2. Off the Record

27
0
Deskripsi

Setelah ditempatkan sebagai diplomat magang di KBRI untuk Washington DC demi mempermulus penyamaran, Jingga menemui seseorang yang kata Patih akan membantunya selama menjalankan tugas di tempat ini. Perkenalan yang unik pun terjadi.

Jingga 

Setelah enam hari, gue terbang juga ke Washington DC. Peralatan yang gue perlukan dikirim terpisah menggunakan jalur ilegal. Karena jika dibawa terbang dengan pesawat, bisa-bisa gue dihadang FBI begitu mendarat di bandara. Amerika, Jerman, dan Rusia adalah negara yang dilabeli mengerikan oleh para mata-mata asing seperti gue. Jika ketahuan, mereka tidak akan segan untuk menangkap dan menghabisi nyawa siapa pun apalagi kalau tujuan para mata-mata itu bisa membahayakan negaranya. 

Sebelum memulai pekerjaan di kantor kedutaan, terlebih dahulu gue mencari tempat tinggal yang strategis namun juga aman. Gue mendapatkan sebuah kamar sewaan di O St NW, yakni sebuah jalan di Georgetown yang hanya berjarak 30 menit dari ibukota. Didapatkan informasi dari agen Washington bahwa peneliti yang sedang diincar ini beberapa kali terlacak di 33rd St NW. Karena rasanya akan terlalu mencolok jika gue menyewa kamar di jalan yang sama, maka gue memutuskan untuk tinggal beberapa ratus meter dari daerah operasi di mana target terdeteksi supaya tidak mengundang kecurigaan. 

Letak kamar ini ada di lantai tiga yang memiliki akses langsung ke atap. Bangunannya bergaya townhouse yang minimalis, persis seperti latar-latar tempat yang dipakai di dalam series keluaran Amerika. Sejujurnya gue sudah agak bosan dengan udara Amerika. Pasalnya sebelum libur dan dikata-katain nganggur sama Ibu, selama lima bulan penuh gue mengumpulkan informasi intelijen di negara bagian Arizona. 

Sejauh mata memandang, tidak terdapat keanehan di lingkungan yang damai ini. Setahu gue, lingkungan ini banyak dihuni oleh mahasiswa dan pekerja kantor pemerintah lokal karena letaknya yang tidak begitu jauh dari ibukota. Karena kehidupan harus terus berjalan, malamnya gue berbelanja beragam kebutuhan yang bisa menunjang kelancaran berpikir dan merumuskan strategi yaitu menyetok bahan makanan. Jingga nggak bisa kelaparan, soalnya bahan bakar dia untuk berpikir hanyalah makanan dan makanan. 

Ketika mandi di keesokan paginya untuk bersiap bekerja di kedutaan, gue agak kaget dengan kondisi tubuh yang dihiasi oleh banyak sekali bekas luka. Di rumah Ibu, kamar mandinya tidak dilengkapi kaca full body sehingga gue mulai lupa dengan tanda cinta yang tertinggal. Omong-omong soal Ibu, dia sebetulnya kecewa saat gue bilang kalau gue mengundurkan diri dari kemiliteran dan beralih profesi sebagai crew pelayaran. Ibu udah bangga banget dengan anaknya yang tentara, terus suatu hari tiba-tiba aja gue bilang berhenti yang mana membuat Ibu syok sampai tidak mau bicara selama satu minggu penuh. 

Semua itu dilakukan demi kerahasiaan profesi baru gue. Makin sini, Ibu semakin menerima kebohongan anaknya apalagi gue sering banget kirim dia foto lagi di luar negeri. Setoran kas ke dompet Ibu pun jumlahnya kian besar. Tau sendiri lah, yang namanya ibu-ibu pasti luluh sama duit terlebih jika nominalnya tidak sedikit. 

Dari casing¹ yang gue lakukan selama beberapa hari ke belakang, masalah soal bocornya rahasia negara milik Kementerian Pertahanan pasti dilakukan oleh orang yang memiliki akses pada data tersebut. Entah kenapa gue yakin, penempatan gue di kantor kedutaan Indonesia ini tidak semata-mata tanpa alasan melainkan ada perhitungan yang matang di belakangnya. 

"Halo, saya diplomat pertama baru yang ditugaskan oleh Kementerian Luar Negeri di Embassy of Indonesia Washington DC." 

Muka pegawainya judes-judes amat, apa karena rata-ratanya udah berumur makanya terkesan tidak begitu peduli dengan kehadiran gue? 

"Oh, ya, ya, hari pertama, ya? Anak magang harus tau semua job desc yang ada di kantor kedutaan. Emm ... mulai dari itu aja, customer service." Padahal gue udah berharap untuk dikenalkan kepada Duta Besar. Ternyata langsung diperbudak untuk jadi CS. 

"Anu, Bu, nggak dikenalkan dulu ke Duta Besar atau Duta?" 

"Lagi nggak di tempat, ada rapat sama Departemen Pertahanan. Kantor lagi sibuk, lebih baik kamu langsung kerja aja, nanti pindah-pindah divisi deh selama dua minggu awal." Anak buah Pak Dirga yang kayak gini harusnya dilaporin. Katanya sibuk, tapi malah kutekan sambil keliling lobi kedutaan. 

"Ruang CS-nya di mana, Bu?" 

Matanya mendelik sinis, "Belum tour emang? Haduuuh, bentar, bentar." 

Perempuan yang rambutnya disasak seperti pejabat itu naik ke lantai dua, entah bertujuan ke mana. Sementara gue ditinggalkan di lobi utama bersama beberapa pengunjung kedutaan yang hendak mengurus kepentingannya. Saat gue punya niat untuk berkeliling sendirian, tiba-tiba saja perempuan tadi muncul diikuti oleh seorang pria muda yang mengekor di belakangnya. 

"Den, antar diplomat magang kita keliling kedutaan, ya. Nanti kalo Pak Dubes udah pulang, bawa ke ruangannya buat dikenalkan," perintahnya. "Tuh, kamu sama Aden aja." Selanjutnya, ibu-ibu yang belum gue ketahui namanya itu meninggalkan kita berdua. Agak canggung sih, heran juga kenapa responsnya bisa setidak ramah itu kepada pegawai baru seperti gue. 

"Saya Raden, Mas, panggil aja Aden. Saya petugas komunikasi," dia memperkenalkan diri. "Yang tadi namanya Bu Febi, beliau ini konselor di sini, koordinator protokol dan konselor tepatnya." Pantesan, berjabatan lumayan ternyata. 

"Saya Jingga, Mas, magang baru yang dikirim Kemenlu." Sambil menyebutkan nama, gue cengengesan dikit supaya punya kesan lebih ramah. 

"Oh, hebat ya karena dikirim ke Washington. Skor CPNS-nya tinggi, ya?" tanyanya. 

Gue nyengir, "Lumayan lah, Mas, saya aja kaget karena dikirim ke Washington. Sayang, cuma tiga bulan." 

"Tapi kalo evaluasi kinerjanya bagus bisa diajukan untuk jadi diplomat tetap loh, Mas." Lelaki bernama Aden itu langsung memandu langkah untuk mengajak gue berkeliling kedutaan. "Tadi Bu Febi nyuruh Mas Jingga gabung ke tim CS, ya? Kebetulan itu bagian saya juga. Biasanya diplomat magang suka digilir ke tiap divisi selama dua minggu sebelum fokus ke job desc asli." 

"Mas Jingga baru pertama kali ke sini, kan? Boleh liat-liat dulu, kalo ada yang mau ditanyakan, silakan langsung tanya ke saya." Cuaca cerah di Washington sangat mendukung momen pertama gue bekerja. Kantor kedutaan besar ini sendiri dibangun pada tahun 1903 dengan menggunakan arsitektur neo-Baroque oleh seorang filantropis bernama Thomas Francis Walsh. 

Sekeliling kantor kedutaan ini dibatasi oleh pagar besi setinggi dada orang dewasa. Halamannya luas dan terbuka dengan rerumputan hijau yang tumbuh sangat terawat. Di musim semi, pohon-pohonnya tampak rindang dan memberi kesan penuh kesejukan. Sebagai ciri khas, di salah satu sudut halamannya terdapat Patung Saraswati yang disahkan langsung oleh presiden RI pada tahun 2014 silam. 

"Di belakang KBRI ada Polish Embassy Economic Office," Aden memberi tahu. "Sedangkan di sebelah kanan, ada Embassy of Portugal. Daerah sini, utamanya di sekitar Ave NW memang jadi pusatnya para kantor kedutaan, Mas." Tanpa dikasih tau pun, gue udah tau karena sudah beberapa kali berkeliaran di wilayah ini. 

"Mau lanjut ke dalem?" ajaknya, yang gue hadiahi anggukkan serta segaris senyuman ramah. 

Ketika memasuki bangunan, gaya interior klasik ala renaisans bernuansa serba cokelat akan memenuhi seluruh pandangan. Lantai satunya merupakan kantor pelayanan, ruang jamuan, serta sebuah hall di bagian belakang yang luasnya setara dengan satu lapangan tenis. Menuju lantai dua, ada sebuah tangga utama yang terbuat dari kayu jati ukir dengan sepasang patung indah yang berdiri di tengah-tengah. 

Lalu saat mendongak untuk melihat langit-langit ruangan, akan terlihat lukisan mural yang mengingatkan gue pada gereja atau vatikan. Gue berani bilang bahwa Kedubes Indonesia di Washington ini adalah yang termewah dan termegah di Amerika. Lantai dua dan tiga hanya dapat dimasuki oleh staff dan merupakan area terlarang bagi pengunjung umum atau wisatawan. Beberapa benda budaya tampak dipajang, termasuk buffet prasmanan yang khas ala kondangan. 

"Itu ruangan Dubes, sebelahnya ruangan Duta. Pejabat tinggi ada di lantai tiga semua, sedangkan staf biasa di lantai dua. Sudah cukup akrab kan, Mas?" 

"Iya, makasih banyak atas tour-nya, Mas Aden." Gue berterima kasih dengan tulus kepada laki-laki itu. Tak lupa, selama tour berlangsung gue berusaha merekam setiap detail demi detail yang ada. Seorang mata-mata seperti gue harus satu kali khatam dengan tempat yang baru pertama dikunjungi tanpa melewatkan satu bagian pun terlepas dari penting atau tidak penilaiannya. 

"Mau mulai bekerja di ruangan CS?" tanyanya. 

Saat dibawa ke ruang pelayanan, warga negara atau pengunjung yang membutuhkan layanan ternyata sedang tidak banyak. Setelah dikenalkan pada staf lain, gue ditempatkan di pelayanan administrasi seperti membuat surat keterangan mengenai kelahiran, perkawinan, perceraian, dan kematian. 

"Kalo ... kantor Atase berarti sama-sama di lantai dua, ya?" Gue bertanya untuk memastikan kepada seorang junior staf bernama Emily yang cukup fasih berbahasa Indonesia meski dirinya merupakan warga lokal Amerika. 

"No, di lantai tiga. Para Atase berkantor satu lantai dengan Dubes tahu." 

"Oh, hehe, sorry, saya lupa. Thank you untuk informasinya, Emily." Perempuan berambut pirang itu menanggapinya dengan senyum yang manis. Samar-samar, terdengar derap langkah yang asalnya dari pintu utama. Sebentar lagi kantor akan tutup, namun tampaknya yang datang bukanlah pengunjung melainkan para pejabat kelas atas yang baru saja pulang dari acara penting mereka. 

Atase Pertahanan, yang bertubuh tinggi tegap itu lah orangnya. Sedangkan yang lebih kurus dan berjalan dengan tawa formalitas di belakangnya adalah asistennya. Ada aroma mencurigakan dari lelaki berpangkat Kolonel itu. Konon katanya, seorang agen mata-mata yang hebat dapat mendeteksi mata-mata lain hanya dari caranya melangkahkan kaki atau menggerakkan sepasang bola matanya saja. 

"Liatin apa?" Aden menyenggol bahu gue pelan. 

"Keren-keren ya mereka. Saya lagi ngayal nih, gimana kalo misalnya saya ada di posisi mereka. Beuh, keren banget pasti." Gue membidik sekelompok orang itu dengan sebuah persegi panjang yang dibentuk menggunakan sepasang ibu jari dan telunjuk. Dalam hati gue berbisik, 'You are my target, Sir'. 

"Work hard makanya," saran Aden. "Jadi mereka tuh gak gampang, staf biasa agak mustahil karena mereka ditunjuk oleh atasan." Sistemnya memang seperti itu, sudah tidak mengherankan. 

"Yuk, pulang. Stay on ya hapenya, kadang suka ada panggilan tiba-tiba dari kantor." Padahal masih setengah lima, tapi orang-orang udah pada bubaran. Ada yang gak beres nih dari budaya kerja mereka, gue harus ngadu ke Pak Dirga gak sih biar kedisiplinan mereka bisa diperbaiki? 

Ketika para staf sudah membubarkan diri, gue memilih untuk bertahan sedikit lebih lama karena ada beberapa hal yang mesti dilakukan. Begitu suasana terpantau aman, gue naik ke lantai paling atas lalu berkeliling satu kali lagi dengan jari jemari yang sesekali merayap untuk menyentuh dinding unik ini. 

Ukiran kayu di dekat ruang kerja Duta Besar dan Atase Pertahanan membuat gue tersenyum simpul. Selain indah, celah ukirannya juga memudahkan gue untuk menempelkan sebuah perangkat audio surveillance berukuran mikro yang sekilas terlihat seperti tai cicak biasa. 

Niatnya ingin sekalian mengenalkan diri, namun para pejabat itu tampak sibuk dengan urusannya masing-masing sehingga gue memutuskan untuk tidak mengganggu kesibukannya. Masih bisa besok, toh keberadaan gue nggak penting-penting amat dan akan lebih baik jika mereka tidak peduli dengan adanya gue di sini. 

Sebelum mencegat taksi di pinggir jalan, gue teringat akan sesuatu hal yang waktu itu Patih sampaikan. Ada orang yang harus gue temui di sini. Jika terlihat dapat dipercaya, mungkin kita harus bekerja sama karena adanya kesamaan pada misi yang diberikan. Sebuah kertas yang sudah lecak gue keluarkan dari dalam buku catatan. Sempat memandanginya sebentar untuk memastikan alamatnya lalu melambaikan tangan guna menyetop sebuah taksi yang melintas. 

"Take me to Off the Record, please." 

"Uhm ... at the 16th St NW, right? The Adam's Hotel?" 

"Yes, please bring me there." 

Taksi yang gue tumpangi mulai melaju. Pemandangan sore di Washington yang mulai gelap terkesan semakin indah untuk dipandang. Semakin mendekati downtown, keramaian kian terasa. Namun sayangnya, daerah pusat kota tampak berantakan menjelang malam karena kepadatan lalu lintas dan para pemabuk serta gelandangan yang berbaur di trotoar. 

Ya, keindahan Amerika hanya dapat dinikmati sebentar. Sisanya, suasana di pusat kota sama sekali tidak memiliki perbedaan dengan negara-negara lainnya. Kacau, kumuh, dan penuh dengan keributan. Di sela-sela gang kecil yang memisahkan satu gedung dengan gedung lainnya akan menguar bau pesing setengah kering. Jeritan orang kecopetan di tengah kerumunan sudah menjadi hal yang umum apalagi jika memasuki wilayah ramai wisatawan. 

Benar-benar tepat di belakang The White House rupanya. Pub elit bernama Off the Record ini kabarnya menjadi tempat pertemuan favorit pagi para pengusaha, politikus, dan orang-orang penting lain di Washington DC. Lokasinya ada di dalam sebuah hotel berbintang 5. Penjagaannya ketat, orang biasa yang tidak tampak seperti pejabat kayak gue ini akan digeledah secara brutal sambil diberikan side eyes diskriminatif dari security. 

"I'm a Diplomat," gue menunjukkan ID card yang baru didapatkan tadi pagi ini kepada mereka. 

"Do you have an appointment?" 

"No, I just want to drink in your bar. Am I not allowed to enter?" 

Kedua bahunya naik, "Of course no, Sir. Please come in." 

Gue masuk ke dalam lantas mencari pub yang dimaksud oleh Patih. Bisa dibilang sekarang masih petang, namun pub ini sudah ramai dan mayoritas pengunjungnya adalah orang-orang berpakaian rapi. Para wanita pendamping terlihat menemani obrolan mereka di kursi masing-masing. Alunan live music beraliran Jazz yang syahdu menjadi pengiring dalam perbincangan yang entah membahas perihal apa itu. 

Pandangan gue mengedar. Karena datang sendirian dan tidak melakukan reservasi sebelumnya, gue duduk di depan meja bartender lalu memesan segelas special cocktails. Radar gue belum mendeteksi kehadiran seseorang yang sedang gue cari. Kata Patih, jika gue datang ke mari, gue akan langsung mengetahui siapa orang itu walau tidak tahu namanya sama sekali. 

"Did you come alone?" Bartender yang memiliki kumis tebal itu bertanya. 

Gue tersenyum kecil, "Yeah, I just want to drink something fresh after work." 

Sembari mengocok racikan cocktail-nya dengan sebuah shaker, dia berujar. "Need a friend? We have some girl to drink with you." 

"Really? Any asians?" 

"Sure." 

Selang tiga menit dari sana, sesosok perempuan dengan dress merah menyala di atas lutut tampak mendekat. Bibirnya berwarna merah cabai. Potongan rambutnya begitu pendek dengan warna cokelat gelap. Matanya besar, senyumnya juga menawan. Tubuhnya semampai dengan tinggi sekitar 160-an, cukup tinggi untuk ukuran orang Asia. 

"Butuh teman?" 

Ini yang mungkin dimaksud oleh Patih. Dia fasih sekali berbahasa Indonesia. Perempuan itu duduk di kursi sebelah sambil menyilangkan kaki dan menatap gue penuh rayuan. 

Gue menggoyangkan gelas cocktail yang baru diminum seteguk itu, "Saya sengaja meminta orang Asia. Mau ciuman, nggak?" 

Sebagai jawaban dari ajakan kurang ajar itu, perempuan bergaun merah tersebut langsung menyosor gue tanpa sempat mempersilakan apalagi mengizinkan gue memimpin permainan. 

Benar, dia orangnya. 

*** 

Lara 

Ada seekor tikus mati di bawah tempat sampah dekat parkiran Wooden Apartments. Berbekal sebuah kantong plastik berwarna hitam, gue membungkus bangkai tersebut lalu memasukkannya ke dalam saku depan sweater yang gue pakai. Selain karena lokasinya yang berada di bawah bukin, harga sewa apartemen ini menjadi sangat murah karena rating buruk dari para penyewanya. Petugas front desk, si wanita kejam bernama Kathleen itu, sangat menyebalkan dan bersikap rasis kepada para penyewa yang berasal dari Asia atau ras kulit hitam. 

"Lara, did you–" 

Sebelum perempuan gila itu meluncurkan ejekannya, gue sudah lebih dulu mengacungkan jari tengah sambil berkata: "Shut up, Kathleen. I will give you a dead rat if you say that again," lalu melemparkan bangkai tikus yang gue bawa dari parkiran sampai dia menjerit ketakutan. 

"HEY! FUCKING CRAZY WITCH! YOU BITCH! FUCK YOU!" 

"Ya, ya, it's me, the slut." 

Jari tengah gue masih teracung sampai menghilang di tikungan tangga menuju lantai atas. Teriakan histerisnya masih menggema, sukses membuat gue tertawa sangat puas. Begitu sampai di kamar, tawa itu mereda bersamaan dengan sebuah selongsong plastik berukuran kecil yang gue keluarkan dari dalam saku hoodie. 

Tempat tadi adalah dead drop atau kotak surat mati, yaitu tempat menyampaikan dan bertukar informasi menggunakan lokasi rahasia dengan perantara yang sebisa mungkin tidak terdeteksi. Tikus mati hanya satu dari sekian banyak perantara yang menjijikan lainnya. Terkadang, informasi yang gue terima bisa disembunyikan dalam kotoran hewan palsu yang sudah mengeras namun memiliki bau serupa, hingga mentimun busuk yang sudah berair dan ditumbuhi jamur. 

Misi baru ternyata. Informasi rahasia negara telah dijual dan terancam dipublikasikan. Selain itu, sebuah formula teknologi intelijen canggih juga bocor dan dicuri oleh salah satu peneliti sehingga harus segera ditemukan agar tidak jatuh ke tangan negara lain. Ada p.s atau catatan tambahan di bagian belakang berupa informasi tentang akan adanya agen mata-mata lain yang ditugaskan. 

Gue Lara Novela, seorang agen dari deputi 3 Badan Intelijen Negara yang membidangi spionase luar negeri. Terhitung sudah tujuh tahun sejak gue menjadi agen mata-mata di institusi ini. Motivasi gue untuk menjadi agen intelijen sebetulnya hampir tidak ada. Gue cuma orang yang direkrut secara kebetulan setelah keluar dari penjara karena sebuah kejahatan yang pernah gue lakukan. 

Yatim piatu, tidak dipedulikan oleh anggota keluarga yang tersisa, apa sih yang harus diperjuangkan dari hidup perempuan bernama Lara? Di usia 17 tahun, gue ditangkap oleh kepolisian karena telah menjadi kaki tangan dalam sebuah kasus korupsi besar. Kejahatan yang gue lakukan sederhana, gue hanya menuruti perintah untuk mencuri dokumen rahasia dan harusnya tidak pernah ketahuan jika si pelaku utama tak membuka mulutnya. 

Brengsek emang, definisi gak mau jatuh sendiri padahal gue cuma kacung tuh ya itu. Setelah setahun mendekam di sel tahanan, gue didatangi oleh seorang perempuan paruh baya yang mengajak gue untuk bekerja bagi negara. Gue yang nggak tau harus ngapain lagi untuk menjalani hidup cuma iya-iya aja. Sekitar dua setengah tahun lamanya gue dilatih supaya menjadi agen yang hebat, lalu setelah itu langsung dikirim ke beberapa negara untuk menyelesaikan beberapa tugas sesuai dengan keahlian yang gue miliki. 

Pernah dengar berita soal Menteri Kelautan China yang mengundurkan diri, nggak? Kalau gue mau sombong, yang membuat dia melepaskan jabatannya adalah gue. Ketegangan di Perairan Natuna sedang memanas di tahun 2019, penyebabnya adalah China yang tidak terima dituduh mencuri jutaan ikan dari wilayah perairan Indonesia. Usut demi usut, ditemukan fakta bahwa pencurian itu memang terbukti nyata. Tersebar kabar bahwa China yang masih tidak terima akan memberikan serangan kepada Indonesia namun tidak jadi dilakukan setelah menteri kelautannya menyerahkan jabatan. 

Mereka memang masih enggan untuk mengakui, namun ancaman dan pemerasan yang gue berikan kepada pihak mereka agaknya berjalan sangat efektif sehingga keadaan bisa dinormalkan lewat jalan kompromi antara dua negara. 

Dua tahun lalu, gue dipindah tugaskan untuk menangani kasus di wilayah Amerika. Setahun belakangan, gue menetap di Washington karena beberapa misi yang dilimpahkan berkaitan dengan pemerintah pusat Amerika Serikat dan agen mata-mata asal negara ini. Mereka beneran gak bisa diem, adaaaa aja gara-gara yang dibuat dan bukan cuma ke Indonesia aja, melainkan hampir ke seluruh negara yang ada di dunia. 

Cover job gue adalah sebagai ladies escort atau perempuan pendamping di sebuah pub kenamaan yang berada di pusat kota. Keahlian gue adalah menggunakan rayuan dan tipuan bagi para pejabat hidung belang. Gue tidak merasa sayang dengan hidup gue sendiri. Sudah gue katakan sebelumnya, gue gak punya tujuan. Dibilang nasionalis dan cinta negara juga gak terlalu, gue cuma ... apa, ya? Nyari kesibukan biar sisa hidup gue yang sialnya sangat panjang ini tidak terlalu sia-sia. 

"Lara, someone need you. He wants Asian girl like you." 

"Really? I'll go, Ben." 

Lipstik merah yang gue pakai baru selesai dioleskan ke permukaan bibir ketika Ben, seorang waiters di pub, memberitahukan kabar tersebut. Setelah merapikan polesannya yang masih belum rata, gue bersolek sebentar di depan cermin lalu tersenyum sememesona mungkin sebagai bentuk latihan. Kemudian gue keluar dari ruang pegawai, menghampiri seorang lelaki yang– shit, dia tampan sekali. 

Tapi, sebentar. Sepertinya dia tidak datang ke sini tanpa memiliki tujuan. Lelaki itu bukan orang sembarangan. Sorot bengis di dalam bola mata cokelat gelapnya tidak wajar dimiliki oleh orang biasa. Ketika gue duduk di sebelahnya, tiba-tiba saja dia mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal namun bisa gue mengerti apa maksudnya. 

"Mau ciuman, nggak?" 

Dia pencium yang handal, a really good kisser. Bisikan pelan yang ia lirihkan di sela-sela desahannya membuat gue tahu siapa identitasnya. Dia adalah agen mata-mata milik Indonesia. Mungkin saja, catatan tambahan di ujung surat yang gue terima kemarin siang adalah tentang laki-laki ini. 

"Belepotan," gue mengusap kulit di sekitar bibirnya yang dihiasi noda kemerahan dengan selembar saputangan yang gue bawa. Lelaki itu mengambil alih saputangan yang pada salah satu sudutnya bersulamkan tulisan III romawi. Senyumnya terbentuk, dengan demikian lelaki itu akan mengetahui bahwa gue adalah agen dari Deputi 3 dan direktorat 3. 

"Kamu wanita kesatu yang mewarnai bibir saya dengan lipstik merah cabai." Penggunaan kata kesatu agak tidak tepat dalam susunan kalimatnya. Akan tetapi gue mengerti bahwa kata tersebut sengaja dirinya gunakan untuk memperkenalkan diri sebagai agen dari Deputi 1. 

"Mau lagi?" Gue mendekatkan wajah ke arahnya sampai lelaki itu menahan napasnya. Lemah. 

Sembari membuang muka, lelaki itu meminum cocktail-nya lagi. "Enggak, makasih. Saya sudah cukup kewalahan untuk menangani ciuman sedahsyat itu." Agak mengecewakan, padahal dia sama dahsyatnya. 

"Pub tutup pukul dua belas malam," lutut gue berbenturan dengan pahanya. "Saya bisa memberikan service di luar setelah jam kerja selesai. Kamu bisa menunggu saya di sini sampai selesai, atau memberitahukan alamat kamu di mana lalu tunggu saya di sana." 

Senyumnya sulit untuk gue jelaskan. Jujur aja, wajahnya semakin menawan ketika ia menampilkan senyum tipis yang terkesan licik itu. Jika menggunakan teknik honey trap², gue yakin bahwa sasarannya akan kalah dengan mudah dan berujung memberikan semua yang dimilikinya kepada lelaki penuh pesona ini. 

"Di hotel ini aja," dia belum sepenuhnya mempercayai gue. "Saya sewa kamar dulu, nanti saya balik lagi ke sini untuk memberikan kamu kunci. I have to go to somewhere, buang-buang waktu kalo saya nunggu kamu sampai tengah malam." Kalimatnya yang terakhir ia bisikkan di telinga kanan gue sampai hangat napasnya berhasil membuat bulu kuduk gue berdiri. 

Kita bahkan belum saling mengenalkan nama satu sama lain ketika lelaki itu sungguh pergi meninggalkan pub untuk menyewa kamar ke resepsionis. Sambil menunggu, gue mengawasi keadaan sekitar dan melambai kepada beberapa lelaki hidung belang yang lebih dulu menyapa dari tempatnya. Maaf, malam ini gue tidak menerima pesanan karena ada orang penting yang harus gue layani. 

"Superior room nomor 218," ia menaruh kartu akses ke atas meja lalu tampak bersiap untuk segera pergi lagi. Namun sebelum itu, gue menahan pergelangan tangannya lalu sedikit menariknya sampai lutut gue kembali menyentuh tubuhnya. 

"Pelakunya orang dalam," desis gue pelan kemudian melepaskannya dari jangkauan. 

●●●
 

¹Casing: segala usaha, pekerjaan, atau kegiatan yang sifatnya mendahului suatu kegiatan yang bersifat tertutup dalam rangka memperoleh bahan keterangan/informasi yang aman

²Honey trap: adalah praktik investigasi yang melibatkan penggunaan hubungan romantis atau seksual untuk tujuan interpersonal, politik (termasuk spionase negara), atau keuangan. Honey trap melibatkan kontak dengan individu yang memiliki informasi atau sumber daya yang dibutuhkan oleh kelompok atau individu; di mana penjebak kemudian akan berusaha membujuk target ke dalam hubungan palsu (yang mungkin termasuk atau tidak termasuk keterlibatan fisik yang sebenarnya) di mana mereka dapat memperoleh informasi atau pengaruh terhadap target
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 3. Sunny & Zorro
26
0
Keduanya berusaha untuk mengumpulkan hint yang bisa membawa misi kepada titik terang. Benarkah pelakunya orang dalam?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan