
Mita, terapis introvert dan awkward, harus menemani Kirana menjalani hari-harinya sebagai trainee di BME (Byeolmadang Entertaintment). Tugas Mita bertambah rumit ketika Dong Ju, manajer muda BME yang tegas dan kharismatik, meminta Mita membantu mengatasi masalah salah satu idol cowok mereka - Baizan Jiho.
1.Byeolmadang Entertaintment

Dong Ju telah menanti di sana.
Dengan mata tajam dan sikap dingin seorang manajer muda yang siap memerintah. Tak mudah mentolerir kesalahan, tak menerima pembangkangan, tak suka keringanan.
Mita merasakan badannya panas dingin, ketika sosok di hadapannya melirik arloji.
“Lima menit, Mita,” tandasnya tajam. “Kau terlambat lima menit.”
Bagaimana ia menjelaskan bahwa stasiun Hongdae sangat padat dan kakinya kram sembari berlari-lari? Haruskah ia menjelaskan bahwa sedari pagi ia harus berkejaran dengan waktu mengurusi semua hal sendirian, termasuk menyediakan segala hal keperluan Kirana, artis muda yang harus diasuhnya? Itaewon juga sangat sibuk di jam-jam kerja. Dong Ju mengajaknya bertemu di Itaewon karena ia harus mengurus beberapa visa artis asuhannya.
“Aku terapis, Dong Ju!” teriak Mita, tentu dalam hati. “Tapi aku harus mengawal dan mengurus Kirana agar dia tak jatuh sakit lagi!”
Dong Ju tak menatap Mita, mengalihkan pandangan ke arah kopinya sendiri.
“Joisonghamnida,” Mita membungkuk, meminta maaf dengan bahasa paling sopan.
“Duduk,” Dong Ju memerintahkan.
Mita menurut. Begitu canggung hingga hampir tersandung kakinya sendiri! Café kecil di area Itaewon yang berdekatan dengan pembuatan visa turis, memang selalu ramai. Bahasa multietnis membuat pendatang seperti Mita merasa lebih nyaman. Selentingan ucapan dalam bahasa Inggris, Perancis, Jepang, Melayu dan tentu Korea terdengar. Membuat Mita tak merasa sedang di negeri orang.
“Kamu capek?” tanya Dong Ju.
Mata Mita terbelalak.
Segelas kopi disodorkan, membuat Mita tersanjung oleh perhatian. Begitu disesap, terbatuk. Shhhhffft, muka Mita merah padam. Dong Ju tersenyum meremehkan. Bagi Mita, kopi itu benar-benar sebuah peringatan keras. Pahitnya!
Dong Ju mengeluarkan serbuk gula dari saku, memberikan pada Mita. Menyuruhkan segera bangkit padahal belum beberapa menit duduk.
“Aduk saja di jalan,” ujar Dong Ju. “Habiskan cepat atau simpan di tas. Kita berangkat sekarang.”
Mita tersedak. Memanggul ransel, mengantongi gula, menggenggam gelas kopi. Sangat estetik persis adegan di film-film. Tapi adegan itu terlalu bombastis di tengah terik cuaca musim panas Seoul. Tubuhnya berkeringat, bedaknya entah sudah larut dan jilbabnya lepek tak karuan.
“Kita naik…,” suara Mita tercekat.
“Kenapa?”
“Kamu nggak bawa kendaraan sendiri?” tanya Mita bodoh.
“Kamu pikir kami agensi besar?” bentak Dong Ju. “Kita naik angkutan umum! Siapkan kartumu!”
Langkah kecil Mita tertatih di belakang Dong Ju. Lelaki muda itu segera mengenakan wireless earphone, terlihat mendengarkan lagu sembari memberikan isyarat pada Mita untuk tak lepas dari dirinya.
Sembari menyimpan kopi di kantung ransel samping, Mita memeluk tasnya di depan. Kebiasaan dirinya saat naik angkutan umum agar tak rawan dicopet, walau hal itu sangat jarang ditemukan di Korea. Kereta subway yang membawa Dong Ju dan Mita dipenuhi penumpang, baik pekerja atau wisatawan. Mereka tak mendapat tempat duduk, dan Mita harus beringsut menyesuakan diri dengan area kosong.
“The next station : Sindang.”
Suara lembut dan jernih mesin pemandu memberi tahu penumpang.
Goncangan pelan kereta saat akan berhenti membuat beberapa penumpang terhuyung. Dong Ju menangkap lengan Mita yang hampir terjerembab, membuat gadis itu merasa jengah.
“Pegangan tiang! Bukan pegangan tasmu!” tandas Dong Ju.
Mita mengangguk samar, menghitung kesalahannya hari itu. Pertama, terlambat. Kedua, salah mengartikan kopi. Ketika, meminta fasilitas mobil. Keempat, berpegangan pada ranselnya sendiri.
“Kita ganti line di Dongmyon,” Dong Ju memberi tahu.
Mereka berganti kereta dan baru bisa mendapat tempat duduk. Bersisian, walau agak berjauhan. Mita mengeluarkan gawainya, mencoba menenangkan diri setelah ketegangan yang beruntun. Barangkali, beberapa musik instrumental akan membuat pikirannya lebih relaks. Di sebelahnya, Dong Ju mengeluarkan sesuatu dari balik tas kecilnya.
Ia membaca buku.
***
Mereka melewati lorong yang dingin dan gelap, usai tiba di Uijeongbu. Penjaja usia paruh baya berjajar, tak banyak kios kosmetik seperti di stasiun Itaewon atau Hongik University atau Hongik Daehakyo yang disingkat Hongdae.
“Kalau banyak lorong kayak gini, aku jadi percaya ada cerita bertema transmigrasi,” gerutu Mita dalam hati. “Masuk ke dunia lain dan tetiba ada di era dinasti Joeson. Kalau biasanya ketemu pangeran, sepertinya aku ketemu naga!”
Mita teringat buku yang belum diselesaikannya, Solo Leveling.
Gadis itu membayangkan punggung Dong Ju dipenuhi duri-duri tanduk besar dan kedua tangannya berubah menjadi sayap bercakar. Keluar dari gerbang bawah tanah Uijeongbu, serasa menghirup dunia segar era millennial.
Dong Ju menghampiri seorang perempuan paruh baya, penjaja jagung berwana pucat. Melihatnya saja tak berselera! Di Indonesia, jagung yang diminati berwarna kuning telur, itupun diolesi mentega dan aroma balado.
“Ah, kau pelangganku yang paling tampan,” sang ahjumma berseru senang, menatap uang won yang berlebih.
Tampan?
Mita tetiba melirik lelaki muda di sampingnya. Wajahnya memerah sendiri.
“Kau bawa calon artis lagi?” ahjumma berkata.
Mita menangkap percakapan dalam bahasa Korea itu setengah-setengah. Dong Ju menjelaskan bahwa gadis yang dibawanya bukan artis walau perempuan paruh baya itu memuji kecantikan Mita yang alamiah.
Dong Ju membungkukkan badan hormat, begitupun Mita untuk menghormati ahjumma. Mita tersenyum ramah ke arahnya, mengucapkan salam dan terima kasih, merasa menemukan ibu sendiri di tengah belantara kota metropolitan.
“Gadis baik!” teriak ahjuma.
Dong Ju tertawa pelan, mengajak Mita berlalu. Ia menyodorkan jagung rebus ke arah gadis itu.
“Aku tak terbiasa makan sambil berjalan,” Mita menolak sopan, tapi tetap menerimanya dan memasukkan ke dalam ransel.
Tas Mita telah dipenuhi bau lotion, bedak, tissue basah, minyak angin aromaterapi, kopi dan sekarang jagung rebus. Semoga Dong Ju tak menyodorkan kimchi ke arahnya!
Dong Ju tak menanggapi penolakan Mita, ia memakan jagungnya dengan santai. Mereka berjalan menelusuri jalan-jalan berkelok, melewati bangunan padat yang rapi, berbagai toko dan kerumunan orang yang lebih ramah dari pusat kota.
Di sudut jalan, sebuah bangunan menjorok masuk, dilengkapi lahan parkir yang cukup luas. Bangunan artistik, berbeda dengan ciri khas bangunan-bangunan lain yang tegas dan kaku.
Mita tertahan sesaat, menahan napas.
Ia sering mendengar tiga label manajemen yang besar di dunia hiburan Korea. Sering juga dibacanya lewat media online betapa banyak agensi kecil yang merangkak naik karena kreatifitas musik dan performa para artis. Sekarang, berdiri di hadapannya sebuah label yang kata Dong Ju, hanya sebuah agensi kecil. Namun bangunan dan tulisan yang terpampang, beserta ragam simbol yang muncul di depan bangunan menunjukkan ciri khas yang artistik dan jauh dari simbol kaku dunia hiburan yang kejam.
“Kenapa?’ Dong Ju bertanya.
“Byeol-ma-dang,” Mita menggumam.
“Kau bisa baca hangeul?”
“Sedikit-sedikit,” Mita mengaku. “Ini …indah sekali.”
“Terima kasih,” Dong Ju mengangguk, tersenyum sesaat. Ia terlihat lebih mengesankan ketika ramah.
“Starfield,” gumam Mita, masih terpesona.
“Manajer utama kami ingin bertemu denganmu,” ujar Dong Ju. “Ia baik hati, tapi kau tahu sendiri. Orang Korea tak suka membuang waktu.”
Secara singkat Dong Ju berkata, bahwa mereka memilih Uijeongbu karena tempat itu tak semahal wilayah psuat kota Seoul yang lain.
***
Manajer Kang, seorang lelaki berotot yang mengingatkan Mita pada aktor Ma Dong Seok. Berbeda dengan otot-otot yang menyembul dari balik jasnya, sorot matanya lembut dan suaranya tenang. Ruang kerjanya bernuansa hitam namun jauh dari kesan dark. Bintang terang tampak terlukis di salah satu sudut dinding. Sang manajer menyebutnya sebagai : Polaris.
“Mita,” pak Kang menyebut namanya, “Dong Ju banyak bercerita tentangmu.”
Dong Ju tersenyum, sedikit mengangguk.
Mita tertegun.
“Dong Ju adalah manajer muda kami,” jelas pak Kang dengan bahasa Inggris yang sama fasihnya dengan Dong Ju. “Dia mengurusi talenta artis berikut semua bentuk promosi dan segala hal terkait BME.”
“BME is Byeolmadang Entertainment?” Mita menyela.
“Tepat. Kuharap kamu suka dengan konsep kami,” jelas pak Kang.
Mita terdiam, tak tahu harus berkata apa.
Ia menyukai bangunan BME, mengagumi area parkir hingga lobi dan ruang-ruang latihan yang sangat bercirikan anak muda. Di sepanjang dinding terpampang nasihat-nasihat dan quote dari para tokoh terkenal Korea Selatan. Warna utama BME adalah nuansa pastel dengan garis hitam yang tegas, seolah ciri khas muda harus ditunjang dengan kerja keras dan target jelas.
Tapi, apa yang dilalui Kirana di label manajemen ini, jauh berbeda dengan kesan awal yang ditimbulkan. Bila pak Kang dan Dong Ju terlihat bersahabat, mengapa Kirana harus mengalami stres beras hingga depresi dan harus mengkonsumsi obat? Bahkan Mita jauh-jauh harus terbang dari Jakarta khusus untuk memantaunya! Mendampinginya, malah.
Ketiganya duduk di sofa bernuansa hijau muda.
“Mita,” pak Kang memajukan tubuhnya. “Kamu sukses mendampingi Kirana selama dua pekan ini. Dia artis sangat berbakat.”
Mita mengaitkan jari jemarinya, mencoba menyimak.
“Kami nyaris ketakutan kehilangan Kirana, tapi dia bisa melalui hari-hari suramnya dengan baik. Itu berkat kamu,” puji pak Kang.
“Kirana gadis yang kuat,” Mita memuji, “dia hanya butuh sedikit teman berbagi.”
Pak Kang mengangguk, “Dong Ju pasti sudah menjelaskan padamu bahwa kami agensi kecil. Kami belum mampu memberikan royalty besar pada artis-artis, belum mampu menyewa koreografer andal, belum bisa menyewa musisi untuk merancang lagu.”
Mita menarik napas panjang.
“Tapi kami punya konsep berbeda dari agensi lain,” jelas pak Kang. “Banyak agensi yang semua tidak diperhitungkan, sekarang berada di papan atas. Hybe dan RBW misalnya.”
Mita mengangguk, mengiyakan.
Pak Kang menatap Dong Ju sesaat, lalu melanjutkan.
“Apa Dong Ju sudah menceritakan padamu tentang Jiho?” tanyanya.
Mita tertegun, “Jiho? Baizan Jiho?”
“Belum,” Dong Ju berkata, “saya belum cerita ke Mita. Saya rasa lebih baik kita membahasnya di kantor BME.”
Pak Kang memandang arlojinya, lalu berkata ke arah Dong Ju.
“Ceritakan secara detail terkait Jiho pada Mita,” perintahnya. “Ajak Mita makan siang di sini. Beri Mita informasi yang dibutuhkan jika perlu.”
Makan siang bersama Dong Ju, pikir Mita muram.
Apa tidak ada nasib lain yang lebih baik daripada berada satu meja bersama seekor naga?
***
삼동을 참어온 나는
풀포기처럼 피어난다
I, who have endured winter,
sprout like grass
***

Mita menatap kata motivasi di ruang kerja Dong Ju yang didominasi warna biru muda.
“Bagian mana yang menyebutkan kata winter – musim dingin?” tanya Mita ingin tahu.
Dong Ju menatapnya sekilas, tampak acuh tak acuh.
“Samdong. San-dong,” jelas Dong Ju.
“Setahuku musim dingin adalah 겨울-gyeoul?” gumam Mita, mencoba mengingat kata-kata penting yang dipelajarinya.
“Yoon Dong Ju menuliskan musim dingin bukan dalam bahasa Korea, tapi dalam bahasa Cina,“ jelas Dong Ju. “Samdong berarti tiga musim dingin. Dong Ju adalah nama penyair terkenal di era kemerdekaan kami.”
“Mengapa tiga?” tanya Mita, tak dapat menekan hasrat ingin tahu.
Dong Ju menatapnya lurus.
“Aku akan menjelaskan padamu nanti,” jelas Dong Ju. “Kita fokus pada Jiho.”
Sebuah album tebal disodorkan di meja ruang kerja. Walau gawai telah merajai era millennial, ada pendekatan yang tetap dirasa penting dengan menggunakan sistem manual. Foto-foto menawan terpampang di sana. Anggota girlgroup dan boygroup di bawah asuhan BME.
Stardust dan Nebul4, pikir Mita. Stardust adalah girlgroup dengan Kirana sebagai salah satu anggota, sementara Nebul4 menjadikan Jiho maknae yang menempati kedudukan sebagai vokal dan visual.
“BME sepertinya suka sekali dengan benda-benda langit,” ujar Mita.
“Kami memang ingin jadi seperti Polaris, simbol di ruang pak Kang,” sebut Dong Ju, “bintang terang yang jadi pemandu. Artis yang terbuang, yang gak diperhitungkan, yang dianggap gak berbakat; ingin kami asah agar bisa jadi artis bertalenta.”
“Kalian beranggapan bakat bukan genetik,” tebak Mita, “tapi bisa dilatih.”
“Tepat!”
“Banyak yang bilang, bakat minat adalah keturunan,” jelas Mita. “Teori yang kupelajari bilang begitu.”
“Gak semua benar,” Dong Ju menggeleng. “Korea sudah membuktikannya.”
“Kalau artis bisa dilatih?”
“Ya.”
“Aku memang dengar, banyak idol KPop yang awalnya gak bisa nyanyi dan nari, setelah berlatih bisa mencapai itu semua.”
“Exactly!”
“Berarti, orang yang gak punya bakat minat, bisa mencapai apa yang diraih oleh orang yang bertalenta?”
“Sure!”
“Berapa lama?”
Dong Ju menatap Mita, menarik napas.
“Maksudmu?” Dong Ju bertanya.
“Berapa lama seorang artis yang gak punya bakat, dilatih untuk bisa menguasai keahlian tertentu?”
“Tergantung,” ucap Dong Ju.
“Target BME?”
“Dua sampai tiga tahun,” tegas Dong Ju.
Mita membelalakkan mata, “tiga tahun? Mustahil!”
“Kami punya metode sendiri, Mita!” Dong Ju berkata singkat.
“Itu bukan mengasah skill,” Mita berpendapat, “tapi pembunuhan karakter.”
Pintu ruang kerja Dong Ju diketuk. Seorang pegawai membawakan makan siang. Demi melihat menu yang dihidangkan, Mita menolak.
“Aku gak makan daging,” gumam Mita.
“Kau vegan?”
“Gak juga.”
“Ada kios halal di ujung Uijeongbu,” ujar Dong Ju tenang, “pegawaiku pesan makanan di situ. Kau pikir, kami si Pembunuh Karakter ini, sangat kejam hingga gak tahu batasan yang dijaga oleh Kirana dan orang seperti kamu?”
Mita tertegun.
Dong Ju mulai mengunyah makanannya dengan cepat.
Mita mencoba menikmati makanan dan merasakan sangat sulit berkonsentrasi ketika di hadapannya duduk seseorang yang belum terlalu dikenalnya. Makan siang Dong Ju musnah dalam sekejap, sementara Mita harus mengunyah beragam sayuran sebelum mampu melumat daging.
“Apa kau selalu lambat?” tegur Dong Ju.
“Excuse me?”
“Apa kau selalu lambat? Lambat datang, lambat jalan, lambat merespon, lambat makan?”
Mita merasa sebal mendengarnya.
“Ini namanya mindfulness,” ucapnya sekenanya, mencoba terlihat keren dan canggih. “Orang Jepang menyebutnya Wabi Sabi. Bersikap tenang dan perlahan di dunia yang serba cepat. Supaya nggak stress dengan kerjaan dan kehidupan kita.”
Dong Ju terdiam.
“Aku mencoba menikmati makananku,” jelas Mita, merasa bersalah telah menyudutkan Dong Ju tanpa sengaja. “Lagian, masakan Korea terkenal enak. Kenapa harus cepat-cepat?”
Dong Ju menanti Mita menghabiskan makanan. Ia duduk di sudut kemudian, mengerjakan hal yang disukainya : membaca buku.
Ketika Mita sudah selesai dengan urusannya, Dong Ju kembali duduk di depannya.
“Jiho,” ucapnya mengulang, “tampaknya sedang bermasalah. Pak Kang ingin kau menanganinya.”
Mita tertegun, meraih album di meja. Membuka-bukanya, mengamati seksama. Menatap foto-foto Jiho yang lucu dan mempesona.
Rahangnya yang melengkung halus, hidungnya yang runcing, matanya yang hitam dan lebar. Rambut tebal hitamnya yang sedikit ikal, senyumnya yang mampu membuat kaum hawa patah hati dengan cepat.
“Kenapa harus aku?” Mita bertanya hati-hati.
“Kamu kayaknya punya intuisi alami mendekati Kirana.”
“Ia klien biro kami sejak lama,” tegas Mita.
“Tapi kau punya keahlian itu,” ujar Dong Ju teguh. “Kau mungkin bisa mendekati Jiho.”
“Kenapa harus aku?” Mita mengulang, menahan napas. Wajah Kirana dan Jiho menari-nari di benak.
Dong Ju menarik napas panjang.
“Jiho sama seperti Kirana,” ujar Dong Ju pada akhirnya. “Mereka punya banyak kemiripan.”
Mita menggeleng-gelengkan kepala tanpa sadar.
“Pikirkan dulu,” bujuk Dong Ju.
Mita mengatupkan kedua belah tangan di depan wajah, tampak berpikir dan ragu-ragu.
“Kami agensi kecil, Mita,” Dong Ju terdengar memohon, “memang nggak bisa menggajimu dengan layak. Tapi mungkin bisa menyediakan apartemen khusus untukmu dan Kirana yang dekat dengan Jiho.”
Tanpa sadar, Mita membelalakkan mata.
“Sepanjang kau menjaga Kirana, kalian tinggal di apartemen kecil di wilayah Yeonhui, kan?” Dong Ju berkata.
Helaan napas terdengar.
“Aku tinggal di sana atas rekomendasi pekerja Indonesia,” Mita berkilah.
“Pak Kang memberimu fasilitas,” Dong Ju berkata. “Bagaimana?”
Mita mengetuk-ngetukkan jemari. Terlihat berpikir. Menimbang-nimbang. Menebak-nebak. Tanpa menjawab ya atau tidak, Mita tetapi justru membuka ransel, mengeluarkan kertas kosong dan pensil. Gadis itu menyodorkan ke depan Dong Ju.
“Apa ini?”
“Aku memintamu menggambar,” ujar Mita.
Dong Ju menatapnya penuh selidik, “Kamu mau ngetes aku?”
“Ya.”
Ia menatap Mita dingin, “Aku memintamu untuk membantu Jiho, bukan aku.”
“Semua perlu kutelusuri dari orang-orang terdekat Jiho,” Mita berkata.
Dong Ju menatapnya tajam. Ia bangkit berdiri.
“Kuantar kau menemui Jiho,” katanya menutup perbincangan. “Kamu kami undang untuk mengurus Jiho, bukan mengurusku.”
Mita menghela napas. Sesungguhnya, tak bermaksud meminta Dong Ju menjalani beberapa tes. Hanya ingin melihat reaksi secara nyata dari orang-orang di lingkaran dalam BME. Reaksi cepat Dong Ju memberikan gambaran singkat. Mita mulai dapat meraba mengapa Kirana dan Jiho mengalami masalah psikis.
***
2. Maniac Kirana

“Aku bikin lagu yang keren banget!” teriak Kirana.
Mita terdiam, mengerutkan kening.
“Lirik bagus banget, melodinya dapet!” seru Kirana.
“Tentang apa, Na?” tanya Mita, memusatkan perhatian.
“Fall in love. Have a crush on someone.”
“Wah, manis tuh!”
“Ya! Aku ngerasa ini bakalan trending di IG, tiktok, youtube, spotify, cloud!”
“Kamu kayaknya hepi banget, ya.”
“Iya, dong! In ikan hasil kontemplasi berhari-hari! Berminggu malah.”
“Boleh aku dengar?”
“Sure!”
Na-na-na
Na-na-na-na-na-na-na
Du-du-du-du-duuu-du-du
Du-du-du-du-duuu-du-du
Kirana mengambil gitar, mengawali memainkan kunci G.
Major one, minor two, minor three.
Mita mendengarkan seksama, terkagum-kagum mendengar suara dan lagu baru yang dimainkan Kirana. Gadis di depannya memang memiliki kecerdasan di atas rata-rata, bakat dan minat musiknya seiring sejalan. Hanya saja, kepribadiannya yang rapuh membuatnya sulit berkreasi dengan baik.
Kamukah itu
Kamukah itu dalam mimpiku
Harapan yang kembali bersinar
Setelah hari lalu yang pudar
…
“So sweet!” Mita bertepuk tangan.
“Bagus gak?”
“Bagus banget!”
“Bagian apanya yang harus dikoreksi?”
“Ha?”
“Pasti ada yang jelek dari lagu ini.”
“Well, aku hanya penikmat. Sama sekali gak ngerti bikin lagu, Na,” Mita berkata jujur. “Honestly, lagumu itu manis bangettttt. Aku sampai ingat masa-masa jatuh cinta sama kakak kelas di SMP dulu!”
“Mbak,” ujar Kirana, “lagu ini bakalan laris gak? Bakalan disukai banyak orang gak?”
Mita bersedekap, menopang dagu dengan jemari.
“Kalau aku sih yakin bakalan laris,” Kirana berucap lantang. “Belum ada yang bikin lagu kayak gini. Liriknya puitis abis. Aku baca puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, baca Edgar Allan Poe, Emily Dickinson. and of course Shakespear. Aku pilih kata-katanya, aku cocokkan dengan melodi. Na-na-na…”
Mita menahan napas, merasakan sesuatu yang salah.
“Lagu ini memang tentang cinta yang gak sampai. Tadinya aku pikir, suara penyanyi Indonesia macam Lyodra dan Isyana cocok, tapi enggak ah. Mungkin harus yang Celtic macam Aurora. Soalnya lagu ini khas banget.”
Mita mencoba tersenyum.
“Tapi setelah kupikir-pikir, ya…cuma aku yang bisa nyanyiin lagu ini. Gak ada yang punya vokal cocok dengan lagu ini sekali aku.”
Kirana bersenandung, mengikuti musik ciptaannya sembari merancang lirik yang cocok untuk dimasukkan ke dalam melodi. Setelah semua dirasa memuaskan, ia merekamnya dan mendengarkan berulang-ulang.
“Lagu ini cocok buat Blossom,” ujar Kirana yakin. “Aku akan minta Micha untuk segera melatih kami semua.”
Micha adalah leader Blossom dan seketika Mita merasa dunia terbolak balik. Bukankah tadi Kirana mengatakan akan menyanyikannya sendiri?
Malam telah larut.
Musim panas dengan hari yang panjang dan melelahkan membuat tubuh remuk redam. Walau matahari esok baru benar-benar menampakkan diri di jam tujuh atau delapan, tidur menjelang tengah malam terasa menguras energi. Kirana tampaknya memiliki banyak tenaga ekstra yang menunjukkan kemampuan terjaganya akan bertahan lama. Tanda-tanda tak baik, pikir Mita. Apakah Kirana sedang maniac?
“Aku akan mengontak Aiko dan Yeongmi, mereka sekamar. Kalau sudah, aku akan segera mengontak Holli dan Micha supaya lagu ini bisa segera direalisasikan,” Kirana berkata sembari meraih gawainya.
“Nana,” tegur Mita lembut, “teman-temanmu sudah tidur.”
“Mereka masih sering online, kok. Kadang malah masing nge-game bareng.”
“Coba dicek dulu,” Mita mencoba menahan. “Jangan langsung main telpon.”
Kirana menatap Mita tak suka.
“Kamu kenapa sih, Mbak Mita? Aku tuh kalau ngerjain sesuatu pinginnya semua segera beres!”
“Wah, bagus tuh,” Mita mencoba mencari akal dengan benaknya yang sudah terlalu berat untuk berpikir.
Kirana memencet tombol, mencoba menelepon. Mengomel kemudian.
“Mereka masih online, kenapa gak angkat sih?”
Mita mengamati seksama. Berharap perubahan mood Kirana tidak akan drastis jelang tengah malam. Perlahan ia bangkit dari duduk, mencoba membuat minuman hangat yang akan meredam situasi.
Micha, Holli, Aiko dan Yeongmi tampaknya tak bereaksi. Bagi Mita, gawai dalam kondisi online belum tentu pemiliknya masih membuka mata. Tapi Kirana tak menerima alasan apapun ketika ia sudah meyakini pendapatnya secara mutlak.
“Oke, baiklah,” gumam Kirana. “Kayaknya aku perlu nelpon Jiho atau oppa Dong Ju.”
Mita terkesiap.
Mencoba menenangkan. Satu yang terlalu terburu-buru disampaikan Mita adalah ucapan berikut.
“Obatmu sudah diminum, Na?”
Kirana meradang, “Aku gak sakit, Mbak!”
Gadis itu mondar mandir ke sana ke mari, jalan ke kanan ke kiri. Maju mundur, menjelajahi areal kamar kecil mereka yang dalam beberapa langkah sudah mencapai dinding satu dengan dinding yang lainnya.
“Oppa Dong Ju gak merespon,” geram Kirana.
Mita menarik napas pelan, sedikit lega.
“Jiho juga gak jawab!” teriak Kirana kesal.
Terdengar benda jatuh dibanting.
“Apa laguku jelek, makanya gak ada yang ngangkat telepon?” Kirana duduk di tepian tempat tidur.
Kecerdasan Kirana tak lagi tampak bila moodnya telah berubah sedemikian cepat. Logika berpikirnya tak lagi sesuai, padahal belum satupun anggota BME yang mendengar lagunya. Satu-satunya yang sudah mendengar lagunya adalah Mita.
“Kayaknya aku gak berbakat sama sekali buat jadi musisi,” Kirana meremas rambutnya, jatuh terduduk di lantai dengan lapisan karpet tipis.
Mita mendekatinya, duduk di sampingnya. Menyodorkan segelas teh hangat.
“Mau kubantu mengontak teman-temanmu?” Mita menawarkan.
“Percuma! Mereka gak peduli sama aku!”
“Tempo hari aku ketemu Dong Ju,” jelas Mita. “Udah kuceritakan kan?”
“Dong Ju bukan orang baik,” celetuk Kirana. “Dia jahat dan ambisius.”
“Oh, menurutmu begitu?” Mita mengangguk. “Aku belum lama ketemu dia sih.”
“Banyak trainee dari Indonesia sekarang,“ Kirana mengaku. “Mereka berduit banyak! Chaebol versi Nusantara. Kalau mama, gak akan bisa banyak bayarin olah vokal dan ngedance di Bigdream Dance.”
Bigdream Dance adalah sekolah tari yang sangat terkenal, diasuh oleh para koreografer ternama yang merancang gerakan-gerakan lincah para penari latar maupun gerakan tari boyband dan girlband. Mita tahu, mama Kirana menghabiskan uang lumayan banyak untuk memasukkan Kirana ke Bigdream Dance maupun sekolah vokal baik yang diselenggarakan oleh BME maupun oleh label manajemen ternama lainnya.
“He, kamu mau ke mana?” Mita terhenyak, melihat Kirana tetiba bangkit, mengambil kartu gesek.
“Nyari kopi! Bosen di sini!”
“Ini udah mau tengah malam, Na!”
“Ada café ekspatriat dekat sini. Buka sampai lewat dini hari.”
“Aku ikut!”
“Nggak usah!”
Walau dilarang, Mita tetap memaksa menguntit gadis itu dari belakang. Setelah puncak maniac yang ditandai dengan energi besar dan letupan emosi psoitif berapi-api, Kirana bisa berubah demikian drastis. Merasa tak berguna, tak punya harga, dan lebih pantas mati cepat
***
Dong Ju ternyata menantinya di stasiun Uijeongbu, membuat Mita terheran-heran.
