

APES! Demit itu terus mengejar sambil terus memanggilku, “… Raden … Raden … Iki Kulo Raden …”
Raden apa dasar bangsat!
Malam ini aku terpaksa masuk kerja, padahal seharusnya hari ini jadwalku untuk libur, tapi karena kejadian buruk kemarin pengerjaan pengecoran lantai gudang tertunda. Untung saja sudah sempat beristirahat dan tidur tadi siang.
“Mamas bukannya libur?” Adis segera protes melihatku mengancingkan seragam.
“Ada kerjaan, belum selesai.”
“Tapi kan Mamas sakit.” Adis meneruskan protesnya.
“Namanya saja buruh Dis, mau gak mau harus masuk. Mamas sudah sehat jangan khawatir begitu.” Aku hanya mengusap kepalanya sambil keluar kamar namun Adis menghadang jalan, matanya kembali berembun, aduh cingengnya.
“Mamas sudah sembuh, Adis tenang saja ya?” Ujarku.
Wanita ini kembali memelukku. “Pokoknya Mamas jangan mati!”
Entah kenapa aku justru tertawa mendengarnya. “Iya Adis, sudah ya? Mamas nanti telat.”
Adis mengantarku ke teras dan menyiapkan sepatu. Aku masih duduk di kursi saat Adis menunduk untuk menalikan sepatuku, selintas bayangan samar mendekat dan semakin jelas. Sosok pengantin wanita yang aku lihat sebelumnya di atas lemari, berdiri didepan teras sambil menenteng kepalanya, Aku bergidik ngeri namun juga iba.
Mungkin karena rasa takutku sudah berkurang, wajahnya terlihat lebih jelas dengan helaian rambut yang lengket karena gumpalan darah. Aku pikir dia akan mendekat atau masuk kedalam rumah tapi entah kenapa dia tak berani mendekat dan hanya berdiri di luar halaman.
Pendaran cahaya mobil memantul di ruang tamu, Adis segera menutup pintu sesaat setelah aku berangkat. Lagi-lagi Loro Istri menjauh dariku. kepalanya yang buntung bergerak seiring langkahku masuk ke mobil. Wajahnya terlihat lebih jelas dengan tahi lalat dibawah matanya yang sayu. Saat aku perhatikan lebih lama, dia menangis saat melihatku.
Eh? Tapi sepertinya aku salah, dia tidak melihat ke arahku tapi Mas Bambang? Aku masih memperhatikannya sampai memutar kepala, masih belum yakin juga. Tahi lalat dibawah mata itu? Atau hanya mirip saja!
Rasanya aku ingin mengumpat habis-habisan! Tengah malam aku berdiri sendirian di depan gudang gula tanpa teman. Aku rasa Pak Wiro sengaja mengerjaiku. Masalahnya pekerjaan pengecoran lantai gudang sudah selesai dari tadi. Semua pekerja sudah kembali ke mess. Tapi entah kenapa pria gempal itu memerintahkanku untuk menunggunya di sini. Alasannya ingin mengecek hasil pekerjaan ini secara langsung.
Hari sudah lewat tengah malam saat Mbah Santo datang menghampiriku di ujung pintu keluar. Pria tua itu mendekat, menjinjing buntalan hitam yang firasatku berbisik jika hal itu sesuatu yang tak benar. “Mas Andra, sudah rampung?” Suara dan tatap mata pria ini ramah, namun entah kenapa aku tak menyukainya. Sesuatu yang gelap tersembunyi di sana.
“Sudah Mbah.” Sebisa mungkin aku menahan diri dan mengalihkan pandangan ketempat lain, namun lagi-lagi mataku kembali pada buntalan yang dibawanya.
“Gimana kerja disini? Betah?”
“Lumayan Mbah.” Jawabku sekenanya. Jika saja bukan karena keinginanku untuk mencari tentang masa laluku dan membantu Aji mengusutnya, aku pasti sudah angkat kaki dari sini.
