BRIgita - Part 1

79
8
Deskripsi

Mau ngebut nih, biar Bu Jani cepet tayang. Wkwkwkwk.

Tolong doian idenya lancar, ya, Bestie ….

BRI – 1

“Sempurna.”

Gita menatap puas pada hasil karyanya. Beberapa potong brownies dengan toping keju yang telah dingin ada dalam wadah kecil bermerek ternama, juga milk shake yang baru saja dituangnya ke dalam tumbler.

Pagi-pagi sekali dia sudah berkutat dengan berbagai bahan guna membuat kue kesukaan Brizma tersebut, dan sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengantarkannya. Gita berniat akan kembali merebut hati Brizma, meski harus menghalalkan segala cara.

Usai menaruh kotak makanan serta botol dalam sebuah paper bag, Gita segera beranjak dari dapur, menyambar tas yang diletakkan di atas meja makan, lalu keluar dari rumahnya dengan tekad yang membara.

Perjalanan selama tiga puluh menit dengan motor matic-nya, tak menjadikan tekad Gita goyah sedikit pun. Pun saat dia harus menunggu sang mantan kekasih yang belum juga keluar dari ruangan dosen pembimbing, Gita tetap memasang wajah seceria warna pelangi.

“Bri …,” panggil Gita sambil melambaikan tangan. Akhirnya setelah kurang lebih satu jam dia berdiri tak jauh dari ruang dosen, pemuda yang dinantikannya muncul juga.

Brizma melengos, lantas menarik langkah menjauh. Semenit kemudian, gadis yang dihindarinya mati-matian, sudah mensejajari langkahnya.

“Gimana skripsinya?”

Berbeda dengan Gita yang hanya tinggal menunggu jadwal wisuda, Brizma masih harus berjuang dengan tugas akhir yang belum juga rampung dikerjakan. Bukan karena pemuda itu malas, tapi Gita yang memang memiliki otak cemerlang, bisa menyelesaikannya lebih cepat.

Tak mendapat jawaban, Gita tetap melanjutkan ucapannya. Istilahnya pantang menyerah. “Kenapa lama banget, Bri? Tumben.”

Tidak sekali dua kali Gita menemani Brizma ketika pria tampan itu menemui dosen pembimbing. Jadi dia merasa heran, kenapa Brizma keluar lebih lama dari biasanya.

“Banyak yang harus direvisi, ya?”

Langkah Brizma makin panjang-panjang, tapi lantaran Gita memiliki tinggi badan yang tak jauh berbeda dengannya, gadis itu tetap bisa menyamai tanpa merasa kesulitan. 

“Bri … aku udah bikinin kue kesukaan kamu. Makan di kantin, yuk ….”

Ajakan Gita membuat langkah Brizma otomatis terhenti. Tapi bukan senyuman yang Gita terima, melainkan sebuah bidikan tajam dari kedua mata sang mantan kekasih.

“Bisa nggak, kamu nggak ngikutin aku terus?”

Bukannya takut sebab suara pemuda di depannya yang terdengar emosi, Gita justru mengeluarkan cengiran lebar, masih menyakini bahwa kemarahan Brizma akan bisa dia tangani. “Nggak bisa, kan, kita udah biasa ke mana-mana selalu berdua,” sahutnya santai.

“Apa harus aku ingetin, kita udah putus, Git!”

Meski sudah menjalin hubungan bertahun-tahun, tapi keduanya tak memiliki panggilan sayang. Mereka tetap memanggil dengan nama masing-masing. Gita yang tak suka, menurutnya panggilan seperti itu terkesan terlalu kekanak-kanakan.

Tentu saja Gita ingat, mana mungkin kejadian kemarin malam bisa dilupakannya begitu saja. Setelah motor yang Brizma naiki membawa pemuda itu pergi, Gita melanjutkan tangisnya sampai pagi.

“Putus?” Gita memasang wajah bodoh yang dibuat-buat. “Kapan kita putus? Kok aku nggak inget?”

“Ck!” Brizma berdecak kesal. “Udah jangan ikutin aku lagi!” perintahnya sebelum kembali menggerakan kaki.

Bukan Gita namanya kalau menyerah begitu saja. Dia tetap mengikuti mantan pacarnya. Bahkan saat Brizma berhenti sebentar untuk menyapa beberapa teman, Gita juga turut menghentikan langkah tak jauh dari pria itu. Hingga akhirnya tubuh tegap Brizma berlabuh di sebuah bangku yang berada di kantin kampus, dia pun ikut duduk.

“Tadi diajak ke sini nggak mau, eh taunya ke sini juga.” Gita menaruh paper bag di atas meja lalu bergeser ke samping sang mantan. Dia lantas mengeluarkan dua buah benda dari dalam kantong kertas yang sedari tadi ditentengnya. “Tarraaa …,” ucapnya ceria. Gita menggoyang-goyangkan tangannya yang memegang wadah brownies persis di depan wajah Brizma.

Brizma tak merespon. Pemuda itu justru melambaikan tangan untuk memanggil pelayan. Saat pelayan datang menghampiri mejanya, Brizma langsung memesan satu porsi soto betawi serta segelas lemon tea dingin.

“Bri … aku buatin khusus buat kamu, cobain deh.”  Tangan Gita yang sudah memegang satu potong brownies, diarahkannya ke mulut mantan pacarnya.

Tidak mau membuka sedikit pun celah di bibirnya, Brizma malah mendelik, kemudian melengos ketika dilihatnya raut wajah Gita yang tampak kecewa.

Gita lalu diam sambil menaruh kembali potongan brownies ke dalam wadah. Hatinya tersentil, baru kali ini Brizma tak mengacuhkannya. Tanpa sadar, mukanya berubah cemberut.

Tak lama berselang, kantin menjadi penuh sesak. Gita melirik sekilas ke jam tangannya. Pantas saja, sekarang sudah memasuki jam makan siang.

Bertepatan dengan pesanan Brizma yang dibawakan oleh pelayan, tiga orang pria juga menghampiri meja mereka. Ketiganya langsung duduk tanpa permisi.

“Kayaknya kemaren ada yang cerita kalo udah putus deh.”

Gita mendengkus dengan muka yang kian tertekuk. Sudah dari hari pertama berpacaran dengan Brizma, dia tahu kalau teman-teman pria itu tak menyukainya. Gita tak paham apa penyebabnya. Yang pasti … sindiran dari Mirza terasa sangat menusuk hatinya.

“Ngapain, sih, lo masih gangguin Brizma?” Kali ini, si jangkung Rudi yang bertanya. Mata pemuda itu menatap Gita tajam.

Gita tak gentar, meski tiga pasang mata yang duduk di depannya menyorotkan tatapan permusuhan. Jangankan mereka, pada setan yang terkutuk saja, dia tak takut. “Apa urusannya sama lo-lo pada,” jawabnya sengit.

“Ya jelas ada urusannya.” Seorang gadis yang memegang botol air mineral mendekati meja mereka lalu dengan percaya dirinya langsung menyahuti pertanyaan dari Gita.

Usai berdecak, Gita memandangi gadis yang bernama Jessi itu lekat-lekat. “Apa urusan lo? Gue deketin Bri, ya, bukan deketin pacar lo. Kenapa juga lo harus sewot.”

Jessi juga salah satu sahabat Brizma selain tiga pria yang baru saja bergabung di meja. Dan dari dulu, Gita benci sekali dengan gadis itu. Selain suka sekali menganggunya, Jessi juga sering mencari perhatian Brizma.

Ya bilang pusing, lah.

Ya bilang sakit perut, lah.

Ya minta diajarin, lah.

Pokoknya Gita benci sekali. Titik.

Menaruh botol air mineralnya dengan kasar, Jessi lantas menaikkan nada bicaranya. “Lo udah diputusin, artinya Bri udah nggak mau lagi sama lo. Malu dong harusnya deketin dia mulu.”

Teramat kesal, Gita lekas bangkit. Tubuhnya diserongkan ke kanan agar menghadap langsung ke arah lawan bicaranya yang berdiri di samping Brizma. “Siapa bilang kami udah putus? Bri masih cowok gue! Sampe kapan pun dia tetep cowok gue!” kata Gita sambil berkacak pinggang. Suaranya yang cukup kencang berhasil merebut atensi para pelanggan kantin yang seketika melirik ke meja mereka.

Tawa Jessi tersembur keluar, terbahak gadis sipit itu sampai memegangi perutnya. “Ngimpi lo? Bangun, woy!”

Tak terima, Gita menyahut cepat. “Lo tuh yang dari dulu ngimpi pengen jadi ceweknya Bri. Lo pikir selama ini gue nggak tau kalo diem-diem lo suka sama sahabat lo sendiri?! Cewek muna!”

