
Nami melepas cepat cengkraman Kavra, kembali mengayunkan senjata. Bukan itu yang ada di benaknya. Bukan keselamatan dirinya, tapi keselamatan Kavra.
Selamatkan para panglima!
Selamatkan para panglima!
Perintah yang ditanamkan kepadanya selama ini.
*****
π»πππππ πππππ πππ
ππ πππππππππππ π―ππππππ π»ππππ ππππππ ππππππ πππ
211. Pengorbanan Nistalit
Gerbang Wutamangga.
Gerbang perbatasan Akasha dan Pasyu yang masih menyimpan rahasia, menjadi saksi pertempuran antar kerajaan wangsa yang selama ini saling terikat sumpah dan perjanjian. Darah. Kematian. Siksa. Sumpah serapah.
Melihat Kavra mengubah arah menuju gerbang berwarna kelabu cemerlang itu, Nami mengejarnya. Dengan tunggangan angin, Kavra bagai melayang terbang menahan pintu gerbang tepat di pusatnya. Nistalit tak mungkin bisa! Pikiran nekat Nami memandu isi kepalanya melakukan hal di luar nalar. Ia menggunakan alas kaki Akasha bermantra yang membuatnya bisa melompat lebih tinggi. Tapi tak mungkin setinggi tunggangan angin yang membawa para ksatria Akasha. Teringat selendang kuning Gangika yang entah punya kedigdayaan apa saja, Nami melecut ujung sepatunya agar memiliki kekuatan lebih untuk menariknya lebih ke atas.
Ia berharap, setidaknya mencapai tempat Kavra berjuang mempertahankan gerbang.
Beruntung!
Alas kaki Akasha dengan lecutan selendang kuning membawanya naik lebih tinggi beberapa hasta, dan ia harus mengulanginya beberapa kali agar bisa mencapai Kavra.
βPanglima! Hamba akan mengawal Tuan! Beri sedikit ruang!β
Terkejut melihat Nami, berkeringat dan kelelahan, Kavra bergeser sedikit. Beberapa kali senjata Kavra hitam berhasil menggores tubuh Kavra, satu kesempatan berhasil ditahan oleh Nami yang mencoba melawan Kavra hitam dan Haga hitam sekaligus. Mata Nistalit mampu melihat pergerakan mereka.
βMampuslah kalian berdua!!!β tawa nyaring Kavra hitam dan Haga hitam membahana. βPanglima Gangika yang lemah, ditopang oleh gundik Nistalitnya!!!β
Wajah Nami memerah mendengarnya, tapi tak ingin menggubris. Saat Kavra memusatkan perhatian pada gerbang, Shaka dan Rakash; Nami memusatkan perhatian pada kedua panglima Mandhakarma. Keahlian Nami meningkat pesat, namun pikirannya terbagi oleh banyak hal.
Di bawah, pasukan Gangika sebagian mampu melihat pasukan hitam akibat senjata poorva auriga dan pasukan Nistalit menyusup di antara mereka. Di angkasa, pasukan Paksi tak seberuntung Gangika, sebab Nistalit tak bisa mengawal. Paksi gugur dengan cepat satu demi satu. Walau mereka gagah berani, Mandhakarma benar-benar musuh kejam yang tangguh.
Persenjataan poorva auriga sangat terbatas, Wanawa lah yang banyak memilikinya. Mereka telah mampu membentuk kesatuan Nistalit poorva auriga dan terlihat sangat bermanfaat untuk menguasai jalannya pertarungan.
Namun, Nistalit yang terlatih masih terbatas jumlahnya. Pada awalnya, dua puluh pasukan Nistalit akan dibagi antara Wanawa dan Gangika. Milind memutuskan di detik-detik akhir, bahwa kedudukan Kavra akan sangat terancam dan membutuhkan seluruh dukungan Nistalit.
βTeman-temanku tak akan bertahan lama! Untung sebagian telah meniti selendang kuning tadi! Semoga Manta dan Woya dapat menyelamatkan yang lain!β pikir Nami kalut.
Pertempuran berlangsung sengit antara pasukan yang terlihat dan yang tak kasat mata. Melihat Nami berjuang mati-matian melawan pasukan hitam sekaligus menangkis senjata Vasuki dan Giriya, Kavra mulai khawatir.
Ia menangkap dan menarik lengan Nami cepat.
βNami, kumohon,β Kavra menatapnya. ββ¦selamatkan dirimuβ¦β
Nami melepas cepat cengkraman Kavra, kembali mengayunkan senjata. Bukan itu yang ada di benaknya. Bukan keselamatan dirinya, tapi keselamatan Kavra.
Selamatkan para panglima!
Selamatkan para panglima!
Perintah yang ditanamkan kepadanya selama ini.
βNami!β bentak Kavra, yang mulai kehilangan tenaga.
βHamba telah bersumpah melindungi Tuan!β tegas Nami. βKita akan lalui kesulitan ini bersama-sama!β
Madhakarma tampak mulai mengirimkan pusaran angin berwarna jelaga yang menghisap. Kesaktian Akasha dan Pasyu dapat membuat mereka punya daya tahan lebih, tapi bagaimana dengan Nistalit?
βAku masih melihat pasukan Nistalit!β pikir Nami panik.
Bila ia mempertahankan teman-teman Nistalitnya, Kavra akan ikut terhisap pusaran. Gangika akan kehilangan sosok terbaiknya! Tapi bila ia mempertahankan Kavra, maka sekali lagi βatau untuk ke sekian kali β ia harus merelakan teman-teman Nistalitnya mati.
Tak peduli keselamatan diri sendiri, Nami mengayunkan tombak Garanggati dengan ganas. Ia telah melemparkan perisainya hingga membunuh beberapa pasukan Vasuki, dan memusatkan perhatian pada tombak agar lebih ringan dan mematikan. Walau tentu, pertahanan diri lebih terbuka.
Sadu, melihatnya.
βHulubalang Han! Lemparkan aku ke sana!β
βKau gila?? Kau bisa mati!!β
βKami Nistalit memang gila!! Kau lihat yang di sana? Gadis itu? Dia lebih gila dariku!!!β
Han, mengerahkan kekuatan tunggangan angin, menggamit Sadu dan melemparkannya ke arah Nami. Segera Sadu bergabung, menjadi perisai hidup bagi Kavra yang tengah berjuang menutup pintu gerbang kembali. Tubuh tangguh Kavra tampak membatu, sekuat mungkin mengucapkan mantra sembari menarik masing-masing pintu dengan kekuatan lengan dan kaki agar mengatup. Begitu banyak yang ingin menggagalkan upayanya. Sadu, melilitkan ujung selendang ke tubuh Nami, menautkan lagi ujung satunya ke tombak Garanggati miliknya. Menariknya sekuat tenaga dengan tubuhnya yang kokoh.
Mandhakarma tak ingin melepaskan begitu saja.
Shaka dan Rakash kalah sakti dari Kavra, namun pusaran hitam harus berhasil memberikan pengaruh kerusakan yang dahsyat. Kavra hitam dan Haga hitam, bergabung kembali dengan pusat Mandhakarma, berusaha menciptakan pusaran yang menyedot kekuatan lawan untuk tertarik masuk ke wilayah sekutu Mandhakarma.
Sesaat sebelum gerbang itu menutup; Kavra, Nami dan Sadu terhempas ke daratan Giriya. Tempat gerbang perbatasan menambatkan lingkaran besar rangka pintu ke salah satu kerajaan terpilih. Bila sebelumnya Jaladhi yang menjadi pijakan, maka kali ini Giriya. Siapapun pasukan lawan yang terjebak oleh pusaran Mandhakarma dan terhempas di Giriya, kematian menjemputnya.
*****
Pasukan Nistalit, Vasuki, Giriya, juga Gangika dan Paksi tertarik jatuh ke wilayah Giriya. Nami berusaha menyelamatkan beberapa Nistalit, namun Sadu menahannya, mengingat Vasuki dan Giriya tampak mengamuk membasmi musuh di wilayah mereka sendiri.
βKau gila!β Nami mengumpat, wajahnya memerah marah, dengan mata pedih yang diliputi airmata sekaligus rasa sakit tak tertahankan. βAku telah berjanji pada mereka semua! Mereka akan selamat! Kita membunuh Nisβ¦β
Sadu menubruknya hingga terhuyung, jatuh bergulingan ke tanah. Tangan Sadu membekap mulut Nami, membungkam suara. Mata Nami terbelalak. Tak jauh dari mereka, Kavra mengendap, meletakkan telunjuk ke bibir. Sang panglima Gangika menghamparkan selendang kuning menutupi tiga tubuh yang merapat ke tanah. Mantra Gangika terucap, membuat mereka terlindung dari mata-mata prajurit Giriya.
Terdengar suara serak, berat dan kejam. Langkah-langkah kaki prajurit yang belum dikenali. Tak lama kemudian, tiga sosok yang bersembunyi segera mengetahui siapa sosok yang berkeliling di sekitar mereka.
βBunuh semua musuh yang jatuh ke tanah Giriya!β
βSisakan hanya rakyat Giriya dan Vasuki!β
βSelain itu, habisi saja!β
βHah? Nistalit?? Kalau kau anggap masih berharga, pelihara mereka! Kalau tidak, basmi saja!β
βAnak-anak Gangika? Wanawa? Mereka calon pengkhianat seperti Milind dan Kavra! Bunuh!β
Nami memejamkan mata.
Air mengalir seperti sungai di kedua pipinya.
Suara senjata yang terhunjam ke tubuh-tubuh malang seperti irama maut yang mencabut nafasnya perlahan. Bagai anak panah yang menancap, tak dapat dikeluarkan lembut, harus ditarik paksa hingga merobek sekujur bagian tubuh. Ia tak akan pernah memaafkan dirinya karena membiarkan pembantaian berjalan demikian luas di depan mata!
βHulubalang Daga! Ada prajurit Nistalit bertopeng! Kita apakan dia??β
βBuka topengnya!β
Nami meronta, Sadu sekuat tenaga menghimpitnya agar tak banyak bergerak.
Terdengar gerakan kasar dan suara tertahan.
βSiapa namamu, ha??β
Diam. Pukulan. Tendangan. Suara siksaan. Jerit tertahan.
βHulubalang Daga bertanya siapa namamu?!β
Lirih, suara prajurit Nistalit terdengar, ββ¦Wangβ¦gaβ¦β
Nami memejamkan mata, menyumpahi dirinya sendiri. Ia bahkan tak mengenali sembilan belas Nistalit teman seperjuangannya dengan baik. Baru kali ini ia mendengar Wangga; selain Dupa, Sadu, Manta, dan Woya yang telah diketahuinya. Oh, betapa ia ingin melihat wajahnya agar tahu seperti apa Wangga.
Tawa membahana di sekelilingnya.
βKau hanya budak rendah! Kemampuanmu payah! Buat apa topengmu? Menakuti kami? Bahkan ayunan pedangmu lemah!β
βBodohnya Wanawa yang mengambil Nistalit sebagai prajurit! Kalian hanya umpan murahan!β
Terdengar suara berlari dan hiruk pikuk.
βHulubalang! Kami telah menghabisi semua lawan yang terjatuh di Giriya!β
βMasih tersisa beberapa di sini,β ujar Daga, suara yang sangat dikenali Nami.
βHulubalangβ¦Dagaβ¦,β terdengar suara terengah.
βLancang sekali kau menyebut namaku, Nistalit sampah!β
ββ¦bunuhβ¦aku, tapi jangan ibu dan anak iniβ¦β
Tawa meledak.
βDi ujung tanduk pun, kau masih menawar??β
βHambaβ¦mohonβ¦Tuan boleh bunuh hambaβ¦β
βPrajurit!β
βSiap, Hulubalang!β
βPeriksa! Ibu dan anak itu, siapa dia? Wanawa, Gangika, Jaladhi, Paksi?β
Tangis lirih, suara permohonan.
βNistalit, Hulubalang!β
βKau bahkan tak perlu izinku untuk menghabisi mereka!β
βHulubalangβ¦Daga!β teriak Wangga. ββ¦jangan sentuh mereka! Mereka tak bersalahβ¦β
βCukup! Kita buang-buang waktu! Laporkan semua kejadian pada panglima Rakash!β teriak Daga. βHabisi semua musuh, Prajurit!β
Prajurit Giriya yang tertinggal untuk membereskan lawan hingga benar-benar mati sejumlah lima orang.
Wangga berusaha melawan dengan segenap sisa tenaga. Sekujur tubuh dipenuhi luka, ia berusaha melindungi seorang ibu yang tengah mendekap anak kecil . Hanya sesaat ia mampu menjadi perisai hidup, setelahnya lima prajurit Giriya tampak menikmati permainan yang tak seimbang.
Suara Wangga yang samar di ujung kematian, menjadi angin sendu yang terdengar menggaung kuat.
βJayalah Nistalitβ¦.. wangsa hina yang tangguhβ¦!β
Wilayah sepi itu kini hanya tersisa puing dan tumpukan mayat.
Gerbang perbatasan telah resmi ditutup oleh mantra wangsa.
Gaung tawa lima prajurit bergema, mengejek, menikmati kemenangan keji.
Jeritan seorang wanita di ujung senjata memekikkan telinga. Kemarahan Wangga mengakhiri pertempuran mereka. Sesaat sebelum senjata prajurit menikam anak kecil Nistalit, selendang kuning menarik tubuh rapuhnya masuk ke dalam mantra perlindungan. Tombak Garanggati di tangan Sadu membabat habis prajurit Giriya. Nami memeluk anak kecil itu, sementara Kavra melindungi keberadaan mereka dengan mantranya.
Sepi.
Hening.
Anyir kematian dan senyap kehidupan arwah.
Mereka terjebak di Giriya.
Kavra berniat menggunakan tunggangan angin ketika tetiba ia terhuyung. Luka menganga di pinggangnya, bekas senjata Kavra Hitam atau Haga Hitam. Baru disadari Kavra; ia terjebak di Giriya tanpa pengawal Akasha sama sekali. Dua prajurit Nistalit yang tangguh βditambah satu anak kecil β yang sama sekali tak memiliki kesaktian, menemaninya.
Tubuh Kavra gemetar.
Ia menyandarkan punggung.
Sadu berbisik, βKita harus cari tempat berlindung. Tuan harus menyembuhkan diri dengan mantra. Bisakah?β
Kavra mengangguk, berkata lemah, βmari kita cari tempat aman untuk bersembunyi. Aku tak bisa terus menerus menggunakan mantra dan selendang.β
Sadu memapah Kavra, βAku tahu tempat persembunyian. Aku pernah berlindung di sana. Biarkan aku mengendongmu, Panglima!β
Nami terpaku kehilangan akal.
Sadu menyeret lengannya.
Suara Wangga terpahat di benak dengan jelas : Jayalah Nistalit, wangsa hina yang tangguh.

*****
βApakah kita tak mengirimkan bantuan??β
βAku telah mengirimkan grawira Wulung dan Hulubalang Narpati!β
βKau tak akan turun tangan sendiri??β
βDemi Penguasa Langit, Gosha!!β ujar Milind. βBila itu tak melanggar perjanjian wangsa, sudah kulakukan sejak awal!β
Gosha menatap wajah Milind, terkejut dan bertanya-tanya.
βKita tidak boleh melanggar perjanjian, apalagi sumpah ksatria,β Milind mencoba tenang, walau sorot matanya gusar. βHanya kerajaan terpilih yang berhak menjaga perbatasan. Itu adalah kehormatan bagi prajurit dan pasukan mereka. Menjegal penjaga wangsa sama dengan menghina kerajaannya.β
βTeliksandi mengatakan Mandhakarma menyusup masuk atas perintah Vasuki dan Giriya!β kecam Gosha. βGangika dan Paksi kesulitan!β
βBila aku mengirimkan bala bantuan, Gangika dan Paksi akan tercoreng. Seolah mereka dianggap tak mampu mengatasi kesulitan!β
βKudengar Han telah meminta bantuan kepada pihak Gangika tetapi raja Nadisu hanya mengirimkan bantuan tak sesuai harapan!β
Saat mereka bersitegang, tergopoh hadir beberapa sosok yang sangat diharapkan. Elang besar kecoklatan di angkasa, yang mengubah tubuh menjadi sosok tangguh tegap memasuki Kahayun, Girimba.
βHaga!β teriak Milind dan Gosha bersama, dengan suara lega dan cemas campur aduk.
βAku mengirimkan utusan ke Paksi untuk menambah pasukan dan mengawal gerbang perbatasan wangsa kita!β Haga melaporkan beberapa peristiwa dengan singkat.
βBagaimana gerbang Wutamangga?β tanya Milind.
βAman, Milind,β Haga berkata pelan, tetapi tampak keraguan besar di bola matanya.
Milind menatap Han yang muncul kemudian di antara mereka, tampak kalut. Melihat raut wajahnya, semua yang hadir merasakan ancaman dan kepedihan siap meledak sewaktu-waktu. Terlebih, wajah Haga tampak mengalihkan pandangan dari tatapan Milind dan Gosha.
βKavra??β Milind mendesis, menatap Hulubalang Han dan Panglima Haga bergantian.
Belum sempat Haga dan Han menjelaskan lebih lanjut, beberapa prajurit Nistalit terengah berlari masuk mencoba memberikan laporan.
Gosha menyambut dua pasukan Nistalit yang kembali tertatih, βWoya!β
βManta terluka, Tuan,β Woya berkata, βsebagian Nistalit juga!β
βSadu??β Gosha bertanya cemas, sembari memerintahkan para tabib terbaik untuk mengobati mereka yang terluka. βMana Sadu??β
βIa mengejar Nami,β Woya berkata lirih.
Milind menatapnya tak berkedip, tak bernapas, tak bergerak.