“Aku khawatir kamu tersesat,” ujarnya, “gak semua cepat familiar dengan stasiun ini berserta lorong-lorongnya.”
“Thanks,” ucap Mita.
“Kita ke apartemen Jiho,” Dong Ju berkata. “Dia gak ke luar kamar beberapa hari.”
“Ada teman sekamarnya?”
“Haruma, tapi dia gabung dengan anak lain sekarang.”
“Kenapa?”
“Jiho sulit bersosialisasi.”
“Di IG BME, Jiho dan Haruma sangat akrab kayak kakak adik.”
Dong Ju menarik napas, “Itu image yang harus kami jaga. Apa kamu begitu naif, nyangka kalau semua anggota boyband dan girlband itu gak punya konflik sama sekali?”
Mita terdiam.
Mereka tiba di lorong menuju area luar Uijeongbu yang mengarah ke jalan utama menuju BME. Ahjumma penjual jagung itu ada di sana. Mita tersenyum ke arahnya, membeli jagung putih hangat. Selain melebihkan uang seperti yang biasa Dong Ju berikan, ia memberikan satu bungkusan.
“Apa ini?” tanya ahjumma.
“Hadiah untuk Ahjumma,” kata Mita sembari membungkukkan badan.
“Gomawo,” kata perempuan paruh baya itu berkaca-kaca.
Mita harus membungkukkan badan berkali-kali, demi meyakinkan bahwa hal yang dilakukannya bukanlah perkara besar. Hanya memberikan hadiah kecil, dompet batik yang biasa ia bawa ke mana-mana sebagai bingkisan bagi teman atau klien. Hadiah bisa melembutkan hati dan melancarkan hubungan.
Dong Ju menatap Mita seksama untuk sesaat.
“Apartemen cowok terletak dua blok jauhnya dari BME,” Dong Ju memberi tahu. “Aku sudah bilang sama Jiho, kalau kamu mau ketemu.”
Mita mengangguk.
“Tapi katamu, Jiho gak mau ketemuan sama teman-temannya sendiri? Sama Haruma aja nolak?” tanya Mita.
“Dia masih mau dengarkan aku,” Dong Ju berkata.
“Kok bisa?”
“Aku bilang kalau dia gak kooperatif, kontrak bisa dibatalkan.”
Mita menarik napas pendek, menoleh ke arah lelaki muda di sampingnya.
“Kenapa?” tanya Dong Ju.
Mulut Mita terbuka, ingin berkata sesuatu, tapi urung.
Mereka berjalan bersisian, dengan langkah tak terlalu cepat tapi juga tak mengabaikan waktu. Berbincang-bincang singkat tentang berbagai hal menyangkut BME. Banyak hal masih ingin ditanyakan Mita, namun mereka telah tiba di tempat tujuan. Di sebuah apartemen kecil warna merah bata, dilengkapi berbagai kamera CCTV dan penjaga di lobby kecil depan, mereka sampai.
“Jiho akan segera turun,” ucap Dong Ju.
***
Dong Ju memberikan kebebasan penuh bagi Mita untuk bertemu Jiho. Pemuda itu, maknae Nebula4, terlihat lebih kurus dari foto-fotonya di media sosial. Ia bahkan tampak jauh lebih muda dari Kirana. Mungkin, usianya berada setahun atau dua tahun di bawahnya. Mereka duduk berdua di ruang khusus bagi tetamu yang punya kepentingan dengan artis BME.
“Kamu mau ngobrol di mana?” tanya Mita. Sepertinya, kurang nyaman bila harus berbicara agak lama di sana.
BME tampaknya bersiap mengglobal. Para idol mereka cukup lancar berbahasa Inggris selain bahasa lain seperti Jepang dan China.
“Terserah,” Jiho angkat bahu, reaksi yang sangat dikenal Mita sebagai penolakan halus.
“Apa apartemenmu menyediakan kantin?” tanya Mita.
“Tidak.”
Tak mungkin berbincang di kamar Jiho, pikir Mita.
“Apa kita bisa ke café terdekat?” tanya Mita lagi.
“Orang-orang akan mengenaliku,” jawaban Jiho terdengar menolak.
“Han-gang cukup nyaman sebagai tempat berbincang,” ajak Mita, ke sungai besar yang membelah kota Seoul dengan pedestrian menawan di sepanjang sisi.
“Aku capek disuruh foto selfie bareng penggemar,” Jiho terlihat enggan.
“Bagaimana dengan perpustakaan atau teater?” Mita menawarkan.
Jiho terdiam. Tak mengiyakan, tak menolak. Melihat gelagat pemuda di depannya, Mita tak yakin perbincangan akan berjalan lancar. Bagaimana pun, memaksa Jiho berbicara di awal pertemuan juga bukan perkara bijak.
“Aku bawa sesuatu untukmu,” Mita berkata.
Ia mengeluarkan sebuah wadah kotak kedap udara.
Jiho memicingkan mata.
“Aku memasaknya tadi, sebelum berangkat ke sini,” Mita berkata. “Sudah dingin, mungkin perlu kamu panaskan lagi. Tapi dingin pun, tetap gurih kok.”
Walau tak bereaksi, Mita menyodorkan ke dekat Jiho duduk.
“Nasi goreng, salah satu makanan terenak sedunia. Aku buat dari…”
“Aku tahu apa nasi goreng itu,” potong Jiho cepat. “Orangtuaku pernah tinggal di Malaysia beberapa tahun waktu aku kecil. Aku bisa bahasa Melayu sedikit.”
Mita mendengarkan seksama.
Jiho tampak masih membentengi diri dengan permasalahannya. Melihatnya seperti itu, Mita tak ingin mendesak lebih lanjut. Ia justru ingin bercerita sedikit.
“Semoga ceritaku gak mengganggu kamu,” Mita berujar perlahan, masih menebak-nebak pemuda di depannya yang memiliki darah blasteran berbagai suku bangsa dan negara. Membuatnya memiliki kulit bagus dan wajah sangat memikat, dengan kontur wajah yang ingin dimiliki banyak orang di atas muka bumi ini. Sayang sekali, raut wajahnya juga yang membawa cukup banyak masalah selain kesempatan yang tak dimiliki sembarang orang.
Jiho tak menanggapi, duduk bersedekap.
Mita hanya berpikir, ia harus mencoba sampai titik di mana ia tak bisa melangkah lagi.
“Awal aku lulus kuliah dan bekerja, aku harus menebak kepribadian dan apa saja yang menjadi latar belakang mereka secara garis besar,” kenang Mita, sembari tersenyum, seolah menertawakan diri sendiri. “Bodohnya aku, banyak tebakan yang salah.”
Jiho diam.
“Ada orang yang kutebak : kamu pasti ingin didengar orang lain ya,” Mita berkata, “ternyata dia berkata : hei, aku ini orangnya gak suka cerita-cerita! Ada lagi orang yang kusangka sangat jauh dengan orangtuanya. Dia bilang : wah, dari kecil aku ini dimanja banget sama orangtuaku. Yang paling buruk dari semua pengalamanku adalah ketika aku salah menebak emosi orang.”
Jiho bergeming, membiarkan ucapan Mita seolah angin lalu.
“Pernah kubaca hasil tes psikologi, interview, observasi; lalu aku bilang : kamu sedih ya dengan semua yang terjadi?” Mita menarik napas saat mengucapkannya. “Dia justru berteriak : sedih? Akutuh marah banget, tahu!”
Mita menatap mata Jiho yang kali ini tengah memandangnya.
“Aku selalu ingin tahu latar belakang orang-orang, pikiran orang-orang, apa ketakutan terbesar mereka, apa harapan mereka,” gumam Mita. “Sayangnya, di dunia ini gak ada ilmu cenayang yang bisa dipelajari. Aku hanya bisa menebak seseorang dari hasil tes gambarnya. Dari hasil tes berceritanya.”
Mita tersenyum menatap Jiho, walau tak mendapatkan tanggapan.
“Jiho,” Mita menyebut namanya, “aku nggak ingin salah menilaimu. Kalau kamu mengizinkan, aku pingin banget bisa melihat kamu menggambar beberapa obyek.”
Jiho menatap Mita lurus.
“Udah ceritanya?” Jiho bertanya.
Mita mengangguk. Bukan hal baru baginya menerima dampratan dan hinaan dari klien-kliennya yang tak mau buka suara. Reaksi Jiho seolah menganggap ceritanya tak punya makna.
Tenang, Mita bangkit berdiri, memanggul ranselnya.
“Aku mau ketemu seorang professor perempuan di HUFS,” jelas Mita. “Dia pakar study Asia dan sangat mahir beberapa bahasa. aku tertarik pingin ngobrol sama professor itu untuk bahas beberapa negara termasuk negara asalmu. Kalau kamu mau ikut, ayo. Kalau enggak, aku pamit dulu.”
Jiho terdiam.
“Siapa tahu kamu mau keluar sejenak dari duniamu yang sempit ini,” Mita mempersuasi untuk terakhir kali.
Aku gak punya beban apa-apa, pikir Mita ringan.
Jiho bukan tanggung jawabku, benaknya berkata. Dong Ju meminta tolong, aku bersedia menolong sebisaku. Kalau gak berhasil, toh masih banyak terapis dan konselor lain di Seoul yang bisa dihubungi. Yang penting sudah usaha untuk ketemu. Sudah ngajak bicara juga.
Ketika mendaftar sebagai konselor di salah satu biro psikologi, Mita sama sekali tak menyangka, kehidupan rumit para klien akan turut memengaruhi hidupnya. Selama ini, ia dilatih untuk mendengar seksama, memberi kesimpulan dan rekomendasi bila diperlukan. Mengeluarkan invoice atas jasanya perjam. Di kota besar, konselor mendapatkan penghasilan lumayan. Semakin banyak orang membutuhkan teman berbagi, telinga untuk mendengar, hati untuk berempati.
Langkah gadis itu sampai di pintu keluar bangunan berlantai lima milik BME bagi trainee dan para idolnya.
Di belakang, terdengar suara Jiho.
“Kamu naik apa ke HUFS?”
Mita menoleh ke arahnya, “biasa, subway.”
“Aku nggak mungkin naik subway!”
“Aku gak maksa, kok,” ujar Mita.
“Kamu mau aku ikut ke sana? Ketemu profesormu?”
“Kalau kamu mau ikut, kalau gak mau ya gakpapa. Aku cuma mau bilang : ketemu sama pakar budaya Asia itu langka banget. Aku jadi bisa belajar tentang banyak hal, termasuk latar belakang darah leluhurmu.”
Mita melambatkan gerakannya, berharap keajaiban.
“Aku akan minta naik mobil BME,” Jiho berkata. “Aku juga mau ke HUFS.”
Akhirnya!
Tersenyum geli juga, melihat Jiho menyambar kotak nasi goreng dan berkata pada penjaga bahwa ia butuh kendaraan untuk bepergian demi keamanan.
***
3. Bigdreams Dance

1,2,3,4…locking, locking.
5,6,7,8…twirl, twirl, twirl, twirl, twirl.
Kaki, empat puluh lima derajat. Yup! Bukan enampuluh!
Photoshoot, yeah! Like a supermodel. Pose!
Suara penuh semangat instruktur memandu para penari dan penyanyi anggota girlband dan boyband.
***
COEX Building, salah satu gedung ternama tempat label besar yang menaungi industri musik KPop berada. SMTown, dengan logo khas SM Entertaintment di salah satu area gedung tersebut, menyajikan café bergengsi dan jejak tapak tangan para anggota grup. Mirip hall of fame. Tak hanya jejak tapak tangan, foto-foto generasi pertama hingga generasi terkini tersaji. Setiap artis, yang mendambakan mendapatkan posisi puncak, sering mengunjungi area ini untuk mendapatkan aura kesuksesan.
Micha bertepuk tangan, memberikan semangat.
“Jangan melenceng,” ia mengingatkan. “Kita mau latihan dance di sini. Bukan menghabiskan waktu mengagumi wajah member TVXQ dan Suju.”
Instruktur tari mereka, Yeonju, seorang perempuan berusia di atas tigapuluh tahun yang tampak optimal dalam performa. Mengenakan training hitam, sepatu putih dan kaus biru muda; Yeonju terlihat ramah sekaligus disiplin. Wajahnya tidak secantik para visual girlband, namun sedap dipandang.
“Seperti biasa, aku akan ngecek seberapa siap kalian,” Yeonju berkata. “Beberapa gerakan tarian yang kusarankan pekan kemarin, mana yang akan kalian tampilkan? Tiga potongan saja.”
Bigdreams dance, salah satu studio tari terkemuka yang berada di gedung COEX, memang belum seterkenal 1MILLION Dance Studio. Namun, banyak penari latar dan agensi kecil hingga menengah yang meminta bantuan para instruktur di sana untuk melatih para anggota.
Di ruang latihan yang bagai akuarium raksasa berpendingin ultra; Micha memimpin Blossom mengawali latihan dengan melakukan pemanasan. Tubuh-tubuh lentur dan terlatih milik Yeongmi, Aiko, Holli dan Kirana bergerak gesit. Latihan dasar menari dilakukan dengan baik sebelum melangkah ke tahap berikutnya dengan gerakan slow pace, yang meningkat ke arah fast pace.
Yeonju memandang ke arah sang pemimpin, meminta jawaban.
“Sunmi – Gashina, Taemin – Move dan Itzy – Dalla-dalla,” jelas Micha.
“Kenapa milih itu?” Yeonju beralih ke arah anggota grup yang lain.
“Gashina sangat unik di gerakan kepala. Move ekspresif dan indah. Itzy dinamis dan kompak,” Holli angkat suara.
Yeonju mengangguk setuju, memerintahkan Blossom membuat formasi sesuai contoh yang dipilih. Ia mengamati anak didiknya bergerak luwes dengan latar belakang musik yang telah disebutkan.
“Mengcover dance adalah salah satu cara kalian melatih gerakan. Walau terlihat masih kaku dan kurang menjiwai, over all udah lumayan keren,” Yeonju memuji.
Anggota Blossom saling melirik dan tersenyum.
“Tuan Kang dan Dong Ju memberiku beberapa aransemen lagu,” Yeonju berkata. “Aku sudah merancang potongan gerakan.”
Micha dan semuanya berbaris rapi memperhatikan.
“Seperti biasa; ketukan 1-2-3-4-5-6-7-8,” Yeonju menjelaskan. “Masing-masing dibagi ke dalam delapan potongan, lalu enambelas potonga. Paham?”
“Paham!” seru Blossom.
“Berlatih slow pace terlebih dahulu, lalu fast pace kemudian.”
Yeonju memberikan beberapa arahan yang penting.
“Aiko, jangan tegang. Locking, perhatikan!”
“Kirana, dagumu kurang naik ke atas. Walau dagu bagian wajah, kalau salah meletakkannya, berpengaruh ke gerakan seluruh tubuh ke bawah. Banyak latihan waacking!”
“Perhatikan ketukan, Holli.”
“Yeongmi! Konsentrasi. Urutan gerakan harus benar.”
Satu-satunya yang minim kritikan adalah Micha. Ia memang sangat berbakat sebagai pemimpin. Selain mahir menari, Micha memang pemegang ban coklat taekwondo. Tak heran kakinya kuat dan lentur, ia juga tampak seperti penari yang kokoh memainkan peran apapun.
Berkeringat.
Terkilir.
Terjatuh.
Lelah.
Lapar.
Semua telah dialami dan memang harus dijalani.
Ketika siang itu waktu istirahat tiba, Yeonju ingin bertatap muka empat mata saja dengan Micha.
***
“Kamu sudah ngecek kesehatan teman-temanmu?” tanya Yeonju.
Micha mengangguk, mengiyakan.
“Kirana?” Yeonju ingin tahu.
“Kesehatannya prima, Miss,” Micha menjelaskan.
“Aku nggak bisa dibohongi,” Yeonju berkata. “Sepertinya dia naik dua kilo.”
Micha membelalakkan mata. Mereka rutin mengecek berat badan. Tubuh proporsional Kirana tak menyiratkan penumpukan lemak.
“Coba kamu cek lagi. Suruh dia menstabilkan berat badannya,” Yeonju memberikan perintah. “Aku harus melatih tim lain. Kamu dan teman-temanmu hafalkan dulu contoh gerakan yang kuajarkan untuk lagu baru kalian – Blossom Time.”
Micha menarik napas panjang. Apa yang dikatakan Yeonju, bukannya tak beralasan. Ia tahu betul, Kirana memang tampaknya lebih chubby, tapi itu bukan salahnya. Gadis itu sedang mengkonsumsi obat-obat anti depresan dan anti psikotik.
“Miss Park!” Micha memanggil Yeonju.
“Ya?”
“Apa…,” Micha ragu sejenak, “…apa kami bisa lebih memperbanyak gerakan tutting untuk lagu-lagu kami?”
Yeonju menatapnya heran.
“Micha,” tegurnya, ”jenis lagu kalian gak seperti Naughty milik Irene dan Seulgi. Lagu kalian butuh lebih banyak popping, waacking, dan locking. Susah banget kalau berat badan kalian gak stabil.”
Tutting adalah gerakan yang lebih banyak menekankan pada gerakan jemari, mirip penari tradisional di Indonesia pada umumnya. Sekilas memang dianggap tak perlu menggerakkan bagian tubuh pusat dan bawah; tapi semua gerakan tari membutuhkan stamina prima.
Melihat wajah muram Micha, Yeonju mendekatinya.
“Hei, jangan membebani dirimu,” nasihat Yeonju. “Kamu leader mereka, yang harus membuat timmu sukses. Jangan fokus pada satu orang. Kalau yang satu gak bisa berkembang, siapkan pengganti yang lain.”
Micha terkesiap.
“Apa pak Kang sudah memberitahumu kalau ada beberapa kandidat potensial dari Indonesia?”
Yeonju meninggalkan Micha, tak berkata lebih lanjut. Apa Kirana mau diganti? pikir Micha resah. Mereka sudah cukup kompak
Kembali pada Blossom, teman-teman menunggunya.
“Yeonju bilang apa?” tanya Holli.
“Kita harus banyak latihan,” Micha berkata.
“Ayo kita hafalkan urutan gerakannya,” Kirana berkata semangat.
Micha mengangguk.
Mereka berlatih keras selama dua jam ke depan. Walau perut sangat lapar, air minum adalah sahabat terbaik. Ketika waktu makan siang tiba, mencium aroma makanan adalah surga tersendiri. Makanan para anggota Blossom telah diupayakan sesehat mungkin, dengan aturan yang tidak melebihi beberapa ratus kalori. Semua menyantap dengan lahap, tak tersisa seiris kecil sayuran pun.
“Kamu masih tinggal di Yeonhui?” tanya Micha pada Kirana.
“Hm, ya,” Kirana mengangguk.
“Kapan kamu balik ke apartemen?”
Yang dimaksud Micha adalah apartemen untuk para girlband yang disediakan BME.
“Secepatnya,” kata Kirana. “Hanya untuk sementara waktu. Kenapa?”
Micha terdiam.
“He, aku gak pernah terlambat datang latihan,” Kirana menegaskan.
“Aku tahu,” Micha mengiyakan. Kata-kata Yeonju terngiang-ngiang.
“Sesekali kamu perlu datang ke Yeonhui,” Kirana mengajak.
“Boleh!” Aiko tertawa. “Bosan banget kalau harus di satu tempat, gak boleh ngapa-ngapain.”
“Habis latihan sore, aku mau mampir,” kata Micha.
“Sip!” kata Kirana. “Nanti kuajak kamu ke café ekspatriat di sana. Ada kopi enak!”
Micha menatap Kirana penuh selidik. Kopi enak? Sekarang ia tahu kenapa Yeonju curiga dengan dua kilogram lemak di tubuh Kirana.
“Nanti kukenalkan kamu sama Mita,” Kirana berkata. “Namanya mirip kamu, Micha.”
“Mita?”
“Ya. Aku pernah cerita ke kamu.”
“Enggak deh, kayaknya…”
“Pernah! Kamu aja yang lupa,” sahut Kirana.
Micha menatap Yeongmi, Aiko dan Holli bergantian; seolah meminta validasi. Mereka menggelengkan kepala samar.
“He, aku pernah cerita!” Kirana berkata sedikit keras.
Micha mengangkat kedua belah tangannya, “Oke, Beib. Aku pingin ketemu Mita-mu.”
“Dia terapisku,” kata Kirana. “Jangan kaget kalau ketemu dia, kamu bakal ngerasa dia sedang membongkar pikiran terdalammu.”
Yeongmi terkekeh.
“Jadi dia bakalan tahu kalau kita ngefans sejenis…The Untamed? Sama Wang Yibo dan Xiao Zhan? Dia bakal tahu kalau kita suka main Detention?”
Kirana tersenyum penuh makna.
***
Di stasiun Samseon, mereka berpisah. Kereta yang membawa ke arah Uijeongbu dengan yang menuju Hongdae bertolak belakang. Walau anggota Blossom berkata bahwa Micha sangat lelah dan harus lekas istirahat, gadis itu memaksa untuk mengunjungi Kirana.
Yeongmi, Holli dan Aiko kembali ke apartemen BME sementara Micha dan Kirana melanjutkan menuju apartemen kecil Yeonhui. Pada stasiun Hongik University, Micha merasa beberapa mata mengawasi mereka. Walau masih menunggu waktu debut, Blossom mulai mengunggah profil anggota mereka. Berbeda dengan Nebul4 yang mulai menuai ketenaran. Blossom masih jauh dari itu. Tetap saja, orang-orang jeli memperhatikan.
Setiap bulan, begitu banyak boyband dan girlband memulai debut. Sebagian terus meniti jalan kesuksesan, puluhan yang lain terpaksa tak comeback setelah debut pertama karena sambutan dingin atau bahkan negatif penggemar. Membayangkan debut Blossom yang akan dimulai beberapa bulan lagi, terasa melilit isi perut.
Mita telah menunggu Kirana, sembari menyiapkan beberapa masakan.
Ia menjabat tangan Micha hangat.
“Kirana bilang, mau ada temannya datang.”
Aroma harum menguar di apartemen kecil itu.
“Aku masak beberapa masakan khas Indonesia,” Mita berkata.
“Pasti nasi goreng lagi,” Kirana berkata geli.
“Lho, ini masakan terkenal! Belanda aja sampai menjadikan ini sebagai salah satu makanan wajib Rijsttafel – hidangan perjamuan resmi,” jelas Mita.
“Kenapa Belanda?” tanya Micha.
“Indonesia pernah dijajah Belanda lama,” jelas Kirana. “Sama seperti Korea pernah dijajah Jepang.”
“Tapi kamu bilang, Indonesia juga pernah dijajah Jepang?” tanya Micha tak paham.
“Indonesia pernah dijajah beberapa negara,” Kirana menjelaskan singkat. “Ayo, makan!”
“Tapi ini belum masuk waktu makan malam,” protes Micha.
“Justru makan jam segini biar gak nambah berat badan,” Mita mengedipkan mata.
Micha menarik napas.
Nasi goreng, dilengkapi taburan bawang goreng, irisan timun, telur ceplok, ditambah krupuk…nyam nyam nyam! Benar-benar surga dunia! Mita menyiapkan tiga piring.
“Eh, kamu jangan makan banyak-banyak,” cegah Micha.
“Kenapa?” tanya Mita.
“Dia harus jaga berat badannya,” ucap Micha.
Kirana terlihat tegang.
“Kami semua,” Micha meralat. “Kami harus sangat jaga makanan.”
Mita menghembuskan napas pendek.
“Just today, okay?” bujuk Mita. “Kamu toh bisa membakar makanan hari ini dengan olahraga dua jam besok.”
Micha masih ragu.
“Kalau gak bisa satu piring, aku siapkan mangkok kecil,” Mita menawarkan.
Pada akhirnya, terbujuk juga.
Satu mangkok kecil.
Luarbiasa!
Nasi goreng memang tiada duanya, pikir Kirana. Ternyata Micha merasakan hal yang sama. Segera ia berpindah pada mangkok kecil yang kedua.
Saat Kirana berada di kamar mandi, Micha mendekati Mita.
“Apa kamu tahu kalau Kirana makin gemuk?” tanya Micha.
“Gemuk?” Mita terbelalak. “Tingginya seratus enampuluh lima dan berat badannya cuma limapuluh.”
“Limapuluh satu setengah, nyaris limapuluh dua,” ralat Micha.
“Masih proprosional kan?” balas Mita.
“Dia harus di bawah limapuluh.”
“That’s insane!” bisik Mita.
“Kamu harus ngasih tau dia buat jaga makanan,” saran Micha. “Kalau enggak…”
“Kalau enggak?”
“Dia bisa digantikan calon yang lain.”
“Kata Kirana, kalian mau debut sebentar lagi? Gak mungkin ganti personal kan?”
“Debut harus perfect. Sempurna. Gak bolah ada kesalahan dan potensi hujatan.”
“Kirana is prefect,” tegas Mita.
Micha menggelengkan kepala, “Yeonju, instruktur kami bilang dia terlalu chubby sekarang.”
“Terlalu chubby?” Mita menggumam sedikit keras.
Mereka terdiam beberapa saat.
Kirana sepertinya sedang butuh waktu lama di kamar mandi sehingga Mita dan Micha bisa punya waktu lebih lapang.
“Apa Dong Ju gak ngasih tau kamu?” tanya Mita.
“Pak Kang Junior?” Micha bertanya balik. Manajer utama dan manajer muda mereka sama-sama bermarga Kang. Dong Ju kerap dipanggil Junior Kang. “Ngasih tau apa, Mita?”
“Kalau Kirana sedang konsumsi obat.”
“Ya, dia ngasih tahu kami.”
“Trus?”
“Trus gimana?” Micha tampak tak paham.
“Ngasih tau kamu sebagai leader Blossom kalau Kirana diberi keringanan.”
“Keringanan gimana?” Micha tambah tak mengerti.
“Obat-obatan Kirana punya efek samping,” jelas Mita. “Pengaruh metabolisme. Dia bisa cepat lapar, sangat mudah ngantuk, kemungkinan gangguan motorik halus selama beberapa waktu.”
“Dia gak boleh banyak makan!” Micha berkata panik.
“Micha,” Mita menenangkan, “ini gak seterusnya kok. Kalau dia udah gak konsumsi obat, dia gak akan kayak gini. Ada beberapa idol KPop yang berubah berat badannya saat sedang terapi psikis kan?”
“Tapi mereka udah punya nama!” pekik Micha lirih. “Kami belum apa-apa!”
Mita menarik napas panjang.
Merenung beberapa saat.
“Kalau kondisi lapar, dia gak boleh makan; kondisi ngantuk dia harus banyak latihan; maka dia akan semakin stress. Tambah depresi dan bisa memicu hal-hal buruk lainnya. Apalagi, Kirana punya kecenderungan bipolar,” jelas Mita.
Micha terdiam. Mereka berbincang beberapa saat kemudian tanpa sepengetahuan Kirana.
Ketika Kirana telah ke luar dari kamar mandi, hari mulai beranjak malam. Walau masih musim panas dan langit terang, Micha merasa kelelahan menderanya. Ketika ia meminta izin pulang, Kirana berkata akan mengantarnya ke stasiun Hongdae. Jarak Yeonhui ke Hongdae harus ditempuh dengan bis kota, beberapa halte cukup bagi Micha untuk mencoba berterus terang pada Kirana.
Percakapan singkat antara Micha dan Kirana memicu kemarahan hingga saat tiba kembali ke Yeonhui, Kirana berteriak marah. Mita sebetulnya sudah memperkirakan hal itu akan terjadi, mengingat debut bersama Blossom adalah segala-galanya bagi Kirana saat ini. Tak mungkin mencegah Micha berterus terang.
“Aku gak mau minum obat lagi!”
“Nana?”
“Aku gak mau minum obat lagi!”
“Na, katanya kamu mau debut.”
“Makanya aku gak mau minum obat lagi, tau?!”
“Kalau kamu gak minum obat, kamu bakalan sakit fisik dan psikis. Pikiranmu meloncat-loncat gak terkendali, kamu overthinking banget. Kepalamu kayak jalur macet jalan arteri di pagi hari,” Mita berkata lembut.
“Biarin aja!”
“Itu gak bagus buat kamu.”
“Mbak!” seru Kirana. “Aku butuh isi kepalaku buat mikir, buat berkreasi, buat bikin musik. Aku butuh energi otakku buat berpikir kreatif. justru dalam kondisi aku maniac, seringkali aku bisa menghasilkan ide-ide bagus! Melodi, lirik, banyak lagi!”
Mita tahu itu.
Banyak seniman besar dunia, berada dalam jurang gangguan psikologis yang parah. Semakin aneh cara berpikirnya, semakin kreatif. Semakin punya gangguan psikologis, semakin unik hasil karyanya. Namun, kehidupan para seniman ini juga berantakan secara emosi dan sosial. Berdebat hal itu dengan Kirana saat ini hanya akan membuat masalah meruncing.
“Na,” jelas Mita. “Istirahat dulu, yuk.”
“Gak. Aku gak ngantuk!”
“Ya udah. Kamu mau apa?”
“Aku mau bikin lagu.”
“Kamu gak ngantuk?”
“Besok jangan masak nasi goreng lagi!” ketus suara Kirana. “Aku sudah kegemukan. Aku harus banyak lari dan nge-gym.”
“Kamu justru harus banyak istirahat,” bujuk Mita.
“Aku mau nurunin berat badan!” kata Kirana ketus.
“Oke, baik,” Mita mengangguk.
“Aku mau langsing!” teriak Kirana.
“Bagus itu.”
“Aku mau kurus!”
“Oke, yang penting kamu sehat.”
“Mulai besok aku gak usah makan,” tantang Kirana pada dirinya sendiri. “Aku mau minum air sama suplemen aja.”
“Biar aku konsultasikan dulu, ya. Suplemen bisa punya efek samping kalau digabungin sama obat.”
“Aku gak mau minum obat, tau! Aku gak mau minum obat lagi!”
“Oke, oke!”
“Aku juga gak mau Mbak Mita lebih lama di Seoul!”
Mita tertegun.
“Aku mau ngomong ke mama kalau secepatnya mbak Mita balik aja ke Jakarta. Aku udah bisa mandiri.”
***
4. Jiho’s World

“Don’t bother me!”
Padahal aku ingin mengajakmu ke HUFS, pikir Mita.
Ditambah tanda seru, Mita langsung tahu Dong Ju tak ingin diganggu. Okelah. Kalau begitu, semua adalah keputusannya untuk bisa mendekati Jiho. Mumpung Kirana sedang berlatih tari dan Jiho diberi kesempatan rehat beberapa hari.
Ke mana?
Satu tempat yang ingin dikunjungi Jiho karena sosok yang memang membangkitkan minatnya. Mita dan Jiho, diam-diam mengunjungi wilayah Dongdaemun.
Profesor Choi Kyeongsun, sesuai namanya, memiliki kehormatan sesuai kepintaran dirinya dan kelembutan yang menenangkan. Senyumnya ramah, wajah bulat telur dan rambut sebahu yang diikat sederhana ala kadarnya ke belakang.
“Maafkan aku,” wanita paruh baya itu meminta maaf. “Tempo hari kalian sudah datang, tapi aku malah tidak bisa menemui kalian.”
“Tak mengapa, Profesor Choi, kami tahu kesibukan anda,” Mita menukas.
“Kamu pasti Mita,” tebak Profesor Choi. “Pe-ra-mi-tha.”
Mita tertawa. Tak semua orang Korea bisa menyebut nama lengkapnya : Pramita.
“Dan ini?” Profesor Choi menunjuk pemuda tampan di sisi Mita.
“Jiho,” Jiho mengulurkan tangan. “Baichan Jiho.”
“Baichan Jiho,” Profesor mengangguk, tampak berpikir sejenak. “Yuk, kita mengobrol di ruang tamuku.”
Mita dan Jiho berpandangan sejenak, melempar senyum.
***
Panggilan seseorang menyalak, hingga Mita meminta izin untuk ke luar ruangan sejenak.
“Kamu ngajakin dia ke mana??” terdengar suara marah di seberang.
“Dekat, kok. Cuma empatpuluh lima menit dari Uijeongbu!”
“Dia ada agenda sama Bigdreams.”
“Kamu bilang aku bebas ngajak Jiho untuk konsultasi.”
“Iya, tapi tetap harus kamu koordinasikan, Mita! Gak bisa seenaknya begitu!”
“Jiho lagi butuh suasana beda. Dia butuh rehat.”
“Setiap orang butuh rehat! Tapi ada masanya orang harus kerja keras.”
“Kerja keras atau kerja paksa?”
“Kamu jangan menyinggung filosofi kami dalam memandang pencapaian,” potong Dong Ju dingin.
“Aku tadi nyoba nelpon kami tapi gak bisa. Aku texting juga jawabanmu ‘jangan ganggu aku.’ ”
“Aku memang lagi gak bisa diganggu. Ada urusan!”
“Kamu ada urusan, aku juga ada urusan,” Mita menahan kejengkelan. Ancaman Kirana untuk mendepaknya ke luar dari Seoul sudah membuat senewen.
Hening sejenak.
“Jiho lagi ngapain sekarang?” tanya Dong Ju, sedikit melunak.
“Dia lagi ngobrol santai sama Profesor Choi. Dia kelihatan seneng banget,” ujar Mita, melihat dari balik pintu geser kaca dua sosok sedang berbincang akrab.
“Bilang ke Jiho kalau sudah selesai, segera gabung ke Bigdreams.”
“Kamu benar-benar gak ngasih dia kesempatan buat tarik napas, ya,” ujar Mita jengkel. “Kenapa minta tolong aku kalau gitu?”
“Aku minta tolong ke kamu karena kulihat kamu bisa dekat sama Kirana. Tapi kudengar Kirana juga lagi ada masalah. Apa sekarang kamu mau buat masalah juga sama Jiho?”
Mita menarik napas panjang.
“Masalah Kirana sama aku gak ada hubungannya sama Jiho,” Mita menjelaskan. “Kalau kamu gak percaya sama aku, gakpapa. Tapi menurutku, Jiho harus ketemu konselor. Ajak dia ke seseorang yang bisa kamu percayai di Seoul.”
Dong Ju terdiam.
“Jiho pintar banget seperti Kirana,” Mita menjelaskan. “Anak-anak ini sangat rawan gangguan psikologis karena pikiran kreatif mereka gak ditunjang karakter kepribadian yang kuat.”
Hening sesaat.
“Aku ada urusan lain,” Dong Ju menutup perbincangan.
***
Sepanjang perjalanan pulang, Jiho terlihat lebih lepas dibanding waktu sebelumnya. Mita senang sekali melihatnya, merasakan sebagian beban hilang.
“Kamu seneng ketemu Profesor Choi? Ngobrolin apa aja tadi?” tanya Mita.
“Kenapa kamu gak gabung di awal-awal?” Jiho balik bertanya.
Mita terdiam untuk beberapa waktu, menarik napas pelan.
“Dong Ju meneleponku,” Mita berujar pelan.
“Dia senior yang jahat,” kecam Jiho.
Mita menatapnya, ”Kamu jangan ngomong kayak gitu. Dia banyak nanyain keadaanmu.”
“Satu-satunya yang dia pikirkan hanya bagaimana BME untung,” ketus suara Jiho.
“Kamu beranggapan demikian?” Mita memancing hati-hati.
“Dia menyiksa kami dengan latihan dan latihan, harus bikin lagu sendiri dan tur promo yang gak ada habisnya. Dia menyuruh kami ramah pada semua fans padahal ada masanya kami bener-bener pingin ngamuk-ngamuk ke semua orang.”
Mita mendengarkan.
“Siapa di BME yang bisa kamu jadikan teman?” tanya Mita ingin tahu.
“Teman?” Jiho tersenyum sinis. “Gak ada sama sekali.”
Mita teringat cerita Dong Ju tentang Haruma.
“Kirana sekamar sama Holli. Sekarang dia lagi sekamar sama aku. Kamu?” Mita bertanya selembut mungkin. “Kamu punya roommate yang bisa diajak asik-asik?”
Jiho mendengus.
“Dulu kupikir Haruma bisa jadi teman yang asik. Sekarang, dia juga punya target sendiri,” keluh Jiho.
Mita menatap Jiho iba.
Dering telepon berbunyi.
Malas, Jiho mengangkatnya.
“Ya, Kak. Aku akan ke sana secepatnya.”
Jiho menatap Mita sekilas, lalu angkat bahu.
“Dengar sendiri kan?” Jiho berkata.
Mita meletakkan telunjuk di bibir, khawatir supir di depan menguping dan akan menyebarkan percakapan mereka. Sengaja keduanya tak naik kendaraan umum, khawatir Jiho akan mendapatkan serangan para fans yang tergila-gila pada visualnya. Mengingatkan Mita pada film komedi Indonesia : Terlalu Tampan.
“Bodo amat,” Jiho tampak tak peduli.
Mita memperbaiki letak duduknya, bertanya, “Dong Ju yang meneleponmu?”
Jiho terdiam.
Mita melihat ke arah pergelangan tangan, jam telah menunjukkan waktu siang.
“Tolong sampaikan ke supir taksi, aku ke stasiun Euljiro 3-ga. Aku harus ke Itaewon,” pinta Mita.
“Kamu mau ngapain ke sana?”
“Belanja. Barang kebutuhan pokok habis.”
“Omong-omong, nasi gorengmu enak,” Jiho memuji walau tak menggurat senyum.
“Ah, aku sama sekali belum mahir,” Mita merendah. “Itu karena kamu belum pernah nyicip nasi goreng.”
“Asik banget kalau ada tukang masak yang bisa masak enak,” Jiho menggumam.
Mita menatapnya tak berkedip.
Jiho terlihat sungkan, sekilas meminta maaf.
“Aku nggak bermaksud mengejekmu dengan mengatakan kalau kamu seorang tukang masak bagi Kirana.”
Tukang masak? Pikir Mita. Kenyataannya memang demikian.
Status awalnya konselor dan terapis. Perkembangan posisi selanjutnya sebagai tukang cuci, tukang masak, tukang beberes, babysitter, tukang buang sampah, stabilisator, tempat sampah bagi semua uneg-uneg Kirana.
“Ayo, Jiho,” desak Mita. “Bilang aku mau turun di Euljira 3-ga.”
“Kayaknya mending kamu ikut aku ke COEX Building deh,” tegas Jiho.
“Ngapain aku ke sana?” Mita membelalakkan mata.
“Kamu ngantar aku ke Dongdaemun ketemu Profesor Choi, trus gak mau nganer aku ketemu Miss Park Yeonju?” Jiho menyindir tajam.
“Tapi…”
“Ada Kirana juga kan?”
“Aku harus belanja, Jiho.”
“Nanti aja,” Jiho memaksa.
***
Rocky, Byeong Ho dan Haruma telah berlatih beberapa putaran. Yungi, Jungho dan Jaehwa terlihat tengah dilatih secara terpisah oleh Yeonju, untuk lebih menghafalkan dan meluweskan gerakan. Wajah Rocky sebagai leader terlihat masam demi melihat Jiho datang. Demi menenangkan situasi, Jiho membungkukkan badan berkali-kali meminta maaf pada semuanya, terutama pada Rocky.
“Maafkan aku, Hyeong,” ucap Jiho bersungguh-sungguh.
Rocky sama sekali tak menggubris Mita, hingga gadis itu merasa serba salah.
“Jiho, aku ke luar dulu ya.”
Baru beberapa langkah menuju ke luar, terdegnar suara memanggil. Mita membalikkan badan.
“Miss Mita,” terdengar suara tegas dan berat di belakang punggung, “Miss Park ingin bicara denganmu.”
Rocky yang berbicara, membuat Mita menahan napas dan mengangguk kemudian. Ia berdiri menepi di pinggir ruang latihan, melihat anggota Nebul4 yang berjumlah tujuh orang telah berjajar dalam formasi lengkap.
“Kalian berlatih sendiri terlebih dulu,” ujar Yeonju. “Aku permisi sebentar.”
Jiho tampak mengalihkan pandangan ke arah Mita, seolah meminta dukungan. Memberikan sedikit senyuman pada pemuda itu sepertinya tak cukup, tapi hanya itu satu-satunya yang bisa dilakukan Mita. Entah apa yang akan terjadi pada Jiho di antara enam rekannya yang lain.
Seperti kata Rocky, Yeonju memang ingin menemuinya. Sang pelatih mengajak bicara empat mata di ruang kerja khususnya. Mereka berjabat tangan, saling mengenalkan nama masing-masing.
“Mita,” Yeonju duduk, menyodorkan sebotol air mineral, “Dong Ju bercerita tentangmu.”
“Terima kasih, Miss Park,” Mita menerima minuman, membuka tutupnya dan meneguknya sedikit. “Saya berharap bimbingan Miss Park dan Tuan Kang.”
“Kamu terapis Kirana dan sekarang, Jiho?”
Mita merasa sedikit terganggu dengan kata ‘terapis’.
“Hanya mendampingi saja,” Mita mencoba meralat, “semacam shadow teacher kalau di sekolah anak berkebutuhan khusus. Kirana membutuhkan mediator agar ia lebih paham dan lebih tenang memahami situasi.”
Aku mengerjakan apapun, keluh Mita dalam hati. Terapis, koneslor, mediator. Babu juga.
Di negeri orang, Mita tak punya siapa-siapa. Kontrak dengan mama Kirana adalah salah satu surat saktinya untuk dapat bertahan. Kalau Kirana merobek surat perjanjian itu, habislah sudah.
“Jiho?” Yeonju memancing.
“Tuan Kang meminta saya jadi …ya, semacam konselor…bagi Jiho. Untuk menggali emosinya, memancing perasaan dan pikirannya sehingga dia lebih tenang.”
“Kamu tahu Nebul4 sebentar lagi comeback? Blossom juga mau debut?” tanya Yeonju.
“Ya, Miss.”
“Mereka harus disiplin, kerja keras.”
“Ya, Miss.”
“Mereka gak boleh absen satu hari pun. Bahkan gak boleh telat.”
“Baik, Miss.”
“Bisakah kamu menjamin mereka, Mita?”
“Miss Park,” Mita berusaha menjelaskan. “Ada beberapa hal yang ingin saya diskusikan dengan anda.”
“Jangan sekarang!” Yeonju memberikan isyarat menolak dengan telapak tangan. “Jadwalku sangat sibuk.”
Mita tersenyum, membungkukkan badan.
“Apakah saya diizinkan untuk melihat Blossom latihan?”
“Silakan.”
“Kamsahamida. Terima kasih, Miss Park.”
Mita berjalan ke luar ruangan, mendengar samar alunan musik dari pintu-pintu kaca yang tertutup rapat. Ia berkeliling, mencari ruangan tempat latihan Blossom dan akhirnya menangkap dua sosok yang dikenalnya : Kirana dan Micha. Beberapa orang mengamati latihan Blossom dan Nebula4 dari balik pintu kaca besar. Mita melihat ke dalam, mengamati para gadis bergerak berlatih tahap demi tahap.
Kirana ada di sana, dengan wajah khas Indonesia dan rambut hitam yang menawan. Tubuh tingginya terlihat menonjol, dengan gerakan-gerakan kuat dan gemulai yang lincah. Mengenakan celana panjang hitam dan kaos hitam dengan rambut panjang diikat ekor kuda, Kirana sangat cantik. Bagi Mita, ia sangat cocok menjadi center and visual Blossom. Walau, belum tentu demikian dengan pemikiran manager.
Micha terlihat mampu mendominasi dan memimpin anggota. Aura alpha-female menguar dari gerakan tubuh, sorot mata, kata-kata. Holli terlihat kuat dan sporty, maskulin dan humoris. Yeongmi kekanakan, lembut, dengan kecantikan khas Korea yang menonjolkan wajah oval dan hidung runcing. Aiko memiliki gigi gingsul, senyum khasnya terlihat ketika ia membuka mulut. Matanya bulat dan bersinar seperti bintang.
Untuk beberapa saat, Mita berdiri tegak di luar mengamati.
Kirana sangat potensial, pikir Mita. Jago nari, pintar nyanyi, mahir aransemen lagu. Kecerdasannya bukan hanya terlihat di bidang musik. Ia fasih berbahasa Inggris dan Korea, mulai lancar menggunakan bahasa ibu Aiko dan Haruma : bahasa Jepang. Beberapa trainee BME berasal dari China dan Kirana mulai memelajarinya.
Seharusnya ia bisa jadi musisi andal, batin Mita kembali. Kalau saja dia lebih sehat secara mental. Mood gadis itu bisa berubah sedemikian cepat. Bergairah dan sangat energik di satu waktu, lalu segera lunglai dan tertekan ketika salah satu keinginannya tak tercapai.
Debut bukan jaminan sukses, pikir Mita murung.
Betapa banyak grup yang debut, mencoba bertahan setahun dua tahun untuk mempromosikan diri. Mengikuti berbagai reality show dan ajang talenta agar semakin bersinar serta mampu bersaing. Tapi seleksi alam selalu berjalan secara alamiah. Begitu banyak ajang talenta di dunia di gelar : American Idol, American Got Talent, the Voice, Next Top Model, dan banyak lagi. Gelaran itu diduplikasi oelh hampir semua negara di dunia. Menyaring yang terbaik dari yang baik. Juara-juara selalu dihasilkan. Lalu selera pasar pun menentukan.
Ada yang bertahan bertahun-tahun. Ada yang bubar sebagai grup, menyisakan satu dua orang solois yang sukses. Ada yang terpuruk, justru berakhir mengenaskan dengan menjadi pecandu atau harus dirawat di panti rehabilitasi mental.
Bisakah Kirana melewati itu semua?
Bisakah Blossom melewati itu semua?
Mereka bekerja sekeras itu, jauh dari keluarga, menggadaikan semua mimpi yang lain lalu bernaung di bawah BME. Apakah mereka akan disbanded, dibubarkan sebelum pre debut karena banyaknya masalah atau kontrak yang dianggap tak menguntungkan? Dibubarkan karena satu atau dua anggotanya bermasalah?
Sosok Mita yang terlihat berbeda dari penonton yang lain, membuat sesekali anggota Blossom menoleh ke arahnya. Ketika tiba rehat beberapa menit untuk mengambil napas, Micha terlihat mendekati pintu.
“Hei, ayo masuk!”
“Nggak, aku di sini aja.”
Micha membuka pintu, menarik tangan Mita ke dalam dengan cepat.
“Yang lain gak boleh masuk, tapi kamu spesial,” Micha tersenyum lebar. Melap wajahnya yang berkeringat.
Mita berdiri menepi.
“Kamu duduk di lantai gakpapa?”
“Kami terbiasa duduk di lantai kok,” Mita menjawab setengah tertawa.
“Ya udah. Di situ aja.”
Micha menjauhi Mita dan bergerak ke arah kelompoknya.
Kirana tampak tersenyum masam melihat sosok Mita yang duduk bersila, menatap mereka berlatih.
1,2,3,4…waacking.
5,6,7,8…popping.
Semakin kompak dan luwes. Gerakan-gerakan yang salah diulang, diperbaiki hingga semua terlihat seragam tak lagi mengulang kesalahan.
Mita melirik jam di pergelangan tangan.
Seharusnya sudah waktu makan siang, tapi Blossom dan Nebul4 masih sibuk berlatih. Hanya sesekali terhenti untuk minum air putih. Padahal Kirana harus mengkonsumsi obat yang butuh makan terlebih dahulu. Kalau ia tak makan, perutnya pasti melilit. Kalau ia mengabaikan konsumsi obat, hasilnya tak akan baik. Kecemasannya bertambah-tambah dan pikiran buruknya tak terkendali.
Apakah mereka tak bosan? pikir Mita.
Sekedar menonton saja, ia tak sanggup lama-lama. Sebuah buku dikeluarkannya dari dalam tas ransel. Buku yang belum sempat dibukanya karena baru beli di bandara internasional Soetta. Seluruh kesibukan langsung terpusat pada Kirana, begitu tubuhnya mendarat di Incheon.
“Saya berani bayar kamu mahal, Mita,” mama Kirana, bu Gitta menegaskan. “Biro menugaskan kamu karena kamu concern dengan dunia remaja, khususnya Korea dan Jepang.”
Wajah bu Gitta yang sangat mirip dengan Kirana terlintas. Bagai pinang dibelah dua, kecantikan bu Gitta masih terpelihara di usianya yang telah separuh abad.
“Kirana ingin jadi idol. Aku yakin dia bisa karena dia cantik dan ambisius. Selain itu, otaknya cerdas,” bu Gitta menjelaskan. “Bantu dia mewujudkan cita-citanya. Dia baik-baik saja ketika kuantar ke sana. Gak tau sekarang kenapa. Shock culture mungkin?”
Mita menutup buku, bangkit berdiri, ketika Yeonju masuk.
“Aku akan mengajarkan kalian beberapa gerakan baru, Girls!” teriaknya bersemangat.
Mita menarik napas panjang. Ingin menyela dan mengatakan, gadis-gadis itu perlu waktu istirahat, terutama Kirana. Namun Kirana seolah tak menggubris kehadirannya. Micha pun tak berani menyapanya lagi.
Diam-diam, Mita beranjak menuju pintu, berjalan ke luar. Tak ada yang mencoba menahan laju langkahnya hingga ia memutuskan untuk segera pergi dari studio Bigdreams Dance. Ketika tengah menyusuri Bigdreams, langkahnya sedikit terhenti di akuarium raksasa tempat Nebul4 tengah berlatih. Gadis-gadis penonton yang juga murid studio Bigdreams berseru lirih.
“Oppa aku!”
“Jiho memang keren!”
“Aku naksir Rocky.”
“Kamu cakep banget sih, Jiho!”
“Dia memang cocok jadi visual grup!”
“Ayo, semangat Jiho! Perbaiki kesalahan-kesalahanmu!”
“Duh, Rocky! Jangan terlalu keras sama Jiho!”
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