Sudah lama Gita merasa kalau Jessi mencintai Brizma. Semua sikap dan perhatian yang terkesan berlebihan untuk ukuran seorang sahabat, jelas sekali bisa terlihat di matanya.

“Lo—” Kalimat Jessi tertelan lagi sebab tangannya dipegang oleh Brizma. Pria yang dari tadi menjadi bahan perbincangan itu mendadak menghentikan makannya lalu menggelengkan kepala pada Jessi, meminta gadis itu supaya tak melanjutkan perdebatan lewat isyarat dari matanya.

Gita yang melihat interaksi dua sahabat itu lantas mencebik. Sedikit terpantik api cemburu. “Kenapa diem? Mau ngomong apa lo tadi?” tantangnya. Belum puas rasanya Gita meluapkan kemarahan di dada.

Jessi memilih diam, menuruti perintah Brizma. Tapi salah satu dari tiga pria yang dari tadi hanya memperhatikan, kini buka suara. “Emang udah paling bener, sih, lo putusin cewek model kaya begini, Bri ….”

Makin meradang, Gita tatap Haikal penuh amarah. “Jaga omongan lo!”

“Ada yang salah dari omongan Haikal?” tanya Rudi dengan penuh ejekan.

Melihat sang mantan pacar yang makin dipojokkan oleh sahabat-sahabatnya, Brizma akhirnya berdiri terus menarik tangan Gita agar mengikutinya keluar dari kantin. Sebelumnya, pria itu sempat merogoh kantung celana lalu menaruh uang pecahan lima puluh ribuan ke atas meja.

“Lepas, Bri …!” Gita mencoba membebaskan pergelangan tangannya dari cekalan mantan pacarnya selagi terseok-seok. “Biar aku kasih pelajaran mulut-mulut kurang ajar mereka.” 

Di balik wajah cantik dan sisi feminim dari diri seorang Brigita, gadis itu sangatlah pemberani. Intimidasi dari lawan bicara, tak pernah mampu mengkerdilkan nyalinya. Dan Brizma memahami itu dengan amat baik. Makanya, dia mesti menyeret Gita pergi dari arena adu mulut jika tak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

“Bri … lepas ….” 

Brizma tak mengindahkan permintaan itu, tubuhnya tetap berjalan membawa Gita sampai ke parkiran sepeda motor. Di bawah pohon yang cukup rindang, barulah celakannya dilepaskan.

“Kamu apa-apaan, sih.” Gita bersungut-sungut. Jemarinya mengelus pergelangan tangan kirinya yang tampak memerah. “Sakit tau,” adunya sembari meringis.

Brizma melihat ke bekas kemerahan itu, sedikit tersentak lalu membalas lirih. “Maaf ….”

Mendengar suara sang mantan pancar yang terdengar melunak, Gita memasang wajah memelas. “Sakit banget, Bri ….” Dia kemudian berusaha keras agar bisa mengeluarkan air mata walaupun sebetulnya tidak sesakit itu.

Tangan Brizma terulur. Dia lekas mengambil pergelangan tangan Gita lalu mengelus bekas kemerahan hasil perbuatannya menggunakan ibu jari.

Diam-diam Gita mengulum senyum. Hatinya semakin yakin kalau cinta Brizma untuknya masih ada. Lihatlah bagaimana cara Brizma memperlakukannya.

“Kita nggak jadi putus ‘kan, Bri? Kamu masih cinta sama aku loh.”

Pernyataan sepihak dari Gita sontak membuat Brizma segera melepaskan tangan yang dipegangnya. Menggeleng dengan tegas, dia lantas menjawab, “Kita nggak bisa sama-sama lagi, jadi aku minta tolong banget sama kamu, jangan ganggu aku.”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya BRIgita - Part 2
102
21
Gita tetap diam, bahkan untuk mengangkat wajah saja, dia tak berani.“Dan nggak seharusnya kamu ikut campur lagi sama urusanku.” Brizma berdiri, sebentar menormalkan deru napasnya yang memburu kemudian kembali berucap tegas. “Aku peringatin sekali lagi sama kamu, aku harap ini bener-bener jadi peringatan yang terakhir. Jangan pernah ganggu aku lagi! Dalam hatiku, cinta buat kamu udah mati. Aku bahkan udah nggak pengen lagi kenal sama kamu.” Selepas rentetan kalimat pedas itu, Brizma beranjak dari sana, meninggalkan Gita yang masih tenggelam dalam kebisuan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan