LOVER - BAB 47

1
0
Deskripsi

Bab 47~

Yonki mendapati raut wajah Diana jadi sangat serius. Ini benar-benar hal yang serius untuk dibicarakan, pikirnya. Dia punya beberapa dugaan mengenai hal yang ingin dibahas Diana, hanya saja semua dugaan itu buruk dan membuatnya takut sendiri.

"Apa ini hal yang buruk?" tanya Yonki ragu.

Diana menatapnya dan mengerjap cepat. "Entahlah. Ini mungkin bisa baik atau buruk. Untukmu."

"Baiklah. Katakan supaya bisa kuputuskan apa hal itu baik atau buruk."

Diana menghela napas dan mengerjap lagi. "Sebenarnya ... Aku terlambat."

Yonki menantikan kelanjutan kalimat Diana, namun Diana hanya menatapnya seolah meyakinkan bahwa kalimat yang ingin disampaikannya hanya itu saja.

"Terlambat? Kamu ... Ada janji dengan seseorang? Selarut ini?"

"Ap—" Diana tertawa mendengarnya.

"Bukan. Bukan terlambat yang seperti itu. Terlambat ... Datang bulan. Hm ... Aku sudah melewatkan jadwalku dua bulan haid, Yon."

Wajah Yonki seketika berubah linglung. Matanya melebar dan bibirnya sedikit terbuka.

"Kamu terkejut?" tanya Diana ragu.

Sejujurnya dia khawatir reaksi ini akan muncul, reaksi bingung Yonki. Diana bahkan yakin kalau Yonki akan segera mengatakan keberatannya setelah ini. Diana hanya perlu menunggu. Pengalaman hidup Yonki mengenai hubungan darah orang tua dan anak sedikit rumit. Hal itu diyakini Diana memang akan berpengaruh pada keputusan mereka jika ingin memiliki anak. Jadi, ketika menduga dirinya hamil, Diana memiliki alasannya sendiri untuk khawatir. Dia khawatir Yonki tidak menyambut baik hal itu.

"Aku tahu ini semua terlalu mendadak. Hanya saja ... Aku rasa kamu perlu tahu. Tapi, aku belum melakukan tes apapun kok. Ini sebatas dugaanku karena aku nggak pernah melewatkan periode haidku, kamu tahu itu. Jadi aku memang berniat memberitahumu dulu sebelum melakukan pengecekan apapun," oceh Diana ketika Yonki masih menatapnya kosong. Rasanya dia memang harus terus mengoceh agar Yonki tidak terlalu kasar bersikap nanti.

"Aku tahu juga ini mungkin bukan saat yang tepat menyampaikannya. Apa sebaiknya kita bahas lain kali?" ujar Diana lagi.

Seolah sudah mendapatkan kembali kesadarannya, Yonki mengerjap.

"Harusnya kamu mengeceknya. Atau ... Apa sebaiknya kita ke rumah sakit sekarang?"

Diana menggeleng cepat, "Nggak perlu. Kurasa ini bukan saat yang tepat. Maafkan aku kalau aku memberimu kabar ini di saat yang nggak tepat."

"Kenapa bilang begitu?" tanya Yonki bingung. "Tentu saja kamu harus mengatakannya padaku. Itu hal yang ..."

Diana merasa dirinya harus segera menghentikan topik pembicaraan ini. Dia tidak siap mendengar penolakan Yonki.

"Ya. Maafkan aku," ujar Diana sambil berusaha turun dari meja.

Seolah akhirnya menyadari ada yang salah, Yonki menahannya.

"Minggirlah. Aku ingin turun," gerutu Diana.

"Ya, aku akan melakukannya. Tapi, kenapa kamu tiba-tiba seperti ini? Kenapa kelihatan marah?"

"Aku nggak marah! Aku cuma ingin turun. Aku nggak mau membicarakan soal ... Ini. Aku nggak mau menambah bebanmu dan ..." Diana cegukan kecil karena air mata mulai membuat matanya panas dan tenggorokannya sakit. "Kumohon. Aku nggak mau mendengar penolakan."

Dengan cepat Yonki menyentuh pipi Diana dan mengangkat wajahnya hingga pandangan mata mereka bertemu.

"Menolak? Kenapa aku harus menolak? Apa kamu nggak menginginkan anak kita?" tanya Yonki bingung.

"Aku menginginkannya! Tentu saja! Maksudku, aku nggak mau mendengarmu menolaknya!"

"Kenapa aku harus menolaknya? Kalau kamu menginginkannya, maka kita akan memilikinya. Ya, kan?"

Kedua alis Diana bertaut kesal dan dia segera menyingkirkan tangan Yonki.

"Bagaimana denganmu? Apa kita hanya akan memiliki anak hanya karena keinginanku? Apa kamu nggak? Apa kamu nggak pernah memikirkan untuk memiliki anak kita sendiri?"

Yonki tertegun. Dia tahu Diana marah dan kesal, tapi dia benar-benar tak menduga kalau yang membuat Diana kesal adalah karena Yonki tak pernah menyatakan keinginan itu.

"Aku nggak pernah memikirkannya."

Perkataan Yonki membuat sesuatu menusuk hati Diana.

"Tidak sebelum aku menikahimu," lanjut Yonki yang membuat Diana mendongak seketika.

Dengan tangannya, sekali lagi Yonki menyentuh kedua sisi wajah Diana dan menatapnya.

"Dari dulu aku selalu mengira kalau aku akan hidup dan mati seorang diri, Din. Lalu, kamu menikahiku. Menemaniku, bertengkar denganku, dan mencintaiku. Kalau kemudian kamu memberikanku anak, bagaimana mungkin aku nggak bahagia? Aku akan mencintaimu juga satu dua atau mungkin lusinan anak yang kamu berikan padaku."

Diana menangis dan berdecak, "Aku kira kamu nggak menginginkannya. Kamu nggak mengatakan apapun mengenai itu."

"Aku tahu hari ini akan datang, hari dimana kamu memberitahuku kalau kita akan memiliki anak. Hanya saja, aku nggak menduga hari ini. Aku merasa bersalah karena justru memberikan suasana kacau disaat menyambut anak kita."

Yonki menurunkan kepalanya dan mencium bibir Diana. Diana membiarakan Yonki menciumnya dengan hangat dan ciuman itu membuat Diana yakin Yonki bahagia sekaligus sedih. Dia mengakhiri lumatan Yonki ketika disadari ada rasa asin, itu air mata Yonki.

"Aku belum melakukan tes apapun. Kurasa kita terlalu terhanyut suasana," bisik Diana sambil menghapus air mata Yonki.

Keduanya tertawa dan menempelkan kening mereka.

"Kalau kamu nggak yakin, yah baiknya kita melakukannya dengan benar. Kita harus memastikan ada bayi yang menghuni perutmu."

Diana menjerit ketika merasakan Yonki menunduk dan menggendongnya. Keduanya tertawa ketika Yonki membawa Diana ke tempat tidur mereka. Keduanya sepakat menunda kesedihan dahulu.

***

Diana sudah terlelap di pelukan Yonki semenjak beberapa jam lalu. Seusai mereka bercinta, Yonki berhasil membuat Diana tidur nyenyak. Napas teratur dan gumaman Diana menemani Yonki di sepinya kamar mereka malam ini. Dan tak lama lagi Yonki akan mendengar satu suara lainnya, bayi. Kemungkinan itu membuat Yonki tersentuh sekaligus khawatir. Diana memang benar, banyak hal tak terduga saat ini dan kemungkinan mereka memiliki bayi adalah hal paling tak terduga.

Diam-diam Yonki menyalahkan dirinya sendiri karena mereka dalam kondisi saat ini. Dia memejamkan mata dan mengusap kulit lembut Diana dengan ujung ibu jarinya. Otaknya sibuk mencari banyak kemungkinan untuk masa depan keluarga kecilnya semakin baik.

"Tidurlah," suara parau Diana membuat Yonki menghentikan usapan dan membuka mata menatap Diana.

"Berhentilah berpikir dulu. Semua akan baik-baik saja," lanjutnya.

Yonki merapatkan tubuh mereka dan mengiakan permintaan Diana. Rasanya memang benar, saat ini sebaiknya dia berhenti berpikir.

***

Sudah dua minggu semenjak pertemuan Yonki dan Mustika, dan akhirnya hari yang ditentukan sebagai rapat dewan direksi akhirnya diadakan juga. Yonki berangkat ke kantor setelah mengantar Diana terlebih dahulu. Ya, sudah dua minggu ini juga Yonki bersikeras mengantar jemput Diana ke kantor. Keinginan itu tentu karena Yonki yakin bahwa Diana memang mengandung, meskipun hingga saat ini Diana justru menolak mengecek kehamilannya.

Bukan tanpa alasan Diana berusaha menahan diri untuk tak melakukan testpack atau ke dokter. Dia melakukannya karena ingin Yonki fokus mengenai rapat direksi. Diana khawatir, apapun hasilnya Yonki akan merasa terbebani. Kalau dia positif, Yonki pasti akan bimbang untuk tegas pada James Hans, karena dia tidak mau berstatus tak punya kedudukan sementara akan memiliki anak dengan putri keluarga Gunawan. Kalau negatif, Yonki mungkin akan jadi lebih sibuk mengurus perasaan Diana. Jadi, untuk semua kemungkinan itu Diana memilih menunda.

Sementara itu hari ini membuatnya sangat gelisah. Mungkin, nyaris sama dengan Yonki. Hari ini Yonki menghadiri rapat dewan direksi dan pemegang saham perusahaannya. Tujuan rapat itu adalah mengenai Mustika yang ingin kembali mengambil alih perusahaan. Rencana itu masih diragukan keberhasilannya, tapi baik Yonki ataupun Diana setuju bahwa tujuan rencana itu baik. Selagi menunggu, Diana memutuskan menyibukkan diri dengan berbagai hal. Bahkan, berbagai hal yang biasanya terlihat tak penting akhirnya dia lakukan untuk membunuh waktu.

Setelah beberapa jam berupaya mengalihkan pikiran, kantuk menyerang Diana. Sangat mengantuk. Sudah lama rasanya dia tidak pernah mengantuk selama jam kerja. Dia akhirnya memutuskan beristirahat di sofa kantornya setelah mengabari sekretarisnya dia tidak ingin diganggu. Dalam tidurnya, mimpi yang aneh menghampiri Diana. Di dalam mimpinya Diana melihat Yonki berdiri di tengah badai. Dia terlihat panik dan mengulurkan tangan ke Diana. Melihat Yonki dalam keadaan berbahaya, Diana sebisa menggapai Yonki. Dia berusaha meraih sebisanya, namun badai makin mengamuk dan menelan Yonki tepat di depan matanya. Seketika Diana terjaga. Keningnya basah keringat dan dia menangis sejadinya.

***


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Lover
Selanjutnya LOVER - BAB 48
3
0
Bab 48~
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan