruskan. "Nanti kabari suaminya buat jemput ke sana aja, Dok. Lebih deket juga kan daripada ke sini? Soalnya suka agak lama kalo ngurusin medical record."
"Bo ... leh, deh." Daripada gue ngebatin di klinik, mending jalan-jalan ke RSUD. Ya minimal bisa liat yang bening, atau yang muda-muda nan lucu menggemaskan.
"Anaknya Dokter Kim berapa tahun?" Di perjalanan menuju jalan raya, Dokter Bima bertanya. Maaf sebelumnya, tapi gue salah fokus sama suara knalpotnya yang lumayan berisik. Ke dalem aja masih kedengeran kenceng, dia gak pernah kena tilang sama polisi apa ya?
"Yang pertama 25 bulan, yang kedua 15 bulan."
"Hah?"
Hadeh, bosen banget gue karena harus ngejelasin hal yang sama terus. Pertanyaan ini tuh kayak pertanyaan kenapa namanya Seventeen padahal personilnya ada tiga belas orang.
Itu gue ngomongin boyband, btw.
"Hm ... anak saya yang pertama ... bukan anak biologis saya dengan suami. Makanya cuma beda tujuh bulanan aja sama anak yang kedua, hehe." Sejarahnya panjang dan mengharukan. Bagi gue dan Johan, Kalla Quinnia adalah sebuah keajaiban.
"Begitu ternyata," dia seperti ingin bertanya lebih dalam namun tidak sampai hati untuk melakukannya. "Udah dikabarin suaminya? Takutnya dia jemput ke Lapas, kasian jadi bolak-balik." Dokter Bima mengingatkan.
Gue mengeluarkan ponsel dari dalam tas, selanjutnya mengabari Johan karena ternyata sudah tinggal 40 menit lagi sampai jam lima datang. Johan pulang kantor jam empat, dia akan langsung menjemput gue ke sini tak peduli macet, panas, atau hujan badai berpetir sekalipun. Hanya ada dua alasan yang membuat Johan membiarkan gue pulang sendiri. Pertama, rapat mendadak. Kedua, ada masalah di tempat kerja yang harus cepat-cepat dia selesaikan dan tak bisa ditunda.
Gue selalu suka dengan ramainya Jalan Laswi. Kiri kanannya dipenuhi pepohonan besar yang sebagian sudah tua sehingga tak jarang akan tumbang jika angin kencang datang. Yang membuat jengkel dari jalan ini cuma satu, angkot yang sembarangan berhenti untuk menaik turunkan penumpang. Jajanan kaki lima yang tersebar di sepanjang jalanan ini punya cita rasa bintang lima. Mulai dari roti bakar Holland di dekat jembatan Manggahang, sampai wedang ronde di depan Komplek Wartawan.
Ketika berbelok kiri dari bunderan Tugu Juang, secara otomatis otak gue selalu berwisata ke masa lampau. Area sekitaran rumah sakit ini menyimpan sejarah besar bagi hubungan gue dan Johan. Saat merayakan ulang tahun pernikahan yang ke tiga, Johan mengaku kalau dia jatuh cinta untuk pertama kalinya kepada gue di Ayam Geprek Pocong. Gue juga sebenarnya, gue mulai suka kepada Johan ketika kita saling berbagi cerita hidup di tempat tidak romantis itu.
"Duh," Dokter Bima yang lagi mencet tombol tiket di pintu masuk menoleh saat gue mengaduh resah.
"Kenapa, Dok?"
Gue menggeleng pelan sambil tersenyum hambar, "Gak apa-apa, Dok, hehe. Saya suka gitu emang, tiba-tiba aduh-aduhan." Gila kali gue, nggak mungkin aduh-aduhan tanpa sebab lah!
Biasanya, Johan akan membalas pesan gue paling lama lima menit setelah dikirimkan. Ini sudah sepuluh menit lebih, dan dia belum kunjung membaca pesan WA yang gue kirim untuknya.
Jam lima kurang tiga menit, tepatnya saat Dokter Bima baru aja keluar dari ruang staff rekam medis rumah sakit ini, Johan membalas.
Johan
'Yang, maaf bgt aku kyknya gak jadi jemput km'
'Pulang naik taksi ya? Jgn naik ojek atau angkot'
Anda
'Kamu kmn dulu emg?'
'Kok ngabarinnya telat?'
Johan
'Aku ada meeting sm bbrp PT dari Cimahi, mereka mau kerja sama bareng TBJ buat program CSR.'
'Blm selesai'
'Jajannya besok ya?'
Anda
'Ok'
"Kenapa lagi nih? Kok napasnya gitu?" Sebel deh gue sama Dokter Bima, peka banget orangnya. Selain peka, dia juga gak bisa pura-pura gak peduli dan selalu menanyakan apa yang ingin diketahuinya.
"Saya gak jadi dijemput, Dok," baru kali ini gue gak bisa terima sama alasannya Johan. "Dokter Bima pulang duluan aja, saya paling pesen Grab, di sini mah gampang nggak kayak di Lapas. Sama mau makan dulu, biar punya tenaga buat pulang." Dan nerima kekesalan.
"Kebetulan banget saya juga laper. Ada ayam geprek gak ya? Atau sop iga? Saya lagi pengen satu dari dua itu." Dia menepuk-nepuk perutnya sendiri. Di tangannya, sudah ada amplop berwarna cokelat yang isinya gak begitu tebal.
Buat ngobatin rasa gondok di hati, tampaknya gue membutuhkan asupan makanan enak. "Ada, langganan saya. Yuk, Dok," ajak gue. Dokter Bima mengekori langkah gue dari belakang. Khusus pejalan kaki, kita bisa lewat celah pagar kecil yang ada di area parkir depan unit gawat darurat untuk keluar dari pelataran rumah sakit. Tinggal nyebrang sekali, langsung nyampe deh ke kios ayam geprek langganan.
"Dokter Bima mau pesan apa? Di sini semua ada."
"Kamu rekomendasiinnya apa?"
"Ayam geprek? Enak loh, pake jeruk nipis gitu. Mau coba?"
"Boleh, pake nasi."
Susah payah, Dokter Bima yang perawakannya memang tinggi besar itu duduk di meja sempit kios. Bukan apa-apa sih, kursinya berupa bangku kayu panjang yang gak bisa diatur jaraknya apalagi kalo udah ada yang duduk di atasnya. Makan di sini tuh agak bikin sengsara, tapi kebayar kok sama rasa makanannya yang menurut gue juara.
"Tumben nggak sama si Aa," namanya langganan mah pasti udah hafal.
Gue tersenyum canggung, "Iya, Bu, hari ini saya gak dijemput jadi makan sama temen kerja."
"Oalah, pantesan, biasanya juga berdua terus. Ada tambahan lagi, Teh?"
"Udah aja, Bu. Saya tunggu di sana ya, makasih."
Di sini tuh konsepnya makan dulu baru bayar, jadi abis pesen lo bisa kembali ke tempat duduk dan menunggu makanan disiapkan. Lima menit lamanya, Dokter Bima fokus sama ponselnya. Gue sih lagi ogah main hape, masih enek aja gitu karena batal dijemput padahal udah dijanjiin mau jajan soto tulang muda ke Taman Cibeunying.
"Direktur tuh emang sibuk," mungkin niat Dokter Bima mau ngehibur gue. "Jangankan direktur, sekelas kepala klinik kayak saya aja ada momen sibuknya. Jangan kesel gitu dong, Dok. Kan udah saya bilang, kalo Dokter Kim murung, langit mendung." Bener aja, langit di luar berubah mendung.
"Ini tuh efek udah sore aja gak sih, Dok?" Gue gak terima karena dituduh jadi penyebab langit mendung.
Waktu senyum, Dokter Bima berkali-kali lipat gantengnya. Jiwa jelalatan gue muncul lagi, ternyata iman gue belum sekuat itu dan masih merasa seperti lagi diberi rejeki nomplok tiap liat cowok cakep. "Enggak, mendung, percaya deh sama saya. Gini-gini saya bisa tau kalo hujan mau turun."
"Turunan kodok Upin-Ipin nih pasti," semenjak punya anak, tontonan gue udah bukan lagi Descendants of The Sun atau Scarlet Heart, tapi siaran animasi. "Hujan oh hujan, kenapa engkau turun? Macam mana aku tak turun, katak pang– eh, hehe, maaf, Dok." Pipi dan kuping gue terasa panas. Sadar, Li, lo bukan lagi ngajak main anak-anak.
Dokter Bima malah ketawa, ketawa geli sekaligus puas. "Jiwa seorang ibu banget, ya, sampe refleks nyanyi gitu. Lucu." Lucu katanya. Orang kayak dia niat banget ngajak gue khilaf.
Astagfirullah, Kimberly! Anak lo dua. Tapi suami lo sih baru satu. Ehehe.
"Dulu saya residen di sini," dia menunjuk bangunan megah rumah sakit dengan lirikan matanya. "Tahun berapa, ya? Dari pas bangunannya masih jelek." Gue penasaran, Dokter Bima berapa tahun sih? Dia awet muda banget masalahnya, padahal gue yakin umurnya udah lumayan. Akhir kepala tiga atau awal kepala empat juga mungkin.
"Saya co-ass yang di sini, Dok," dia tampak terkejut, mungkin nggak nyangka kalo kita sama-sama jebolan rumah sakit ini.
"Oh, ya? Emang Dokter Kim orang sini?"
"Rumah orang tua saya tuh gak begitu jauh dari Lapas, Dok. Bisa dibilang, saya anak sini." Informasi ini sepertinya merupakan sebuah informasi yang sangat baru bagi Dokter Bima. "Dulu istrinya Dokter Bima dokter juga?" Yaelah, Li, kenapa nanya itu sih?
Dokter Bima tertunduk, namun senyumnya tidak lekas menghilang. "Bukan, dia dulu akuntan, sekaligus public speaker dan sering jadi pembawa acara di sebuah event." Lagi, gue melihat tatapan itu. Tatapan penuh cinta, tatapan yang sarat akan berjuta kerinduan. "Kita ketemu di sebuah seminar, dia MC-nya. Saya langsung suka, minta nomornya, ketemuan, dan pacaran. Haha."
Dalam hati gue bergumam, beruntung sekali perempuan itu karena dicintai sebegini besar oleh Dokter Bima walau raganya sudah tidak ada lagi di dunia. "Dokter Bima ... pernah suka sama orang lain setelah kepergian beliau?" Pertanyaan gue tuh kenapa sih?
Dia bisa aja menolak untuk memberikan jawaban, tapi dengan senang hati malah menjawab. "Pernah," ucapnya singkat. "Untuk yang pertama kalinya, saya suka ke orang lain selepas kepergian almarhumah." Sepasang manik pekat milik Dokter Bima menatap mata gue tajam, yang langsung gue hindari dengan cara memalingkan pandangan.
"Tapi saya nggak ada niat buat bilang ke orang itu sih," lah, kok? Jadi maksudnya, dia lagi naksir orang diem-diem? Di usianya itu?
"Kenapa? Bilang aja kali, Dok, siapa tau jodoh beneran."
Lama-lama, gue jadi hapal dengan suara tawanya yang khas. "Bencana namanya kalo saya nyatain perasaan saya, hahaha!"
Bentar deh, gue gak paham. Kok jadi bencana sih? Yakali Dokter Bima naksir istri orang. Mata gue memicing curiga, "Ada niat jadi pebinor, ya?"
"Pebinor tuh apa?"
"Perebut bini orang."
Giliran gue yang ketawa ketika melihat Dokter Bima melongo, "Astaga, istilahnya begitu banget. Tapi, Kim, saya kalo suka sama orang tuh nekad loh." Sikut kirinya ia jadikan tumpuan di atas meja supaya kepalanya bisa dimiringkan untuk melihat gue dalam sudut berbeda.
Botol air mineral yang kesulitan gue buka tutupnya diambil alih oleh Dokter Bima. Dalam sekali putar, dia langsung berhasil membukanya. "Makasih," ujar gue. "Maksudnya, Dokter Bima nggak akan peduli sama statusnya yang punya orang gitu? Jahat banget, kasian suaminya. Diselingkuhin itu gak enak tau."
"Emang kamu pernah?" Tak sampai sedetik, ia meralatnya. "Pernah diselingkuhin maksud saya."
Gue menggeleng pelan, "Gak pernah, dan jangan sampe. Tapi saya pernah liat beberapa contoh, dan korban perselingkuhan itu kasian banget, pelakunya jahat. Mereka berkhianat, mereka ingkar sama janji mereka pada Tuhan."
"Makanya itu, saya gak mau jadi orang jahat." Dua piring ayam geprek yang diantarkan pegawai rumah makan ini telah tersaji di atas meja. Belum apa-apa, produksi liur gue udah meningkat. Mantep nih, anggap aja ayam geprek itu Johan terus gue hap! Makan sampe sisa tulang!
"Kan udah saya bilang, kalo orangnya tau, bakalan terjadi bencana. Mending saya diem aja, lambat laun juga lupa. Bener gak?"
Mata gue terpejam sebentar untuk menikmati seberapa enaknya ayam geprek ini, "Bener. Maaf sebelumnya, Dok, Dokter Bima gak punya anak kah?"
"Enggak, kami belum sempat. Istri saya keburu dipanggil sama Tuhan." Mau bilang turut bersedih, tapi hidupnya keliatan bahagia-bahagia aja tuh. Yang sedih mah gue, ngeganjel mulu nih ati gue gara-gara si Johan. "Makan dulu, ngobrolnya bisa nanti," suruhnya.
Sayangnya, kenikmatan yang gue rasakan tidak berlangsung lama karena keburu inget sama Johan. Gue gak nyangka kalo gue akan mengajak orang lain ke tempat favorit kita berdua. Gue gak pernah menduga, bahwa orang yang saat ini berbincang dengan gue bukanlah dia.
Rasanya asing, gue gak terbiasa– atau malah gak akan pernah terbiasa untuk menikmati ayam geprek ini tanpa ditemani olehnya.
Harusnya, hari ini kita sedang menceritakan lika-liku hari yang sudah kita jalani. Mendengarkan nyanyian pengamen jalanan di tenda Soto Tulang Muda, dan merasa bahwa di antara keramaian yang ada, dunia hanya milik kita berdua.
Untuk yang pertama kalinya setelah menikah, gue datang ke Ayam Geprek Pocong bersama orang asing yang tidak seharusnya gue perkenalkan dengan tempat ini. Diam-diam, ada rasa menyesal karena gue telah membawa Dokter Bima ke sini. Meski hanya rekan, hati gue seperti sedang berkhianat dari Johan. Gue merasa berdosa, seolah-olah telah menodai tempat bersejarah ini dengan orang yang tidak seharusnya.
"Abisin, hey!" Tegurannya membuat gue terhenyak, "Ngelamun mulu ah dari tadi."
Gue ingin bilang maaf padanya, tapi bibir gue terlalu kaku sehingga gue tidak merespon tegurannya.
"Jangan pesen Grab," katanya, "biar saya yang anterin Dokter Kim pulang. Pajajaran, kan? Saya di Gateway Pasteur, masih searah jadi sekalian."
"Gak us–"
"Gak usah nolak." Gue belum ini ke kalian, Dokter Bima punya aura yang amat sangat kuat. Jika memerintah, dia mampu membuat orang yang diperintah menurut detik itu juga. Itu daya tariknya.
"Kasian anak-anak Dokter Kim kalo ibu sama ayahnya pulang telat. Makanya makan dulu, abisin, biar cepet pulang. Oke?"
"Iya, makasih, Dok."
Gue kenapa sih? Kenapa hari ini gue sangat kecewa karena nggak dijemput Johan sampe harus dianterin Dokter Bima? Ayo, Li, bersikap seperti biasa. Ini bukan baru sekali dua kali lo batal dijemput, harusnya lo nggak sekesal ini sama dia.
Johan kerja. Johan punya kepentingan yang gak bisa ditunda.
***
Johan
Gue pernah denger kalimat ini, sebuah kebohongan kecil akan menciptakan kebohongan yang lebih besar. Dan sekarang, gue percaya sama kebenaran dari kalimat tersebut.
Awalnya gue gak jujur ke Eli soal pertemuan gue dengan Dara. Gue ngeles waktu Eli mencoba mengorek ketidakberesan yang diri gue tunjukkan. Lalu sekarang, gue sudah berani membatalkan janji dengan Kimberly dan mengaku ada pekerjaan tambahan padahal gue pergi mengantarkan Dara pulang.
Mau sampe kapan lo begini, Han? Sampe istri lo tau dan ngamuk sama lo?
"Istri lo gimana, Bang?"
Gue tidak menjawab pertanyaan Dara. Gue gak mau kelepasan dan berujung emosi sama dia. Masalahnya, dada gue dipenuhi beribu rasa bersalah karena lebih memilih nganterin orang ini daripada jemput Kimberly yang udah gue janjiin buat jajan soto ke Taman Cibeunying.
"Kalo gue mati, apa dunia akan lebih baik?"
Untuk yang ini, gue gak bisa diem aja. Gue bahkan menginjak rem dengan sangat mendadak ketika mobil di depan gue berhenti perlahan akibat kepadatan jalanan.
"Dunia gak akan peduli, Ra, asal lo tau aja." Dara harus disadarkan, dia mesti ditampar. "Dunia akan terus muter, dia gak akan merasa kehilangan meski lo menghilang. Jadi daripada lo kecewa sama cara kerja dunia, mending lo terus hidup yang lama. Manfaatin dunia, jadiin dia tempat buat lo nemuin rasa bahagia."
"Lo bahagia gak sih, Bang?" Walau tidak melihatnya, gue bisa tau kalo sejak tadi Dara tak henti menatap wajah gue.
Gue berdecih pelan, sempat memberi jeda sebelum menjawab karena harus menjalankan lagi kendaraan. "Bahagia itu cuma ungkapan, cuma kata." Enggak, Ra, gue bahagia. Demi Tuhan, hidup gue sempurna. "Tapi rasanya gak mungkin kalau lo gak tau apa jawabannya. Lo pasti bisa nilai sendiri kan?"
Gue gak mau liat muka Dara, gue takut. Takut kalau sesuatu di dalam diri gue kembali terbuka lebar untuk dirinya. "Kok nggak adil, ya? Coba aja gue bisa muter waktu, mungkin gue nggak akan ninggalin lo kayak dulu."
Maksudnya apa?
"Kalau aja suami gue itu lo, pasti gue gak akan kayak gini kan, Bang?"
Pertanyaannya mengundang rasa kesal sekaligus iba di hati gue. Kesal karena dia harus membahas sesuatu yang gak akan pernah bisa diperbaiki, dan iba karena Dara mesti merasakan titik terendah yang membuat hidupnya kehilangan makna.
"Gue harus jawab apa, Ra?" Jujur, pertanyaannya bodoh. Dia pengen respon apa dari gue?
Lagi-lagi, gue mendengar isak tangis pelan dari dirinya. Dara menempatkan gue di situasi yang membingungkan. Gue gak tau harus berbuat apa. Malah, keberadaan gue di sini pun dipertanyakan tujuannya apa karena seharusnya gue tidak berada di sisinya. Gue udah bukan lagi miliknya.
"Salah gue, Bang, semuanya salah gue. Salah gue karena jahat sama lo, salah gue juga karena gue gak terima ngeliat lo hidup bahagia disaat gue nggak bisa kayak gitu. Gue yang salah, gue yang salah karena sekarang, gue punya harapan buat bisa dapetin kebahagiaan dari lo lagi."
Gue menginjak gas dengan sangat kencang ketika lampu lalu lintas berubah warna menjadi kuning. Bukan karena gak mau kejebak lampu merah, sebetulnya gue murka saat mendengar kalimat panjang yang keluar dari mulut Dara. Gue butuh pelampiasan, tapi gue gak mungkin ngerem mendadak atau banting setir ke kanan mengingat resikonya terlalu besar.
Suasana gue biarkan hening. Alunan lagu Naff yang berjudul Kau Masih Kekasihku malah menambah kisruh keadaan. Gue mematikan music player, membiarkan siaran berita dari radio menggantikannya karena enggan dibuat makin berang.
Baru ketika gue berbelok ke jalan kecil yang menghubungkan jalan raya dengan rumahnya, gue melambatkan laju kendaraan. Sebelum mengantarkan dia ke tujuan, gue menghentikan mobil di dekat sebuah minimarket dan menyalakan lampu hazard agar kendaraan lain di belakang bisa lewat lebih dulu.
"Gue udah nikah, Ra, gue udah punya Kimberly. Lo jangan egois gini. Kalau sadar salah, harusnya lo gak begini."
Sekali pun, gue gak pernah ngebentak Kimberly. Lain hal dengan Dara yang– entah, gue udah gak bisa ngitung seberapa banyak gue marah ke dia.
"Tapi lo masih peduli sama gue, Bang. Lo bahkan lebih milih gue daripada istri lo!"
"Karena lo sakit, Ra!" Gue kehilangan diri gue sendiri, gue hampir tidak mengenali siapa lelaki pemarah ini. "Gue peduli ke lo sebagai sesama manusia!"
"Enggak," matanya memerah saat gue memberanikan diri untuk melihatnya. "Lo masih gak bisa lupa sama gue. Di hati lo ini," tangannya memukul dada gue pelan, "masih ada gue. Di hati lo ini," dia mengulangnya, "masih tersimpan nama gue."
"Lo gak akan mungkin ada di sini sama gue kalau lo beneran sayang sama istri lo, Bang. Jangan ngelak, lo udah kalah. Gue yang menang." Sejak kapan? Sejak kapan Laila Adara yang bijak, dewasa, dan penyayang menjadi sosok yang menakutkan seperti ini?
"I'll text you again," dia mengambil tas yang ditaruhnya di atas pijakan. "I'll show you, gue akan ngasih tau ke lo kalo yang jadi pemenang di hati lo itu masih gue, bukan Kimberly." Lalu selanjutnya, Dara turun. Langkahnya masih tergopoh-gopoh, jarak dari tempat ini ke rumahnya juga lumayan jauh. Tidak ada usaha dari gue untuk mengejarnya, gue membiarkannya.
Setir tak berdosa ini menjadi korban. Gue memukulnya dengan sangat kencang tak peduli walau klaksonnya ikut berbunyi. Gue gak terima oleh tuduhan Dara. Tapi entah bagaimana ceritanya, sebagian kecil hati gue mengakui semua tudingan itu.
Iya untuk gue yang masih belum lupa dengan dirinya.
Iya untuk gue yang masih menyimpan rapi-rapi namanya.
Dan iya untuk gue yang lebih memilih dirinya daripada seseorang yang mungkin sedang mengutuki nama gue di dalam hatinya.
Maafin aku, Li. Semua berada di luar kendali aku.
***
Jam tujuh kurang sepuluh, gue tiba di rumah. Anehnya, rumah masih sepi. Samar-samar yang terdengar masih suara tawa Kalla bersama dengan Bu Wita. Ketika gue hendak membuka pagar untuk menyimpan mobil di halaman, sepasang lampu kendaraan menyorot silau dari arah kanan.
Itu Kimberly, rupanya dia baru saja pulang bersama dengan– bentar, bukannya dia cowok yang gue liat di bus waktu itu ya?
"Kok kamu udah pulang?" Itu adalah hal pertama yang Eli tanyakan ketika turun dari mobil sedan tersebut.
"Iya, ternyata nggak lama. Aku pikir kamu udah sampe, Yang." Oke, act fool. Sembunyiin kekalutan hati lo, jangan biarkan istri lo berhasil membacanya lagi.
"Tadi ban saya kempes, Pak, jadi agak terlambat nganterin Dokter Kim-nya." Orang itu ikut turun. Tubuhnya setinggi gue, bedanya dia punya badan yang berisi. Posturnya tegap, sekilas gue melihat aura dominan yang kuat dari dirinya.
"Kepala klinik, Dokter Bima. Tadi kita ke RSUD bareng buat ngambil medical record. Aku juga ngabarin kamu kalo aku dianterin beliau, tapi pesannya nggak kamu baca." Cepat-cepat gue melihat ponsel yang kebetulan sedang gue pegang. Benar, Eli mengabari. Dia jujur kalau dirinya akan diantarkan pulang oleh rekan kerjanya.
Beda sama gue.
"Makasih banyak, Dok," tentu, gue harus berterima kasih karena dia sudah berbaik hati mengantarkan istri gue pulang. "Silakan masuk dulu, sambil nunggu jalan agak kosong soalnya jam segini macet banget." Tadinya cuma basa-basi, tapi siapa sangka kalo cowok itu malah mengiyakan?
"Oh, boleh, makasih loh, Pak."
Anjing! Bukan ini yang gue mau!
Yang diperkenalkan bernama Dokter Bima itu duduk di kursi teras depan. Kalla yang menyambut kepulangan gue dan Eli sempat menatap heran ke arahnya sebelum memberikan sapaan ramah. Gue sebel liat Kalla baik sama dia. Persoalannya adalah; Kalla sangat pemilih dan hanya bersikap ramah kepada orang yang dirasa cocok oleh dia.
"Aku ganti baju dulu abis itu bikinin teh, ya. Eh, Dokter Bima mau teh atau kopi?" Tawar Eli.
"Teh boleh, Dok, makasih."
Matanya tak lepas memandangi Eli yang berjalan masuk ke dalam. Gue berdeham, membuyarkan fantasinya yang entah berisi apa agar kembali fokus pada kenyataan.
"Istri saya sempet cerita, katanya Dokter ini kepala klinik baru di Lapas. Empat tahun lalu, saya sempet mengabdi di Klinik Lapas atas penugasan dari Dinas Kesehatan. Dulu nggak ada kepalanya, cuma diawasi sama Pak Ranu."
Biar nyaho aja kalo gue juga kenal sama orang-orang sana. Minimal, dia gak bisa macem-macem ke Eli karena takut dilaporin oleh para kenalan gue di Lapas. Gue paham banget sama otak bulus laki-laki. Cowok ini ... tidak semata-mata baik ke Kimberly sampai mengantarnya pulang kalau dia gak punya tujuan lain.
"Iya, Dokter Kim sempet cerita juga. Perkenalkan, saya Bima Yudistira." Tokoh wayang kali lu, hebring bener tu nama.
"Allail Johan Rachmadi, Johan." Nama gua dong, ganteng.
"Makasih udah nganterin Eli, tadi saya ... ada urusan mendadak, jadi gak bisa jemput." Setelah bersalaman, gue berbicara demikian. "Tapi lain kali kalo saya gak bisa jemput, nanti saya suruh adik saya aja yang ke sana, atau pesan Grab buat dia dari sini. Jadi Dokter Bima gak harus nganterin istri saya pulang lagi."
Seperti ada sinar laser yang memancar dari mata kita berdua. Brengsek! Eli sebenernya sadar gak sih kalau cowok ini tuh punya ketertarikan lebih sama dia?
"Baik," jawabnya enteng. "Tapi lain kali, pastiin kalo istrinya gak kecewa. Main rapi ya, mata Pak Johan kayaknya gak bisa bohong. Saya tau apa yang sedang disembunyikan."
Senyum miringnya nyaris saja membuat kepalan tangan gue melayang ke arahnya. Atau minimal, gue bisa aja mencengkeram kerah kemejanya karena bendera perang yang baru ia kobarkan. Berterima kasihlah sama Kimberly, berkat dia yang datang membawa sebuah nampan, gue urung merealisasikan niat biadab itu.
"Maaf, Dok, saya baru dapet telepon dari temen, ada ajakan ngumpul. Makasih untuk sajian tehnya, tapi mungkin lain kali aja ya saya mampir lagi?"
Bohong banget, anjing! Gak ada tuh dia nerima telepon selama ngobrol sama gue di sini.
"Eh, kelamaan ya saya bikin tehnya? Duh, Dok, makasih banyak ya udah nganterin. Jadi ngerepotin gini."
"Santai, searah juga kan. Pak Johan, saya pamit, ya." Saat menjabat tangan gue untuk yang terakhir kalinya, dia sedikit meremasnya sampai gue harus menahan ringisan. Gue pengen pukul kepalanya sekarang juga. Gue ingin memberinya pelajaran atas sok tahunya ia perihal hidup orang.
Sesaat setelah lelaki bernama Bima itu pergi dengan sedan berisiknya, gue menatap tajam Kimberly yang mendadak kebingungan di tempatnya.
"Aku gak suka sama orang itu," kata gue. "Jangan mau dianterin kayak hari ini lagi. Lain kali kalo kamu susah dapet Grab, telepon Ivan, atau tunggu aku di sana sampe aku selesai kerja. Ngerti?"
Lo egois, Han.
Lo ingin tetap memegang Kimberly erat disaat lo sendiri gak bisa menjaga hati dengan benar.
⚪️⚪️⚪️
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
