PROLOG - TEBU MANTEN

21
19
Deskripsi

Hati dan otakku singkron satu kata. LARI!

Hal yang paling aku sesali seumur hidup adalah saat memutuskan untuk pindah ke tanah jahanam ini. Tempat terlaknat penuh kumbangan dosa dan maksiat. Iblis berwujud manusia berkuasa di sini.

Bangsat! Aku sudah tak bisa merasakan kakiku, semua persendianku rasanya mau lepas menerobos ribuan batang tebu setinggi dada yang tumbuh rapat. Napasku hampir putus belum lagi daun tajam menggores wajah dan lenganku. Pedih! Tunggul akar yang menyeruak membuatku terjungkal berulang kali, lengkap sudah penderitaanku. Malam ini aku pasti mati dan membusuk.

Tidak-tidak aku tak boleh menyerah ... Ayo lari lebih cepat. Sedikit lagi! Berjuanglah!

Suara gaduh dan bergemuruh di belakang semakin dekat, puluhan orang menyusul. Suara deru mobil bercampur umpatan dan makian. Lampu sorot dan suara anjing menyalak bersahutan semakin membuatku ketakutan. Mereka mengejarku seperti binatang buruan.

"Anj*** ke mana dia?"

"Goblok! Cari satu orang aja gak becus!"

"Orang itu pasti belum jauh. Hei! Bawa kemari golok itu, tebas saja tebu-tebu ini kalau bisa sekalian batang lehernya!"

"Iya, Pak"

"YOU?! Arahkan lampu tembak itu kemari!"

"YES SIR!"

"Nganti ketemu tak cincang awak'e!" (kalau sampai ketemu saya cincang badannya)

Aku segera merunduk dan bersembunyi di antara batang tebu yang mulai tinggi dan rimbun. Di tengah bayang-bayang itu aku bergerak merayap, tanah merah menempel di sepatu dan tanganku. Peduli Setan! AYO CEPAT!

Cahaya terang di atas kepalaku menyorot ke arah kanan dan kiri. Jantungku sudah seperti piston motor 4 tak, memompa darah dan adrenalin ke seluruh tubuh. Bahkan aku bisa mendengar degup suaranya di sela napasku yang memburu.

Aku tak boleh mati di sini perkampungan warga sudah dekat. Pria 'itu' aku harus segera minta bantuan padanya. Hanya dia yang bisa aku percaya saat ini. Seandainya saja aku mendengarkan Adismi. Goblok! tak ada gunanya menyesal sekarang. Ayo bangkitlah!

"Hei-hei di sebelah sana! tebu itu bergoyang. Bajingan itu pasti di sana!"

"KEJAR! KEJAR!"

"Bunuh! Jangan kasih ampun"

Gawat-gawat! Andra ayo kamu harus cepat. Aku kembali berlari tak peduli rasa sakit yang mencabik-cabik. Aku harus berhasil!

"ITU DIA!"

"CEPAT! KEJAR! CEPAT!"

"MATI KAU!"

Bersamaan itu sebuah benda melayang jatuh tepat di samping kiriku, mereka melempar senjata tajam bisa jadi celurit atau golok, aku tak bisa memastikan. Suara di belakangku semakin beringas. Mereka benar-benar akan mencincangku.

"ANDRA MATI LO!"

lagi-lagi sesuatu dilempar, bunyi berdesing membuatku sebisa mungkin untuk menghindar. Insting binatang memaksaku untuk terus berjuang dan menyeret kakiku yang sudah kebas untuk terus menjauh.

Malam ini aku sungguh payah dan menyedihkan, dikejar puluhan orang sinting seperti maling ayam. Bertahan hidup di antara nafsu membunuh manusia-manusia berjiwa iblis. Ya Allah! Aku mohon bantu sekali ini saja berikanlah pertolongan-Mu.

Begitulah manusia saat kematian di depan mata, ia baru teringat tuhan-Nya. Namun jika kesulitan telah diangkat, mereka bersikap seolah tak pernah mengalami. Ironis memang.

Secepat kilat sebuah tangan mencengkram leherku. Aku mengelak. Anj*** mereka berhasil mengejarku!

Dua orang tepat di sisi kiri dan kanan menyusul di jalur tebu yang berbeda. Mereka mengayunkan golok dan celurit bersamaan. Cahaya bulan berkilat di sisi tajam keduanya. Menunduk! Berhasil, aku terus berlari meski hampir terjungkal.

"ASU!"

"TAK PATENI TENAN KUE COK!" (Aku sungguh akan membunuhmu!)

Keduanya sumpah serapah menyampah, aku tak peduli. Dalam hati dan otakku sinkron satu kata. LARI!

Aku berhasil keluar dari petak tebu, menyusuri jalan merah yang penuh ilalang dan lubang aliran air hujan. Sinar bulan dan bias lampu tembak menerangi jalanku. Di depan sungai keruh yang cukup besar menghadang. Arusnya cukup deras dengan air keruh seperti cokelat susu. Rumput ilalang tumbuh sepanjang pinggiran sungai. Bunyi gemuruh air, caci maki, dan anjing menyalak berpadu menjadi harmoni pengantar kematian untukku.

"DIA TERPOJOK!"

"CEPAT!"

Manusia-manusia kalap itu semakin menggila seperti binatang liar. Tepat di seberang sungai cahaya kuning redup berpendar lemah seperti kunang-kunang, akhirnya aku sampai.

Sambil berlari menyusuri pinggir sungai aku terus mencari ke kanan dan kiri. Seharusnya di sini ada jembatan, tapi sebelah mana? Ah peduli amat mereka semakin dekat, LONCAT!

Tanpa ragu aku masuk ke dalam sungai dan menyelam, tak lagi terpikir dalam otakku ini apakah ada buaya atau mungkin batu. Anehnya meski gelap tubuhku seolah tahu arah. Mungkin ini yang dinamakan kekuatan untuk bertahan hidup dan melindungi orang yang paling berharga. 

Deru air cokelat bergemuruh di telingaku sayup-sayup mereka terdengar tapi aku tak mengetahuinya dengan jelas. Aku terus menyelam ke arah pinggir mengikuti aliran sungai. Entah kenapa instingku mengarahkan begitu.

Tak bisa menahan napas lebih lama aku segera naik ke permukaan, dalam satu tarikan napas membuka mata, arus sungai yang deras menghanyutkanku menjauh dari para binatang itu. Beruntung mereka melihat ke arah berlawanan. Aku terombang-ambing di permainkan arus dan bersembunyi di antara gelombang sungai.

Jarakku semakin menjauh, dengan bantuan cahaya bulan aku perlahan berenang ke arah seberang. Cahaya lampu masih terlihat samar-samar. Ya Allah terima kasih untuk petunjukmu.

Aku mulai mempercepat kayuhan kakiku, berenang menuju perkampungan pribumi. Aku bersyukur latihan saat wamil kuliah berguna juga. Aku bisa merasakan dasar sungai yang berlumpur di bawah kakiku. Meski kepayahan, akhirnya aku sampai. Tubuhku yang kecut dan keriput segera di sambut angin malam membuatku semakin menggigil. Gigiku bergemeretak.

Kaki dan wajahku pedih, tubuhku seperti di hantam balok kayu berkali-kali. Meski sakit, aku terus menyeret langkah menuju rumah panggung bercat hijau. Tertatih aku menaiki satu persatu undakan tangga. Hanya pemilik rumah ini harapanku!

"Assalamualykum ... Assalamualykum ... Kyai? ini andra Kyai?"

(Kyai = abang panggilan bahasa lampung)

Sambil duduk terhempas aku terus mengetuk pintunya. Belum ada jawaban. Aku kembali mengetuknya tak menyerah. Suara langkah kaki dari dalam rumah terdengar terburu-buru.

"MasyaAllah Andra! olah nyow?" (MasyaAllah Andra! ada apa?)

Pria setengah baya di hadapanku melotot. Akhirnya dia membuka pintu.

"Kyai ... tolong, Adis , tolong Kyai!"

"Adis?" Pria ini dengan logat khasnya terdengar cemas.

Aku sudah membuka mulutku tapi tenagaku sudah menguap. Kyai terus bertanya sedangkan pandanganku mulai gelap. Tak apalah setidaknya aku tak mati menggenaskan di tangan mereka.

Dalam bayang cahaya, samar-samar aku melihat wanita di hadapanku, bibir merah merekah menghias wajah lembutnya, tangannya mengusap dahiku yang basah. 

"Mas bangun! Tidur kok jerit-jerit? Sampeyan ngelindur ya?"

Aku serentak bangkit. Hah? Mimpi? Aku linglung dan melihat keseluruh ruangan.

"Dis?! Kamu ngak apa-apa?"

"Lah? Memangnya aku kenapa?" Wanita di hadapanku malah balik bertanya

Astaga! Untung cuma mimpi. Tapi itu sungguh nyata, bahkan tubuhku terasa remuk redam. Napasku naik turun seperti lari puluhan kilometer. Adis segera meraih minum di atas meja, segelas air tandas. Aku merasa lebih baik.

"Ini di mana?"

"Ya di rumah toh Mas. Bangun! Sudah mau subuh, sholat dulu!"

"Memang sudah azan?"

"Yo belum sih mungkin sebentar lagi." Adis tersenyum lembut seperti biasa.

"Beneran belum azan?"

"Ish ... dikandani kok ngeyel ae." (Ish ... dibilangin kok gak percaya)

"Ya-iya ... Gak usah ngambek. Aku sholat sekalian habis mandi wajib aja ya?"

Lirikku sambil memeluk tubuhnya yang mungil. Wanita ini hanya senyum-senyum mengerti maksudku.

"Ih ganjen loh sampean iki?" (Ih genit loh kamu ini)

Aku hanya tertawa lirih, "Lah kalo gak sama kamu aku harus genit sama siapa? Wanita lain?"

"Yo ojok toh enak ae." (Ya jangan enak saja)

Wajah merengutnya makin imut. Ealah cantiknya!

Tapi aku sungguh tak menduga jika mimpi itu adalah sebuah pertanda yang membuatku cacat dan hampir gila!

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya TEBU MANTEN - SATU
12
12
Bon Jovi vs Ratih Purwasih
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan