
Deskripsi
Banyak yang mengatakan bahwa arwah penghuni rumah masih berada di tempat itu, menjaga hartanya yang terkubur di bawah tanah agar tidak dicuri orang. Rumah itu pun menjadi legenda daerah setempat: jika kau melewatinya, kau akan berputar-putar di sekitar situ sampai mati kelelahan. Jika kau beruntung, kau bisa tetap hidup untuk pulang ke rumahmu tapi otakmu gila.
Dirga nekat mengambil jalan pintas lewat pinggir hutan tempat rumah tua itu berada, hanya karena ia ingin cepat sampai ke rumahnya....
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya
Ketika Media dan Konten Edukasi Mengabaikan Aturan Berbahasa
0
0
Saya dan suami sedang makan di rumah sambil menonton televisi ketika mata saya menangkap tulisan di layar. Judul berita bertuliskan “Haruskah Aparat Berbenturan Rakyat?” itu membuat saya berhenti mengunyah. Bukannya mencerna makanan, saya malah berusaha mencerna kalimat yang saya baca. Kalimatnya memang berima, singkat, dan padat, tapi sepertinya ada yang janggal. Rasanya seperti makanan yang kurang garam atau micin. Setelah saya sadari, saya pun protes ke arah televisi seolah-olah si penulis judul akan mendengar ocehan saya, “Semestinya ‘Berbenturan dengan Rakyat’, dong!”Di waktu yang berbeda, saya juga pernah melihat kesalahan penulisan judul berita yang dilakukan oleh stasiun televisi. Beberapa potongan judul di antaranya: “melalui pertimbangkan matang”, “ditengah pandemi”, dan “di tembak mati”. Saya pikir, mungkin hanya salah ketik. Nggak mungkin jurnalis nggak tahu aturan PUEBI, kan? Tapi kalau kesalahan serupa kerap terlihat di televisi, saya jadi ragu, apa iya media sering salah ketik?Sebagai media informasi, sudah semestinya media menghindari kesalahan pada penulisan informasi yang disampaikan. Sebuah berita yang ditulis dengan bahasa yang baik dan benar akan menambah wawasan dan perbendaharaan kata bagi pembacanya. Karena itulah para jurnalis harus paham betul dalam soal penulisan dan kebahasaan. Dan setahu saya, selama ini tulisan yang dibuat para jurnalis memang sangat rapi, teratur, dan enak dibaca. Ya, seperti makanan yang garam atau micinnya pas, nggak kurang nggak lebih.Namun semua berubah ketika mulai banyak media online bermunculan. Dengan ciri khas dan jenis konten beragam, semua media berlomba menyajikan informasi dengan cepat. Namun, karena terlalu fokus pada kecepatan dan kuantitas, media online kadang abai dalam menjaga kualitas. Penulisan yang rapi seakan sudah tidak penting lagi untuk diperhatikan. Salah ketik tidak jadi masalah, yang penting secepatnya bisa diterbitkan.Itulah alasan kenapa sekarang ini kita kerap menemukan kesalahan penulisan pada berita atau artikel di media online berbahasa Indonesia. Kadang banyak ditemukan penulisan yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, mulai dari ejaan yang salah, pemilihan kata yang keliru, susunan kalimat yang ambigu, dan sebagainya. Dari pengamatan sekilas saja, kesalahan yang paling sering terjadi adalah penggunaan “di” yang dipisah atau digabung. Saat sebuah media online pernah menulis “sosok dibalik layar”, saya jadi bertanya-tanya, “Serius, nih, jurnalis nggak bisa membedakan ‘dibalik’ dengan ‘di balik’? Dan media membiarkannya?”Tidak hanya itu, sejumlah kata yang ditulis kerap memiliki makna yang salah. Misalnya saja kata “pencinta” yang artinya orang atau kelompok yang sangat menyukai sesuatu. Banyak media yang keliru menuliskannya dengan kata “pecinta”, seperti “pecinta kopi” atau “pecinta astronomi”. Padahal arti “pecinta” sebenarnya adalah orang yang bercinta. Itu hanya sebagian contoh dari beberapa kesalahan yang pernah saya temui di media-media online. Dengan banyaknya kesalahan penulisan, saya jadi membayangkan akan ada pengaruh buruknya. Seperti yang kita ketahui, tulisan di media dapat memengaruhi pembacanya. Tak hanya soal informasi atau konten yang disajikan, tetapi juga cara penulisannya. Jika media abai dalam menerapkan kaidah berbahasa, publik juga akan ikut mengabaikannya.Sayangnya, hal itu sudah banyak terjadi. Seperti penyakit menular, pengabaian kaidah berbahasa juga menjangkiti media televisi. Belum lagi akun-akun penting di media sosial, seperti pendidik, politisi, pebisnis, dan motivator, baik akun pribadi, kelompok, maupun institusi. Mereka pun kerap melakukan kesalahan penulisan.Sebagai contoh, sebuah akun Instagram kursus bahasa Inggris, justru melakukan kesalahan saat menulis terjemahan atau penjelasan dalam bahasa Indonesia. Kata “between” diartikan sebagai “diantara”, padahal seharusnya “di antara”. Atau kalimat “where have you been?” diartikan menjadi “kemana saja kamu?” padahal yang betul adalah “ke mana saja kamu?”. Ada pula yang terjemahannya ditulis salah ketik tanpa diedit. Contohnya, “try harder” diterjemahkan menjadi “berusaha ebih keras” tanpa huruf “L”. Ada huruf yang kurang tapi diabaikan begitu saja. Padahal, apa susahnya membaca kembali tulisan yang dibuat dan mengeditnya jika ada huruf yang kurang sebelum dipublikasi?Sebagian orang menganggap PUEBI tidak terlalu penting dan membuat tulisan menjadi kaku. Saya kurang setuju hal ini, sebab kaidah bahasa dan gaya tulisan adalah dua hal yang berbeda fungsinya, tapi mereka adalah jodoh yang serasi.Kaidah bahasa adalah aturan berbahasa yang berlaku, seperti aturan menggunakan helm berstandar SNI saat kita mengendarai motor. Sedangkan gaya tulisan adalah gaya kita menulis, sama seperti model helm yang bebas kita pakai sesuai selera dan kenyamanan. Begitu pun dengan gaya tulisan, kita bebas menulis dengan gaya formal maupun santai, sesuai dengan target pembacanya.Jika aturan bahasa dan gaya tulisan dipadukan, akan menghasilkan tulisan yang enak dibaca dan mudah dicerna. Lagipula, sekarang ini banyak kata nonformal yang sudah diakui KBBI, jadi gaya penulisan bisa lebih bervariasi. Banyak penulis yang piawai mengolah kata-kata menjadi tulisan dengan gaya yang santai, mengalir, dan akrab di telinga, tapi tetap mengikuti kaidah bahasa Indonesia. Mereka menghasilkan tulisan yang baik dan benar, serta dapat menarik minat pembaca sekaligus menjaga kualitas penulisannya.Sangat disayangkan jika media atau pembuat konten edukasi melakukan kesalahan penulisan, terutama kesalahan yang paling mendasar. Karena, mereka akan dianggap benar oleh pengikutnya. Tanpa disadari, kesalahan itu akan dilakukan oleh orang lain, diikuti oleh banyak orang lainnya, bahkan bisa sampai ke generasi berikutnya.Lihat saja buktinya di platform penulisan online. Banyak anak muda yang kreatif dan produktif menulis cerita fiksi, tapi acap kali melakukan kesalahan yang paling mendasar: salah dalam menulis “di” yang dipisah atau digabung. Bisa jadi, karena mereka terbiasa melihat penulisan yang salah di beberapa tempat dan menganggap tulisan itu adalah tulisan yang benar.Media, terutama media online, semestinya mengingat kembali fungsinya sebagai penyebar informasi dan edukasi yang tidak asal-asalan. Karena bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar, sudah sepatutnya penulisan di media menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar untuk memberi contoh pada masyarakat. Hal itu juga berlaku untuk para pembuat konten dan akun penting lainnya di media sosial.Jika media dan pembuat konten tidak melakukan kesalahan lagi dalam penulisan kontennya, publik pun akan terpengaruh untuk mengikuti penulisan yang benar. Generasi berikutnya pun akan mampu menulis konten atau literasi yang lebih baik lagi. Semoga.*INRCredit: Business photo created by kaboompics – www.freepik.com
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan