
Gita tetap diam, bahkan untuk mengangkat wajah saja, dia tak berani.
“Dan nggak seharusnya kamu ikut campur lagi sama urusanku.” Brizma berdiri, sebentar menormalkan deru napasnya yang memburu kemudian kembali berucap tegas. “Aku peringatin sekali lagi sama kamu, aku harap ini bener-bener jadi peringatan yang terakhir. Jangan pernah ganggu aku lagi! Dalam hatiku, cinta buat kamu udah mati. Aku bahkan udah nggak pengen lagi kenal sama kamu.” Selepas rentetan kalimat pedas itu, Brizma beranjak dari...
BRI – 2
Gita turun dari motornya dengan tergesa. Dia lekas beranjak pasca menaruh helm di jok lalu sedikit merapikan rambutnya pakai jari selagi berlari-lari kecil.
Sampai di depan pintu masuk kafe, pandangan Gita mengedar, memastikan kalau pemuda yang dicarinya tidak ada di luar. Barulah setelah yakin, dia melangkah ke dalam dengan anggun. Dress berwarna biru laut sepanjang lutut melekat indah pada tubuh rampingnya.
Masuk lebih jauh, Gita akhirnya menemukan tempat di mana pesta ulang tahun salah satu temannya digelar. Mengusung tema autdoor, bagian belakang kafelah yang disulap untuk menampung puluhan tamu undangan yang sebagian besar adalah mahasiswa di universitas yang sama dengan Gita.
Acara inti agaknya telah berakhir, terlihat dari para undangan yang sebagian besar tampak sedang menikmati makan malam. Gita juga sempat melihat kue tart tak jauh dari tempatnya berdiri, sudah tak utuh lagi.
“Liat cowok gue, nggak?” tanya Gita pada segerombolan pemuda yang tengah berdiri sambil berbincang ringan. Mereka semua merupakan teman seangkatan Gita dan Brizma. Jadi sudah pasti mereka tahu siapa pria yang Gita maksud.
“Nggak nyapa yang punya pesta dulu, Cantik?” Pria berjaket denim justru bertanya, alih-alih memberitahu keberadaan Brizma.
Gita sama sekali tak peduli dengan Roy, teman satu jurusan yang menyelenggarakan pesta ini. Di otaknya hanya ada Brizma, juga tentang kesempatan untuk bisa mendekati mantan pacarnya itu lagi. Dua minggu sudah berlalu tanpa hasil, Gita nyaris gila dibuatnya. “Nanti aja,” sahutnya kemudian menoleh ke sana ke mari.
“Lagian aneh, kenapa nggak barengan, sih, datengnya?” tanya pemuda yang memakai kacamata.
Lalu satu lagi dari tujuh pria itu, menanyakan sesuatu. “Gue denger-denger, bukannya lo ama Bri udah putus, ya?”
Mendecakkan lidahnya kesal, Gita memilih tak menimpali. Dia melengos lantas langsung meninggalkan kerumunan begitu saja. Gita berjalan perlahan, pandangannya mengedar. Hingga sekitar lima menit berkeliling, retinanya menemukan sosok yang dicari-cari.
Brizma ada di bagian pojok kafe, sisi yang cukup tersembunyi dan sepi. Pria itu sedang berdiri berhadapan dengan seorang gadis bergaun merah muda. Gita belum bisa mengenali siapa gadis itu, sebab cuma bagian belakang badan si gadis yang dapat dia perhatikan.
Gita mengendap-endap, langkahnya dibuat agar tak menimbulkan suara. Sungguh dia penasaran, apa yang sedang dua orang itu bicarakan sampai harus menyingkir dari teman-teman yang lainnya.
Sepenting atau serahasia apa?
Makin dekat, bisa Gita lihat raut wajah Brizma yang tampak serius mendengarkan, sampai-sampai mantan pacarnya itu tak menyadari jika jarak mereka tinggal sejauh empat langkah kaki.
“Maaf … tapi aku nggak bisa nahan perasaan ini lagi.”
Tahu sekarang siapa gadis yang baru saja bersuara dan berdiri membelakanginya, Gita tersenyum sinis. Ternyata tebakannya tepat.
Sialan!
“Dari dulu aku emang udah suka sama kamu, Bri ….”
Ucapan Jessi yang belum sempat menguap, harus tertimpa sahutan dari Gita yang menyambar dengan tak sabaran. “Eh eh eh, ada yang lagi nembak cowok gue nih.” Gita lalu bergegas maju dan berhenti di tengah-tengah dua manusia berbeda jenis kelamin yang katanya bersahabat.
Jessi jelas saja terbelalak, sedangkan Brizma spontan menghela napas panjang.
“Aku bilang juga apa, Bri ….” Gita berinisiatif merangkul lengan sang mantan pacar sebelum Brizma melarikan diri. “Aku ‘kan sering bilang kalo dia nyimpen rasa sama kamu, kamu malah nggak percaya. Sekarang terbukti, kan, ucapanku bener,” tambahnya dibarengi dengan sebuah ejekan lewat tarikan di sudut bibir.
Wajah Jessi seketika merah padam. Mungkin malu, mungkin juga tersinggung.
“Udah ah, nggak usah ditanggepin. Nggak penting juga. Ambil makan yuk, Bri … aku laper nih.” Menarik Brizma sekuat tenaga, Gita berusaha supaya mantan pacarnya tak menanggapi pernyataan cinta dari sahabat pria itu. Gita pastinya takut kalau-kalau Brizma justru menerimanya.
Brizma terpaksa mengikuti langkah Gita. Bukan karena ingin, pemuda berambut cepak itu hanya tak mau terjadi keributan lagi seperti dua minggu lalu di kantin kampus.
“Kamu kok mau-mau aja, sih, diajakin ngomong berdua gitu.” Gita mengomel selagi berjalan. Kakinya juga dihentak-hentakkan beberapa kali ke tanah. “Dasar cewek gatel. Ih … sebel aku.”
Mendadak, Brizma berhenti kemudian melepaskan rangkulan tangan Gita. Dia ganti menarik pergelangan tangan gadis berperawakan tinggi itu keluar dari kafe. Brizma lantas membawa Gita masuk ke restoran makanan cepat saji yang ada di seberang.
“Apa mau kamu?” tanya Brizma begitu tubuh keduanya menyentuh kursi. Mereka mengambil tempat berhadap-hadapan.
Penuh penekanan di setiap kata yang Brizma ucapkan, membuat Gita menelan ludahnya kelat. “Maksudnya?” Pura-pura tak paham, itu yang sedang dirinya lakukan.
Brizma membuang napasnya kasar. “Semua permintaan aku ke kamu buat nggak ganggu aku lagi, sama sekali nggak kamu lakuin.” Rahang Brizma mengeras sementara tatapan matanya tajam menusuk. Sepertinya pria itu benar-benar tidak suka dengan perilaku Gita. “Apa lagi yang harus aku katakan biar kamu sadar kalau kita udah pisah, kalo aku udah nggak mau lagi sama kamu.”
Gita mengerjap, lalu seketika itu juga matanya terasa panas, ingin menangis.
“Apa?” ulang Brizma. “Jawab!”
Sedikit menunduk, Gita mencoba menyembunyikan raut wajahnya dari pemuda yang kentara sekali tengah emosi. Ah, rupanya kesempatan untuknya memang sudah tak ada lagi.
“Dua minggu ini aku coba buat sabar, tapi kamu justru makin keterlaluan. Coba bayangin kalo kamu jadi Jessi. Kamu tadi bikin dia malu. Di mana perasaan kamu? Kalian sama-sama cewek.”
Gita tetap diam, bahkan untuk mengangkat wajah saja, dia tak berani.
“Dan nggak seharusnya kamu ikut campur lagi sama urusanku.” Brizma berdiri, sebentar menormalkan deru napasnya yang memburu kemudian kembali berucap tegas. “Aku peringatin sekali lagi sama kamu, aku harap ini bener-bener jadi peringatan yang terakhir. Jangan pernah ganggu aku lagi! Dalam hatiku, cinta buat kamu udah mati. Aku bahkan udah nggak pengen lagi kenal sama kamu.” Selepas rentetan kalimat pedas itu, Brizma beranjak dari sana, meninggalkan Gita yang masih tenggelam dalam kebisuan.
