
Belum jadi pacar.
Belum berbalas cinta.
Belum satu keyakinan.
Apa artinya Belum Jodoh?
Benarkah?

Belum Jodoh Part Satu - Akhirnya Tahu Juga
◆ ◆ ◆
Tiga Bulan Yang Lalu...
“Muka lo kenapa, sih? Kusut banget kayak serbet di rumah gue?” tanya Ester sadis yang berhasil dapat pelototan mengerikan dari Igjo.
“Mulut lo! Nggak bisa lihat temennya tenang dikit doang.”
“Kalo mau tenang, kelarin aja hidup lo.”
“Emang bangke ya lo, Ter.”
Ester memutar bola matanya malas. “Lo kenapa sih, Jo? Belakang ini jadi kayak orang bego. Gue hitung udah sebulanan, deh.”
“Gue belum ketemu sama Mas grab adem lagi.” jawab Igjo pasang wajah memelas.
“Astaga, Tuhan!” sebut Ester. “Karena itu doang? Lo belum ketemu ya itu tandanya lo harus setiap hari naik grab.”
“Kepret lo! Bisa digoreng nyokap gue kalo naik terus. Bisa ngoceh, Jo kenapa mobilmu nggak pernah kamu pake? Panasin Jo mobilmu. Mama nggak ada waktu buat ngurus mobilmu.” ucap Igjo menirukan nada mengomel Veronica.
“Oke. Sebulan ini lo udah naik grab berapa kali emang sehingga belum ketemu?”
Igjo berpikir sebentar. Menghitung sudah berapa kali dia naik salah satu aplikasi ojek online itu. “Ada kalo nggak salah tujuh belas kali. Dan zonk semua. Sial banget!”
“Ya, itu tandanya intensitas naik lo harus ditambah. Kalo bisa lo naik setiap hari.”
“Dibilang gue bisa dimarahin sama nyokap gue, kok. Lo tahu kan gimana nyokap gue kalo ngomel?”
“Udah. Udah. Lo nggak usah contohin lagi gayanya Aik Vero.”
Menghela napasnya dengan berat, Igjo bangkit dari duduknya. “Udah ah, gue pulang dulu. Tadi, disuruh Mama buat anterin oleh-oleh aja ke rumah lo. Bukan buat gosip.”
“Gue anterin. Mau?”
“Nggak naik grab aja.” Igjo cuma bisa tersenyum lebar.
“Siapa ya yang tadi bilang dimarahin nyokap?” Ester memiringkan senyumnya mengejek.
“Senyum lo, minta dicekik tahu nggak.”
◆ ◆ ◆
Helaan napas kembali Igjo keluarkan begitu memasuki rumahnya, driver grab yang dia naiki tadi bukan driver yang dia cari. Tubuhnya dengan lesu berjalan menaiki tangga menuju kamarnya.
“Jo, kok lesu banget? Gimana oleh-oleh udah sampai ke tangan keluarga Ester?”
“Udah, Ma.”
“Kamu kenapa? Kayak orang belum makan?”
“Mama emang masak apa?” tanya Igjo heran
“Mama nggak masak. Mbak Suyah juga Mama suruh buat nggak masak.” jawab Veronica dengan entengnya. “Mama mau pesan Go Food.”
Igjo memutar bola matanya dengan malas. Kebiasaan Mamanya itu malas masak. Jadi, nggak kaget kalo saat Igjo pulang dirumah nggak ada makanan. Mbak Suyah pun lebih sering bersih-bersih dan cuci seterika daripada masak. Kalo Igjo ngeluh kenapa rumahnya nggak ada makanan berat. Mamanya pasti dengan enteng jawab.
“Rumah cuma isi dua gelintir orang, Jo. Mbak Suyah juga pulang nanti sore. Satpam juga bawa bekal dan udah Mama kasih uang makan. Capek di Mbak Suyah kalau masak buat Mama dan kamu aja. Sekarang mending kita ke Sushi Tei.”
“Nggak usah. Jo aja yang beli makanan.” mengurungkan niat masuk ke dalam kamar. Igjo malah berbalik arah dan duduk di sebelah Mamanya yang lagi nonton TV Kabel. “Mama mau makan apa?”
“Terserah deh. Mama lagi nggak pengen apa-apa.”
“Seafood Bandar Djakarta, mau?”
“Boleh. Makan di sana aja gimana?”
Niat hati Igjo ingin mencoba peruntungan dengan beli makanan naik grab. Dan malah Mamanya mengusulkan makan di sana.
“Naik grab ya, Ma.”
“Ngapain? Malas bawa mobil? Jual aja itu mobil kamu.” Veronica melotot ganas. “Mama yang bawa. Kamu bawa saat pulang. Sekarang kamu reservasi tempat.”
Igjo cuma bisa menatap Mamanya dengan memelas. Dia kan cuma pengen ketemu lagi sama Mas adem tanpa nama.
◆ ◆ ◆
“Untung Mama udah suruh kamu reservasi walaupun mepet. Liat ramai banget.” Veronica mulai memberikan ceramahnya pada anaknya yang tadi sebenarnya malas untuk melakukan reservasi.
“Iya. Mama, terbaik deh kalau urusan ngeramal ramainya tempat makan.” Igjo memutar bola matanya malas dan keluar dari mobil. Mamanya tadi bilang kalau Igjo yang bawa mobil saat pulang. Tapi ujung-ujungnya tadi, dia juga yang akhirnya nyetir.
“Udah benar kan parkirnya?”
“Mama, ih. Kebiasaan, deh. Jo kan udah bisa bawa mobil sedari kelas tiga SMP.”
“Siapa tahu aja kamu ngelamun, Jo.”
“Emang Mama pernah apa lihat Jo ngelamun?”
“Nggak pernah, sih. Lihatnya yang cuma mau menuju ke tahap ngelamun. Lagi mikirin apa sih, Sayang?”
“Nggak tahu. Jo kepikiran orang asing yang bikin adem.”
“Adem? Bahasamu. Pasti aneh.”
Mengandeng lengan Mamanya berjalan memasuki restorant, Igjo mengerucutkan bibirnya. “Aneh kayak gini anak Mama.”
Wajah sebal Igjo langsung saja berganti datar begitu pegawai menanyakan perihal reservasi. “Reservasi atas nama Nyonya Veronica Annasthacya Jotjawongso.”
“Nomor lima belas, Bu.”
“Maaf, Kak. Tempat kami sedang penuh. Kalau mungkin Kakak bisa menunggu tiga puluh menit sampai satu jam.” ucap salah satu pegawai yang diabaikan Igjo dan lebih memilih bicara dengan Mamanya.
Untung udah reservasi. Kalo gagal makan di sini bisa diomelin Mama semalaman, gerutu Igjo dalam hatinya.
“Tuh, kan. Mama udah feeling kalau nggak reservasi, kita nggak dapat tempat.”
“Iya. Mama bukan hanya pintar ngeramal tempat makan. Tapi, hampir semua tempat makan kayaknya udah pernah Mama kunjungi semua.” jawab Igjo malas. Bahkan jawabanya hampir mirip dengan jawaban tadi. Habisnya Mamanya juga bicara hal yang sama lagi.
“Nggak usah, Le. Besok-besok aja kita makan di sininya.”
“Ale padahal udah janji sama Ibu. Ale juga lupa reservasi.”
“Nggak apa-apa. Tadi siang kan kamu juga habis pulang dari seminar di Jogja selama tiga hari.”
Igjo yang sedang menunggu diantar ke meja, langsung saja memutar tubuhnya ke arah sumber suara yang membelakanginya. Walaupun hanya satu kali mendengar suaranya, Igjo langsung hafal bahwa itu suara milik si Mas driver yang adem. Dan hafalan Igjo terbukti tepat.
“Ehm. Kalau mau, gabung dengan kami saja.” Igjo memberikan tawaran dengan senyum semanis mungkin. “Saya cuma makan sama Mama. Masih cukup tempat kalau tambah tiga orang. Iya kan, Ma.” sekarang Igjo tersenyum ke arah Mamanya. Memberikan kode untuk Mamanya menyetujui rencananya. Veronica sendiri memandang tidak mengerti anaknya yang sedang tersenyum aneh.
“Terima kasih. Tapi, tidak perlu. Kami takut merepotkan.” tolak laki-laki di depan Igjo dengan sopan.
Seketika Igjo melirik Mamanya yang cuma diam. Mendapatkan lirikan dari anaknya, Veronica berdehem pelan. “Gabung saja. Aik nggak masalah.” ucapan Veronica langsung saja disambut senyuman lebar Igjo. “Mas, meja reservasi saya sudah?” tanya Veronica pada salah satu pegawai yang lewat dengan nada bossy.
Untung Mama jawab ke Mas adem tadi nggak pake nada bossy.
◆ ◆ ◆
“Kenalan Mas Ale, ya?” tanya perempuan berumur yang akan menuju dua puluh tahun dengan ingin tahu. “Kenal di mana?”
“Langganan grab.” Igjo menjawab sedikit berdusta sebelum laki-laki di depannya menjawabnya. “Sempat beberapa kali naik grab sama Mas-nya. Lalu, ketemu di sini. Coba bantu aja. Daripada pulang atau nunggu.” jawab Igjo diplomatis.
Laki-laki di depannya mengangguk mengerti. Dalam pikirannya dia masih mengingat kapan dia mengantar perempuan di depannya. Dan nihil. Dia tidak mengingatnya.
“Maaf, ya. Jadi mengganggu acara makan malam...” Perempuan yang dipanggil dengan Ibu oleh laki-laki di depan Igjo itu menjeda kalimatnya. Tidak tahu nama Igjo.
“Saya Ignacia. Dipanggil Igjo. Ini Mama saya, Veronica. Ibu namanya siapa?”
“Maaf, ya. Jadi mengganggu acara makan malam Nak Igjo sama Bu Veronica.” perempuan itu kembali menyuarakan permintaan maafnya. “Saya Maudy, ini anak saya yang pertama Alendra dan itu adiknya Meilia. Mungkin Nak Igjo sudah kenal dengan Alendra.”
“Belum kok, Tante. Naik beberapa kali baru sekarang tahu namanya.” Igjo kembali tersenyum. Yes! Si Mas adem namanya Alendra. Mas Ale.
◆ ◆ ◆
Veronica yang baru saja masuk mobil, langsung bertanya pada anaknya. “Kamu suka ya sama laki-laki yang namanya Ale-Ale itu?”
“Iya. Dia orang yang bikin hati adem, Ma.” jawab Igjo dengan senyum lebar yang hanya diberi Veronica dengan gelengan kepala.
“Tapi, kok baru tahu namanya? Dia juga kayak nggak kenal kamu, Jo?”
“Ya nggak kayak aja, Ma. Emang bener kok dia nggak kenal Jo. Orang sebenarnya Jo cuma sekali doang naik grab drivernya dia. Itu pun udah satu bulan yang lalu. Terus usaha ketemu dia lagi, nggak ada hasil sampai sekarang ini. Baru tahu namanya juga tadi.”
Veronica kembali menggeleng nggak percaya akan penuturan anaknya. “Astaga, Jo. Mama pikir kamu beneran langganannya, lho. Gimana kalo dia hafal siapa aja yang sering naik ojek dia? Untung anaknya kalem gitu. Kalau Mama jadi dia Udah Mama jawab. Saya nggak pernah jemput Nonik. Terus kalau dia udah jawab gitu. Kamu yang gelagapan. Ketahuan ngebetnya.”
“Ya untungnya sifatnya dia nggak kayak Mama.” balas Igjo kesal.
◆ ◆ ◆
“Mas.” Meilia memanggil Kakak laki-lakinya yang masuk ke dalam rumah paling akhir. Kakaknya itu setelah Ayah mereka meninggal lima tahun lalu, benar-benar menggantikan sosok Ayah mereka dengan baik. Demi kebutuhan mereka yang sempat terpuruk pasca meninggalnya Ayah mereka. Terutama kebutuhan pendidikan dirinya, Kakaknya rela menjadi driver ojek online disela kesibukannya menjadi Dosen muda. Kakaknya tidak mau pembayaran uang pendidikannya terbengkalai lagi seperti dulu.
“Apa Mei?”
“Kayaknya Cece tadi itu suka sama Mas, deh.”
“Jangan ngawur kamu.”
“Beneran, Mas. Tanya aja Ibu. Iya kan, Bu. Cece tadi kayaknya suka sama Mas Ale.”
Maudy yang masuk ke dalam kamarnya untuk berganti baju, kini keluar. “Mungkin ya. Tapi, Ibu juga nggak yakin. Haha.” Maudy menjawab diakhiri dengan ketawa pelannya. Duduk di sebelah anak bungsunya dan menyalakan televisi.
“Ya Allah, Bu. Mei ingat. Mei emang pernah ketemu sama Cece Igjo.”
“Dimana?” tanya Maudy penasaran. Bukan hanya Maudy yang penasaran. Ale pun juga ikut menatap adiknya penasaran.
“Ibu sama Mas inget nggak yang waktu Mei beli buku sama Susan uangnya kurang, yang waktu itu ATM Ibu juga lupa aku bawa padahal udah diingetin Ibu, yang Mas Ale juga aku telepon nggak dijawab.” Mei menekan kata-katanya pada bagian 'nggak dijawab' dengan kesalnya. Kalau inget kejadian itu, dia jadi kesal sendiri sama Kakak laki-lakinya itu. “Lha, waktu itu Mei ketemu sama Ce igjo sama temannya, Cece-Cece juga. Dia yang bayarin uang buku, sama antar Mei dan Susan pulang.”
“Udah kamu ganti kan uangnya Nak Igjo?” tanya Maudy mengingatkan.
“Udah, Bu. Langsung Mei sama Susan transfer besoknya. Udah tiga tahun lalu juga sih, Bu. Jadi, Mei agak lupa-lupa inget.”
Ale berdiri dari duduknya setelah Adiknya kini membahas gosip selebriti Indonesia dengan Ibunya. Masuk ke dalam kamarnya, sambil membuka kancing kemejanya, Ale berpikir. Jika Adiknya lupa-lupa ingat dengan perempuan bernama Ignacia tadi, dia malah merasa bukanlah langganan grab Ignacia. Langganannya itu Bu Retno yang kerja di Balai Kota, Bu Ninik yang kerja di RSUD Dr. Soetomo. Sudah. Lainnya dia merasa hanya sekali menjadi driver penumpangnya.
-.T. B. C.-

Belum Jodoh Part Dua - Aku Yakin Kamu Bukan
◆ ◆ ◆
“Pagi, Ma.”
“Duh, yang kemarin malam baru tahu namanya si driver.”
“Mama apaan, sih.”
“Labil banget sih kamu, Jo.” cibir Veronica masih tetap melihat iPad miliknya.
“Mama mau belanja, ya?” tebak Igjo begitu melihat apa yang dilakukan Mamanya dengan iPad tersebut. “Kalau ada tas, Jo mau, Ma.”
“Beli sendiri.” balas Veronica singkat.
“Jahat bener, ih.” Igjo mengambil duduk disebelah Mamanya. “Tumben nggak ke Gereja pagi, Ma.”
“Nanti yang jam sepuluh. Sekalian setelahnya mau ke TP.”
“Jo ikut ya.”
“Kok tumben?”
“Beliin sekalian nantinya.”
“Dih, kebiasaan masih minta dibeliin Mama. Padahal udah kerja.” cibir Veronica tanpa melihat anaknya. “Udah sana mandi.”
◆ ◆ ◆
Veronica menatap anaknya dengan bersalah setelah mereka selesai beribadah. “Mama nggak jadi jalan ke TP, sayang. Kamu jalan sendiri aja, ya. Mama titip. Nanti fotoin, kirim whatsapp. Ini Mama bawain kartu debit Mama.”
“Mama mau kemana?”
“Ini Mama dapat whatsapp kalau Tante Sofi, teman kuliah Mama tadi pagi masuk rumah sakit. Anak-anak ngajakin Mama jenguk.”
“Tante Sofi, salah satu gengnya Mama itu? Yang rumahnya di Sidoarjo, kan?” Igjo mencoba mengingat teman Mamanya. Teman Mamanya itu banyak. Teman Arisan Ibu komplek perumahan, teman Arisan Gereja, teman reuni SMA, dan teman yang paling lengket sama Mamanya apalagi kalau bukan teman kuliah Mamanya. Kalau yang lain kumpul satu bulan sekali, teman kuliah Mamanya kumpul satu minggu sekali, paling lama juga dua minggu sekali. “Mama naik apa ke sana?”
“Iya.” Veronica menatap anaknya tersenyum. “Naik mobil. Kamu ke TP naik ojek online kesayangan kamu aja. Mama doain dapat Mas Ale.”
Igjo seketika cemberut. “Untung ya tadi Igjo ambil kunci mobil milik Mama dan juga ya, Ma. Dapat ojekan dari Mas adem itu susahnya minta Tuhan.” curhat Igjo sambil memberikan kunci mobil milik Mamanya. “Hati-hati bawa mobilnya, Ma.”
“Jo, sekalian kamu ke Cafe ya. Ambilin laporan keuangan minggu ini.”
Memutar bola matanya malas. “Iya, Mama. Hati-hati.” dan Igjo sudah ditinggalkan sendiri oleh Mamanya.
Tangan Igjo dengan malas membuka aplikasi ojek onlinenya. Memesan ojek mobil di siang Surabaya yang panas. Menunggu sekitar dua menit, sebuah Mobil Ertiga yang menerima pesanan Igjo berhenti.
Kaca mobil penumpang turun terbuka yang berhasil membuat Igjo menutup mulutnya tidak percaya. “Mas Ale?”
“Siang, Ce Ignacia.”
Mengambil duduk di depan, Igjo langsung meralat panggilan dari Ale. “Ignacia aja, Mas. Atau Igjo.”
“Jangan panggil Mas juga. Kayaknya kita seumuran.”
“Mas keberatan saya panggil Mas?”
“Nggak, kok.”
“Ya, sudah. Saya panggil Mas Ale pakai Mas. Tapi, Mas Ale panggil saya Igjo atau Ignacia aja.” Igjo memberikan kesimpulan sendiri dan Ale hanya mengangguk.
“Ignacia, saya boleh tanya.”
“Boleh. Apa?”
“Kamu benar langgananku?” tanya Ale yang sukses membuat Igjo menelan salivanya kasar. “Aku yakin kamu bukan langgananku.”
Dan tawa sumbang seketika keluar dari Igjo. “Hahaha. Langganan kok, Mas. Mas lupa aja. Mungkin.” dan setelah kata mungkin dari Igjo cuma bisa nyengir. Duh, Jo. Tamat sudah riwayat rasa sukamu. Bentar lagi si Mas adem bakalan bisa ngendus bohongmu.
“Oh, iya. Mungkin saya lupa.” Ale menyahuti perkataan Igjo dengan tenang. Tidak menuntut perempuan di sebelahnya walaupun dia tahu kalau perempuan itu sedang berbohong. Sebagai seorang lulusan psikologi, Ale tahu betul bahasa tubuh orang sedang berbohong. Entah, Ale tidak tahu kenapa perempuan itu berbohong. Dan demi kenyamanan perempuan itu Ale tidak memikirkan terlalu jauh.
“Mas Ale mau ada acara, ya?”
Tanpa melihat perempuan disebelahnya, Ale menjawab. “Iya. Di TP, jadi sekalian ambil penumpang.”
“Oh. Acara kencan, ya?” tanya Igjo spontan yang sukses diruntuki perempuan keturunan chinese itu. Bodoh! Kalo si Mas adem jawab iya, lo sanggup hati lo berdarah-darah? Kagak, kan?
“Nggak. Kumpul sama teman dulu kuliah aja. Sudah lama nggak ikut kumpul.”
Temannya ada ceweknya nggak, Mas? tanya Igjo dalam hati. Nyatanya, raut wajah Igjo cuma pasang wajah oh doang.
“Oh, ya. Adik saya cerita kalau dia pernah ketemu sama kamu.”
“Eh?” Igjo menjawab cepat dengan sebelah alis terangkat.
“Kata adik saya ketemunya udah lama juga. Waktu itu adik saya lupa bawa uang lebih buat beli buku. Kamu membantu adik saya dan temannya, juga mengantar mereka pulang. Terima kasih atas bantuannya.”
Mata Igjo tampak berpikir kapan dia bertemu dengan adik Ale. “Oh, anak SMA yang beli buku di Gramedia itu, ya?” pekik Igjo keras. “Maaf, Mas. Baru ingat.”
“Nggak apa-apa. Terima kasih sekali lagi.”
“Eh? Udah lama juga, Mas. Nggak usah dipikirin.” dan itu adalah percakapan terakhir Igjo dengan Ale karena setelah itu, selama perjalanan, Ale hanya diam berkonsetrasi membawa mobilnya. Sedangkan, Igjo dia benar-benar nggak tahu mau mulai pembicaraan dari mana.
◆ ◆ ◆
Dalam kesendiriannya berbelanja, Igjo hanya bisa menghela napasnya dengan berat. Menunggu pesanan minumannya, Igjo hanya bisa melihat belanjaannya dan Mamanya dengan nelangsa. Dia berada satu tempat dengan Ale tapi, tidak juga bertemu laki-laki itu lagi. Laki-laki itu hanya mengatakan dia duluan saat Igjo lagi balas pesan Ester. Dan Igjo kehilangan jejaknya. Dia tidak tahu laki-laki itu sedang kumpul di mana. Benar-benar menyedihkan sekali nasibnya.
Mengambil pesanan minumannya, Igjo segera pergi dari tempat itu dan dia langsung mendengus kesal begitu mendapatkan pesan whatsapp dari Mamanya.
Mama
Jo, masih di TP kan?
Beliin Mama Gurin Cincau Station, Americano dibatalin ya
Terus jangan lupa take home makanan dari cafe buat makan malam Mama
Kamu terserah kalau mau makan di luar nanti
Happy sunday, dear. God bless 💋
Dan Igjo harus naik untuk membelikan pesanan Mamanya.
Ale keluar dari tempat makan pizza dengan memikirkan alasan untuk menolak permintaan pulang bersama perempuan di depannya.
“Ale gue nebeng pulang, ya.” perempuan itu sudah mengatakan keinginannya dan ini yang kesepuluh kalinya dan juga belum dijawab oleh Ale.
“Duh, Susi. Masih ngebet sama si Ale. Padahal Ale nggak pernah kasih respon sedari dulu. Sakit hati adik.” canda Horas dengan memasang ekspresi terluka diakhirnya.
Ale hanya tersenyum kecil sebagai respon candaan Horas. Sementara teman-temannya yang lain sudah tertawa mendengarnya. Sesungguhnya Ale sebenarnya tidak enak menolak permintaan pulang bersama dari Susi, karena Ale tahu perempuan itu tidak bisa menjalankan kendaraan jenis mobil bahkan motor. Lagi pula rumah mereka juga searah. Tapi, Ale juga tidak nyaman satu mobil dengan Susi. Pernah Ale menyetujui permintaan perempuan itu, mengantarnya pulang. Tapi, apa yang didapatkan Ale. Perempuan itu bertingkah agresif memeluk lengan Ale selama dia mengemudi yang dengan sukses Ale menghentikan mobilnya dan menyuruh perempuan itu keluar dari mobil. Dan Ale kapok akan hal itu.
“Ignacia.” dan Ale meruntuki panggilannya begitu melihat sosok penumpangnya tadi baru saja keluar dari lift. Kenapa dia malah memanggil nama perempuan itu disaat pikirannya masih rumit memikirkan cara menghindar dari Susi?
“Mas Ale?” balas Igjo mengerjabkan matanya seakan sosok Ale di depannya tidaklah nyata.
“Ke mana?”
“Mau beli Gurin buat Mama.”
“Ya, sudah. Ayo.” dan setelah ini Ale benar-benar harus meminta maaf pada perempuan itu karena memanfaatkan perkenalan mereka yang baru beberapa jam saja. “Aku duluan semuanya.” pamit Ale pergi berjalan bersama Igjo yang memberikan arti menolak permintaan Susi.
“Ale udah move on?” Horas bertanya lebih untuk dirinya sendiri.
“Kayaknya deh, Bang.” jawab Husna yang langsung dibalas dengusan kesal Susi. “Kenapa Sus? Cemburu, ya?”
“Nggak. Ngapain coba cemburu sama perempuan yang menang putih doang.”
“Cantik kali, Sus. Gue akuin kali ini Ale pinter mutusin move on dari Hikmah si cinta bertepuk sebelah tangannya ke perempuan itu. Beh, kayak Seulgi RV. Gue juga mau.” kelakar Horas.
◆ ◆ ◆
“Maaf, ya. Saya sudah manfaatin kamu.” sesal Ale di saat mereka antri minuman pesanan Veronica.
Tidak menjawab pernyataan Ale, Igjo hanya menyodorkan kantong plastik berisi brand minuman yang sama dengan yang diminumnya, tetapi berbeda jenisnya. “Buat Mas aja. Nggak usah diambil pusing kali Mas yang tadi. Memang siapa yang Mas hindari tadi?” Igjo bertanya pada Ale lalu kemudian dia bertanya lagi. “Mas mau Gurin?”
“Nggak. Terima kasih.”
“Oke.” dan Igjo mengabaikan Ale yang hendak menolak minuman darinya dengan berbicara pada pegawai, memesan pesanan Mamanya. “Mbak Gurin dua.”
Setelah selesai dengan pesanannya, Igjo melihat Ale yang belum meminum minuman pemberiannya. “Diminum kali Mas sebelum dingin. Tadi, Mama pesan Americano. Udah aku pesanin dan Mama maunya Gurin.”
“Tapi, ini aku ganti.”
“Ganti anterin aku pulang aja, Mas. Aku nggak bawa mobil. Gimana?”
Ale seketika mengangguk mengiyakan permintaan Igjo. Sama seperti ketika mereka makan di Bandar Djakarta, sekarang juga tidak ada dalam kepala Ale perintah kuat untuk menolak permintaan Igjo seperti yang terjadi pada perempuan-perempuan lainnya. “Langsung pulang?”
“Iya. Tapi, mampir dulu di cafenya Mama. Ada titah dari Mama.”
◆ ◆ ◆
“Harti, take home Seafood Rica-rica sama Ayam Betutu ya.” Igjo mengatakan pesanannya pada salah satu pegawai JW cafe & resto. “Mas mau take home juga, nggak? Buat di rumah.”
“Nggak usah. Terima kasih.”
“Harti, take home Takoyaki sama Banana Choco Chip Waffle.” setelah mengatakan hal itu Igjo beralih menatap Ale dengan senyum. “Itu salah satu snack yang recomend di sini. Sebenarnya sih favoritku, Mas. Jangan ditolak ya, Mas. Bukan buat, Mas. Ini sebagai usah promosi aja. Hehe.” alasan Igjo memang terlalu banyak di dalam otaknya.
Anggukkan menurut hanya bisa diberikan oleh Ale saja. Laki-laki itu baru saja tersadar begitu melihat jam cafe sudah menunjukkan jam tiga sore lebih. Sudah waktunya untuk sholat ashar. Jika memutuskan sholat di rumah, Ale takut tidak akan sempat. Dia harus mengantar Igjo dan belum lagi harus terjebak macetnya minggu sore Surabaya. Dan Ale memutuskan untuk mencari masjid terdekat setelah selesai mengantarkan Igjo pulang nanti.
“Mas Ale kenapa? Kayak ada yang mengganggu, Mas?”
“Itu, sebenarnya saya mau...” Ale belum mengatakan maksudnya tapi ternyata perempuan di depannya bisa menangkap maksudnya dengan lebih cepat.
“Mas Ale mau sholat? Udah jamnya, ya?” Igjo yang melihat gelagat laki-laki di sebelahnya melihat jam lalu berikutnya berpikir dan kemudian melihat jam lagi seketika mengambil kesimpulan bahwa laki-laki itu sedang memikirkan waktu ibadahnya. “Di sini ada tempat Sholat kok, Mas. Buat karyawan yang mau melaksanakan ibadahnya. Fikar, tolong antar Mas Ale ke tempat Sholat kalian ya.”
Merasa terpanggil, pegawai bernama Fikar mengangguk dan mempersilahkan Ale untuk mengikutinya.
“Terima kasih, Ignacia.” ujar Ale tulus entah yang keberapa kalinya dalam hari ini pada Igjo
-.T. B. C.-

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
