10. BU FIO YANG SOLUTIP

0
0
Deskripsi

Bu Fio mendekatkan wajahnya ke wajah Jeffry sampai jarak sangat dekat. Wangi yang menguar dari wajah dan tubuhnya membuat Jeffry sontak mundur. Dia melirik Icha, berharap perempuan itu menolongnya keluar dari situasi yang sangat membuat canggung ini. Tapi, dengan kurang asemnya, Icha malah buru-buru pergi sambil menutup mulut dengan telapak tangan. Sepertinya, dia mencari tempat aman untuk meledakkan tawa yang sejak tadi ditahan dengan susah payah.

Punya penampilan keren dan mudah disukai kadang-kadang bisa mengundang bencana. Itu yang dirasakan Jeffry. Sebenarnya dia tidak merasa ganteng-ganteng amat. Di kantornya masih banyak yang lebih ganteng dengan penampilan rapi dan necis. Senyum mereka sudah bisa buat antre jadi model iklan pasta gigi. Menarik, manis dengan gigi berderet rapi, putih, bersih, dan cling!

Jeffry? Maaf, giginya cenderung kelabu. Meskipun sama-sama berderet rapi, tapi senyum yang dihasilkannya terlihat berbeda.

“Unik! Keren! Ganteeeeng…!”

Pujian Miranti itu rasanya cukup buat Jeffry. Dia tak butuh pujian lain, terlebih dari kaum Hawa. Sayangnya, soal gigi kelabu bukanlah masalah besar buat mereka, beberapa teman kantornya. Ganteng paripurna, keren permanen, gagah nggak kaleng-kaleng, ayam keremes… ya ampun, ‘ayam keremes’?

“Ayah Muda Keren dan bikin Gemes,” sahut Icha ketika ditanya Jeffry. 

Entah ada berapa lagi istilah abege yang pernah didengarnya secara sengaja maupun tidak saat di kantor untuk mengomentari penampilannya.

Sekeren itu dirinya, memang. Hmm….

Jeffry menganggap semuanya hanya basa-basi pergaulan di kantor. Mereka tahu status Jeffry sebagai seorang suami dengan dua anak balita. Kalau tidak ada masalah kejiwaan mereka tidak akan berani macam-macam menggoda suami orang. Oya, maaf, sepertinya Bu Fio pengecualian. Perempuan bersuami dan beranak abege itu tak malu-malu berlaku genit kepada Jeffry, membuatnya risi.

Suasana kantor pagi ini masih relatif sepi, tapi Jeffry tak mau mengambil risiko apa pun. Dia agak mengendap-endap saat melewati ruangan Bu Fio, lalu berjalan cepat melewati pintu yang terbuka.

Say, besok kita ngobrol2 ya…

Ada info penting buat kamu, Say

Pesan Bu Fio lewat wassap kemarin sore itu sudah dia hapus. Jeffry tak mengerti mengapa dengan entengnya Bu Fio menyapa ‘say’ pada laki-laki yang sudah jelas statusnya suami orang. Kalau hendak mengesankan keakraban sapaan itu terlalu berlebihan, bahkan berisiko mengundang kesalahpahaman.

Info penting? Mendadak kepala Jeffry pening.

Jeffry berhasil melewati ruang Bu Fio dengan selamat. Dia cepat-cepat menuju kubikelnya sendiri.

“Selamat pagi…,” seseorang menyapanya dengan suara sedikit manja.

Masyaallaah… Bu Fio sudah duduk manis di sana. Belum sempat Jeffry menjawab, dia sudah melanjutkan,

“Kok wa-ku cuma di-read? Katanya, kamu lagi perlu info per-skinker-an ya, Say?”

Jeffry menelan ludah. Dia tahu pasti siapa yang sudah membocorkan informasi itu ke Bu Fio. Orang itu baru saja muncul di ambang pintu, lalu mengedik sembari melambai ke arahnya dengan ekspresi hiiihhh…

Icha… ya ampun!

Jeffry ingin mengejar dan menjambak rambutnya, tapi tangan Bu Fio yang tiba-tiba hinggap di punggung tangan Jeffry membuatnya melupakan keinginan itu. Jeffry cepat-cepat melepaskan diri.

“Ya ampun, Pak Jeff, tanganmu nggak akan melepuh cuma karena kesenggol tanganku,” cetus Bu Fio yang disusul dengan tawanya yang tanpa beban. Dia berjalan ke ruangannya yang cukup jauh dari sana.

Kesenggol???

“Oh ya, nanti aku beberkan semua tentang per-skinker-an. Dari A sampe Z, dari Sabang sampe Merauke, dari Timor sampe ke Talaud,” cecar Bu Fio dengan mengabaikan bait terakhir jingle iklan mi instan Indonesia tanah airku… indom** seleraku.

Jeffry tak menjawab.

“Kita maksi bareng ya…okey?”

Begitu Bu Fio menghilang, Jeffry berderap menuju kubikel Icha. Ibu muda satu itu harus diberi peringatan keras kali ini.

Icha sedang memeriksa beberapa berkas ketika Jeffry datang dan mengetuk-ngetuk mejanya dengan tak sabar. Dia mendongak. Tak ada ekspresi menyesal di wajahnya yang glowing

“Ada apa, Jeff?”

Mulut Jeffry tertutup rapat menahan gemas.

“Kok diem aja? Mau kupanggil ‘say’ juga?” tanya Icha provokatif tapi tetap memasang wajah tak berdosa, lalu terkikik geli.

Jeffry tak terpengaruh oleh tampang polosnya.

“Ngapain sih cerita ke Bu Fio soal skinker?”

Icha menyingkirkan berkas yang dipegangnya ke sisi meja yang lain. Wajahnya menghadap Jeffry dengan ekspresi (sok) serius.

“Jadi gini ya, Pak. Kemarin itu Bu Fio ternyata dapat bocoran kalau kita ngobrol berdua di pantry.”

“Lha, terus… apa urusannya?”

“Wah, urusannya pasti panjang dong, Pak.”

“Apaan sih panggil pak  segala?” kata Jeffry risi.

Kemudian, Icha bercerita bagaimana dia diberondong pertanyaan oleh Bu Fio soal obrolannya dengan Jeffry.

“Aku udah berusaha kok nggak bilang apa-apa. Sampe akhirnya…”

“Akhirnya apa? Dia ngancam berhenti langganan taperwer dari kamu?”

Icha menyeringai lebar. Pertanyaan Jeffry terjawab tanpa perlu kata-kata.

“Tega bener kamu, Cha, menggadaikan pertemanan kita demi taperwer…,” ujar Jeffry sok melow.

“Jiyaa… nggak usah lebay!”

Ampun!

“Tenang, Jeff, rahasia besarmu masih kusimpan dengan aman. Bahkan dari intimidasi Bu Fio,” katanya dengan kesan sok menjamin.

“Rahasia besar apa?”

Icha mengerling. ”Foto cewek glowing shimmering itu… yang kamu unjukin tempo hari.”

Jeffry tak bisa berkata-kata lagi. Dijelaskan kepada Icha sepanjang apa pun tak ada gunanya kalau di pikirannya sudah terpatri pendapat sendiri. Dia lebih memilih mengalah daripada memperpanjang masalah. 

“Dia bukan siapa-siapa, tau! Jangan sembarangan bikin gosip!”

“Ihiy! Ada yang sewot… ada yang sewot…,” Icha bertepuk tangan tanpa menimbulkan suara, makin menjadi menggodanya.

Ibu muda berotak cerdas itu memang tak pernah sungkan bicara apa pun dengan Jeffry, termasuk bercerita soal cewek-cewek jomlo yang menjadikannya narasumber tentang Jeffry. 

“Tapi tenang, Jeff, info yang kubagiin itu statusnya rahasia umum. Tanpa kuceritain juga orang-orang udah pada tau sebenernya sih,” katanya tanpa terlihat bangga sama sekali. “Tapi, nggak tau kenapa mereka lebih puas kalau infonya keluar dari mulutku.”

Icha merapikan rambutnya yang dipotong pendek. “Yah, mau gimana lagi? Sepenting itu aku di mata mereka,” lanjutnya dengan ekspresi lugu yang menyebalkan.

Jeffry melayangkan kepalan tangannya ke atas kepala Icha dengan gemas.

“Kupites juga kamu, Cha.”

Icha menyeringai lebar.

“Kamu harus ikut makan siang nanti ya. Awas, jangan kabur!”