Mbah Santo hanya manggut-manggut. Lagi-lagi firasatku mengatakan untuk waspada. Seiring tatapan Mbah Santo yang berubah. Entah kenapa seakan aku merasa jika dia juga mendengar bisikan hatiku. Pria ini juga memiliki sesuatu sepertiku. Gila! Aku sudah seperti cenayang saja.
“Mas Andra sudah berubah ya?” Tiba-tiba saja pria tua itu bicara.
“Berubah gimana Mbah?”
“Saya ngerasa sampeyan lain saja, dari terakhir ketemu.” Ucapnya lagi
“Lain gimana toh Mbah?” Jujur saja aku tak paham.
“Firasat saya tepat.” Pria tua itu berlalu meninggalkanku yang memeras kepala mengartikan ucapannya, semenit kemudian dari kejauhan Pak Wiro datang menjinjing sebuah keranjang anyaman yang berukuran cukup besar, di belakang punggungnya wanita yang paling ingin aku hindari juga mendekat - Mbak Ayu - yang tersenyum genit padaku.
Keduanya mendekat pada Mbah Santo yang membuka buntalan berisi umbo rampe keperluan ritual, entah apa maksudnya. Bau menyan menyeruak membuat kepalaku sakit. Kerajang anyaman Pak Wiro rupanya berisi sepasang ayam cemani, yang dipotong hidup-hidup dengan sadis. Ayam itu menggelepar di tangan gemuk Pak Wiro, sedangkan Ayu sibuk menadah darah dengan batok kelapa, sedangkan pandangannya terkunci padaku. Seperti kemarin, tajam dan mistis.
Mbah Santo menyiramkan darah ayam di atas cor-an semen yang basah, udara berhembus kencang, mataku menangkap puluhan bayangan sosok mendekat. Eh! Mereka mengundang … Setan?
Bau menyan yang semakin kuat memaksaku bergegas keluar gudang. Apalagi kumpulan energi semakin pekat, membuatku sesak.
Tak nyaman, panas dan pengap padahal aku sudah berada di luar gudang. Semakin lama aku berdiri, semakin banyak yang datang. Dari yang besar sampai yang kecil, dari yang terbang sampai yang melompat, bahkan ada juga yang berbulu dan bertaring. Hmm ... Sudah seperti binatang yang mendekat pada sumber makanan. Entah bagaimana lagi aku menjelaskannya.
Aku mengalah dan kembali ke gudang sparepart meninggalkan ritual gila yang sesat! Sepertinya Pak Wiro hanya mengerjaiku saja atau mungkin saja Ayu yang melakukannya. Peduli setan!
Langkah kakiku terhenti tepat di pinggir caneyard, gending pengantin temon manten kembali berayun dari kejauhan. Memaksaku mempercepat langkah. Aku sungguh tak ingin melihat sosok Nyi Ireng lagi. Tapi dasar sial!
Lagi-lagi kesadaranku terlempar ke dalam dimensi astral, kepekatan udara di sini membuatku sulit begerak. Nyaliku langsung ciut, di tengah-tengah caneyard dekat lubang cane cutter wanita itu melayang. Padahal dia hanya diam mematung melihat ke arah berbeda. Tapi aura kegelapannya membuat udara semakin berat, nafasku semakin sakit juga nyeri. Entah sudah berapa nyawa yang dikorbankan untuknya. Aku beringsut menjauh, perlahan-lahan.
Sungguh apes! Dia menyadariku dan mendekat!
Brengsek! LARI!
Aku segera masuk ke dalam pabrik yang sepi. Temaram cahaya kemerahan yang redup juga singup membuat jantungku memompa darah dengan kecepatan maksimum. Langkahku terseok-seok berlari tak tentu arah, tersesat di dalam bangunan pabrik yang redup hingga di sela pipa yang besar tubuhku meringkuk, iringan gending pengantin itu semakin mendekat.
“ … Raden … Raden …” Bisiknya lirih diantara kenong dan gendang yang mengayun.
Sambil gemetar tak karuan aku mengintip dari balik pipa besi, demit itu hanya berjarak beberapa meter dariku melayang dengan rambutnya yang menjuntai, menggedek-gedekkan kepalanya yang bertanduk dengan gerakan yang tak normal, seolah tahu tempatku bersembunyi, wanita ini menoleh. Tangannya yang panjang itu menunjukku dengan kuku hitam yang tajam.
Gila! Wajahnya tirus seperti tengkorak terbalut kulit keriput yang menghitam. Matanya menyala merah dengan gigi yang tajam bertumpuk, seperti ikan yang hidup dilaut dalam, bertaring tanpa bibir. Benar-benar bukan wajah yang bisa dilihat dengan tenang, aku sungguh tak sudi melihatnya dan kembali berlari.
APES! Demit itu terus mengejar sambil terus memanggilku, “… Raden … Raden … Iki Kulo Raden …”
Raden apa dasar bangsat! Argh ... Kenapa yang mengejarku selalu wanita-wanita tak normal. Kemarin Ayu sekarang demit Nyi Ireng. Sumpah serapah ku tumpah mengutuk tak habis-habis.
Tulang keringku berayun cepat tak jarang juga melompat, di antara sela pipa dan kabel tapi pintu keluar didepanku justru semakin menjauh. Kampret! Saat aku menoleh kebelakang, wanita itu masih terus mengejarku dengan gerakan leher dan tangannya yang patah-patah. Gending pengantin menjadi soundtrack, mengiringiku berlari di antara kabel besar dan pipa yang saling bertaut. Aku bersumpah tak mau mendengar gending mengerikan ini lagi!
SIAL! AKU TERJUNGKAL!
Dan saat aku bangkit ... Nyi Ireng sudah menunduk didepanku dengan gedekan kepalanya yang semakin cepat. Dia berusaha menyentuhku! Sejengkal lagi … Jari-jemari kurus dengan lima ruas itu berhenti tepat di depan wajahku. Kepalanya berhenti menggedek, menoleh ke arah gudang gula tempat ritual Mbah Santo, lalu kembali menatapku. Wajah pucatnya kembali tersenyum dan mata merah itu semakin membesar.
“ ... Saiki papat ...”
Berbisik, lalu mengikik lirih, seperti hembusan angin yang dingin di tengah malam …
Dan kesadaranku kembali di caneyard berdiri mematung, dengan kepala yang berat seperti dihantam balok besi, pandanganku nanar. Wajah Nyi Ireng terpatri dalam memori bawah sadarku. Ketakutan ini tak pernah aku rasakan sebelumnya. Tubuhku lemas tak bertulang, bersimpuh dan merasa lega, Nyi Ireng sudah tak ada didekatku.
Semakin hari kemampuan ini semakin terasah. Firasatku semakin tajam, pendengaran juga pengelihatanku pada mereka. Puluhan orbs yang melayang, bayangan wanita yang menggantung terbalik, beberapa sosok putih dengan ikatan dikepalanya. Mereka menatapku tapi sosok-sosok ini tak seimbang dengan Nyi Ireng. Aku menangkup wajahku yang berkeringat dengan kedua telapak tangan yang bergetar. Saat aku membukanya mereka telah menghilang.
Suasana kembali seperti tak terjadi apapun. Beberapa orang masih mengelas di kejauhan dengan pendaran cahaya yang berkilat. Di sudut lain dua orang masih saling berbicara. Gema pukulan besi, deru mesin traktor juga mesin mobil yang sedang diservice sayup-sayup terbawa angin. Jika saja aku mengatakan pada mereka apa yang baru saja terjadi. Aku yakin 100% mereka semua akan mengirimku ke RSJ.
Aku harus segera menemui Aji dan mengatakan padanya jika Mbah Santo juga terlibat! Dan Nyi Ireng meminta korban lagi, kali ini papat ...
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
