
Bagian 5
“Aku nggak bahagia.”
“A-apa?”
Cakra tak mempercayai indra pendengarannya sekarang. Ia yakin bisikan yang nyaris tak terdengar itu seharusnya ‘aku selama ini bahagia’ bukan justru sebaliknya. “Jangan bohong, Rachel. Jangan bohong!” teriak Cakra sambil mengacak kasar rambutnya. Keduanya masih berdiri di dekat pintu unit apartemen Rachel.
Sayangnya Rachel malah menggeleng tegas. “Itu kenyataannya, aku nggak bahagia, aku tertekan, makanya aku selingkuh.”
Cakra membalikkan tubuhnya menghadap dinding. Selanjutnya ia menghantamkan tinjunya ke tembok nan keras. Kenapa Rachel harus berbohong padanya? Apa yang perempuan itu coba untuk tutupi?
“Pergi, Cakra! Kita udah selesai, nggak perlu lagi ungkit-ungkit yang udah berlalu.”
Kembali berbalik badan untuk menghadap sang mantan istri, Cakra maju lalu memegang kedua lengan Rachel kuat. “Katakan apa yang sebenarnya terjadi,” desisnya persis di depan wajah Rachel.
“Aku udah jawab tadi.”
Giliran Cakra menggelengkan kepalanya tanda tidak setuju. “Jujurlah … please ….”
“Jawaban apa lagi yang pengen kamu denger, sementara aku udah jawab yang sejujurnya.”
“Kamu bohong!”
“Enggak! Itu kenyataan yang harus bisa kamu terima!” Nada suara Rachel meninggi, seiring dengan cengkeraman di lengannya yang makin mengerat.
“Kenapa harus bohong, Rachel, kamu bahkan nggak selingkuh!”
Perempuan di hadapan Cakra terkesiap, tapi tetap menatap Cakra nyalang dengan kedua matanya yang ikut memerah.
“Dokter Antonio, seorang psikiater yang setiap bulan kamu kunjungi di rumah sakit. Dia bukan selingkuhan kamu. Malam itu setelah aku pergi dari rumah, dia bawa kamu ke rumah sakit karena takut kamu menyakiti diri sendiri, begitu, kan?” Cakra membeberkan informasi yang baru diterimanya karena Rachel yang hanya diam tak menjawab pertanyaannya. Selang beberapa detik, mantan istrinya itu masih setia dalam kebisuan, tak membenarkan pun tak menyangkalnya.
“Ada apa sama kamu, Rachel?” Kedua tangan Cakra melepaskan diri dari lengan rapuh milik sang mantan istri, lalu berpindah ke punggung perempuan itu untuk menariknya masuk dalam pelukan. “Kamu kenapa, Sayang? Kenapa kita jadi begini?” Pelan sekali Cakra berkata.
Air mata Cakra menetes bersamaan dengan tangan kanannya yang membelai rambut Rachel dari puncak hingga ke ujungnya. Biasanya perlakuan seperti ini bisa membuat Rachel menumpahkan semua yang perempuan itu rasakan, menceritakan seluruh beban yang mengganjal.
Rachel bergeming, tidak membalas pelukan Cakra, juga tak menangis meski kabut sudah mengaburkan penglihatannya.
“Bicara, Sayang … sekarang aku di sini. Aku nggak akan ke mana-mana lagi. Aku bakal selalu ada buat kamu. Maaf kalo beberapa bulan yang lalu aku lalai sama kewajibanku buat kasih perhatian sama kamu. Maaf buat semua kata-kata kasar dan makian yang sempet keluar dari mulut aku.” Tangan Cakra masih bergerak naik turun. Sungguh kalau saja semua caci maki yang sudah terlontar bisa ditelannya kembali, ia akan melakukannya sekarang juga.
Menyesali semua sikap dan perbuatannya adalah hal yang tengah dirasakan Cakra saat ini. Jarak yang memisahkan dan ia yang terlalu sibuk mengembangkan usahanya di Bandung membuatnya abai pada keadaan Rachel. Jika saja ia tidak memutuskan tinggal di luar kota, mungkin Rachel tidak akan kesepian, mungkin Rachel tidak akan tertekan, karena Cakra akan selalu menjadi orang pertama yang akan mendengarkan keluh kesahnya.
“Kamu yakin mau tau alasan di balik semua ini?” Setelah cukup lama dua orang berstatus mantan suami istri itu berpelukan, akhirnya Rachel buka suara.
Kepala Cakra mengangguk di atas bahu kekasih hatinya. “Katakan … apa pun itu yang mengganjal di hati kamu.”
“Kamu yakin mau tau kenapa aku nggak pernah nyangkal tuduhan perselingkuhan itu?”
“Ya.” Cakra lantas memejam, sementara hidungnya menghirup dalam-dalam aroma memabukkan yang menguar dari tubuh sintal kepunyaan Rachel. Sudah sangat lama, ketika terakhir kali ia bisa melakukannya.
“Karena aku memang pengen kita pisah.”
Kedua kelopak mata Cakra terbuka dengan cepat. Selanjutnya tubuh laki-laki itu mengurai pelukan. Seraya mengunci tatapan mata Rachel, telapak tangan Cakra membingkai wajah ayu yang memasang raut sendu.
“Why?” Suara serak Cakra bertanya.
Rachel sempat meragu sebab takut perkataannya akan melukai perasaan Cakra, tetapi apalah daya bila itulah yang ia rasa.
“I don’t love you anymore.” Kalimat itu diucapkan Rachel dengan suara datar tanpa getaran dan intonasi yang berarti.
Cakra menggeleng, lagi. “Liar! Kamu pembohong yang buruk, Sayang ….”
“Aku nggak bohong, kamu pikir alasan apa lagi yang membuat seseorang ingin berpisah dari pasangannya kalo bukan karena udah nggak cinta lagi? Aku tertekan karena harus pura-pura masih cinta padahal ….” Rachel menggeleng, lambat. “Enggak,” sambungnya.
Pelan-pelan, Rachel menaruh kedua tangannya di atas punggung tangan Cakra lalu membawa anggota tubuh Cakra itu menjauh dari wajahnya. “Entahlah, aku juga nggak tau kenapa tiba-tiba cinta itu ilang gitu aja, mungkin karena dua tahun terakhir kita jarang ketemu. Dan berpura-pura baik-baik saja itu ternyata sangat melelahkan.”
Cakra jelas tidak percaya dengan perjelasan Rachel. Walaupun jarang bertemu, tapi komunikasi mereka tetap lancar, dan setiap kali ia pulang ke rumah mereka, Rachel selalu menyambutnya dengan suka cita. Tidak ada perubahan yang signifikan dari sikap perempuan itu selama ini. Jadi kebohongan macam apa yang kini sedang coba Rachel ceritakan? “Jangan mengada-ada. Aku nggak percaya.”
Raut sendu yang sudah lenyap dari wajah Rachel, berganti dengan riak datar tak terbaca. “Terserah, kamu percaya atau nggak, nggak penting buat aku. Toh sekarang kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi.”
Rachel hendak beranjak, ketika lengannya dicekal sang mantan suami.
“Sayang … aku janji nggak bakalan ninggalin kamu lagi. Kamu marah karena sering aku tinggalin, kan? Aku janji nggak lagi-lagi! Kalau pun harus keluar kota, aku bakal ajak kamu. Kita rujuk, ya? Kita bangun lagi semua yang udah runtuh. Kamu masih cinta sama aku. Aku yakin itu.”
Mendengar kata demi kata yang terucap dari bibir mantan suaminya, Rachel mendengkus, lanjut menyahuti. “Aku nggak mungkin diam aja dituduh selingkuh kalo keinginan buat pisah sama kamu nggak sekuat ini. Dan satu-satunya alasan yang bikin aku pengen cerai adalah karena cinta buat kamu udah nggak ada lagi.”
“Berhenti berbohong, Rachel, cukup! Aku nggak akan percaya!” tukas Cakra tegas.
“Tapi itu kenyataannya!” Rachel menimpali cepat-cepat. Sungguh, cinta untuk pria pertamanya itu memang sudah tinggal kenangan.
Cakra mengayun satu langkah ke depan, kembali memangkas jarak. “Oke, kita buktikan siapa yang benar.”
Usai bibir Cakra terkatup, benda kenyal nan basah itu melakukan serangan pada benda yang sama milik mantan istrinya. Tangan kanan Cakra kemudian menyusup ke dalam piyama bercorak kotak-kotak yang dikenakan Rachel, membelai lembut kulit punggung sehalus sutera perempuan itu.
Hampir sebelas tahun berhubungan, tujuh tahun berada dalam ikatan pernikahan, Cakra jelas tahu titik-titik sensitive di setiap lekuk tubuh Rachel. Dan dari awal mereka menjalin asmara, Rachel selalu menyerah saat Cakra membuainya. Perempuan itu akan lebih dulu pasrah dengan malu-malu, sebelum akhirnya bergerak sama liarnya seperti Cakra.
Merasa kali ini pun ia akan menang karena Rachel tak memberontak, Cakra mengangkat badan sang mantan istri, menggendongnya selayaknya anak kanguru, lalu berjalan ke arah kamar yang pintunya terbuka lebar.
Secara perlahan, tubuh Rachel Cakra baringkan di tempat tidur. Lebih dulu, Cakra singkirkan rambut panjang yang menutupi wajah putih berseri itu. “I still love you, can’t you see?come back to me. I’m begging you, please …,” bisiknya kemudian sesaat sebelum merekatkan lagi bibirnya pada bibir Rachel.
Netra Rachel mulai terkulai lemah, dan di dalam kegelapan itulah, ia mencerna semuanya … tentang sentuhan Cakra yang tak lagi menghadirkan desir aneh dalam dada, tentang belaian Cakra yang tak sanggup mengobati dahaga dalam jiwanya, tentang lumatan Cakra yang tak mampu membangkitkan hasratnya, juga tentang cumbuan Cakra yang tak sanggup memunculkan percikan kenikmatan dalam raganya.
Jadi dari semua itu … Rachel menyimpulkan sesuatu … cinta itu telah sirna, tak lagi bersemayam dalam sukmanya. Akan tetapi, tetap ia biarkan Cakra berbuat sesuka hati. Ia ingin Cakra tahu, bahwa laki-laki itu bukan lagi pemilik hatinya.
Cakra bukannya tak menyadari jika tubuh Rachel kaku membatu. Ia hanya tak dapat lagi mengendalikan diri. Terlalu lama, dirinya tidak menikmati tubuh yang selalu berhasil membuatnya mendamba.
Segala upaya Cakra lakukan sebaik-baiknya, semua titik sensitive sudah Cakra mainkan semaksimal yang ia bisa, namun Rachel masih saja bergeming, tak bergerak, tak bereaksi.
Lalu, dengan hati yang teriris perih dan air mata yang mulai menetes, Cakra melakukan penyatuan. Berharap hal itu bisa membuat Rachel menikmati permainannya seperti dahulu kala. Tapi sampai akhir pelepasannya, Rachel masih bak patung tak bernyawa.
“Berbeda dengan laki-laki yang bisa bermain cinta dengan perempuan mana saja, wanita hanya bisa bercinta dengan pria yang menggenggam hatinya.”
Ingatan perihal ucapan Rachel semasa dulu, membuat hati dan badan Cakra ambruk. Laki-laki itu kemudian menyerukkan wajah di lekuk leher mantan istrinya dengan air mata yang semakin mengalir deras. Kenyataan bahwa Rachel memang sudah tidak lagi mencintainya, menyakiti Cakra begitu dalam.
Merasakan basah di sekitar kulit lehernya, kelopak mata milik Rachel terbuka, lalu menatap kosong ke langit-langit kamar. Cukup lama Rachel biarkan Cakra tenggelam dalam tangis tanpa suara. Beberapa saat kemudian ketika dirasa detak jantung sang mantan suami kembali berirama normal, Rachel menggerakkan bibirnya dengan sangat pelan. “Maaf … aku telah mengingkari janjiku sendiri, ternyata … aku tak bisa mencintaimu sampai mati.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
