RAHASIA MAMAK - 01

3
1
Deskripsi

Semenit yang lalu aku masih merebahkan tubuh di atas kasur dalam kamarku yang nyaman. Kesadaranku masih ada saat aku mulai terhanyut dan tiba-tiba saja aku sudah di sini, negeri antah berantah. Berdiri mematung tanpa alas kaki dalam hutan yang berkabut.

Asing dan sunyi. Bulan pucat mengintip di antara ranting yang mengering. Tak ada suara apapun kecuali hembusan napasku saja. Pandanganku menyapu ke seluruh penjuru, tak ada siapapun di sini. Hanya batang pohon yang mulai merangas juga rumput pakis serta ilalang yang menguning. Hutan ini sekarat.

Aku berjalan tanpa arah, menerka untuk apa kiranya aku sampai kemari. Cukup lama namun anehnya aku kembali ke tempat semula. Sesuatu membuatku hanya berputar-putar di sini karena ilalang, pakis juga pohon yang merangas itu semuanya sama.

Udara dingin menyapa dan kabut turun semakin tebal. Kini jarak pandangku terbatas hanya beberapa meter saja dan bulan itu menghilang seluruhnya.

Aku terkurung dalam kabut, ketakutanku menguat. Jika ada yang mendekat aku pasti tak tahu dari arah mana dia datang. Sialnya pikiran buruk itu justru menjelma, seseorang mulai mendekat karena dedaunan dan ranting kering itu begemeresak dipijak, ada satu orang yang datang.

Tidak! Ada dua, tunggu sekarang tiga, empat, mereka berlari mendekat. Siapa? Suara tawa anak-anak kecil menggema, memantul dan semakin ramai menjawabnya. 

Sosok-sosok itu berlari di balik tirai kabut, dari satu pohon ke pohon yang lain, mengikik riang bahkan pakis di hadapanku bergoyang setelah bayangan hitam melintas dengan cepat.

"Hei?"

Seruanku membuat suasana kembali hening, begitu senyap bahkan suaraku sendiri terdengar asing, namun semua itu hanya sesaat karena mereka kembali tertawa meski tak lantang seperti sebelumnya. Mereka mengikik lirih saling bicara dengan bahasa yang tak aku mengerti.

Perlahan beberapa kepala kecil itu muncul dari batang pohon, mata mereka putih tanpa retina juga kulit yang sangat pucat. Mereka menunjukku dan berkata, "Pancer!" Serempak.

Memebuatku heran. Apa maksudnya? Aku sudah hampir bertanya, namun suara lain seperti ringkikan kuda terdengar dari belakang punggung dan anak-anak itu segera menarik diri dan menghilang seperti bayangan. Udara menjadi berat dan sesak. Punggungku pun panas, seperti bara api yang didekatkan, menyengat membuatku berkeringat.

Ketakutanku semakin hebat seiring suaranya yang semakin dekat, kini samar terdengar suara air yang menetes di atas dedaunan kering. 

Hembusan napasnya dingin, membelai tengkukku yang sudah merinding tak karuan. Tangannya yang kasar meraba punggungku, dingin dan basah. Aku bergetar hebat, jantungku berdegup kian cepat. Sialnya aku justru membeku.

"Mulih le ... " Bisiknya parau. 

"Ojo wedi le iki aku Ibuk. Mulih yo le?" Seraknya lagi, membuatku bingung dan juga ngeri.

Apa maksudnya, ibu dan pulang?

Sedetik lagi sebelum aku melarikan diri, sosok ini memutar dan menghadang tepat didepanku. Rasa ngeri membuatku memejamkan mata secepatnya. Sungguh tak ingin sekalipun melihat sosoknya.

Dia pasti setan mengerikan pikirku namun sebuah sapaan lembut yang sangat aku kenal membuatku terkejut dan tak sadar segera membuka mata.

"Cahyo?"

Wanita itu tersenyum lembut dengan matanya yang sejernih bintang, menatapku lurus. Wajah yang aku rindukan.

"Farida?" Heranku tak percaya, kenapa dia ada di sini?

"Mulih nggih?"

"Mulih?"

"Farida sudah lama nunggu sampean, pulang nggih?"

Rupanya nasihat kalau setan banyak akal bulusnya itu benar, terang saja sosok di hadapanku ini bukan Farida. Wanita itu tak pernah menyebutkan namanya secara utuh.

"Sopo kue?" Tegasku.

Dia tersenyum sekali lagi tapi firasatku justru memburuk. Apalagi wanita ini terlihat semakin ganji. Seluruh pakaiannya basah begitu juga rambutnya. Dia seakan terguyur air, sedangkan hutan ini merangas kekeringan. Artinya tak ada sumber air, bukan? Tentu saja tanyaku itu tak terjawab.

Seakan mengerti narasi batinku, sosok Farida ini justru mengejek. Dia mulai tertawa, dengan bahu yang berguncang-guncang. "Aku memang ora bakal iso ngapusi awakmu le." Akhirnya dia bicara dengan suara asalnya, serak dan ngeri. Wajah Farida yang lembut pun berubah bengis.

Sosok ini menjauh dengan gerakan yang cepat, hanya sedetik saja dia sudah merayap naik ke atas cabang pohon, menunjukkan wujud sejatinya. Seluruh tubuhnya menghitam dan basah, air mengucur deras seakan tak berhenti. Rambutnya yang kasar menjuntai panjang dan bergerak melayang seolah berada di dalam air. Dengan bunyi gemerektak tulang yang ngilu, iblis ini memutar kepalanya penuh. Dia menyeringai dengan matanya yang hitam seperti malam.

"IKI AKU IBUKMU LE!"  Lengkingnya, merobek gendang telinga. Aku menutup pendengaran dengan kedua telapak tangan, mencoba meredam jeritannya namun dia justru semakin nyaring dan mengatakannya berulang kali. "Aku ibukmu le!"  Ucapnya lagi dan sambil memuntahkan cairan menjijikkan seperti darah.

Dalam himpitan ketakutan dan susah payah, ucapan ta'awudz berhasil membangunkanku dengan napas yang memburu. Peluh mengalir membasahi pakaianku padahal pendingin udara masih menyala.

Aku bersyukur tak putus-putus namun wajah wanita itu seketika membuatku tertegun. Sambil mengusap keringat di dahi, aku memikirkan mimpiku ini. Setan itu, apa yang dia maksud dengan Ibuk?

Mungkin kah aku lahir dari demit? Ah, ini pasti karena aku terlalu lelah dan ... Merindukannya. Farida. Sudah lebih dari sewindu dan selama itu, setengah mati aku berusaha melupakannya tapi sia-sia. Malam ini aku bahkan memimpikannya. Sial! Hatiku kembali nyeri mengingat kepergiannya. 

Aku pikir waktu bisa menyembuhkan tapi ternyata rasa itu masih ada dan semakin dalam. Aku kesal, menghantamkan kepala berkali-kali di atas bantal sambil menikmati patah hatiku yang belum juga reda. Meskipun aku berusaha untuk kembali tidur namun wajah Farida justru menari di atas nyeri dan rinduku padanya. Pergilah!

Selepas salat subuh aku berkemas dengan perasaan yang kalut. Mimpi semalam membuatku terjaga hingga pagi tiba. Satu-persatu tumpukan pakaian yang Mamak siapkan, semua sudah rapi dalam tas ransel hitam, menyisakan dompet juga buku catatan milikku di atas meja. Aku setengah melamun hingga panggilan seseorang menyadarkanku. 

"Uwes beres Yo?" Wanita tua itu bersender di pintu, wajahnya teduh seperti biasa dengan rambut putih yang berkilau seperti tembaga.

"Enggih Mak, tinggal tunggu Bayu saja." Ucapku cepat sambil memasukkan dompet juga buku dalam tas kecil yang berbeda.

Mamak mendengus keras, sengaja supaya aku mendengarnya. Aku sudah tahu jika Mamak bersikap demikian ucapan itu pasti tak lama lagi akan terlontar. "Makanya nikah Yo, biar Mamak ndak repot ngurus beginian tiap kamu mau berangkat."

Kan! Tebakanku tepat. Aku menghela napas sambil memandang wajah sendunya. Kerutan dan kantung mata itu menggambarkan perjuangannya membesarkanku seorang diri.

"Belum ada jodohnya Mak," jawabku cepat sambil buru-buru keluar kamar. Melarikan diri!

"Ya dicari Le!" Mamak tak putus asa terus bicara sambil mengekorku, membujuk putranya yang sudah tua ini untuk menikah. Aku memilih untuk tak menjawab. 

Setiap ada kesempatan Mamak selalu saja mengatakannya tanpa menimbang perasaanku. Maksudnya, siapa yang tak mau menikah? Tapi di usiaku yang tersisa lima tahun sebelum tepat setengah abad, mengenal dan memahami perempuan adalah hal yang merepotkan. Sedangkan aku terlanjur nyaman begini. Sendiri!

"Yo? Kamu dengerin Mamak ndak toh? Anak Mamak mung awakmu Yo, Mamak juga pingin punya cucu."

Kepalaku tiba-tiba gatal. "Iyo Mak denger, tapi mana ada Mak perempuan yang mau sama Cahyo. Udah tua begini." Aku sudah menggaruknya tapi rasanya tak juga hilang karena ternyata hatiku yang pegal. Dasar Mamak.

"Ada Yo. Awakmu ae yang nolak tiap Mamak kenalkan sama yang lain."

Aku berbalik melihat wajah Mamak yang masam dan kenangan itu membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Terakhir kali wanita yang Mamak kenalkan adalah gadis berusia dua puluhan. Aku yakin jika kami jalan berdua orang-orang pasti mengira dia anak perempuanku.

Wajah Mamak makin masam, membuatku segera menutup mulut dan bergegas meletakkan tas di kursi tamu lalu beralih ke dapur melewati Mamak yang masih menggerutu, kuwalat begitu sumpahnya. Aku segera berhenti dan menangkup tangan merayu. Kok Mamak tega begitu ucapku membuatnya tersenyum. 

Aku mengait lengan Mamak, membawanya duduk di meja makan. Aroma nasi goreng itu membuat perutku segera berbunyi.

Mamak mulai menyiapkan piring untukku meski aku menolak, tapi wanita ini kembali mengatakannya. "Makanya cepat rabi biar istrimu yang ngelayani." Gantian aku yang merengut dan Mamak malah tertawa.

Akhirnya kami makan dalam diam dan sosok di depanku ini mengingatkan tentang mimpiku semalam, Ibuk? Ah, itu cuma mimpi saja. Tegasku membodohi diri.

"Ngelamun opo Yo?" Rupanya wanita di hadapanku ini menyadari diamku.

Aku sudah membuka mulut, namun seketika aku mengurungkannya. Mengingat sifatnya pasti ujungnya panjang kalau aku bicara.

"Yo? Awakmu ngopo kok ngelamun ae? Ndak suka ya kalau Mamak nanya masalah istri?" Mamak kini malah berpikir ke arah lain.

"Ndak Mak, bukan itu cuma semalam ..." Aku kembali ragu.

"Semalam ngopo? Mimpi ketemu jodoh." Mamak melirik sambil menyuap sarapan bubur miliknya.

"Ndak, semalem Cahyo mimpi aneh, tapi ndak usah cemas lagian kan cuma bunga tidur."

"Mimpi opo?" Kini wajah Mamak berubah. Ah, Mamak memang terlalu percaya takhayul.

"Ah itu ... Ada perempuan aneh yang bilang kalau Cahyo ini anaknya, nyuruh pulang lagi. Ada-ada saja," terangku sambil menggeleng berulang kali.

Denting sendok menghantam lantai. Wajah Mamak jelas sekali berbeda dari biasanya dan tangan keriput itu berguncang hebat.

Ah, tremor Mamak pasti kumat. Aku segera bangkit dan memungutnya. "Mamak sudah minum obatnya belum?"

"Oh, iku ... udah le," Jawab Mamak sembari tergagap, reaksi yang wajar saat penyakitnya kambuh. Sudah setahun ini kesehatannya menurun mungkin itulah juga salah satu alasan Mamak terus menuntutku untuk segera menikah.

Mamak membisu dengan tatapan kosong, reaksi yang sungguh berbanding terbalik. Biasanya Mamak selalu menganggap serius segala sesuatu yang berhubungan dengan firasat. Seperti jangan pergi waktu maghrib, jangan makan di depan pintu dan selalu berkata akan ada tamu jika seekor kupu-kupu masuk ke dalam rumah.

Pernah sekali waktu ada ular masuk ke dalam kamar, meski aku sudah membunuhnya dengan batang bambu, Mamak yang kalap segera menabur garam sampai habis berbungkus-bungkus. Dari semua perilaku Mamak yang ganjil satu hal yang paling aneh, wanita ini tak pernah mengijinkan aku untuk masuk ke dalam kamarnya. Bahkan jika sakit, Mamak memilih ditemani Mbak Ning, perawat juga asisten rumah tangga yang aku pekerjakan untuk menemani Mamak selama aku pergi dinas ke luar kota.

"Yo? Kerjaan yang ini tolak ae Le." Mamak akhirnya bicara kali ini lebih lirih, sikapnya semakin aneh. Sekalipun aku sering berpergian, Mamak tak pernah melarangku. Paling mentok wanita di hadapanku ini hanya berpesan satu hal, membawa pulang seorang menantu untuknya.

"Ndak iso Mak, kontraknya sudah deal. Sudah menang lelang mending kalau cuma bayar denda nanti perusahaan juga bisa di blacklist Mak."

Aku meraih sendok lain dan meletakkannya di piring Mamak, entah kenapa kali ini wanita ini menatap lekat tak seperti biasanya. "Firasat Mamak ndak enak le."

"Doakan saja Mak, nggih?" Aku mengusap lembut punggungnya yang kurus. Tulang belikatnya menonjol membuatku semakin sedih. Kami meneruskan sarapan dalam diam.

Wajah Mamak yang semakin tua membuatku bertekad jika ini adalah proyek terakhir. Aku sudah berniat membuka usaha dekat rumah. Aku tak ingin Mamak sendirian di sisa umurnya. Pekerjaan menjadi konsultan perencanaan mengharuskanku berpergian ke pelosok daerah. Mungkin itu juga salah satu alasan kenapa aku masih membujang sampai sekarang.

Sosok Ayah juga tak pernah hadir dalam hidupku, bahkan Mamak selalu mengelak jika aku bertanya tentangnya. Pernah sekali saat lulus SMA aku memaksanya namun bukan jawaban yang aku dapatkan tapi hanya isak tangis dan kesedihan yang tumpah. Sejak saat itu aku tak pernah lagi menanyakan siapa dan di mana ayahku berada.

Bunyi klakson mobil menyadarkanku,  sepertinya Bayu - rekan kerjaku - sudah sampai. Aku bergegas keluar dan menyambut laki-laki yang seusia denganku. Si gempal hanya menungguku di mobil seperti biasa. Tangan keriput itu aku cium lembut meminta restu, dengan usapan yang hangat Mamak melepasku.

"Yo, bawakan Mamak mantu ya?"

"Enggih Mak."

Aku pikir Mamak sudah lupa ternyata ...

Sambil menghela napas aku masuk ke dalam mobil dan Bayu sepertinya sudah paham. Pria gempal ini malah tertawa usil, "Diam!" Ketusku tapi dia justru meledek.

"Mamak kami nak mintar dulu yo?" Bayu bicara dengan logat khas Palembangnya.

"Ati-ati Nak Bayu?" Wanita itu melambaikan tangan sambil tersenyum dengan wajah tuanya.

"Nanti aku bantu carikan calon mantu Mak." Teriaknya dari belakang kemudi membuatku makin jengah.

Bayu sialan!


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya RAHASIA MAMAK - 02
2
2
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan