
Blurb
Intan dan Ricko baru saja merasakan kebahagiaan dengan sadarnya Intan dari koma.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Rossa yang tidak suka melihat kebahagiaan mereka di atas penderitaannya pun memutuskan mengoperasikan kakinya yang cacat ke luar negeri, tepatnya Amerika selama satu tahun hingga benar-benar sembuh total.
Setelah Rossa kembali, ia pun mengusik kehidupan Intan dan Ricko lagi. Hingga akhirnya Ricko pun memutuskan tinggal di luar negeri, tepatnya Jerman bersama anak dan...
BAB 1
Bali
Kini Ricko, Intan, Ricka, dan Ricki sedang beristirahat di dalam kamar hotel. Perjalanan jauh membuat tubuh mereka merasa sangat lelah. Si kembar pun menjadi rewel karena belum pernah merasakan perjalanan jauh.
“Mama ... lapal …,” rengek Ricka seraya menarik-narik gaun yang tengah dipakai Intan.
Ricki pun ikut merengek karena melihat Ricka sedang bermanja pada Mamanya. Sehingga ia pun ingin mendapat perhatian juga.
“Yici uga, Ma…,” sahut Ricki seraya menghampiri Intan dengan cemberut.
Ricko yang melihat kedua anaknya merengek pada Intan menjadi geleng-geleng kepala. Ia merasa iri pada istrinya. Semenjak Intan sadar dari komanya akibat kecelakaan dua tahun yang lalu, kedua anaknya menjadi semakin dekat dengan Intan dan tidak dekat dengan dirinya. Ia pun memaklumi itu karena memang sibuk bekerja di perusahaan.
“Mas, pesan makanan dong. Anak-anak sudah lapar nih,” pinta Intan pada Ricko yang sedang duduk di sofa.
“Iya …, sebentar,” balas Ricko dengan tersenyum lembut. Ia pun bangkit dari duduknya lalu berjalan menghampiri tempat tidur. Kemudian ia duduk di tepi tempat tidur dan mengambil buku menu makanan yang ada di atas nakas untuk melihat menu makanan yang ada di restoran hotel itu sebelum memesan makanan.
“Kalian mau makan apa?” tanya Ricko pada Ricka dan Ricki.
Ricka dan Ricki pun segera menghampiri Ricko untuk melihat buku menu makanan yang ada di tangan Ricko.
“Mm ... Yica mau ini, Pa,” ucap Ricka seraya menunjuk es krim cup rasa stroberi dengan menjilat bibirnya yang mulai mengeluarkan air liur lantaran melihat gambar yang menggoda selera.
Ricki pun tidak mau kalah. “Yici juga mau yang ini, Pa!” seru Ricki seraya menunjuk gambar es krim cup rasa coklat.
Ricko pun mendesah pelan. “Kalian ini katanya lapar? Kenapa malah memilih es krim?” tanya Ricko pada Ricka dan Ricki.
“Nggak apa-apa, Mas. Mungkin mereka haus karena habis perjalanan jauh. Sejak dalam kandungan kan mereka memang sudah suka es krim?” sahut Intan membela si kembar.
Ricko pun selalu mengalah kalau istrinya sudah membela kedua anaknya. “Ya sudah. Mau makan apa?” tanya Ricko seraya menaikkan kedua alisnya dan menatap si kembar bergantian.
“Nasi goleng!” seru Ricka dan Ricki serempak seraya mengangkat salah satu tangan mereka. Nasi goreng adalah makanan favorit mereka. Hampir setiap hari Intan memasak nasi goreng untuk mereka.
“Hahaha.” Ricko pun tertawa.
Intan pun mengulum senyum mendengar jawaban Ricka dan Ricki.
“Kalian ini bagaimana? Jauh-jauh ke Bali hanya makan nasi goreng?” tanya Ricko meledek si kembar.
Ricka dan Ricki pun menatap Ricko dengan tatapan mengintimidasi. Intan hanya bisa tersenyum setiap melihat mereka bertengkar.
“Sini buku menunya, Mas. Biar aku yang pesan,” ujar Intan menengahi mereka. Ia pun segera mengambil buku menu dari tangan Ricko.
***
Satu jam kemudian
Bel pintu kamar hotel berbunyi. Intan yang tengah berbaring di atas tempat tidur pun segera bangkit untuk membuka pintu. Setelah pintu kamar terbuka, tampaklah seorang pelayan hotel dengan troli di depannya. Di atas troli itu terdapat berbagai macam makanan dan minuman pesanan mereka.
