
Tentang Laskar, seorang konsultan politik yang disewa oleh Khrisna Adhyaksa– seorang bakal calon walikota di Pemilukada 2025. Melalui pencalonan Khrisna, Laskar akan membocorkan rahasia dapur dibalik kemenangan para pejabat politik yang belum banyak diketahui oleh orang awam.
Dibantu oleh konsultan komunikasi politik bernama Leara, Laskar membentuk Khrisna Adhyaksa sebagai figur calon pemimpin yang mengesankan. Hitam putih dunia politik akan mereka berdua bongkar. Siapa yang mengira, bahwa di tengah-tengah...
Laskar
Berbeda dengan Pilpres, Pileg dan Pilgub, pemilihan walikota atau bupati diadakan di tahun yang berbeda. Jarak perbedaannya hampir dua tahunan, mungkin tepatnya sekitar 17 bulan karena pemilihan walikota dan bupati akan diadakan pada pertengahan tahun 2025 nanti.
Sepanjang tahun 2022 hingga 2023, Laskar Research & Consulting kebanjiran klien dari berbagai ranah kontestasi. Baik itu kandidat calon kepala daerah, hingga kandidat calon anggota legislatif dan jajaran eksekutif. Masih sangat asing, bukan? Masih belum banyak orang awam yang mengetahui bahwa di dalam dunia perpolitikan, ada sebuah ladang usaha yang menguntungkan.
Perusahaan konsultan politik namanya.
Tugasnya? Biar gue jelaskan seiring berjalannya cerita.
"Kita mendapat tawaran dari dua kandidat, Pak."
"Di pemilihan walikota Bandung?"
Staf tersebut mengangguk, "Betul, Pak. Berikut proposalnya. Untuk kontestasinya sendiri, sepertinya Kota Bandung akan punya tiga sampai empat pasangan calon."
Gue menerima dua proposal yang dirinya berikan, "Oke, nanti saya kabari kandidat mana yang akan kita ambil, ya."
Jujur, gue sangat pemilih. Dibilang idealis, ya enggak juga sih. Mengandalkan idealisme di industri ini nggak akan bisa membuat perusahaan maju. Tepatnya, gue nggak mau memihak kandidat yang potensi kemenangannya terlalu rendah– terutama ketika ada kesempatan yang memungkinkan gue untuk bisa memilih klien seperti saat ini. Alasannya? Realistis aja, 'kalah' artinya si konsultan telah gagal.
Khrisna Adhyaksa, sebuah nama yang sangat tidak asing. Proposalnya menarik, dia punya visi misi yang tegas. Dia sudah punya modal yang kuat lewat namanya. Siapa sih yang nggak tau sama marga keluarga Adhyaksa? Kalau gak salah ingat, perusahaan ayahnya menempati peringkat duapuluh lima besar sebagai perusahaan terbesar di Indonesia versi Bursa Efek Indonesia.
Jika membantunya memenangkan pemilihan, lumayan nih, nambahin portofolio supaya Laskar Research & Consulting semakin diperhitungkan. Minimal, perusahaan konsultan gue harus naik di posisi lima besar nasional.
"Yakin, Pak?" Saat mendiskusikan keputusan yang gue pilih, salah satu staf bertanya. "PR kita akan terlalu besar jika memilih Pak Khrisna karena beliau belum memiliki jejak di perpolitikan. Selain itu, basicnya lebih lama sebagai dokter daripada pengusaha. Beliau seorang medioker¹ yang belum punya basis²."
Seperti sebuah kebiasaan, gue akan memegang benda kecil apa pun yang ada di dekat gue seperti pulpen, botol, hingga tangkai bunga pajangan. "Bisa diatur, kabari beliau kalau kita akan membantunya. Kabari juga kandidat lain, bilang maaf karena kita sudah bekerja lebih dulu dengan kandidat pesaing."
"Kita bentuk tim, ya." Pemilihan walikota tinggal sepuluh bulan lagi, kita harus segera bergerak. "Saya sendiri yang akan menjadi konsultan untuk Khrisna Adhyaksa." Ada kekagetan di wajah mereka karena biasanya gue tidak turun langsung untuk mendampingi calon walikota– biasanya, gue hanya menangani calon tertentu di kontestasi tingkat nasional, bukan daerah.
"Oh iya, Pak, Pak Khrisna juga meminta konsultan komunikasi politik."
"Lalu?" Maksud gue, letak masalahnya di mana? Konsultan komunikasi politik di perusahaan ini ada banyak.
Dia terlihat ragu untuk berbicara, "Sebelas konsultan kita sudah punya jadwal. Kalau tidak dari agensi lain, mungkin Pak Khrisna harus menunggu dua sampai tiga bulan lagi sampai Bu Becca habis kontrak dengan Menteri Ekonomi."
Ah, iya, gue lupa.
"Sekalian kabari kalau begitu, tapi tetap tawarkan Bu Becca, ya. Semisal Pak Khrisna mau ambil dari perusahaan lain pun ya gak masalah juga sih."
Anggukan pelan ia berikan. Tak sampai sepuluh menit, tim konsultan dibentuk. Begitu rapat selesai, gue bergegas meninggalkan ruang meeting karena harus melanjutkan pekerjaan. Masih ada sesuatu yang sedang gue kerjakan, yakni membuat analisa data pemilih yang golput di sebuah wilayah untuk kepentingan pembentukan strategi kampanye.
Konsultan politik adalah seorang profesional yang disewa oleh kandidat dengan tujuan membantu memenangkan pemilihan. Konsultan politik mengerjakan hal-hal yang terkait dengan kepentingan kandidat dalam pemilihan seperti melakukan survey, mengemas kandidat, dan menguatkan potensi serta menyembunyikan kelemahan kandidat yang mungkin bisa dimanfaatkan oleh lawan.
Selain yang tiga itu, masih banyak tugas-tugas lain yang harus dilakukan oleh seorang konsultan. Gue sudah menggeluti bidang ini sejak sepuluh tahun lalu. Pada awalnya, gue bekerja di sebuah lembaga survey ternama. Berbekal ilmu yang didapat dari sana dan kepekaan gue terhadap suhu dan cuaca di dunia perpolitikan, gue memulai karir sebagai seorang konsultan pada pemilu 2018 silam.
Benar, pasangan Capres dan Cawapres DK-Dikara dimenangkan atas bantuan dari gue. Sejak saat itu, gue kebanjiran tawaran untuk menjadi konsultan politik pribadi beberapa pejabat tinggi. Padahal saat menandatangani kontrak dengan Pak Dirga, gue belum memiliki banyak pengalaman. Selain karena pada dasarnya sudah memiliki popularitas, Pak Dirga sangat mau mendengarkan dan menerima saran dari gue sehingga tingkat kemenangannya semakin tinggi lagi.
Soal usia, gue belum begitu tua, masih tiga tiga. Atau malah, usia tersebut terlalu muda untuk seseorang yang prestasi terbesarnya adalah memenangkan kandidat capres nomor urut 2 di pemilu 2018. Belum menikah, tapi pernah punya pacar yang saat ini sudah jadi mantan. Alasan putus sepertinya nggak harus disebutkan, kisahnya sudah tidak penting karena statusnya yang telah berubah menjadi masa lalu.
Mengenai karir, gue masih aktif menjabat sebagai researcher di Deputi Bidang Pengembangan Regional Bappenas RI. Hingga tahun ini, terhitung sudah tujuh tahun gue bekerja menjadi peneliti di salah satu lembaga pemerintah itu. Tawaran posisi lain sebetulnya masih banyak berdatangan, tapi gue belum memiliki kesanggupan lebih mengingat Laskar Research & Consulting sedang sibuk-sibuknya menangani pemenangan kandidat.
"Penjadwalan untuk bertemu Pak Khrisna kapan ya, Pak?"
"Secepatnya. Dari beliau sendiri ada permintaan?"
"Katanya lusa. Pilihannya, Bapak yang ke Bandung, atau Pak Khrisna yang ke Jakarta. Mau yang mana?"
Gue yang ke Bandung, ya? Kayaknya gue butuh penyegaran dengan menghirup udara Kota Bandung. Debu halus Jakarta udah gak ketolong, kapan lagi gue bisa ke luar kota jika bukan karena bertemu dengan klien kayak gini? Tanpa banyak pikir, gue mengambil keputusan untuk menghampiri Khrisna Adhyaksa secara langsung ke sana.
Dan di sini lah gue sekarang, di tengah macetnya Jalan Pasteur yang langsung menyambut begitu gue keluar dari dalam tol.
"Anjing emang," salah rasanya kalau bilang bahwa Bandung adalah kota yang tepat untuk menyegarkan pikiran. Akhir-akhir ini, Bandung hampir gak punya perbedaan dengan Jakarta jika dilihat dari padatnya lalu lintas dan suhu udaranya. Bandung yang dingin hanya berlaku di Bandung bagian lain yang bukan pusat kota.
Beberapa makian kasar terus meluncur. Jarak dari pintu keluar tol ke rumah Pak Khrisna ini sebetulnya kurang dari 3 kilometer. Tapi karena gue kelewat satu belokan, gue harus berputar-putar di jalanan lebar perumahan yang memusingkan. Bisa-bisanya gue nggak liat gapura perumahan yang sebegitu megahnya ini. Tak berhenti sampai sana, kesialan gue terus berlanjut karena gagal menemukan nomor blok berkat GPS ponsel yang error.
Tanda-tanda begini biasanya pertanda baik, nih. Kalo gue kena sial sebelum ketemu kandidat, ada mitos yang gue buat sendiri tentang ini. Yaitu, si kandidat punya peluang tinggi untuk memenangkan kontestasi.
"Permisi," orang kaya emang beda, rumahnya aja pake satpam. "Mau ketemu Pak Khrisna, Pak."
"Bapak siapa, ya?" Gue menurunkan kaca mobil sampai bawah. Masa iya juntrungan gue meragukan sampe dikasih tatapan mencurigakan? Iya sih, gue cuma pake kaos. Tapi kan emang belom ganti kostum aja. Jakarta - Bandung jauh, Bos! Bisa kusut kemeja gue kalo dipake dari Petamburan.
"Laskar, Pak."
"Oh! Yang polisi itu, ya? Udah ada janji, kan? Silakan, silakan! Sebentar saya bukakan gerbangnya."
Hah? Polisi? Siapa yang polisi? Gue? Parah amat miss informasinya.
Desain rumahnya sederhana namun mewah. Karakter dan kepribadian seseorang sebetulnya bisa dinilai secara mudah. Salah satunya ya lewat model rumah. Sebenarnya ini hanya analisa pribadi gue aja sih, tapi selera seseorang bisa mencerminkan karakter yang melekat di dirinya. Jika harus gue tebak, Khrisna Adhyaksa ini pasti merupakan seorang pria yang simpel. Dia tidak bertele-tele, teguh dengan prinsipnya, dan sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan.
Saat menghentikan mobil, gue melihat pemandangan hangat di halaman depan rumah. Ada sebuah kolam renang karet di sana. Tampaknya hari ini adalah hari libur untuk keluarga Pak Khrisna. Keluarga kecil yang harmonis itu sedang bermain bersama. Sepertinya anak Pak Khrisna ada dua, istrinya sih satu, tapi perutnya kok buncit gitu? Lagi hamil lagi kah? Kan kalo busung lapar gak mungkin.
"Pak Laskar?" Sambutannya ramah. Lelaki yang ternyata masih sangat muda itu memberikan sapaan dengan pakaian yang terlihat basah karena bermain air dengan istri dan anaknya. "Maaf ya, anak saya yang besar tiba-tiba pengen main air jadi sambutan saya seperti ini."
Gue membalas jabatan tangannya dengan semangat, "Tidak apa-apa, Pak Khrisna. Malah kayaknya saya yang ganggu, ya?"
"Enggak dong, haha. Mari masuk," ajaknya. "Ibra, main sendiri dulu ya, Nak," dia berpamitan kepada putranya yang langsung didampingi oleh– wow, pengasuhnya ada berapa itu? Banyak banget.
"Sayang, kamu juga ganti baju, nanti masuk angin." Buset, ternyata dia tipe yang romantis sama istri. Jiwa kesepian gue langsung merintih. "Oh, kenalin dulu, Pak. Ini istri saya, Lussyana."
"Laskar Kaisar, Bu."
"Lussyana," anggun dan elegan. Tapi gosipnya, dia bukan dari kalangan konglomerat juga. "Diajak ke ruang tamu ya, Pi, nanti aku siapin minum abis ganti baju. Pak Laskar, saya tinggal sebentar, ya."
Gue tersenyum sebagai tanggapan. Di dalam hati gue menggumam, Pak Khrisna nggak dingin apa ya? Beberapa bagian pakaiannya basah, namun tampaknya ia tidak terganggu sama sekali dan malah duduk lebih dulu di atas sofa. Kita sempat berbasa-basi sebentar. Biasa lah, bertanya soal kabar, kesibukan, sampai tentang kehidupan.
"Saya sudah baca proposal yang dikirim oleh Pak Khrisna," gue memulai pembicaraan ke arah yang serius. "Pak Khrisna ini bisa dibilang masih awam dengan politik karena baru pertama kali memiliki niat untuk terjun. Saya punya beberapa pertanyaan untuk dijawab sejujur-jujurnya oleh Pak Khrisna."
Lelaki yang usianya terpaut dua tahun lebih tua dari gue itu menautkan kesepuluh jarinya. Ada sedikit jeda yang menimbulkan keheningan sebelum ia memberikan jawaban. "Silakan, Pak," katanya.
"Pertama, Bapak sudah menentukan apakah akan maju sebagai kandidat independen atau partai?"
"Belum," sudah gue duga, dia masih sangat polos. "Saya betul-betul baru punya niat. Mengenai Step berikutnya, saya belum memiliki gambaran makanya meminta bantuan dari Laskar Consulting." Jarang sekali gue bertemu orang seperti dirinya. Pencalonannya menarik. Terlebih, di levelnya saat ini, Pak Khrisna bisa saja langsung mencalonkan diri ke tingkat legislatif karena memiliki modal materi yang mumpuni.
Sebelum bertemu dengannya, gue sudah melakukan banyak sekali riset. KAC– nama perusahaan beliau, berhasil menduduki peringkat 200 besar nasional dalam waktu tiga tahun sejak didirikan. Ekspansinya luar biasa. Profit yang dia dapatkan pasti sudah bukan lagi recehan alias cukup sanggup untuk mendanai pencalonannya tanpa sponsor dari luar.
"Saya sih pengennya independen aja, Pak. Biar nggak ada tumpang tindih kepentingan jika seandainya saya memenangkan amanah dari warga."
Gue tersenyum getir. Agaknya, Pak Khrisna memang belum tahu cara berjalannya dunia yang memiliki banyak wajah ini. "Tugas saya adalah menyuapi Bapak dengan realita. Harus saya katakan, menjadi kandidat independen akan sedikit sulit. Apalagi saya dengar-dengar, walikota yang sekarang akan menjadi petahana³ di pemilukada mendatang."
"Iya sih, saya akui kalau Bapak punya modal uang yang besar. Bapak sudah tahu berapa perkiraan modal yang harus dikeluarkan untuk maju sebagai walikota?" Dia menggeleng. Mungkin sudah punya tebakan, tapi Pak Khrisna belum yakin. "15 sampai 20M. Tergantung juga sih, masih bisa lebih atau justru kurang dari itu, Pak." Angka yang fantastis, bukan? Namun, beginilah realitanya.
"Kalah atau menang, uang tersebut akan hangus. Persentase kemungkinan kandidat independen untuk menang cukup kecil mengingat pemerintahan kita sudah dikuasai oleh partai-partai besar. Sebelum bertanya lebih jauh, motivasi Pak Khrisna untuk maju di pemilihan walikota ini apa? Saya rasa, Bapak tidak mengejar keuntungan."
Gue suka dengan sikapnya yang tenang. Bersamaan dengan itu, istrinya datang dengan nampan berisi dua gelas minuman. Sadar bahwa obrolan sedang panas, dia meninggalkan kami untuk memberikan spasi lebih luas.
"Awalnya saya cuma dicandain sama temen-temen tongkrongan." Mentang-mentang kaya, niat jadi walikota aja diawali oleh candaan. "Mungkin Pak Laskar sudah tahu visi misi saya lewat proposal yang saya kirimkan. Saya nggak pencitraan kok, saya benar-benar punya tujuan seperti itu."
Misinya adalah; satu, membuka lapangan kerja yang luas. Dua, membantu UMKM untuk berkembang. Tiga, membangun ekonomi dan memperbaiki tata kelola pemerintahan. Empat, mempermudah millenial untuk mendapatkan rumah. Pasaran sih, namun jika melihat latar belakangnya sebagai dokter dan pengusaha, gue rasa dia tidak mengada-ngada.
"Membuka lapangan kerja lewat perusahaan Bapak? Perluasan dan monopoli maksudnya?" Terdengar kejam sekali todongan gue barusan.
Tawanya kalem, ia tidak menunjukkan ketersinggungan sama sekali. "Memang harus selalu seperti itu, ya?" Tanyanya. "Saya mengenal seluk beluk Bandung, Pak. Saya cukup akrab dengan permasalahan warga sini karena sering mendengar keluh kesah teman, pedagang kecil di pinggir jalan yang kebetulan saya datangi saat sedang lapar, sampai para pegawai di perusahaan yang ... rata-rata keluhannya sama."
"Harga rumah terlalu mahal, persyaratan kreditnya sulit. Belum lagi soal durasi kontrak kerja yang terlalu sebentar dan tidak ada tawar menawar. Begitu kontrak habis, mereka harus mencari pekerjaan baru yang sulitnya minta ampun. Proses seleksi banyak dimonopoli oleh jatah orang dalan atau koneksi."
"Kalau harus jujur, sedikit pun saya tidak punya minat untuk menjadi pejabat pemerintah." Di titik ini, Pak Khrisna mulai menunjukkan semangat yang menggebu-gebu. "Dibilang gak melek, sebetulnya saya melek. Ayah saya itu seorang sponsor, dia elit ekonomi. Saya udah gak bisa hitung seberapa banyak uang yang dia keluarkan untuk mendukung anggota legislatif, kepala daerah, dan lain sebagainya di negara ini."
Jelas, Arifin Adhyaksa itu bukan orang sembarangan. Dia menjadi salah satu penyokong dana bagi anggota legislatif terpilih DKI Jakarta di komisi VI yang saat pencalonannya tahun lalu memakai jasa konsultan dari Laskar. Jika dijelaskan secara sederhana, elit ekonomi seperti beliau tidak menginginkan bayaran uang. Politik balas jasa namanya. Yang mereka perlukan adalah kemudahan perizinan usaha, investasi, dan backingan dalam kepentingan tertentu.
"Dibilang coba-coba, ya enggak juga. Saya cuma mau tau, bisa gak ya ... orang idealis kayak saya ini memberikan perubahan? Bisa gak ya, saya jadi pejabat yang betul-betul amanah terhadap rakyat? Atau saat menang nanti, saya justru akan lupa cangkang? Saya menantikan itu."
Layaknya deja vu, dia mengingatkan gue kepada seseorang yang di tahun ini menjabat sebagai menteri luar negeri. Siapa dia? Mantan presiden periode lalu, Dirgasatya Kalingga.
"Ada dan bisa, namun jumlahnya sedikit. Idealis seperti Bapak itu cobaannya banyak loh, Pak. Apalagi kalau Bapak nggak ditunggangi kepentingan golongan. Saya nggak bilang kalo seseorang akan berubah begitu ia menapaki dunia perpolitikan. Resiko yang harus Bapak tanggung itu salah satunya tekanan, tekanan dari kiri dan kanan."
"Maksudnya, saya harus gabung partai?"
Tipis sekali gue tersenyum, "Pernah ada yang menawari tidak, Pak?"
Pak Khrisna memutar bola matanya untuk mengingat sesuatu. "Pernah, dari dua partai. Adil Sejahtera dan Demokrasi Indonesia. Kebetulan saya mengenal ketua umum kedua partai tersebut secara pribadi karena berada dalam forum pengusaha yang sama."
"Tertarik?" Tak cuma bertanya, gue juga menambahkan penjelasan untuknya. "Dua-duanya partai besar, mereka bahkan punya kursi di parlemen karena lolos electoral threshold⁴. Keuntungannya bagi Bapak adalah, peluang Bapak untuk menang lebih tinggi jika dicalonkan oleh partai. Minusnya, Bapak harus siap menjadi alat karena ada kepentingan yang mesti Bapak utamakan."
Dari penjelasan tersebut, Pak Khrisna dibuat diam– seperti sedang menimbang-nimbang. Sebagai pemimpin bagi perusahaannya, gue yakin jika beliau bisa mengambil keputusan yang rasional dalam waktu cepat.
"Tapi nggak sepenuhnya buruk juga sih, Pak," siapa tahu Pak Khrisna masih membutuhkan saran pertimbangan. "Asal memilih partai yang tepat, kebijakan dan regulasi yang nantinya Bapak buat pasti akan lebih banyak berpihak kepada rakyat."
"Pak Laskar punya saran soal partai mana yang harus saya pilih?"
"Demokrasi Indonesia," gue tidak bias, gue hanya berbicara soal fakta. "2018 lalu, saya membantu kemenangan Pak Dirga dan Pak Panji. Dibandingkan partai-partai lain, partai Pak Parka lebih pro terhadap rakyat, sangat cocok untuk tipe pemimpin idealis seperti Bapak dan Pak Dirga. Selebihnya saya yakin, Bapak bisa menilainya sendiri."
Meski tidak memberikan tanggapan, sepertinya Pak Khrisna sudah menentukan apa pilihannya. "Saya sudah mantap untuk maju, Pak. Mohon bantuannya." Dia mengulurkan tangannya, yang tanpa pikir panjang langsung gue jabat.
"Bapak punya 10 bulan sampai kontestasi dimulai. Sampai harinya tiba, saya akan melakukan yang terbaik untuk membantu kemenangan Bapak."
"Apa langkah pertama yang harus saya lakukan?" Tanyanya tidak sabaran.
"Kita hubungi dan lobi Pak Parka. Lalu minta surat rekomendasi sebelum mendaftarkan pencalonan kepada Panitia Pemilihan. Jika sudah bergabung dengan partai, Bapak akan banyak dibantu termasuk soal pemilihan wakil dan lain sebagainya." Untuk beberapa waktu, sepertinya gue harus menetap di kota ini agar bisa berkomunikasi intens dengan Pak Khrisna.
"Sementara Bapak mengurus pendaftaran sebagai kader partai, saya akan melakukan mapping⁵ untuk merumuskan langkah berikutnya. Nanti, akan saya dampingi setiap proses pendaftaran sebagai pasangan bakal calon jika wakil sudah ditentukan."
Pak Khrisna melihat jam yang melingkar di tangannya, "Oh iya, Pak, saya juga sedang menunggu konsultan komunikasi politik yang akan membantu saya. Waktu itu saya dapat kabar kalau di Laskar Research & Consulting sedang tidak ada konsultan PR yang kosong makanya mencari konsultan dari luar. Sekalian saya kenalkan."
"Saya tunggu kalau begitu, Pak."
Sambil menunggu, gue dan Pak Khrisna membahas soal biaya jasa yang belum disepakati oleh kami berdua. Kita belum terikat resmi oleh kontrak. Sebelum tiba ke titik deal, kita berdua harus menemukan kecocokan agar kerja sama ini bisa berlangsung dengan lancar. Tawarannya sangat bagus, Pak Khrisna sangat tahu bagaimana caranya membeli jasa dengan harga yang masuk akal.
Kisaran biaya jasa seorang konsultan politik itu mulai dari angka 100 juta hingga milyaran rupiah– tergantung pada jasa apa saja yang diminta. Semakin banyak bantuan yang dibutuhkan, semakin tinggi pula biaya yang dikeluarkan.
"Mau dijodohkan, Pak? Hahaha." Saat tak sengaja menyenggol masalah status, dia menawarkan.
Gue ikut tertawa, "Saya tuh bukannya gak bisa nyari, Pak." Rupanya, dia tipe orang yang santai. Kata gue sih, anak tongkrongan banget. Gaulnya sama siapa ya kira-kira? "Nyari mah gampang, komitmennya yang susah." Bentar deh, kok jadi curhat?
"Ah, Pak Laskar ini pasti tipikal orang yang kalo udah sibuk, lupa sama segalanya gitu ya?" Mantap, tebakannya tepat sasaran.
"Betul sekali, Pak. Karena lebih sibuk kerja, cewek-cewek pada kesel sama saya. Tau-tau ilang aja tuh mereka, hahaha!"
"Saya juga dulu gitu kok, emang belum ketemu sama yang pantas diprioritaskan aja sih itu. Tapi serius deh, saya punya banyak kenalan yang mungkin salah satunya akan cocok dengan Mas Laskar. Dokter, perawat, staf, pegawai kantor pusat, bisa diatur."
"Kalau Bapak menang pemilihan, baru, nanti saya pilih."
Ketika lanjut bercanda, pintu depan diketuk dari luar. Secara bersamaan, kami menoleh ke arah sana. Berbeda dengan Pak Khrisna yang menyambut kedatangan orang tersebut, gue justru diam terpaku seolah baru saja melihat hantu.
"Mbak Lea!"
Bajingan! Kesialan macam apa lagi ini? Apakah Pak Khrisna sungguh-sungguh akan menang dalam pemilihan walikota 10 bulan mendatang? Soalnya waktu menangin Pak Dirga, kesialan yang gue dapatkan hampir sama. Mobil mogok di meeting perdana, harus naik kereta, dan sepatu gue hilang sebelah di stasiun sehingga harus nyeker sampai ke rumahnya.
Bedanya, kesialan yang ini menimpa hati gue. Kenapa harus dia sih?
"Maaf terlambat, Pak, saya baru selesai ngisi kelas terus ketemu ibu-ibu pingsan di depan gerbang kampus. Jadi antar beliau dulu ke rumah sakit."
Perempuan ini gak pernah berubah, ya. Kepeduliannya adalah masalah bagi dirinya.
Untungnya, Pak Khrisna memaklumi. "Gak apa-apa, Mbak. Dibawa ke rumah sakit mana?"
"UGD RSHS, Pak, yang terdekat dari kampus." Sampai detik ini, dia belum begitu menyadari keberadaan gue.
"Duduk, Mbak," Pak Khrisna mempersilakan. "Kebetulan sekali, konsultan politik saya baru datang dari Jakarta. Pak Laskar, ini konsultan komunikasi politik saya, namanya Mbak Leara, Leara Lionela."
Dan ... duar! Ada ledakan bom nuklir di matanya saat kita berdua saling berpandangan.
Diluar dugaan, perempuan itu tersenyum ramah lalu mengulurkan tangannya ke arah gue. Seolah-olah kita berdua tidak saling mengenal sebelumnya. "Halo, Mas Laskar! Saya Leara. Mohon kerja samanya untuk memenangkan calon walikota di kota saya, ya."
Gue tidak menjawab, hanya menerima uluran tangannya sembari tersenyum sopan. Keduanya langsung memulai obrolan. Sesekali gue terlibat walau yang kita bicarakan baru dasarnya saja mengingat Pak Khrisna belum resmi mencalonkan diri.
"Selama di Bandung, Pak Laskar tinggal di mana?" Tanya Pak Khrisna sesaat setelah diskusi ini selesai.
"Rumah orang tua saya ada di Tamansari, Pak. Selama di sini, saya akan tinggal di sana." Entah apa yang membuat gue tak bisa berhenti melirik ke arah perempuan yang duduk di sebelah gue ini. Padahal jelas-jelas objek yang mengajak gue bicara ada di depan.
"Oh, syukurlah kalau ada tempat tinggal. Tadinya kalau gak ada, daripada nginap di hotel lebih baik di rumah saya aja. Ada dua rumah yang tidak saya tempati." Enggak, dia bukan lagi pamer, emang niatnya mau bantu aja.
"Makasih banyak sebelumnya, Pak. Kalau begitu saya pamit, ya. Saya harus memulai pemetaan dan melakukan survey bersama tim."
Sebagai formalitas, gue menyalami keduanya sebelum meninggalkan rumah mewah ini. Dalam hati, gue terus memaki. Kenapa dari sekian kecilnya peluang yang ada, kita harus dipertemukan bahkan disatukan dalam satu tujuan yang sama?
"Woy! Laskar!"
Mati gue.
"Lo gak kenal gue kah? Haloooo!" Dia berbicara begitu karena gue tidak kunjung menoleh ke belakang. "Jadi pejabat sana kalo suara orang gak lo denger!"
Mumpung kontrak antara gue dan Pak Khrisna belum ditandatangani, haruskah gue membatalkan kontrak ini? Tapi sayang, anjing! Bayaran gue dari dia besar soalnya.
⚪️⚪️⚪️
¹Medioker: orang yang tidak punya bekal berpolitik atau orang biasa-biasa saja yang rendah popularitas atau 'miskin politik'
²Basis: pendukung atau pemilih
³Petahana: atau inkamben adalah pemegang suatu jabatan politik tertentu yang sedang/masih menjabat dan akan mencalonkan diri di pemilihan mendatang. Misalnya walikota saat ini yang akan ikut berkontestasi sebagai pesaing Khrisna.
⁴Electoral Threshold: ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
⁵Mapping: memetakan sasaran pemilih melalui tahap-tahap tertentu seperti survey.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