βSadu mengejar Nami yang mengejar Panglima Kavra,β Woya lebih merinci. βKami melihat Kavra hitam dan Haga hitam sangat bernafsu ingin melumpuhkan Panglima Kavra.β
Sekarang, Milind menoleh ke arah Haga.
βKavra dan Nami mencoba menyelamatkan para prajurit yang mundur,β Haga dipenuhi rasa bersalah. βKavra mencoba menutup gerbang perbatasan setelah aku mulai kewalahan. Shaka dan Rakash, juga Mandhakarma serempak menyerangnya. Kami mendengar prajurit Nistalit menyebut Kavra hitam dan Haga hitam.β
Milind dan Gosha menatap Haga.
βMandhakarma membuat pusaran untuk menyedot kekuatan dan pasukan, sesaat setelah Kavra berjuang mati-matian dengan kesaktiannya untuk menutup gerbang dengan tombak Kanjaru dan selendang kuning,β Haga merampungkan kisahnya.
βNami dan Sadu mencoba menyelamatkannya,β Han menambahkan.
Milind mulai dapat meraba ke mana arah perbincangan mereka.
βMerekaβ¦jatuh ke tangan β¦Mandhakarma?β suara Milind nyaris hilang.
βAtau Giriya?β potong Gosha, ingin mendapatkan gambaran jelas.
βSemua sama berbahayanya,β Milind mencoba menenangkan diri.
βApakah Kavraβ¦β Gosha tak mampu melanjutkan kalimat.
βMati?β bisik Haga. βTidak. Aku merasa, dia terlalu berharga untuk langsung dibunuh.β
Milind menggenggam hulu pedangnya.
βTapi aku tak tahu dengan Nistalit yang menolongku,β Haga tampak prihatin, βSadu? Ya. Ia dan Hulubalang Han menolongku. Kalian tahu bagaimana Vasuki dan Giriya memperlakukan Nistalit.β
Angin yang tetiba memusar cepat di Kahayun, menggambarkan kemarahan Milind yang mulai memuncak. Ia mencoba bersemadi, untuk tak melepaskan kemurkaan pada para sahabat di sekelilingnya.
Untuk sementara, Akasha dan Pasyu aman dari Mandhakarma yang menyerang melewati gerbang utama. Namun bukan berarti meraka akan berhenti menggulung kerajaan-kerajaan, sebagaimana yang pernah dilakukannya ketika menyerang Aswa, Jaladhi, Gangika, Wanawa dan seluruh wangsa. Upaya Mandhakarma melalui gerbang penjagaan wangsa demi lebih cepat memenuhi tujuan utama untuk menghancurkan seluruh Akasha dan Pasyu.
βMandhakarma telah menghanguskan dan meracuni separuh Jaladhi,β gumam Milind. βMandhakarma berhasil memecah Wanawa menjadi dua wilayah : Giriwana dan Girimba. Mandhakarma mencengkram Gangika untuk tunduk padanya, mengakibatkan raja dan panglimanya tak seiring sejalan. Mandhakarma mengambil Tala hal Vasuki dan kerajaannya, juga Giriya sebagai sekutu terkuat. Mandhakarma mengambil para panglima hitam dari jurang Palgawang untuk menjadi bayangan terburuk kita.β
βKau sedang mencatat daftar keputus asaanmu, Milind?β tanya Gosha tak mengerti.
βTidak,β Milind menggeleng, menahan napas. βAku sedang membandingkan kehebatan mereka dengan apa yang kita punya.β
Sang panglima Wanawa memejamkan mata. Giriwana dan Girimba membayang di hadapan mata. Bila Mandhakarma menggulung mereka, hutan-hutan hijau akan meranggas mati. Seluruh kehidupan subur dan makmur harus berakhir. Giriya dan Gangika tak mengerti dengan siapa mereka bersekutu. Pasukan biru Jaladhi tak mampu menahan sendirian. Pasyu Mina, Pasyu Paksi dan Pasyu Aswa pasti tak akan bertahan pula; walau kesaktian mereka tak lagi diragukan. Bila seluruh kekuatan hitam bersatu, mengapa Wanawa tidak mengokohkan persekutuan? Termasuk dengan mereka yang telah terbuang karena melanggar sumpah Akasha dan Pasyu?
βGosha,β suara Milind tertahan, ββ¦kita harus segera membangun jalur Guhaya di sini.β
Gosha menatap Milind, diliputi keraguan.
βKita harus menyelamatkan Kavra,β suara Milind memohon.
Jauh di lubuk hati, Milind berteriak menyebutkan satu nama lain yang ingin diselamatkannya.
*****

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi π₯°