Gita baru berani menegakkan kepalanya usai sosok sang mantan pacar menghilang. Dia lantas menengadah, menatap langit-langit restoran yang berwarna putih sembari bergumam, “Jangan nangis! Jangan nangis! Jangan nagis, Gita!”
Dan usahanya berhasil. Air matanya tak sempat keluar. Gita sukses menelan lagi kesakitannya.
Sekiranya lima belas menit kemudian, Gita baru keluar dari restoran, tanpa memesan makanan apa pun. Yang diperbuatnya sepanjang seperempat jam tersebut hanyalah merenung dan memikirkan setiap kata dari kalimat panjang yang Brizma lontarkan.
Haruskah dia menyerah lantas merelakan Brizma begitu saja? Tapi dia masih mencintai pria itu.
Lalu … harus bagaimana?
Langkah-langkah gontai membawa tubuh ramping Gita ke parkiran kafe. Dia ingin segera pulang dan memikirkan sekali lagi semuanya di atas tempat tidur.
“Ini dia yang ditunggu-tunggu, akhirnya dateng juga.”
Mata Gita memincing. Tiga sahabat pria Brizma sedang berdiri mengelilingi motornya. Rudi bahkan mengukir senyum aneh selepas mengeluarkan suara yang tak enak didengar.
“Ngapain kalian?” Dahi Gita berkerut dalam.
Mirza berusaha mendekat. “Jangan galak-galak dong, kita mau ngasih penawaran bagus loh buat lo, Git.” Tulunjuk Mirza mampir sebentar di dagu Gita.
Gita refleks mundur dua langkah. “Apa-apaan, sih!” Dia mengusap dagunya kasar dengan punggung tangan. “Jangan kurangajar, lo!”
“Ck, sok jual mahal.” Giliran Haikal yang bersuara. “Kita-kita juga punya duit banyak, nggak kalah sama selingkuhan-selingkuhan lo di luar sana.”
Tak pelak Gita mendelik. Kedua tangan di sisi-sisi tubuhnya kemudian terkepal kuat.
“Bilang, berapa tarif lo buat semalem. Seharga tas hermass? Apa Gulli?” sambung Haikal, selanjutnya pemuda itu terkekeh. “Gue sanggup bayar! Tinggal sebut aja!”
Kemarahan Gita naik ke permukaan saat itu juga. “Jaga, ya, mulut lo! Gue bukan perek, Bangsat!” teriaknya penuh emosi. Untung saja tempat parkir hanya penuh sesak oleh kendaraan, tapi tidak ada satu manusia pun di sana selain mereka berempat.
Tiga pria di depan Gita kompak pura-pura terkejut. Salah satu dari mereka sampai menutup mulut dengan dua telapak tangan.
“Kenapa lo marah?” tanya Rudi pelan. Pria berkemeja hitam itu lantas melanjutkan. “Nggak usah sok suci. Kita semua udah tau gimana tabiat lo yang sebenernya.”
“… Pelacur,” sambung Haikal.
Tak sanggup lagi menahan, akhirnya … satu tetes air mata pertama jatuh dari netra Gita. Mengalir bersama harga diri yang terkoyak.
“Lo jual tubuh sama kecantikan lo buat morotin cowok-cowok kaya, kan?” Mirza lanjut menimpali. Dia lalu menepuk-nepuk jok motor Gita. “Ini motor jangan-jangan juga hasil dari jual diri lagi.”
“Jaga omongan lo, Berengsek!” Teriakan Gita terdengar serak lantaran bercampur dengan isakan.
Sahabat Brizma kontan tertawa, bersahut-sahutan. Terlihat begitu senang bisa menginjak-injak harga diri seorang Brigita, salah satu mahasiswi tercantik sekaligus terpintar di kampus mereka. Mahasiswi yang diidolakan banyak pria.
“Apa yang bikin lo nangis?” tanya Haikal usai tawanya mereda. “Sakit hati sama omongan kita? Makanya jangan bebal jadi orang. Udah dibilangin, kan, jangan deketin Bri lagi, eh masih nekad aja. Asal lo tau, dia udah jijik sama lo!”
Gita menatap nyalang tiga pemuda di hadapannya, ingin sekali rasanya merobek mulut-mulut sampah milik mereka. Dia benar-benar tak terima dituduh telah menjual tubuh demi uang dan barang-barang mewah. Karena kenyataannya memang tidak seperti itu. Para laki-laki yang mendekatinya, memberikan hadiah secara cuma-cuma, tanpa pernah Gita minta dan tanpa imbalan apa-apa.
“Mulai sekarang, jauh-jauh lo dari Bri, kalo lo nggak mau semua orang di kampus tau kelakuan menjijikan lo di luaran sana.”
Rudi memberikan ancaman yang ditanggapi oleh Gita dengan sebuah tantangan. “Apa yang mau lo kasih tau ke semua orang? Kalo pada kenyataannya gue nggak kayak yang kalian tuduhkan.” Gita maju, lekas mendorong dada Rudi dengan mengerahkan segenap tenaganya. “Lo pikir gue takut, hah?” Meski air matanya telah luruh, namun nyalinya tetap utuh.
“Lo—” Rudi hendak membalas saat ponsel di saku kemejanya mendadak berdering nyaring. Tangan yang sudah terangkat ke atas, ditariknya lalu digunakan untuk mengambil handphone. “Halo ….”
Gita masih berdiri persis di depan Rudi. Mereka saling bersitatap dengan dagu Gita yang terangkat tinggi serta Rudi yang berbicara dengan seseorang yang menghubunginya.
“Gue sama yang lainnya di parkiran depan.”
Ucapan Rudi terdengar amat jelas.
“Lagi ngasih pelajaran sama mantan lo, sesuai sama yang tadi kita bicarain.”
Apa?
Ini ….
Sakit. Gita merasa ada yang hancur dalam dadanya. Perkataan Rudi telah memunculkan satu pemahaman dalam otaknya.
Jadi … mereka bertiga berbuat seperti ini atas perintah dari Brizma?
Jadi … sehina itu dia di mata sang mantan kekasih?
Merasa tak sanggup lagi berdiri, Gita lantas menekuk lututnya. Di detik yang sama, dia menenggelamkan wajah di lipatan paha. Gita terisak hebat, tak peduli meski tiga orang lainnya di sana mungkin akan menertawakannya lagi. Biarkan saja.
Tapi ternyata bukan tawa yang Gita dengar, melainkan langkah kaki yang makin menjauh.
Cukup lama Gita menangis sendirian tanpa mempedulikan keadaan sekeliling, sampai akhirnya telinganya menangkap sebuah panggilan yang tak asing.
“Git ….”
Gita bergeming.
Pemuda yang panggilannya tak dijawab, lantas ikut berjongkok. Kemudian memegang bahu Gita lembut. “Git?” ulangnya sekali lagi.
Mengenali suara itu dengan baik, membuat Gita perlahan mengangkat kepalanya. Dia suguhkan wajahnya yang sembab dan dibasahi air mata.
“Aku tau aku salah … tapi ….” Gita berucap sambil mencoba meredakan tangisnya. “Apa harus seburuk ini balesan yang aku dapet? Apa menurut kamu aku emang pantes direndahin kayak gini?”
Jantung Brizma mendadak berdentam-dentam tak karuan. Detaknya terasa menyakitkan. Melihat Gita yang tampak sangat menyedihkan, menghadirkan nyeri di ulu hati. “Git ….” Brizma kesulitan menjawab. Tangan kanan yang terulur juga harus ditariknya lantaran gadis cantik itu tiba-tiba berdiri.
Gita tatap sosok sang mantan pacar dengan matanya yang masih penuh genangan air. Dia lalu berujar lirih. Teramat lirih hingga nyaris tak terdengar. “Terima kasih banyak buat penghinaan ini.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