Intan pun segera mempersilakan pelayan itu masuk dengan mendorong trolinya. Setelah pelayan itu pergi, Intan menutup pintu kamar kembali dan memanggil Ricko serta kedua anaknya yang sedang berendam di dalam kamar mandi.
***
BAB 2
“Sayang! Makanan kalian sudah datang …!” seru Intan sambil menyiapkan makanan.
Ricka dan Ricki pun segera keluar dari dalam bak mandi meninggalkan Ricko yang masih berendam.
“Hey, pakai handuk dulu!” seru Ricko pada kedua anaknya yang sudah kabur keluar dari dalam kamar mandi. Ia pun mendengkus kesal melihat kelakuan kedua anaknya. Setelah itu ia berdiri mengambil handuk dan melilitkan handuk itu di pinggangnya. Kemudian ia keluar dari dalam kamar mandi menyusul Ricka dan Ricki.
Setelah berganti pakaian, kini mereka berempat sedang makan bersama di dalam kamar. Intan menyuapi Ricka dan Ricki secara bergantian. Ia selalu memanjakan kedua anaknya. Ia ingin menebus masa 18 bulan komanya yang tidak bisa merawat mereka.
“Kamu juga harus makan, Sayang,” ujar Ricko seraya menyodorkan sesuap nasi ke depan mulut Intan. Intan pun membuka mulutnya dan menerima suapan dari Ricko. Ricka dan Ricki melihat itu dengan memajukan bibirnya.
“Yica uga mau, Pa!” pinta Ricka lalu membuka mulutnya lebar-lebar. Ricko pun memasukkan sesuap nasi ke dalam mulut Ricka.
“Yici uga!” sahut Ricki ikut-ikutan seraya menunjuk bibirnya yang sudah terbuka lebar.
“Yici, amu celalu aja menilu apa yang aku mau!” seru Ricka dengan mulut penuh makanan.
“Kita kan kembal? Jadi halus cama-cama dong!” sahut Ricki.
“Nggak! Amu laki-laki dan aku pelempuan!” balas Ricka tidak mau mengakui kalau mereka kembar.
“Sudah ... sudah ... jangan bertengkar terus dong!” lerai Ricko. Ricka dan Ricki pun cemberut dan saling membelakangi dengan melipat kedua tangan di depan dadanya.
‘Seperti inikah rasanya punya anak? Setiap hari harus mendengarkan pertengkaran mereka,’ keluh Ricko dalam hati.
***
Sore hari mereka berempat pergi ke pantai untuk menyaksikan matahari tenggelam bersama-sama. Ricka dan Ricki berlarian di atas pasir putih sambil sesekali saling mencipratkan air pada saudaranya.
Ricko dan Intan mengawasi mereka sambil duduk di atas pasir pantai yang tidak jauh dari mereka. Intan menyandarkan kepalanya pada bahu Ricko yang duduk di samping kanannya.
“Mas, aku saaaangat bahagia,” ujar Intan tiba-tiba seraya menyematkan anak rambutnya yang tertiup angin pada daun telinganya.
“Aku juga, Sayang. Akhirnya kita bisa berkumpul bersama-sama,” balas Ricko dengan tersenyum dan merangkul bahu Intan. Ia masih ingat betapa hancur hatinya saat melihat istrinya koma selama 18 bulan lamanya. Ia hampir kehilangan semangat hidupnya. Ia tidak mau kehilangan seseorang yang sudah mendampingi hidupnya dan melahirkan anak-anaknya. Ia selalu berdoa pada Tuhan agar istrinya bisa kembali sehat seperti semula. Hingga akhirnya Tuhan mengabulkan doanya setelah 18 bulan kemudian.
Begitu juga dengan Intan, ia merasa sangat bersyukur karena Tuhan masih memberinya kesempatan untuk hidup dan menjaga suami serta kedua anaknya. Ia ingin hidup lebih lama lagi. Ia ingin melahirkan banyak anak untuk Ricko dan menua bersama-sama. Ia juga ingin melihat anak-anaknya menikah hingga melahirkan cucu-cucu yang lucu untuknya.
“Yici! Jangan! Nanti Yica bacah,” seru Ricka pada Ricki yang sedang mencipratkan air ke mukanya.
Ricki pun tersenyum nakal dan melanjutkan aksinya. Ricka semakin geram. Ia berlari menghampiri Intan dengan menangis.
“Mama! Yici nacal!” seru Ricka lalu duduk di pangkuan Intan dan memeluknya.
“Ricki, nggak boleh gitu ya, Sayang!” tegur Intan dengan halus.
Ricki pun menganggukkan kepalanya dengan cemberut. Ricko tahu Ricki kesal. Ia pun beranjak bangkit lalu menghampiri Ricki.
***
BAB 3
“Mau main sama Papa?” ucap Ricko dengan tersenyum.
Ricki menatap Ricko lalu tersenyum dan menganggukkan kepalanya dengan mantap. Ricko pun mengangkat tubuh Ricki dan memosisikan datar seperti pesawat terbang.
“Terbang!” seru Ricko seraya berlari ke sana ke mari. Ricki pun tertawa lepas.
Intan dan Ricka menyaksikan Ricko dan Ricki yang sedang bermain bersama.
Matahari semakin menenggelamkan dirinya. Pantai mulai sepi karena banyak orang yang mulai kembali ke hotel. Begitu juga dengan Ricko dan Intan. Mereka berempat berjalan bergandeng tangan menjauhi pantai. Langit pun berubah warna menjadi jingga karena hari sudah senja.
***
Hari sudah malam. Intan menidurkan kedua anaknya dengan bernyanyi dan membelai rambut mereka hingga mereka tertidur lelap.
Sedangkan Ricko duduk di sofa sambil mengecek pekerjaan yang dikirimkan Romi dan Lia melalui email pada ponselnya.
Setelah melihat Ricki dan Ricka tertidur, Ricko menepuk bantalan sofa di sampingnya agar Intan duduk di sampingnya. Intan pun beranjak bangkit dari tempat tidur dengan pelan-pelan untuk menghampiri Ricko.
“Sudah dua tahun lebih aku berpuasa,” bisik Ricko tiba-tiba di telinga Intan yang sudah duduk di sampingnya setelah menaruh ponselnya.
Intan mengernyitkan dahinya lalu menatap Ricko. “Maksudnya, Mas?” tanya Intan.
“Aku merindukan masa-masa itu, Sayang …,” ucap Ricko lirih lalu menempelkan ujung hidungnya pada pipi Intan.
Intan merasa geli dan mulai merasakan sensasi yang tidak biasa. Ia pun akhirnya mengerti apa yang dimaksud Ricko.
Tanpa menunggu persetujuan dari Intan, Ricko pun mulai memegang kedua pipi Intan lalu mencium bibir manis istrinya itu. Ia melumat serta menyesap bibir yang sudah lama ia rindukan. Tangan kanannya juga mulai membuka kancing atas piama Intan satu demi satu. Setelah itu ia membaringkan tubuh Intan di atas sofa dan menindihnya.
Intan pasrah pada apa pun yang dilakukan Ricko padanya. Saat ini, yang ia inginkan adalah kebahagiaan Ricko dan anak-anaknya.
Ricko pun meraba punggung Intan untuk melepas pengait penutup buah dada Intan. Kemudian ia melepas benda itu hingga tampaklah gunung kembar milik Intan.
Ricko menatap Intan dengan tersenyum. Matanya teduh dan terlihat sangat menginginkan Intan. Sudah lama ia tidak melakukannya. Rasa grogi pun tidak terelakkan.
Begitu juga dengan Intan. Jantungnya berdebar hebat karena sudah lama tidak melakukannya.
Ricko menyentuh puncak buah dada Intan dan Intan menampik tangannya. Itulah yang diharapkan Ricko. Ia senang akhirnya bisa melihat Intan yang seperti dulu.
Ricko masih ingat saat Intan terbaring koma. Ia mencoba memegang buah dada Intan dan berharap Intan menampik tangannya. Namun, Intan diam tidak bergerak. Hatinya merasa sangat sedih. Ia takut Intan tidak bisa sadar dari koma selamanya.
“Geli, Mas!” sungut Intan. Namun, ia tidak marah sungguhan.
Ricko pun tersenyum lalu mengulum puncak gunung kembar Intan layaknya bayi yang sedang kehausan. Hingga akhirnya percintaan pun terjadi.
“Sakit, Mas ...,” keluh Intan saat Ricko menghunjamkan senjata miliknya.
Ricko pun menghentikan gerakannya. Nyatanya, ia sendiri pun merasa sakit juga. Setelah dua tahun tidak melakukannya, gua milik Intan terasa semakin sempit menggigit.
“Mau berhenti apa lanjut?” tanya Ricko. Ia tidak akan memaksa dan menyakiti istrinya.
“Lanjutkan saja. Tanggung, Mas,” jawab Intan dengan meringis menahan perih.
Ricko pun melanjutkan aksinya hingga pelepasan keduanya pun terjadi. Dua tahun tidak melakukannya, hari ini benar-benar terasa begitu indah bagi keduanya.
***
BAB 4
Satu minggu kemudian
Kini Ricko sudah kembali bekerja seperti biasanya. Tidak mungkin ia liburan terus-menerus dan menyerahkan urusan pekerjaan pada calon adik iparnya yang akan naik ke pelaminan satu minggu lagi.
“Bagaimana persiapan pernikahanmu, Rom?” tanya Ricko pada Romi yang duduk di depan mejanya.
“Sudah siap semuanya. Semua sudah diurus pihak wedding organizer,” jawab Romi lalu menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan kasar.
“Kenapa?” tanya Ricko seraya menaikkan sebelah alisnya.
“Semakin dekat dengan hari H, aku semakin deg-degan, Rick,” jawab Romi sembari mengusap wajahnya dengan gelisah.
Ricko pun tertawa renyah lalu beranjak bangkit dari kursinya. Ia menghampiri dan menepuk bahu calon adik iparnya itu. “Tenang saja. Setelah menikah, hidupmu akan berubah menjadi lebih indah,” ujar Ricko dengan tersenyum.
Keindahan hanya bagi pasangan yang saling mencintai. Bagaimana dengan Romi dan Sita? Sampai menjelang hari pernikahan pun, Sita masih belum mencintai Romi. Bahkan, pernikahan ini pun dilakukannya dengan terpaksa.
Sita terpaksa melakukan pernikahan ini, Ia tidak mau mengecewakan Papanya hanya karena pernikahan yang batal. Ini semua sudah terlanjur terjadi semenjak makan malam di rumahnya waktu itu, sehingga Romi pun terpaksa bertunangan dengannya dan akhirnya memutuskan untuk menikah.
***
Satu minggu kemudian
Hari ini adalah hari pernikahan Romi dan Sita. Pesta Pernikahan diadakan di Hotel Raflesia milik Ricko.
Kini Romi sudah siap dengan setelan jas warna putih yang menempel pada tubuhnya. Ia merasa sangat gugup. Ia mondar-mandir di dalam kamarnya sembari mulutnya komat-kamit menghafalkan ijab kabul.
Vina yang kebetulan lewat depan kamar Romi pun segera masuk karena memang pintunya yang terbuka lebar.
“Wah … nggak nyangka, bentar lagi Kakakku satu-satunya akan menikah,” celetuk Vina seraya duduk di tepi tempat tidur Romi.
Romi pun menatap tajam ke arah Vina. Ia sudah gugup sedari tadi karena berusaha menghafalkan ijab kabul, adiknya malah datang untuk mengganggunya. “Jangan cari gara-gara!” ujar Romi dengan dingin.
“Siapa yang cari gara-gara? Aku hanya ingin mengucapkan selamat, akhirnya Kakak menikah juga setelah jomlo bertahun-tahun,” balas Vina tanpa sadar telah menyinggung Romi yang tidak pernah punya pacar selama belasan tahun lamanya karena terlalu fokus dan sibuk bekerja.
Mata Romi pun melebar lalu menghampiri Vina dengan geram. “Katakan sekali lagi!” perintah Romi.
“Selamat, Kakak. Akhirnya Kakak tidak jomlo lagi,” ucap Vina dengan tegas dan mengulurkan tangan pada Romi.
Romi pun mengerutkan bibirnya lalu menjitak kepala Vina dengan geram.
“Auwh! Sakit, Kak!” seru Vina seraya mengelus kepalanya dan meringis kesakitan. Matanya pun berkaca-kaca karena menahan sakit di kepalanya.
“Salah siapa mengejekku?” tanya Romi seraya merapikan jasnya sebelum keluar dari dalam kamar.
“Kalian ini mau sampai kapan bertengkar terus? Padahal sudah pada dewasa,” ujar Bu Farida, Mamanya Romi dan Vina. Ia masuk ke dalam kamar Romi hendak memanggil Romi dan Vina agar segera turun dan berangkat ke hotel Raflesia.
Setelah semua anggota keluarga berkumpul, mereka pun berangkat iring-iringan menuju hotel Raflesia.
Sementara itu di dalam sebuah kamar hotel Raflesia, Sita duduk di depan meja rias memandangi bayangan dirinya pada cermin. Di dalam cermin itu tampak bayangan dirinya yang memakai kebaya putih dengan sanggul di kepalanya serta bunga melati terjuntai di bahu hingga ke dadanya. Sampai saat ini, ia masih belum percaya kalau sebentar lagi akan menjadi istri orang.
***
BAB 5
Tidak berapa lama kemudian Intan masuk dengan menggandeng Ricka dan Ricki di tangan kanan dan kirinya.
“Tante!” seru Ricka seraya memeluk Sita dengan sangat erat.
Sita pun tersenyum dan membalas pelukan Ricka. Ia sangat menyayangi kedua keponakannya itu. Sejak mereka bayi, Sita selalu ikut andil menjaga dan merawat mereka karena Intan terbaring koma selama 18 bulan lamanya.
“Mbak Sita kenapa? Kelihatannya sangat sedih?” tanya Intan saat melihat raut wajah Sita yang terlihat sendu.
“Nggak apa-apa, Kak. Mungkin hanya kurang tidur aja,” jawab Sita dengan berusaha tersenyum senormal mungkin.
“Mbak Sita masih beruntung menikah dengan orang yang Mbak kenal. Bahkan kalian sudah bertunangan dua tahun lebih. Sedangkan aku, dulu menikah tanpa tahu siapa calon suamiku,” tutur Intan mengenang pernikahannya dulu.
“Tapi akhirnya sekarang kalian saling mencintai, kan?” sahut Sita seraya menaikkan satu alisnya dan menatap Intan.
“Iya, Mbak. Mungkin ini yang dinamakan jodoh,” balas Intan dengan tersenyum.
Sita pun ikut tersenyum. Ia merasa ikut bahagia dengan kisah rumah tangga Ricko dan Intan yang penuh dengan cobaan. Ia berharap rumah tangganya dengan Romi kelak juga akan menjadi keluarga yang bahagia seperti rumah tangga kakaknya. Meskipun saat ini ia belum mencintai Romi, tapi ia akan belajar dan berusaha mencintai suaminya itu.
Rombongan iring-iringan keluarga Romi telah sampai di depan hotel Raflesia. Romi turun dari mobil dengan jantung berdegup sangat kencang. Ini adalah pengalaman pertamanya untuk menikahi seorang wanita. Tentu saja ia menjadi gugup, gelisah, dan tremor.
Romi melangkahkan kaki memasuki lobby hotel dengan rombongan keluarga yang mengekor di belakangnya.
Mata Vina berkaca-kaca. Ia merasa terharu dengan suasana saat ini. Di sampingnya berdiri Rudy, anggota wedding organizer yang dulu sempat hampir dicolok matanya oleh Ricko karena memandangi Intan saat datang ke rumahnya. Kini Rudy dan Vina berpacaran lantaran sering bertemu saat mengurusi pernikahan Romi dan Sita.
Di aula hotel, Ricko dan semua anggota keluarganya sudah menunggu kedatangan Romi. Tak terkecuali pak penghulu yang akan menikahkan kedua calon mempelai pengantin.
Romi memasuki aula hotel dengan jantung berdebar hebat. Biji-biji keringat dingin pun keluar dari keningnya. Ia berusaha menenangkan jantungnya yang sedari tadi berdebar dengan membuang napas kasar melalui mulutnya.
Vina yang melihat itu, dengan segera ia merogoh tasnya untuk mengambil tisu dan memberikannya pada Romi. Ia tahu kakaknya sangat gugup saat ini.
Kini Romi sudah duduk di depan pak penghulu dengan mahar seperangkat perhiasan emas di atas meja. Tidak lama kemudian Sita memasuki aula dengan didampingi Bu Sofi dan Intan.
Sita duduk di samping Romi tanpa memandangnya. Jujur, ia sendiri merasa gelisah dan gemetar. Ia tidak berani menatap wajah calon suaminya itu.
“Sudah siap?” tanya pak penghulu pada Romi.
Romi menganggukkan kepalanya lalu memandang Sita yang tengah duduk di sampingnya. Romi pun semakin grogi.
Pak penghulu mengulurkan tangannya pada Romi untuk memulai acara akad nikah. Rasa dingin pun dirasakan pak penghulu saat menjabat tangan Romi. Ia pun maklum, hampir semua pengantin yang ia nikahkan memang merasakan hal yang sama seperti saat ini.
Pak penghulu pun memulai untuk menikahkan Romi dengan Sita. Setelah pak penghulu mengakhiri kalimatnya, Romi pun segera menyahuti ucapan pak penghulu dengan ijab kabul yang sudah ia hafalkan beberapa hari ini dengan satu tarikan napas.
***
Bersambung
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