“Siap!”

*

Jeffry berencana menghindar dari acara makan siang yang digagas secara paksa oleh Bu Fio. Dia memikirkan alasan apa yang harus dikatakan dan tak terbantahkan. Namun, sampai menjelang siang dia bahkan melupakan rencana itu. Pekerjaannya menumpuk, tugas-tugas baru  berdatangan seperti gelombang. SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKP Nihil[1]… belum lagi surat pemberitahuan yang harus dibuat dan dikirim… semua menenggelamkannya hingga tak sempat memikirkan yang lain. Dia ingin melewatkan makan siang, tapi perutnya tak bisa kompromi. Tiba-tiba saja Bu Fiona sudah berdiri di depan mejanya sambil memutar-mutar kunci mobil.

“Kita maksi sekarang?”

Jeffry sungguh tak nyaman dengan tatapan orang-orang di ruangan itu. Tinju imajiner melayang ke arah Icha yang memerhatikan dari jauh sambil mengangkat alis dan pundaknya tinggi-tinggi.

Dasar manusia satu itu ya!

“Aku tunggu di luar ya,” kata Bu Fio sambil melenggang ke arah pintu.

Hufft!

Jeffry berjalan meninggalkan kubikel, mengirimkan isyarat agar Icha mengikutinya segera.

“Mau makan apa, say? Bakso? Pizza? Gado-gado?” tanya Bu Fio saat Jeffry dan Icha menghampirinya. Pilihan yang sulit diambil benang merahnya selain sama-sama bisa mengenyangkan. Mereka berjalan menyusuri lorong.

Pertanyaan dan sapaan itu jelas ditujukan kepada Jeffry, bukan Icha.

“Kamu mau makan apa, Cha?” tanya Jeffry untuk mengalihkan perhatian. 

“Apa aja bole….” Sungguh jawaban yang tidak membantu.

Jeffry menghela napas. Berencana membuat perhitungan kepada sosok mungil nan mengesalkan itu.

Bu Fio meraih tangan Jeffry, menjejalkan kunci mobil ke telapak tangannya.

“Kamu yang bawa mobilnya ya, say.”

Jeffry menjengit kaget. Icha sontak menutup mulut, menahan agar tawanya tak keluar. Ibu satu ini selalu punya cara buat pegang-pegang Jeffry. Hadeuuh….

Jeffry menoleh Icha setelah berhasil melepaskan diri dari genggaman Bu Fio, menyodorkan kunci mobil.

“Kamu aja yang bawa, Cha,” katanya. “Aku mau pake motor, sekalian isi bensin pulangnya.”

“Ya udah, Icha aja yang bawa ya?” kata Bu Fio.

Jeffry mengembuskan napas lega.

“… biar aku dibonceng Jeffry….”

HAH?!

Wajah Jeffry dan Icha mendadak jadi serupa dengan mata membeliak dan bibir menganga kaget.

“Eh, jangan, Bu! Nggak jadi. Tanki motorku udah penuh kayaknya.”

Icha benar-benar kesulitan menyembunyikan tawanya. Wajahnya yang putih langsung memerah. Jeffry melirik dongkol. Awas kau!

*

Siang ini Jeffry merasa terjebak di antara dua perempuan ajaib di kantornya. Mereka bersahut-sahutan dan saling melengkapi info soal jagat per-skinker-an. Tanpa makan siang pun mungkin Jeffry bisa merasa kenyang. 

Dia harus mengakui pengetahuan Bu Fio soal ini satu tingkat di atas Icha. Bagai air bah dia membanjiri otak Jeffry dengan beragam merek, manfaat, harga, cara pakai, bahkan perbandingan hasilnya. Dan, yang penting, Bu Fio adalah bukti otentik untuk manfaat dan hasil yang cetar membahana. Jadi, kata-katanya sangat bisa dipercaya. Kulit wajah dan lainnya mulus tak bernoda. Tak ada kerutan atau tanda-tanda penuaan dini lainnya.

Tiba-tiba Jeffry teringat selorohan Bang Wira soal skinker yang bisa menyedot separuh gaji mereka. Mendengar penjelasan Bu Fio dia tak heran jika ada kabar perempuan di dekatnya ini menghabiskan lebih dari separuh gajinya untuk skinker dan perawatan-perawatan kecantikan. Tentu saja itu bukan masalah besar. Suami Bu Fio adalah seorang pengusaha sukses. Biaya perawatan wajah dan lain-lain itu mungkin hanya sekian persen dari penghasilannya. Abai-able.

“Nah, gini nih, say….” Bu Fio menghadap Jeffry dan menatapnya intens.

Hadeuh, ‘say’ lagi….

“Coba perhatiin kulit wajahku. Nih.”

Bu Fio mendekatkan wajahnya ke wajah Jeffry sampai jarak sangat dekat. Wangi yang menguar dari wajah dan tubuhnya membuat Jeffry sontak mundur. Dia melirik Icha, berharap perempuan itu menolongnya keluar dari situasi yang sangat membuat canggung ini. Tapi, dengan kurang asemnya, Icha malah buru-buru pergi sambil menutup mulut dengan telapak tangan. Sepertinya, dia mencari tempat aman untuk meledakkan tawa yang sejak tadi ditahan dengan susah payah.

Bener-bener itu anak ya… awas kau, Cha!

“… Nggak keliatan pori-porinya ‘kan?” lanjut Bu Fio, tak terpengaruh oleh tingkah Jeffry maupun Icha. Tak bergeser sesenti pun dari posisi tadi. “Ini aku rajin pake skinker dengan urutan berlapis. Pertama…., kedua… bla…bla… bla.”

Kepala Jeffry mendadak penuh. Dia sudah tidak bisa berpikir lagi. Informasi yang didapatnya siang ini sudah lebih lebih lebih dari cukup. Sejujurnya, hanya sebagian kecil info itu yang berhasil menempel di otaknya. Jangan sampai kepalanya meledak.

“Terus, beli itu-itu semua di mana, Bu?” tanyanya polos.

“Jangan sembarangan beli, banyak yang palsu beredar. Bisa-bisa bikin kulit porak-poranda.”

Mau tak mau Jeffry bergidik membayangkan wajah seseorang jadi porak-poranda gara-gara skinker yang akan diberikannya sebagai hadiah. Amit-amit!

“Ada gerai resminya meski ada juga yang belum masuk sini. Atau, kalau mau lebih puas bisa titip sama orang yang jelong-jelong ke luar negeri. Aku punya kenalan yang udah biasa beli-beli skinker dan lain-lain gitu.”

“Boleh di-share kontaknya, Bu?” Jeffry siap mengetik di ponselnya.

“Nanti aja aku kirim lewat wa.”

Ya ampun, kenapa nggak sekarang aja sih, Buuu…

“Dibales ya, jangan di-read doang. Sedih akutu….” Bu Fio berdiri, hendak menggamit lengan Jeffry, tapi gagal karena Jeffry bergeser menjauh.

Saat itu Icha muncul. 

“Eh, udah kelar konsultasinya?” tanyanya tanpa merasa bersalah.

Jeffry meliriknya sadis.

Konsultasi nenek lo!

*


 


[1] Jenis-jenis surat ketetapan pajak yang harus ditelaah oleh penelaah keberatan jika ada beda pendapat di antara pemeriksa dan wajib pajak

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 11. MULTITASKING MAMA; 12. SESUATU YANG BELUM PERNAH DIBICARAKAN
0
0
Jam kerja kantor baru saja usai. Jeffry masih merapikan meja ketika sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dari Bu Fiona. Hadeuuh. Jeffry menggaruk-garuk kepala. Terbaca di layar ponselnya ‘Say’ diikuti tanda titik yang berderet panjang. Kemudian disusul pesan berikutnya. Sebuah tautan yang menuntun ke sebuah grup di aplikasi WhatsApp.Gabung di sini ya, say….Jeffry menahan napas sebelum membalas pesan itu. Kepada Bu Fiona dia memutuskan untuk lebih tegas menggoreskan batas di antara mereka. Dia sungguh risi dipanggil dengan ‘say’, diperlakukan seperti laki-laki yang terkesan senang disentuh oleh sembarang perempuan selain istri dan kerabat.Trims infonya, Bu. Saya pikirkan untuk gabung nanti.Btw, mohon maaf, jangan panggil saya ‘say’, nggak enak sm yang lain. Sayanya juga nggak nyaman.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan