Not An Angel (Recomended, Complete)

5
6
Terkunci
Deskripsi

#BacaanDEWASA 

#ChildrenGoAway

Sinopsis Not An Angel

Ravella Angel Smith yang polos dan manis bertemu dengan Daniel Raskarof Pereira yang berbahaya.

Keduanya terikat oleh masa lalu yang sulit dimaakan dan dilupakan.

Keka mereka bertemu kembali suatu hari di Kota Sao Paolo Brazil, Danny merasa hidupnya kembali.

Sedangkan bagi Ravel, dia bertanya lelucon apa yang dikirimkan padanya keka hidupnya sudah di

ambang pernikahan dengan Alejandro.

Adegan percintaan dan aksi yang menguras jiwa. Pertarungan...

2 file untuk di-download

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Paket
8 konten
Akses seumur hidup
999
Karya
1 konten
Akses seumur hidup
555
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya LANGIT GEMINI (COMPLETE)
9
4
 Setelah putus dengan Jesper, cowok yang selama dua tahun ini menjadi pacarnya, Gemini memilih -jika tidak mau disebut terpaksa- pulang ke Batam. Karena satu dan lain hal dia terpaksa bekerja sebagai kasir di sebuah kafe, padahal keluarganya lebih dari sanggup membiayai dirinya yang suka menghambur-hamburkan uang. Yang membuatnya kesal bukan hanya karena harus bekerja, tapi seorang pengunjung yang kaku, tidak bisa diajak becanda dan lebih sering melotot padanya. -Gemini Tomo-Sebenarnya Langit bukanlah seorang pemurung, tapi dia baru saja bertemu dengan mantan yang pernah -jika tidak mau dibilang masih- dicintainya tengah hamil besar. Jadi jangan salahkan dia jika dia membentak gadis kasir yang mencoba menggodanya. -Langit Erlangga-   Sienna Bachir  Langit Gemini             Sebuah Novel    Langit GeminiSienna BachirTata Letak: Sienna BachirSampul: Erlina Essen   Ucapan Terimakasih Akhirnya naskah satu ini selesai juga setelah setengah tahun berlalu. Waktu yang cukup lama untuk menghasilkan sebuah karya sederhana ini. Bukan karena malas ataupun tidak ada ide, tapi karena kesehatan saya yang sempat menurun selama satu tahun ini. Semua ini tentu tidak lepas dari campur tangan Tuhan. Saya selalu bersyukur yang sedalam mungkin atas berkat yang telah diberikan-Nya sehingga dapat menyelesaikan pekerjaan ini. Ucapan terimakasih saja rasanya tidak cukup.Untuk Ibu saya, tidak ada yang bisa saya katakan. Jasamu tidak akan pernah bisa saya bayar. Saya teringat hari itu, ketika dirumah sakit ada seorang wanita yang membantu ibunya berjalan tepat di depan saya. Lalu saya tertawa ironis, karena yang terjadi pada saya justru sebaliknya. Ibu saya yang membantu saya berjalan. Kasihmu tidak akan pernah bisa  saya bayar, ucapan terimakasih tidak akan cukup, tapi satu hal Ibu. Aku sayang sama Ibu. Maaf jika aku punya banyak salah ya bu hehehe… J Terimakasih juga untuk keluarga yang mendukung hobi baru saya.Terimakasih kepada rekan sesama penulis atas segala masukannya dan nasib yang ‘dilemparkan’ kepada saya saat itu. Nasib yang sungguh membangun. Banyak teman-teman penulis yang buka PO dan saya terlalu kere untuk membeli hahaha… kemudian saya berpikir ‘aku ngga bisa beli, kalo gitu aku nulis aja deh hahaha…’ saya hanya tidak pernah berpikir bahwa pada akhirnya saya akan ikut PO karya saya sendiri dan finally! punya dana untuk beli buku yang saya inginkan huhuhu… Terimakasih teman-teman!!! Terimakasih telah membuat karya yang begitu luar biasa yang semakin mmenginspirasi saya untuk menjadi lebih baik. I love you. JKepada pembuat cover super kece hahaha… thanks Erlina!!!. Kepada seorang reader yang mengatakan dia suka berkhayal punya pacar mafia hohoho… Thanks Avril!!!. Kepada pembaca setia dan pengikut saya di Wattpad maupun teman-teman saya di FB. You guys are rock!!! Saya tidak akan lupa hari itu, hari di mana saya pertama kali bergabung di Wattpad. Saat itu saya hanyalah silent readers. Sampai sekarang juga masih begitu hehehe… Lalu saya mulai menulis karya pertama saya yang masih luar biasa banyak kekurangannya. Bukan berarti karya saya yang sekarang sempurna sekali ya. Saya tidak menyangka sama sekali jika pembacanya akan lebih dari satu juta. Pertama kali lihat pembaca di angka 14 saja, saya sangat excited. Jadi, Thankyou so much for your support guys! I’m glad to have you! Yes you!!! Muach!!! Warning kepada semua readers,  cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat, hal itu hanyalah sebuah kebetulan. Adapun cerita ini dibuat untuk entertainment dan khusus dewasa.    Batam, 3 November 2015  Penulis            PS : Bacanya sambil dengerin musik mellowDaftar IsiUcapan TerimakasihDaftar Isi                                                          hal.Prolog                                                              1Mountain                                          3The First Time I meet You                       12The Games Begin                              21Falling for You                                                      31Heaven or Hell                                                      54You Hurt Me                                                       85Never Forget You                                 114I Will Never Let You Go              139The Night                                           163Please Don’t Say You Love Me             178Fight for Your Love                               202This Feeling                                                      210Hold My Hand                                                      225Black Rose                                         249William Rose                                                      265Half of Soul                                                      283Miss You                                           299New Beginning                                        308Epilog                                                               317Bonus Sepenggal Kisah                                        322Tentang Penulis                                         337     Bab 1Perempuan itu menurunkan kacamata hitamnya sebentar untuk melirik objek yang mereka intai sejak tadi pagi. Ia memicingkan matanya untuk memastikan bahwa pria yang baru saja masuk ke rumah bercat hijau itu memang benar adalah pacarnya.Brengsek cap kadal nggak tahu diuntung. Suara tercekik itu tidak mirip dengan suara yang biasa keluar dari mulutnya. Tapi itu memang suaranya.Nggak heran sih. ucap satu suara di sebelahnya. Emi melirik sekilas kepada sahabatnya. Harga dirinya yang tinggi membuatnya menolak untuk menangis histeris. Sebaliknya dia justru ingin mencekik leher Hopi karena temannya itu bersikap sangat santai.Mestinya lo udah curiga, mereka kelihatan dekat banget. tambahnya.Emi menurunkan kembali kacamata hitam yang bertengger manis di hidungnya yang mancung. Saat-saat seperti ini kacamata hitam memang penting untuk menutupi matanya yang berkaca-kaca. Tapi tetap saja, dia menolak untuk menangis.Jesper itu selingkuh, di depan mata lo.Emi menutup mata di balik kacamata hitamnya. Ya, dia tahu kalau dirinya memang tolol. Jesper memang selingkuh di depan matanya. Dia bukannya tidak sadar, tapi pria itu selalu berhasil meyakinkannya kalau hubungannya dengan penyanyi pendatang baru itu hanya hubungan bisnis semata. Nggak lebih.Lo lihat aja interaksi mereka di panggung, pecicilan kayak abege jatuh cinta.Dia tahu benar bagian mana yang dimaksud Hopi. Interaksi yang disaksikan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia karena disiarkan secara langsung di salah satu stasiun televisi nasional.Tapi Jesper bilang itu memang setting-an, biar rating acaranya bagus. Dan bodohnya ia masih membela Jesper, pria yang menjadi pacarnya selama dua tahun ini.Mereka terdiam di dalam mobil. Emi tahu, Hopi lebih memilih diam daripada membalas dan terus menyalakan dirinya. Lama-lama bisa berantam kalau dilanjutin. Buang-buang waktu dan tenaga kalau hanya untuk memperdebatkan seorang cowok yang memang pantas untuk dibuang ke laut.Saat itu sudah sore, langit di ufuk barat sudah berwarna jingga kemerahan. Jam digital di dasbor mobil menunjukkan pukul enam kurang sepuluh menit.Lihat.Emi tidak perlu perintah untuk melihat kejadian itu. Jesper merangkul pinggang wanita itu saat keluar dari rumah. Mereka tertawa dan tersenyum satu sama lain. Entah apa yang sedang mereka bicarakan hingga bereaksi sebahagia itu.Mereka pasti lagi ngomongin gue kan? Emi mencengkram setir mobil dengan kencang. Suaranya tadi terdengar mengerikan. Hingga akhirnya ia gagal mempertahankan kendali diri ketika melihat Jesper melumat bibir perempuan itu.Emi menyentak pintu mobilnya dengan kasar. Dia berjalan dengan langka-langka besar. Tumit high heels-nya yang runcing terdengar seperti akan membela Bumi. Bibir merahnya yang dilapisi lipstik seharga beberatus ribu tersungging sinis.Oh, jadi begini?! tanyanya dengan suara keras. Emi membuka kacamata hitamnya dan menyelipkan benda itu di atas kepalanya dengan dramatis ketika pasangan di depannya saling melepaskan diri karena terkejut.Sayang... Wajah Jesper memucat. Pria yang masih belum pulih dari keterkejutannya itu mencoba mendekatinya.Untung bagi Emi karena wanita bertubuh pendek dan sok cantik itu menarik Jesper. Jadi, dia tidak perlu mengotori tangannya untuk sekedar menghentak tangan yang berusaha meraihnya.Kamu lebih suka sama dia dari pada aku?!Wanita yang diketahui Emi bernama Sophia itu bertanya galak pada Jesper. Emi sendiri lebih memilih menunggu, bukannya dia masih berharap pada pria busuk itu. Tapi dia sangat ingin tahu alasan Jesper memilih wanita bermake-up tebal ini.Modal oplas doang, menjijikkan. Emi menyuarakan isi pikirannya dengan lantang. Dia tidak takut! Apa? Nggak usah melotot gitu!Sophia tampak terkejut dan sakit hati, perempuan sok kemayu itu meraih lengan Jesper kemudian bersembunyi di belakang.Udah kamu! bentak Jesper pada Emi.Kali ini Emi yang melotot pada Jesper. Selama dua tahun pacaran, tidak pernah sekalipun pria itu membentaknya dengan nada tinggi seperti itu. Yang membuat Emi makin emosi, Sophia mendengus dan menertawakannya di belakang sana.Disantet kamu? ngebelain dia sampai segininya?! Hah?! Emi mengepalkan tangan hingga kuku-kukunya yang rapi menusuk kulit.Jesper baru saja membuka mulut ketika Sophia memotong dan memberikan jawaban yang membuat Emi ingin membunuh wanita itu. Oh, dia juga sangat ingin membunuh Jesper. Sudah pasti.Kejadian selanjutnya terjadi begitu cepat, Emi mendekat sebelum Jesper bisa menghalanginya untuk menarik rambut wanita jalang itu. Tapi Emi salah menilai Sophia, wanita sialan itu balas mencakarnya kemudian berhasil menampar pipinya dengan cukup keras. Emi yang terlalu shock gagal menghindar ketika Sophia mendorongnya hingga jatuh.Telapak tangannya terasa perih karena tergores aspal. Jesper mencoba membantunya berdiri tapi dia menolaknya. Ketika dia berhasil bangkit, dia melemparkan tatapan tajam penuh amarah pada kedua manusia itu. Jesper tampak bersalah sementara Sophia mencibir dan memandangnya rendah.Kita putus! bentak Emi dengan sisa harga diri, kalau dia masih memilikinya. Dia membalikkan badannya dan melihat Hopi sedang menunggunya di samping mobil.Emi mengambil tempat di bangku penumpang dan membiarkan sahabatnya yang mengemudi. Pada akhirnya dia menangis tersedu-sedu. Hopi tidak mengganggunya, membiarkannya menangis di sepanjang perjalanan mereka ke apartemen yang mereka sewa bersama.Wanita sialan! teriak Emi histeris. Lo tahu dia bilang apa tadi?! tanyanya retoris. Dia bilang, dia bisa ngasih semua yang nggak bisa gue kasih ke Jesper sambil mandang gue dengan tatapan menghina. Emang B*bi bangsat! Emi hampir tidak pernah berkata kotor, tapi ada saat-saat dia tidak dapat menahan diri.Ia kembali menangis, kali ini sedikit histeris. Benar-benar membuang tenaga dan air mata jika saja dia bereaksi seperti ini hanya untuk seorang pria yang tidak pantas diperjuangkan. Sayangnya, sebenarnya Emi menangis histeris karena alasan lain.Udah ah, nggak biasanya juga lo nangis sampai kayak gini gara-gara cowok.Emi berhenti sejenak. Mengatur napas sementara meraih tissue lalu mengeluarkan ingusnya dengan suara menjijikkan. Dia merapikan rambut hitam panjangnya yang basah karena air mata.Gue nggak akan nangis histeris hanya gara-gara Jesper selingkuh. Emi mengambil cermin kecil dari tas C&K berwarna hitam miliknya. Dia berdecak ketika pemandangan mengerikan terpampang di depannya dari balik cermin.Harga diri, Hop. Harga diri. Emi menutup cerminnya dengan kesal. Wajahnya mengerikan. Gue nyesal udah bersikap bar-bar kayak tadi. Bikin malu diri sendiri. Iya kalau menang, Emi menghela napas. Udah digampar, jatuh lagi. Gue tuh mestinya bisa lebih anggun tadi. Emi yakin sekali dia akan berdecak kesal setiap kali mengingat kejadian memalukan tadi seumur hidupnya.Hopi tersedak tawanya sendiri. Memang kurang ajar temannya satu ini. Bukannya menghibur, justru menertawakannya.Makanya, Emosi dijaga. Jangan sampai nyesal.Gampang ngomong kayak gitu, Hopi. Emi meletakkan telapak tangannya yang masih perih di dada. Dua tahun itu bukannya dua detik, meskipun dulu gue nerima Jesper dalam keadaan nggak punya perasaan ke dia, tapi tetep aja. Emi menyandarkan kepalanya dan menutup mata. Waktu dua tahun sanggup bikin gue sayang sama dia. Untung baru tahap sayang, belum tahap cinta mati batin Emi. Jadi dia nggak perlu sedih-sedih banget.Mereka terdiam. Hopi menyadari perkataan Emi memang benar adanya.Hop, panggil Emi pelan.Hm.Temenin gue ke klinik, di sini kerasa perih. Emi menunjuk pipi sebelah kanannya. Kepalanya juga sakit.Bukannya hati lo? sindir Hopi.Itu juga. jawab Emi masam.***Dia kira malam itu adalah malam terburuknya. Tapi Emi salah, keesokan harinya berita tentang Jesper yang resmi menjalin hubungan dengan Sophia tersebar di mana-mana seperti kebakaran hutan. Dia melirik ponselnya yang sedari tadi bergetar menandakan chat masuk dengan malas. Tahu betul apa yang membuatnya tiba-tiba mendapat banyak chat.Emi meraih roti beroles butter tipis di piringnya kemudian melahapnya tanpa selera. Hopi sudah berangkat kerja pagi-pagi tadi. Katanya ada rapat dengan kliennya yang terkenal resek, jadi dia harus mempersiapkan semuanya agar rapat berjalan lancar. Akhirnya, tinggallah dia seorang diri di apartemen ini. Pipinya semakin terasa aneh, kata dokter klinik kemungkinan besar pipinya akan membiru.Wanita sialan, makan apa dia sampai punya tenaga kayak kingkong gini? Emi meringis ketika menatap bayangan dirinya di cermin westafel. Dia memutar kepalanya kekiri agar dapat melihat pipi kanannya dengan jelas. Pipinya sedikit bengkak. Bilur-bilur berwarna biru tua mulai membentuk di sana. Brengsek! Menurut Hopi, seharusnya dia melaporkan kasus ini ke pihak berwajib, tapi Emi urung melakukannya. Dia punya alasan.Pertama karena lo baik, bukan karena dia pantes dimaafin. Ke dua, lo nggak rela lihat dia jadi makin terkenal gara-gara kasus ginian. Ke tiga, mau ditaroh dimana muka lo. Belum lagi pas orang-orang mandang lo dengan tatapan kasihan. Emi berdecak kesal sementara berbicara sendiri dengan dirinya.Setelah puas berkaca, ia kembali ke ruangan depan dan menghempaskam dirinya di atas sofabed berwarna coklat. Ponselnya kembali bergetar, tapi kali ini bukan chat masuk, melainkan telepon masuk. Emi menggeser layar di ponselnya dan menempelkan benda itu ke telinga kemudian memutuskan untuk tidak menyahut terlebih dahulu.Em? sapa suara yang sudah dia kenal selama dua puluh empat tahun hidupnya di dunia ini.Selamat pagi menjelang siang Kakak ganteng. balas Emi berlebihan hingga terdengar suara muntah di seberang sana.Cukup ya, nggak usah berlebihan. Di saat kondisinya yang seperti ini, Emi masih bisa tertawa. Tapi kemudian dia harus meringis karena pipinya sakit.Kenapa nih? Tumben Kakak Leo yang ganteng nelpon adik bungsunya? tanya Emi dengan nada manja sambil cekikitan lalu kembali meringis. Dia lupa kalau pipinya sakit.Bener kamu sudah putus sama Jesper? tanya Leo dari seberang sana. Nada suaranya terdengar tenang, tapi Emi tahu dengan jelas kakaknya itu sedang sangat serius. Dia tidak akan bertanya Kakaknya ini tahu dari mana.Emi menghela napas sambil menaikkan salah satu kakinya ke atas sofa. Ia duduk persis seperti bapak-bapak yang sedang main catur di pangkalan ojek.He eh. balasnya singkat.Kamu nggak nangis? Pertanyaan kakaknya membuat Emi memutar bola matanya.Plis Kak. Kakak pikir adik bungsu Kakak ini perempuan selemah itu? sindir Emi. Kakaknya sepertinya tidak percaya karena tidak ada balasan dari seberang sana.Kamu nggak ngomong kayak gini buat bikin Kakak percaya kalau kamu baik-baik saja kan?Kak. Emi bangkit berdiri dan berjalan ke dekat jendela. Kakak bisa datang ke sini deh buat lihat langsung. tantang Emi. Dia hanya mengertak sambal, lagipula dia memang tidak apa-apa. Rasa sakit hatinya akan sembuh nanti. Yang dia tidak inginkan adalah keluarganya melihat pipinya yang lebam. Bisa diulek nanti Jesper sama Kakak sulungnya ini. Belum lagi kalau sampai Inus tahu.Nggak perlu. Kamu pulang aja langsung ke Batam. Biar Kakak lihat langsung. Mati! Dalam waktu sedetik Emi berubah mirip cacing kepanasan.Hah? Nggak bisa dong Kak! semburnya defensif. Dia berjalan mondar-mandir di ruangan itu.Loh kenapa? Pasti ada apa-apa kan? suara Leo meninggi dan Emi tahu dia hampir kalah.Gimana sama cita-cita Emi? tanyanya lantang.Leo mendengus sebelum berkata dengan kejam. Em, kamu itu nggak cocok jadi penyanyi. Suara kamu itu lebih mirip suara kaleng. Berisik.Kok Kakak bilang gitu! bentak Emi sambil berkacak pinggang, dia tidak terima! Suaranya emang nggak bagus-bagus amat, tapi ya jangan disamakan dengan kaleng, sakit hati ini. Jesper aja bilang kalau Emi bisa, lagian yang produser itu kan Jesper bukan Kakak!Em. tegur Leo dengan nada khasnya. Satu-satunya hal yang bikin Jesper ngomong seperti itu, karena dia naksir sama kamu. Sekarang kalian sudah putus. Apalagi yang kamu harapin? Lagian dia udah dapat penyanyi yang cocok buat album dia.Emi jelas tidak dapat membantah perkataan Kakak sulungnya yang menusuk, sakit, melebihi tusukan pisau dapur. Rasanya nyelekit, tapi Emi tahu kata-kata kakaknya benar.Kamu itu sarjana ekonomi, mendingan pulang ke sini bantuin Kakak.Ish, Kakak nggak pengertian banget. Kalau Inus pasti ngerti! rengek Emi manja.Gue di sini. Lo mending pulang aja deh.Emi menatap ponselnya tidak percaya. Inus sialan! Jadi dari tadi pembesar suaranya dibuka? Terus si Inus dengerin dari tadi?Ihhh, Ingusss jelek! Nyebelin! Belain gue aja kenapa sih?! rajuknya.Pulang ya Dek, Mami sama Papi khawatir. Lagian, emangnya Lo nggak kangen sama gue? Suara menggoda Inus membuatnya ingin muntah.Jijik Ngus, Jijik! Emi langsung memutuskan panggilan dengan kesal. Dia tahu itu tidak sopan, tapi mau bagaimana lagi. Dia sudah terbiasa hidup manja, secara dia anak perempuan satu-satunya. Anak bungsu pula. Lagipula dia tahu, dia sudah kalah sejak awal. Setuju atau tidak setuju, dia akan dipaksa untuk pulang.Emi langsung menjawab panggilan yang masuk ketika ponselnya berbunyi lagi. Tahu jelas dari mana sambungan itu berasal tanpa melirik layar ponselnya.Apalagi?! bentaknya kasar.Emi? Suara ini jelas bukan suara kedua kakak laki-lakinya.Ngapain telepon ke sini? Nggak takut dijambak sama nenek lampir lo? Seandainya Emi sedang tidak naik darah karena percakapan sebelumnya, dia tidak akan menjawab dengan sekasar dan sesinis itu.Gemini, aku minta maaf. Emi mendelik kesal pada ponselnya. Sudah beberapa kali ponselnya yang tidak bersalah mendapat tatapan maut darinya.Udah deh Jes. Lo tuh nggak berarti apa-apa. Gue nggak sakit hati sama sekali sama kelakuan lo. Yang bikin gue kesel cuma satu hal. Gue udah nyianyian waktu gue yang berharga sama lo.sembur Emi tanpa jeda.Terdengar helaan napas dari seberang sana. Sebenarnya gue nggak minta maaf soal itu, tapi soal Sophia yang nampar lo. Gue harap lo nggak bawa masalah ini ke rana hukum.Kurang ajar banget pria brengsek satu ini. Andai saja si Jesper brengsek lagi di dekat sini, nggak akan segan-segan dia kuliti. Biar mati sekalian. Berani sekali dia mempermalukan Emi dengan kata-kata itu.Oh, lo nggak usah khawatir. Saking jijiknya gue sama lo, jangankan buat laporin nenek lampir lo ke polisi, tinggal sekota sama kalian aja bikin kulit gue gatel-gatel.Bagus kalau begitu, biar gue tebak? Perempuan manja kayak lo pasti balik ke keluarga sambil nangis kejer. ejek Jesper dengan sinis.Emi melotot dan berdiri kaku di tempatnya. Kalau Jesper pikir dia menang dengan kata-kata itu. Maka dia salah, Emi sudah belajar banyak dari kejadian ini. Dia memang buta karena selama ini tidak menyadari pria yang dia pacari selama dua tahun ini sama sekali bukan pria sejati.Emang kenapa? Nggak ada urusannya kan sama lo?Ema- Emi memilih memutuskan panggilan tersebut. Senyuman manis tersungging di bibirnya. Dia tahu Jesper akan marah-marah di seberang sana karena panggilannya diputus secara sepihak.Ponselnya kembali berdering, kali ini Emi memastikan siapa yang menelpon.Hm. sahutnya dingin.Tiketnya sudah gue kirim ke whatsapp lo.Hm.Besok gue yang jemput.Hm.Kenapa? Tiba-tiba sariawan?Lo resek, ya udah. Sampai jumpa besok. Gue mau kemas-kemas.Eh, tunggu dulu.Apalagi Delphinus? Mau nanya soal Hopi? Lo belum bisa move on? Dia udah punya gandengan, mending lo nyerah aja deh. Oke? Sekarang gue tutup teleponnya ya. Bye.Tidak ada tanggapan dari kakak keduanya, jadi dia benar-benar memutuskan sambungan.Sebenarnya Hopi belum punya gandengan, dia sedang ingin mengerjai Inus saja. Emi sendiri tidak tahu apa yang terjadi dengan Inus dan Hopi. Yang Emi tahu mereka sempat pacaran ketika Emi dan Hopi duduk di kelas sepuluh sementara Inus adalah kakak kelas tingkat terakhir di sekolah mereka. Mereka sempat pacaran beberapa tahun hingga Hopi kuliah di tahun pertamanya. Lalu suatu malam Emi menemukan Hopi menangis tersedu-sedu di kamar apartermen mereka. Dia sempat bertanya, tapi tak seorangpun di antara kedua orang itu yang mau menjelaskan apapun kepadanya.***       Bab 2   Malam sebelumnya, Emi berkemas-kemas dibantu oleh Hopi. Mereka berbincang-bincang mengenai masa depan Emi setelah kembali ke kampung halaman. Apa yang akan dia lakukan setelah ini? Bekerja? Pekerjaan seperti apa? Alasan apa yang sebenarnya membuat Emi pulang dan obrolan yang tidak ada hubungan satu sama lain.Obrolan ngarol-ngidul itu akhirnya harus berakhir pukul dua lewat, tengah malam. Hopi tertidur di kamarnya karena kelelahan sementara Emi melanjutkan berkemas beberapa barang lagi. Acara berkemas itu lebih banyak diisi dengan bercakap-cakap dari pada inti acara itu sendiri, Emi menyadari baru dua koper yang berhasil mereka kemas. Sementara setelah memutuskan panggilan Inus siang kemarin, dia pergi tidur bukannya berkemas-kemas seperti yang dia katakan.Pagi itu Hopi memutuskan untuk mengantar Emi ke bandara.  Pesawatnya take-off pukul sepuluh lewat lima puluh menit. Jadi mereka sudah tiba di bandara pukul sembilanan. Mereka menyempatkan diri sarapan bersama sambil membicarakan barang-barang yang tidak dibawa oleh Emi yang kemungkinan besar akan dijual. Emi sendiri memutuskan hanya akan membawa pulang dua koper besar barang yang menurutnya paling dia butuhkan. Sementara beberapa yang lainnya akan diurus Hopi untuk dikirim, barang-barang yang kebanyakan adalah pakaian, sepatu dan tas yang jumlahnya lumayan banyak.Ya udah, hati-hati ya. Hopi membetulkan masker yang dipakai Emi sejak meninggalkan apartermen mereka. Mestinya lo lapor polisi. tambahnya sambil berdecak kesal.Untung di dia, rugi di gue. Ya udahlah, tahun baru balik ya, Inus belum bisa move on tuh. ucap Emi sengaja menggoda Hopi yang seketika menjadi kaku.Emi memeluk temannya itu dan mengecup pipinya. Gue becanda, jaga diri lo. Emi menepuk pundak Hopi seperti seorang ibu yang menepuk pundak anaknya lalu berkata semua akan baik-baik saja.Hopi mengangguk pelan dan mengantar Emi sampai di pintu masuk untuk check-in. Tidak ada tangis haru yang menyertai perpisahan itu. Memang, dia dan Hopi sudah berteman lama. Mereka baru benar-benar menjadi dekat beberapa tahun terakhir ini. Lebih tepatnya sejak kuliah, karena harus berbagi apartermen bersama. Bagi Emi, Hopi bukan hanya sekedar teman atau sahabat, tapi saudara perempuan yang tidak pernah dia miliki. Makanya dia sempat kesal Inus memutuskan hubungan dengan Hopi.Pesawat yang ditumpanginya take-off tepat waktu. Sementara sebagian penumpang lain memutuskan untuk tidur dalam penerbangan satu jam tiga puluh menit ini, Emi justru menghabiskan waktunya memikirkan tentang masalalunya. Bagaimana bodohnya dia percaya dengan Jester. Untung saja dia tidak benar-benar menyerahkan diri pada pesona pria itu. Emi mendengus, pesona yang bukan lagi pesona. Rasa yang tersisa kini untuk Jesper hanyalah perasaan jijik. Lebih baik lagi jika perasaan jijik ini menghilang, karena cowok seperti itu bahkan tidak layak mendapatkan rasa jijik dari dirinya.Meskipun dia tidak mencintai Jesper, tetap saja dia seorang wanita. Dia memiliki perasaan seorang wanita yang mampu menyayangi. Jadi, jika dibilang dia tidak sakit hati, dia tentunya berbohong. Tapi jika dibilang sakit hati banget, juga nggak. Perasaan yang pernah dimilikinya untuk Jesper tidak sedalam itu. Jadi sebenarnya, ini adalah masalah harga diri. Setiap kali memikirkan hal itu, insting untuk membunuh Jesper berkembang dengan cepat dalam dirinya.Sialan! Kesel gue! Gue tebas lehernya kalo ketemu. bentaknya tiba-tiba sambil mengacungkan tinju ke udara. Penumpang di sebelahnya menatapnya dengan sedikit takut. Akhirnya ia harus meminta maaf karena tingkahnya yang seperti orang gila. Wajahnya memanas menahan malu, untung saja ada masker yang menempel di wajahnya. Jadi dia tidak perlu menutup mukanya jika suatu hari bertemu dengan beberapa orang yang sedang menatapnya aneh saat ini. Sisa perjalanannya dia habiskan dengan menenangkan diri.Emi harus menunggu bagasinya cukup lama.  Hampir dua puluh menit dia menunggu, bahkan dia sudah melihat Inus yang tampak paling menonjol di sekeliling orang-orang lain yang juga sedang menunggu setiap kali pintu kedatangan bergeser terbuka. Kakak laki-lakinya sudah pasti mencuri perhatian banyak orang dengan  berdiri tepat di depan pintu. Bukan hanya karena tinggi badannya tapi juga penampilannya.Setelah berhasil mengambil bagasinya, Emi memasang kacamata hitamnya dan berjalan ke pintu keluar dengan gaya paling angkuh dan dramatis. Dia yakin sempat melihat Inus menundukkan kepala, yang Emi yakin dilakukan Inus untuk menahan tawa. Kakaknya itu memeluknya erat dan mengusap kepalanya dengan sayang sebelum kemudian mengambil alih koper yang dia bawa.Lo tunggu di sini, gue ambil mobil dulu. ujar Inus. Emi mendengus dengan tidak anggun saat menyadari tatapan terpesona wanita-wanita kepada kakaknya yang sedang berjalan ke tempat parkir.Area penjemputan di pintu kedatangan Bandara internasional Hang Nadim Batam cukup sibuk di jam-jam seperti ini. Jalan menuju dan di sekitarnya dipadati antrian mobil. Beberapa menit berlalu hingga Emi melihat Mazda 6 Berwarna putih berhenti beberapa meter darinya. Tidak ingin berlama-lama berdiri di sana, Emi memilih menggerek kopernya mendekati mobil Inus.Berat banget koper lo. ucap Inus saat memasukkan koper Emi ke bagasi.Biar otot lo ada gunanya. Udah ah, capek, panas. Gue masuk dulu. Emi meninggalkan Inus mengurus kopernya sementara dia mendinginkan diri di dalam mobil.Mereka meninggalkan bandara ditemani iringan suara dari radio. Seorang penyiar sedang membicarakan tentang kebiasaan para atlet yang selalu menggigit medali emas mereka seolah-olah itu adalah cokelat paling enak di dunia. Lalu ditanggapi dengan tawa penyiar lain.Lo diam banget?Lagi mikir.Mikir apa sampai segitunya.Emi terdiam sebentar sebelum menjawab.Singapura dapat medali emas olimpiade yang pertama, cuma lagi mikir, si Joseph Schooling bakal dapat duit banyak banget, trus di arak keliling kota. Pasti gitu. Tadi sewaktu menunggu bagasi, dia memang menyempatkan diri membuka instagram. Lalu menemukan meme yang beredar luas tentang berita Joseph Schooling yang mengalahkan Micheal Phelps di gaya kupu-kupu seratus meter Olympic Rio 2016.Tahu dari mana berita kayak gitu? Biasanya juga tahunya gosip-gosip artis doang. ejek Inus sambil terkekeh senang.Emi memutar matanya kesal. Gue nggak kayak gitu ya. sangkalnya, padahal memang benar, biasanya dia lebih suka baca berita gosip dan majalah-majalah lifestyle. Atau mantengin koleksi baru keluaran rumah mode terkenal. Gue cuman lagi mikir, atlet indonesia yang dapat medali emas di olimpiade, bakal dapat apa dari pemerintah. lanjutnya supaya lebih meyakinkan.Wih, Adik gue berubah banyak sejak tinggal sendiri di Ibu Kota. Bisa juga mikir hal-hal kayak gitu."Lo ngehina gue?! Ngajak berantem?! Emi melotot pada Inus yang sedang tertawa terbahak-bahak tetapi tetap fokus menyetir.Sikapnya kepada Inus memang tidak sopan, tapi Inus hanya lebih tua dua tahun dari dirinya. Sejak kecil dia memang tidak pernah memanggil Inus dengan sebutan Kakak atau Mas atau abang. Dia lebih suka manggil Inyus yang lama-lama berubah menjadi Ingus. Tentu saja dia mengatakan itu untuk membuat Inus kesal, tapi gagal. Inus memiliki pribadi yang terlalu ceria. Jadi, biarkan saja dia menikmati hidupnya sebagai anak tengah, yang tidak pernah dipanggil kakak oleh adiknya dan tidak pernah dipanggil adik karena Leo terlalu angkuh dan sok berkuasa untuk menyebutkan kata itu.Kenapa muka lo? Pasti jerawatnya lagi banyak ya? Kadang Emi heran, kenapa dia punya kakak laki-laki resek kayak Inus.Nggak. balas Emi galak. Dia tidak berniat menyembunyikan apapun dari keluarganya. Biarin aja Jesper dimutilasi sama kakak-kakaknya. Yang dia khawatirin sebenarnya adalah keselamatan dirinya sendiri. Kalau Inus tahu, dia pasti emosi. Kalau sudah emosi, apalagi sedang nyetir begini, Emi bisa mati jantungan. Jadi, semuanya adalah demi keselamatannya sendiri. Emi tidak akan memungkiri jika dia adalah salah satu manusia di dunia ini yang hanya mementingkan diri sendiri.Bohong. Inus melirik dirinya sekilas tapi kembali fokus ke jalan saat mobil mereka sampai di bundaran pertigaan yang Emi tidak tahu namanya. Dia hanya tahu bahwa dia akan melewati bundaran itu jika ingin pergi ke bandara atau ke pelabuhan punggur.Nanti sampai di rumah baru gue kasih tahu. Sekarang lo fokus nyetir aja dulu. sahut Emi sambil menunjuk-nunjuk jalan di depannya, seolah dia sedang memerintahkan sopir bukannya kakak kandungnya sendiri.Inus hanya menanggapi sikap bossy-Emi dengan santai. Dia tidak bertanya-tanya lagi karena sepertinya adik perempuannya sedang datang bulan. Hanya itu penjelasan yang masuk akal mengingat sikapnya yang ngeselin dan juga wajah yang -Inus yakin- banyak jerawatnya. Kalau nggak, Emi tidak akan menutup wajah cantik yang sering dia bangga-banggakan itu. Inus tidak mengerti kenapa dia harus memiliki adik perempuan manja yang juga narsis melewati batas narsis normal.***Mazda 6 Inus berhenti tepat di depan rumah paling sudut di daerah baloi. Daerah berpenduduk padat dengan masyarakat heterogen yang tinggal di sana. Rumah mereka terletak di ujung, sehingga memungkinkan untuk memiliki taman di samping rumah sementara bagian depan difungsikan sebagai garasi. Tapi tetap saja, mobil Leo dan mobil Ayah mereka harus di parkirkan di tepi jalan. Hampir semua penghuni di daerah itu melakukan hal yang sama, jalan yang lebar menjadi sempit karena mobil yang diparkir di sisi jalan. Komplek perumahan di mana rumah mereka berada memang bukanlah komplek elit, tapi tanah di daerah situ adalah salah satu yang paling mahal. Emi juga tidak mengerti kenapa banyak yang memilih tinggal di daerah ini, mungkin karena letaknya yang dekat dengan pasar, shoping mall, tempat makan enak dan bahkan universitas. Pendeknya, daerah itu terletak tepat dipusat kota.Mbok Yati! panggil Emi panjang dengan nada manja sesaat setelah keluar dari mobil.Seorang ibu-ibu berumur lima puluhan tergopoh-gopoh keluar dari pintu samping, pintu yang tersambung langsung ke dapur. Rambut berubannya diikat membentuk cepol dan ia menggunakan daster panjang bermotif batik.Non, bikin kaget Mbok aja. Mbok Yati memamerkan senyum teduhnya dan tanpa sungkan memeluk anak majikannya itu.Inus yang melihat kejadian itu sambil mengeluarkan koper dari bagasi hanya tersenyum sekilas. Dia yakin mata Mbok Yati sedang berkaca-kaca. Emi memang dekat dengan pembantu rumah tangga mereka, yang sudah mengabdi selama dua puluh tahun lebih. Sejak kecil, dia dan Emi lebih sering bersama dengan Mbok Yati sementara kedua orang tua mereka bekerja.Udah ya Mbok, nggak usah nangis. Emi pulang bukannya senang, malahan nangis. protes Emi becanda. Mami mana?Ada Non, lagi mandi sepertinya. jawab Mbok Yati sambil melepaskan pelukannya.Pakde Yono! teriak Emi saat melihat sosok yang menjadi suami mbok Yati sekaligus tukang kebun -kadang-kadang sopir keluarganya- membantu Inus menggerek kopernya masuk ke dalam rumah.Non. sahut Pakde Yono tersenyum cerah, memamerkan giginya yang sedikit maju.Inus memberikan beberapa instruksi kepada Pakde Yono sebelum bergabung dengan Emi. Mereka menuju ke teras samping rumah, di dekat pintu dapur lalu duduk di sana sambil menunggu Ibu mereka untuk bergabung bersama.Terdengar bisik-bisik sebelum akhirnya sosok itu menampakkan diri dalam balutan busana santai. Celana panjang berwarna biru tua dan kemeja longgar berlengan pendek tampak nyaman melekat di tubuh wanita seusianya.Mami. panggil Emi manja sambil bangkit berdiri dan memeluk Ibunya dengan erat.Kan, lebih bagus gini. Pulang ke rumah, tinggal di sini. Lihat. ucap wanita bernama Diana itu. Ia melepaskan pelukannya dan menatap Emi secara menyeluruh. Jadi kurus gini, anak Mami. lanjut Ibu Diana.Rambutnya sedikit pirang, karena cat rambut yang digunakan sudah meluntur. Sasakan tinggi dan rambut yang disanggul sempurna menyatakan dengan jelas, diusianya saat ini, sedikit banyak perempuan itu masih memperhatikan penampilannya.Ah, nggak kok. Emi makan teratur. sangga Emi lalu ikut melirik tubuhnya.Mami nggak mau berdebat. Ibu Diana kemudian mengambil tempat di sebelah Inus.Bagi orang lain yang melihat interaksi keluarga mereka akan berpikir bahwa Ibu Diana adalah Ibu yang dingin dan tidak sayang pada anak-anaknya. Kenyataannya adalah, Ibu Diana memang memiliki kepribadian seperti itu. Tampak tidak perhatian, dan sulit untuk dibantah. Dia memang tidak dekat dengan anak-anaknya saat mereka masih kecil karena sibuk bekerja. Meskipun begitu, dia tetap seorang Ibu, dia mencintai anak-anaknya sama seperti ibu-ibu lainnya yang tidak bekerja dan fokus membesarkan anak.Mungkin pada awalnya anak-anaknya tidak mengerti, tapi waktu menjawab semuanya. Anak-anaknya tidak dibesarkan untuk memiliki pikiran pendek dan picik. Mereka mengerti kenapa dulu orang tua mereka sibuk bekerja, mereka juga mengerti bahwa orang tua mereka mencintai mereka sama besarnya. Jika orang tua mereka -Ibu Diana- tampak dingin ketika berinteraksi dengan mereka, hal itu disebabkan karena memang seperti itulah karakter orang tua mereka. Bukan karena mereka tidak cinta.Bukti nyatanya adalah, Leo. Kakak laki-laki paling tuanya itu jarang sekali bersikap hangat, ia lebih sering mengeluarkan tampang serius dan berkata-kata dengan nada memerintah, tapi bukan berarti dia tidak perhatian dengan anggota keluarganya. Leo mewariskan banyak karakter orang tuanya, ia hampir seperti kloningan Ibu Diana, dari penampakan wajah sampai sikapnya, hanya sedikit sekali perbedaan di antara mereka.Sementara Ibu Diana adalah sosok yang tampak Dingin, Pak Utama, ayah mereka sebenarnya adalah sosok yang ramah, sikapnya kebapakan, tapi tetap tegas dan berwibawa. Bagi orang yang tidak mengenal beliau, sikap seperti akan dianggap sama dingin dan kakunya seperti  sikap Ibu Diana.Lain Leo, lain dengan Inus. Sejak kecil Inus hidup bebas, menjadi anak yang nakal dan merepotkan. Terlalu ceria untuk menjadi anak Mami dan Papi, batin Emi. Tidak hanya sekali atau dua kali, tapi berkali-kali dia curiga kalau Inus sebenarnya anak pungut. Hanya saja, wajah Inus terlalu mirip dengan wajah Ayah mereka untuk dicurigai sebagai anak pungut.Emi? wajahnya adalah perpaduan wajah kedua orang tuanya, kadang terlihat mirip dengan Ibu Diana, kadang terlihat Mirip dengan Pak Utama. Sikap manjanya tentu saja datang dari posisinya sebagai naka bungsu di keluarga, apalagi dia adalah anak perempuan satu-satunya.Muka kamu kenapa? tanya Inus tiba-tiba. Sepertinya kakaknya itu sudah menunggu saat-saat untuk mendapat jawaban.Emi terdiam, sebenarnya dia ingin mengatakan semuanya, tapi tidak di depan Ibunya. Hanya saja dia ingat bahwa setelah ini, mereka akan makan siang bersama. Jadi, Emi menghela napas pelan dan membuka maskernya. Bibirnya sengaja dia manyunkan membentuk lengkungan ke bawah. Mata Inus terbelalak karena terkejut, Ibu Diana mengerutkan keningnya.Kamu kenapa mukanya bisa kayak gini?! tanya Inus dengan nada tinggi. Emi tahu Inus hanya akan menggunakan panggilan aku-kamu kalau sedang serius.Ceritanya panjang. Emi mengelus-elus pipinya yang bengkak. Ibu Diana melemparkan tatapan tajam padanya.Kamu berantem? tanya Ibunya sambil bangkit berdiri, kemudian meminta Mbok Yati untuk mengambilkan salap.Nggak usah Mi, ini Emi punya krim dari dokter. ujar Emi pelan. Ibu Diana kembali dan berdiri persis di depannya.Jesper selingkuh, Emi melotot pada Inus yang menarik dagunya untuk melihat lebam di pipinya lebih dekat.Dia yang pukul kamu? tanya Inus tenang, yang sebenarnya lebih menakutkan. Seperti senyap yang terasa sebelum badai terbentuk.Nggak.Ibu Diana berdecak, Kamu nggak lapor polisi? Ibu mana yang tidak kesal atau marah jika anak gadisnya dipukul.Nggak akan, entar si Sophia malah tambah terkenal, Emi nggak sudi.Inus mendengus kesal. Gimana ceritanya lo bisa dipukul sama dia? Emi agak legah ketika Inus sudah mulai kembali menggunakan nada bicaranya yang biasa.Gue nangkap basah mereka, jadi gue labrak langsung. Emang gue yang pertama jambak rambut nenek lampir itu, tapi gue nggak nyangka dia punya tenaga kayak kingkong gitu. Sekali tampar, pipi gue biru gini. Sekali dorong, gue jatuh kejerembab di aspal. Emi menegadakan telapak tangannya ke atas untuk menunjukkan goresan di telapak tangannya.Jadi dokter bilang apa? pertanyaan kali ini datang dari Ibu Diana.Nggak papa, nanti lebamnya bakal hilang. jawab Emi sambil bangkit berdiri di depan Ibunya lalu memeluk sosok itu. Mami nggak usah khawatir. ucapnya sambil melirik Inus, melemparkan pernyataan yang sama melalui tatapan mata.Ibu Diana mengangguk dan balas memeluk putrinya. Bukannya dia tidak marah dengan sikap bar-bar wanita yang telah memukul anaknya. Tapi, dia percaya anak perempuannya sudah cukup dewasa untuk mengambil keputusannya sendiri. Dia percaya dengan pertimbangan yang dibuat oleh putri kecilnya yang manja.Sudah Mami bilang, Mami nggak suka kamu jalan sama Jesper. Kamu nggak mau dengar. Pada akhirnya Ibu Diana tetap mengatakan kalimat itu, yang membuat Emi memutar matanya sementara Inus menyembunyikan tawanya.***                     Bab 3Sosok perempuan itu berjalan di depannya. Menggandeng tangannya lembut. Ia memakai busana pernikahan tradisional yang membuatnya tampak cantik seperti malaikat. Bibirnya merah, kelopak matanya dihiasi warna-warni indah yang Langit tidak tahu istilahnya. Rambut perempuan itu dibentuk sedemikian rupa dalam mahkota rambut dan bunga-bunga yang beruntai indah hingga ke sebelah pundaknya.Langit tersenyum bahagia, saat wanita itu naik ke atas sebuah panggung mega sambil menggandeng tangannya. Dia merasa bangga, tahu bahwa sosok wanita yang dicintainya telah resmi menjadi milik mereka.Sebelum dia meletakkan bokongnya di sofa indah di atas panggung, seseorang menariknya pergi dari sana. Hanya sesaat, lalu dia seakan lupa dengan apa yang sudah dia alami. Dia sibuk bercakap-cakap dengan teman-temannya sambil meneguk minuman yang disediakan di pesta. Mereka bertukar beberapa cerita, hingga akhirnya dia ditarik kembali ke panggung yang sebelumnya dia tinggalkan.Senyum cerahnya hilang ketika menyadari dia sedang berada di antrian untuk memberikan selamat dan restu kepada sepasang pengantin baru. Sang pengantin wanita adalah sosok yang dicintainya, sementara pengantin laki-lakinya adalah teman baiknya.Langit marah, dia langsung berderap ke arah pasangan itu lalu mengeluarkan kata-kata kasar yang menyakitkan.Kamu ngehianatin aku!!! Bisa-bisanya kamu nikah sama teman baikku sendiri!!! tudingnya dengan suara keras dan nada tinggi.Langit mengabaikan bisik-bisik di sekitarnya atau tangan-tangan yang mencoba membawanya pergi dari sana. Dia bahkan melihat burung-burung yang terbang di langit-langit ballroom berwarna aneh, sedang menatapnya dengan penuh tanda tanya.Langit membalikkan badannya menghadap sosok pengantin pria dan kembali mengumpat kata-kata kotor. Bajingan Lo!!! Nyelingkuhin cewek gue!!! K*nt*l! Anj*ng!!! Ia mengepalkan tangannya dan menghajar bajingan itu. Tidak lupa Langit juga menendang selangkangan pria itu seperti para wanita. Dia marah besar, dan dia tidak peduli jika disebut tidak gentleman.Bukannya membalas serangan itu, sosok di depannya justru menertawakannya. Dengan darah yang menempel di gigi dan sudut bibir. Langit bingung dan melangkah mundur. Kali jni dia juga dapat melihat sosok pengantin wanita yang ikut tertawa. Juga dengan darah di mulut persis seperti pengantin prianya. Padahal Langit yakin, dia hanya menghajar si pria, dia bukan tipe pemukul wanita sekalipun dia sangat marah.Lalu, suara-suara tawa lain mulai terdengar, Langit juga menyadari tidak ada tangan-tangan yang mencoba menariknya pergi. Tiba-tiba saja dia tidak lagi berada di atas panggung, tapi di tengah-tengah sebuah ruangan besar yang kelam dan dipenuhi orang-orang yang menertawakannya. Dia mengenali beberapa orang di sana, bahkan dia melihat ayah dan ibunya juga tertawa sambil menunjuk-nunjuk dirinya. Ada juga teman-teman SMA dan teman-teman kampusnya dulu.Diam kalian semua!!! bentaknya. Tapi sosok-sosok itu bertambah banyak dan tertawa semakin keras, bahkan terdengar semakin mengerikan.DIAM!!! teriaknya keras. Jantungnya berdegup dengan kencang, dia merasa sesak napas. Langit menarik napas dengan kuat lalu menemukan dirinya tersendak hingga duduk di atas ranjang besar, sendirian di tengah kegelapan kamarnya. Seberkas sinar dari jendela menerobos masuk ke kamar ketika ada mobil yang lewat di depan rumah.Sialan!Cuma mimpi. umpatnya sambil menekankan telapak tangan di dadanya. Dengan kesal Langit menghempaskan dirinya ke kasur. Ia meraih ponselnya lalu melihat bahwa sudah pukul lima pagi.Di letakkannya ponselnya kembali ke nakas, kemudian ia menatap menerawang ke langit-langit kamar. Ia memutar kembali kejadian setahun lalu, saat Nena meninggalkannya dan memutuskan untuk menikah dengan Ganjar. Teman yang pernah dia anggap sebagai saudara. Rupanya mereka menjalin hubungan di belakang Langit selama dua tahun tanpa ketahuan.Sampai saat ini, Langit belum bisa memaafkan kejadian itu. Jujur saja, dia masih memiliki rasa cinta untuk wanita yang telah mengkhianati dan meninggalkannya. Dia belum bisa membuka hatinya untuk wanita lain. Pikirannya kembali ke masa-masa pertama kali dia bertemu Nena.Wanita itu sangat perempuan. Menggunakan rok bermotif batik dan tampil sederhana. Dia memiliki rambut ikal sepunggung yang memanggil-mangil jemari Langit untuk merasakan teksturnya. Lesung pipit di kedua pipinya membuatnya terlihat lebih manis. Pokoknya, Langit yakin Nena adalah wanita bersahaja. Dia sendiri adalah tipe laki-laki yang menyukai perempuan berpenampilan sederhana, tidak perlu menjadi dukun untuk tahu jika Langit menyukai Nena hampir pada pandangan pertama. Mereka bertemu di acara perkumpulan kelompok kecil untuk para jemaat gereja. Langit sebenarnya bukanlah pribadi yang rajin mengikuti kegiatan rohani, dia hanya mengantar kakak perempuannya dan berjanji untuk menemani hingga akhir acara. Jadi, dia berpikir bahwa takdirlah yang membawanya ke acara itu hingga bertemu dengan Nena. Bahwa Nenalah jodohnya. Tapi semuanya berakhir buruk dengan kejadian satu tahun yang lalu.Pancaran cahaya redup yang ada di balik tirai jendela adalah tanda bagi Langit untuk bersiap-siap menyambut pagi itu. Dia memulainya dengan membersihkan diri dan pergi ke dapur untuk membuat sarapan sederhana. Rumah yang ditinggalinya adalah sebuah rumah sederhana yang hanya memiliki dua kamar. Salah satunya dia manfaatkan sebagai gudang, tapi bisa juga dibersihkan kemudian digunakan untuk kamar tamu. Ada selembar kasur di sana yang bisa diletakkan di atas lantai untuk dijadikan alas tidur. Rumahnya memiliki kamar mandi terpisah di bagian belakang bersama dapur kecil. Halaman depan hanya beberapa meter. Sebagian besar dilapisi semen, yang dia gunakan untuk memarkirkan motornya serta meletakkan jemuran pakaian. Hanya sepetak tanah di sudut kiri yang ditumbuhi rumput dan sebatang pohon mangga.Rumah inilah yang menjadi tempat tinggalnya selama satu tahun ini. Tepat setelah Nena meninggalkannya, dia memutuskan untuk menerima mutasi posisi dari perusahaan tempatnya bekerja. Posisinya saat ini adalah pemimpin cabang di perusahaan penyuplai mesin dan alat-alat untuk pabrik-pabrik.Langit menggunakan batik terbaiknya Jumat itu, batik yang baru dia beli seminggu lalu di departement store nasional yang memiliki cabang di mana-mana. Dia memberikan sedikit gel di rambutnya agar tampak lebih rapi. Tepat pukul tujuh lewat empat puluh menit dia mengendarai motornya keluar dari rumah menuju kantor. Jalan raya sebenarnya cukup ramai di jam-jam segini bahkan macet, tapi rumahnya yang terletak di daerah Batam Centre tidak terlalu jauh dari kantor. Jika tidak di jam sibuk, dia hanya butuh lima menit untuk berkendara menggunakan motor.***Sudah satu bulan lebih Emi kembali ke rumah. Bukannya membantu Leo seperti yang dia rencanakan di awal, Emi lebih sering keluar rumah berkumpul dengan teman-temannya, pergi belanja ke Singapore, jalan-jalan ke Thailand atau nongkrong di kafe-kafe setempat untuk menghabiskan uang dan waktu. Jika tidak sedang melakukan hal itu, dia akan mengurung dirinya di kamar, sibuk dengan segala media sosial yang dia miliki. Memang beberapa hari setelah pulang, dia disibukkan dengan membalas chat teman-temannya yang kepo dengan statusnya dan Jesper. Setelah puas dan mendapatkan apa yang mereka mau, manusia-manusia itu tidak lagi mengusiknya. Tapi tetap saja, ada orang-orang yang suka menjadikan dirinya sebagai kompor. Mulai dari mengirim link berita tentang Jesper dan Sophia hingga mengirimkan hal-hal yang sama sekali tidak berguna sampai Emi muak. Plis, dia tidak merasa butuh dinasehati atau dibimbing hanya karena masalah seperti itu. Lima puluh cara untuk mengatasi masalah patah hati? Ya Tuhan! Emi memutar matanya berkali-kali hingga dia merasa lebai sendiri. Berani-beraninya ada yang mengirim buku paduan semacam itu padanya.Pagi itu dia dipaksa bangun oleh Inus dengan cara paling menyebalkan. Diciprat pakai air keran. Dia kira kamarnya bocor saat terbangun, karena di luar sedang hujan. Emi tahu karena suara air dan guntur serta sedikitnya cahaya yang menembus tirai kamarnya, padahal sudah hampir pukul dua belas siang. Dia melotot ketika menyadari Inus berdiri di depan ranjangnya dengan seember kecil air di tangan.Lo ngapain sih?! Ganggu tahu nggak! Emi kembali menarik selimutnya. Lo kan mustinya lagi nongkrong di galeri, ngapain di sini.Lo lupa sama pembicaraan tadi malam? Inus tampak kesal yang merupakan kejadian langkah. Tapi Emi nggak mau tahu, dia juga sedang kesal karena dibangunkam dari mimpi indahnya. Kencan dengan model Itali berwajah dan bertubuh seksi.Em, Serius! Mending lo bangun dari pada gue seret ke bawah!Nada suara Inus yang menyebalkan membuat Emi bangkit dan keluar dari selimutnya, dia bukannya tidak ingat dengan pembicaraan semalam. Jika mau dikatakan, itu bukanlah pembicaraan pertama mereka mengenai topik tentang dirinya. Semalam adalah pembicaraan kesekian kali, hingga satu keputusan diambil tadi malam atas perilakunya yang suka foya-foya dan malas.Iya, iya, gue bangun. Tunggu setengah jam, gue mau mandi.Inus mengangkat tangan kanannya untuk melihat jam. Lima belas menit, nggak lebih. Papi sama Leo bakal ikut makan siang di rumah, bentar lagi nyampe.Langkah Emi yang sudah di ambang pintu kamar mandi terhenti. Dia mengerutkan keningnya. Ngapain Papi sama Kak Leo ikut? tanyanya heran.Mau ngerecokin elo, udah janji mau jadi kasir di tempat gue, tapi jam segini masih tidur. Inus mencibirnya sebelum keluar dari kamar dengan gaya sok berkuasa. Memang terkadang Emi curiga Inus anak pungut, tapi ketika gaya sok berkuasanya keluar, Inus mirip banget dengan Leo. Sama-sama menyebalkan.Lima belas menit kemudian Emi benar-benar turun ke ruang makan. Dia tahu Inus cukup terkesan. Karena biasanya dia bisa menghabiskan waktu hampir satu jam untuk bersih-bersih. Termasuk buang hajat dan luluran ala kadarnya.Apa lo lihat-lihat? gertaknya sambil memeletkan lidah. Inus hanya mendengus lalu tersenyum, senyum yang sampai ke mata, tapi nggak sampai ke hati. Itulah hebatnya Inus, manusia paling ceria di keluarga mereka, tapi Emi terlalu mengenal kakaknya itu untuk ditipu oleh senyuman yang dianggap sebagian besar wanita memesona.Mereka duduk tenang dan sibuk dengan ponsel mereka sendiri, beberapa kali Inus mendengus tapi Emi pura-pura tidak tahu. Anggota keluarganya lengkap beberapa menit kemudian.Emi langsung mendapat teguran dari Ayahnya setelah makan siang selesai. Tidak ada yang membelanya ketika itu terjadi. Jadi, dia hanya menunduk menatap kuku-kukunya yang cantik sambil mengangguk-anggukkan kepala. Dia tidak berani membantah jika berhadapan dengan ayahnya.Mengerti kamu? tanya Ayahnya pelan, tapi maksud yang disampaikan masuk hingga ke sel-sel tubuhnya.Iya, Pi.Ya udah. Belajar yang benar. Pak Utama bangkit dari kursinya sambil melihat jam di tangan. Kamu ikut Inus setelah ini.Besok aja ya Pi, tanggung kalau hari ini. protes Emi yang langsung mendapat pelototan dari Pak Utama. Iya, iya, Emi ikut Inus siang ini juga. lanjutnya kesal.Bagus, Pak Utama melirik Leo Kita balik sekarang. ujarnya sambil berjalan pergi di susul oleh Ibu Diana yang sempat menepuk pundak Emi pelan.Belajar yang Benar. Emi memutar bola matanya ketika Leo sengaja mengatakan hal itu saat lewat di depannya. Ia juga mendengar tawa Inus di belakangnya.Nyebelin. Gerutu Emi pelan. Dia tidak ikut mengantar Ayah dan Leo ke depan seperti Ibunya dan Inus. Dia lebih memilih duduk di ruang makan sambil memikirkan nasibnya.Tidak lama kemudian Inus masuk kembali bersama Ibu Diana.Siap-siap Em. ujar Ibu Diana.Emi bangkit dan berkacak pinggang ke arah Inus. Jujur saja dia tidak tahu harus memulai dari mana, apa yang dimaksud ibunya dengan siap-siap. Karena sebenarnya dia juga merasa sudah siap dengan rok bunga-bunga selutut dan tank top putih. Emi udah siap, Mi.Ibu Diana mengerutkan keningnya lalu memandang ke arah Inus. Karyawan kamu boleh berpenampilan seperti ini?Inus menggelengkan kepalanya, Nggak. Ia lalu mendorong Emi naik tangga menuju ke kamar gadis itu.***Hari ini Langit sudah pergi ke beberapa perusahaan yang sekiranya membutuhkan jasa mereka. Tentu saja dia harus membuat janji terlebih dahulu sebelum datang berkunjung. Pekerjaannya sebagai pimpinan cabang bukan hanya duduk-duduk dan mengkoordinasikan bawahannya, tapi juga harus sukses menjalin dan berhubungan baik dengan pelanggan. Obrolan-obrolan santai yang biasa dia lakukan dengan klien, bukanlah obrolan sia-sia. Tidak jarang obrolan santai berakhir dengan keberhasilannya menjual produk atau mesin berharga beberapa ratus juta.Dia kembali ke kantor ketika matahari hampir menghilang di ufuk barat. Mobil perusahaan yang menjadi fasilitas ketika dia bekerja terparkir sempurna di tempat. Hanya tinggal beberapa orang bawahannya yang masih di gedung berlantai tiga itu. Langit menyapa beberapa orang di sana lalu naik ke ruangannya. Dia menyalakan pendingin, menghempaskan dirinya ke sofa untuk melepas lelah. Ia memejamkan matanya sejenak dan memijit kening. Langit hampir tidak pernah pulang tepat waktu. Dia bekerja keras, sibuk. Semua dia lakukan demi melupakan mantannya. Mantan calon istri?Ia berjalan ke meja kerja dan membuka laci di sana. Sebuah kotak beludru berwarna biru dongker langsung mencuri perhatian setiap kali dia membuka laci paling bawah itu. Dia hampir melamar Nena. Andai saja kejadian itu tidak terjadi, mungkin saat ini mereka sudah menjadi keluarga bahagia dengan seorang bayi lucu, laki-laki atau perempuan.Tangan Langit bergerak menggeser layar di ponselnya. Hingga tanpa sadar dia sudah menatap laman facebook Nena. Mereka memang hanya berteman di jejaring sosial satu ini. Langit memutuskan kontak apapun yang bisa menghubungkan mereka, bahkan ia tidak datang ke resepsi pernikahan Nena dan Ganjar padahal dia mendapat undangan. Saat itu Langit terlalu marah, dia merasa bahwa Nena dan Ganjar tidak mempunyai rasa malu dengan berani mengundangnya.Jemarinya meng-scroll laman tersebut ke bawah. Dia membaca beberapa status yang tertulis di seminggu yang lalu. Amarah yang sudah hampir padam karena sakit hati, mulai bangkit di hatinya. Dia tahu bahwa dia hanya mencari masalah dengan menyelidiki laman facebook Nena. Pada akhirnya dia menemukan foto sepasang suami istri yang tersenyum bahagia dengan sang istri yang perutnya membesar. Mereka memamerkannya di depan hidung Langit. Pesan yang tertulis menyertai foto itu kira-kira berbunyi mereka tidak sabar menunggu datangnya sang malaikat kecil ke dunia dalam bahasa inggris yang sedikit berantakan.Jemarinya bergetar. Dengan kalap Langit menutup aplikasi tersebut. Dia mengusap wajahnya dengan frustasi. Damn it!!! umpatnya keras. Langit meletakkan ponselnya di atas meja kemudian hanya diam menatap benda itu. Sepertinya malam ini dia akan insomnia.Langit memasukkan ponselnya ke saku dan meraih ransel hitam yang ia telatkkan di sofa. Dia meninggalkan kantor bersamaan dengan seorang. bawahannya yang tersisa. Pekerjaan mereka memang sudah selesai, sementara Langit lebih memilih pergi ke suatu tempat untuk melepaskan penat yang ia rasa dari pada menyelesaikan beberapa laporan yang harus dia kerjakan.Ia memacu motornya ke sebuah kedai kopi. Pemiliknya adalah seorang laki-laki muda yang ramah. Mereka bertemu beberapa kali bahkan kadang melakukan percakapan singkat. Galeri Kopi Indonesia, begitulah kafe itu dinamakan. Tempat di mana dia menghabiskan waktunya jika sedang suntuk. Lagi-lagi ia menyukai tempat itu karena design-nya yang unik. Sangat Indonesia, moderen tetapi tetap identik dengan jati diri Indonesia. Sedangkan untuk kopinya sendiri, Langit tidak terlalu mengerti. Dia bukan pecinta kopi dan dia tidak mengerti perbedaan jenis kopi A dengan B. Baginya, semua kopi memiliki rasa yang sama. Hanya berbeda di manis atau pahit yang kadang-kadang menimbulkan rasa asam, memakai krim atau tidak, ditambah dengan susu atau tidak. Ya, hanya hal-hal seperti itu yang ia mengerti mengenai kopi.Dari hasil percakapannya dengan sang pemilik, dia tahu jika biji kopi yang digunakan adalah biji kopi berkualitas. Saat Langit bertanya mengenai bagaimana cara membedakannya, si pemilik yang ia kenal dengan nama Delphinus hanya terkekeh dan mengatakan bahwa dia juga tidak mengerti. Dia hanya mengeluarkan modal dan mengawasi sementara ia membayar beberapa barista dan pelayan yang cukup mumpuni untuk menjalankan bisnisnya.Satu lagi yang Langit suka dari tempat ini, selain hanya menyajikan bermacam-macam kopi dan snack, lantai atasnya adalah sebuah perpustakaan kecil yang cukup nyaman dengan pintu kayu di ujung lorong yang Langit yakin adalah kantor si pemilik. Koleksinya kebanyakan adalah buku-buku sejarah dan biografi, buku mengenai investasi dan buku-buku pengetahuan lainnya. Bahkan ada buku paduan untuk traveling. Ada beberapa koleksi novel romance di sudut kiri, itupun tidak banyak, hanya ada tiga atau empat buku. Lagipula, Langit tidak tertarik dengan buku-buku semacam itu. Dia sempat naik ke atas beberapa kali untuk menambah wawasannya melalui buki-buku, tapi tidak dengan sore ini.Sore ini dia ingin menghabiskan paling tidak dua cangkir kopi, lalu menyiksa dirinya dengan memikirkan Nena karena tidak bisa tidur.*** Bab 4 Seharusnya dia menerima tawaran Leo untuk bekerja sebagai sekretaris kakaknya itu. Tapi Emi dengan bodohnya menolak tawaran itu. Pertama karena dia sedang emosi setelah di tegur ayahnya. Ke dua, hanya dengan memikirkan sikap bossy Leo saja dia sudah muak, apalagi jika harus berinteraksi dengan kakaknya itu setiap jam. Di mana-mana juga lebih baik kerja bareng Inus, batinnya saat itu. Hingga akhirnya ia sadar, yang namanya kerja pasti menyebalkan. Meskipun bekerja dengan orang yang paling kita sukai sekalipun. Pasti ada gesekan-gesekan apinya.Contohnya siang tadi, belum apa-apa Inus sudah jadi atasan cerewet yang mengomentari penampilannya dari atas sampai bawah. Harus menggunakan kemeja putih, karena anak training. Pakai celana kain hitam, sekali lagi karena masih training. Rambut harus rapi, paling tidak dikuncir jika tidak mau disanggul. Inus tidak mau galerinya dipenuhi rambut rontok. Makeup nggak boleh tebal-tebal. Tipis aja, yang penting kelihatan manis. Oke, Inus harus tahu bahwa Emi tidak mau terlihat manis, dia mau kelihatan cantik, jadi dia akan tetap memoles makeup-nya seperti biasa. Dan yang paling menyebalkan, Inus akan memperlakukannya sama seperti karyawan lain. Jika ia salah, Inus tidak akan segan-segan menegurnya. Titah sudah dijatuhkan oleh Pak Utama dan tidak bisa diganggu gugat.Emi mendengus sebal mengingat itu semua. Karena masih training, dia akan dibantu oleh seorang karyawan yang baru diangkat menjadi supervisor oleh Inus untuk beradaptasi terhadap pekerjaannya. Emi lah yang menggantikan supervisor itu sebagai kasir. Baru beberapa jam bekerja, ia sudah menguap entah untuk keberapa kalinya.Mbak Emi, saya tinggal sebentar ya. ujar pemuda berusia dua puluh tahun bernama Frank itu.Emi aja. balasnya jutek. Dia tidak suka dipanggil mbak, serasa baru datang dari kampung aja.Frank tersenyum sopan lalu pergi ke belakang. Pemuda itu terlihat lelah dan tidak bersemangat. Galeri Inus memang memiliki dua shift kerja. Shift pertama dari pukul sepuluh pagi hingga pukul lima sore, Shift ke dua dari pukul lima sore hingga pukul sebelas malam. Seharusnya teman Frank sudah menggantikannya untuk mengawasi Emi pukul lima sore tadi. Tapi sial bagi Frank, temannya yang memegang jabatan kasir untuk shift ke dua sedang sakit. Jadi dia tetap harus terjebak bersama Emi hingga pukul sebelas malam nanti.Sepeninggalan Frank, Emi memusatkan penglihatannya pada interior design galeri kopi milik Inus. Keren sih -dia tidak akan mengakuinya si depan Inus. No way!- , tapi tetap saja dia tidak mengerti, selera Inus emang kampungan atau gimana? Masa ada susunan bambu di pojokan? Dia kira ini jaman perjuangan kali, pas Indonesia lawan penjajah pakai bambu runcing. Jadi, tinggal diruncingin aja bambunya trus siap deh buat ikutan perang, cibir Emi dalam hati.Di sore mengujung minggu seperti jumat ini, galeri lebih ramai dibanding hari-hari biasanya. Tapi akan lebih ramai saat malam minggu. Meskipun begitu Emi tetap kembali menguap, dia menyalahkan Inus karena memutarkan sebuah lagu jaman dulu penyanyi ternama Indonesia yang sama sekali tidak sesuai dengan seleranya.Tiba-tiba sosok itu muncul sesaat setelah pintu masuk terbuka, membunyikan lonceng yang melekat di sana. Mata Emi terbuka lebar, hilang sudah kantuknya. Jantungnya berdegup lebih kencang. Seolah semua berjalan lambat dengan dramatisnya, Emi mengamati pria itu dari atas sampai bawah. Dia memberikan nilai delapan puluh dari seratus untuk pria yang sedang berjalan ke arahnya. Rambutnya berantakan? Tidak masalah, dia tampan. Raut wajahnya masam? Dimaafkan, rahang dan bibirnya seksi. Baju batiknya agak kampungan? sepatunya? Celananya? Semuanya pasti buatan konveksi lokal yang dijual di department store, tapi dosa-dosa itu diampuni karena si pria memiliki bentuk tubuh ideal. Tinggi, langsing, dan berbahu lebar. Hampir sempurna! Teriak Emi mentel dalam hati.Tanpa sadar senyum genitnya muncul. Dia memasang raut wajah yang menurutnya paling menggoda saat pria itu berdiri tepat di depannya lalu membalas senyumnya, Emi hampir pingsan karena lututnya tiba-tiba lemas.Espresso-nya satu cangkir. ucap sang pria masih sambil tersenyum padanya. Emi tidak melepaskan pandangannya dari wajah ganteng itu, dia menatap tanpa berkedip hingga si ganteng melambaikan tangan di depan wajahnya, mencoba menyadarkannya.I- Iya?! tanyanya tergugup kemudian tersenyum salah tingkah, wajahnya terasa panas.Espresso-nya satu. ucap pria itu lagi. Kali ini tanpa senyum, biasa saja dan cenderung datar. Tapi Emi tidak memperhatikannya, dia terlalu terlena dengan suara berat yang merayap masuk ke telinganya kemudian menyentuh hatinya. Emi memejamkan mata bukannya melakukan pekerjaannya. Galeri Inus memang menerapkan sistem pembayaran di awal, memesan minuman dilakukan di kasir.Mbak, Espresso-nya satu! Suara merdu itu terdengar seperti suara iblis dalam sekejap mata.Emi membuka matanya, lalu berubah cemberut karena si pria ganteng kembali bertampang masam, bahkan terlihat sedikit amarah di sana. Emangnya salah dia apa? Batin Emi. 'Gue cuma ngamatin aja kok, sampai terpesona lagi. Seharusnya situ bangga, cewek cantik kayak gue ngagumin situ, bukannya ngasih gue muka masam kayak gitu'***Gadis di depannya ini pasti gila. Sepertinya si gadis adalah karyawan baru yang tidak tahu adat. Berkali-kali Langit datang ke kedai ini, baru kali ini dia berjumpa dengan karyawan yang tidak memiliki sopan santun sama sekali.Pertama-tama mengamatinya dengan tatapan menjijikan, lalu memberinya senyuman muakkan, dan mencoba menggodanya dengan mata setengah tertutup seperti itu? Terus dia bilang apa tadi? Dia cantik? Makeup tebal kayak gitu berani ngaku cantik? Langit mendengus.Cantik? tanya Langit heran dengan nada bicara paling menghina yang pernah dia keluarkan. Bedaknya berapa lapis, Mbak? Langit sengaja melarikan tatapannya ke wajah Emi.Jadi tanpa sadar Emi sudah menyuarakan isi kepalanya. Tentu saja apa yang dilakukan Langit saat ini seperti bambu runcing yang menusuk jantungnya kemudian menghancurkan hati dan perasaannya. Jemari Emi terkepal erat karena malu. Dan hinaan itu? Amarah Emi menyala perlahan. Seumur-umur baru pertama kali ada yang berani menghina kecantikannya.Mirip badut tapi bangga. gumam Langit pelan. Dia tidak memperhatikan Emi yang terlalu terkejut hingga melongo karena hinaannya. Sudut matanya menangkap bayangan seorang yang dikenalnya sedang menuruni tangga.Delphinus! sapanya ramah. Meninggalkan Emi yang semakin melongo dengan adegan di depannya. Si ganteng -tapi menyebalkan dan memiliki lidah seperti ular- berjalan ke arah Inus dan menyalaminya dengan akrab. Seolah-olah mereka adalah teman lama.Mas Langit, apa kabar? Oh, jadi namanya Langit, ucap Emi dalam hati. Ia baru menyadari kepalan tangannya terangkat ke atas lalu cepat-cepat menurunkannya. Kalau tidak disela kedatangan Inus dan fokus Langit yang pecah, dia pasti sudah bertingkah bar-bar dan tidak anggun dengan mengebrak meja kasir.Itu karyawan baru? Bukannya menjawab pertanyaan Inus, Langit justru balik bertanya.Iya, Mas. Kenapa? Inus melirik Emi yang tiba-tiba sibuk melakukan entah apa.Sikapnya ku-Totalnya dua puluh ribu, Pak. potong Emi dari belakang.Langit membalikkan badannya menghadap si gadis tak tahu adat bermuka menor yang sedang tersenyum aneh -tidak lagi genit atau menggoda- padanya sambil mengulurkan tangan. Langit mengerutkan dahinya tidak senang, tapi dia tetap merogoh kocek dan mengeluarkan dompetnya. Dia meletakkan selembar uang berwarna biru di atas meja kasir, tidak sudi dekat-dekat dengan tangan gadis itu.Tadi Mas mau bilang apa? Delphinus berdiri di sampingnya sambil mengamati si gadis bekerja dengan tatapan tajam. Langit jadi tidak tega melaporkan sikapnya yang tidak sopan.Tidak jadi, Nus. Kali ini gadis itu boleh bernapas lega. Tapi tidak akan ada toleransi untuk lain kali.Bener Mas? Kalau dia buat masalah, Mas lapor saja ke saya. balas Inus tidak percaya. Dia menatap Emi curiga.ini kembaliannya, Pak. Silakan duduk dan terimakasih sudah memilih Galeri Kopi. Emi meletakkan kembalian Langit di atas meja. Jika dia mengulurkan tangan dan Langit tidak menyambut tapi justru melaporkannya, dia akan malu setengah mati. Jadi pilihan amannya adalah meletakkan kembaliannya di atas meja kasir.Langit mengambil kembaliannya, dia punya firasat bahwa si gadis mengerti dia ilfil dengan dirinya, makanya ia meletakkan uang kembalian di atas meja kasir.Oke, Mas. Kalau nggak ada apa-apa saya keluar dulu, mau beli makan malam buat karyawan.Tiba-tiba saja Langit merasa kelaparan. Dia menginginkan makan malam, tapi dia juga tidak ingin meninggalkan kopinya yang akan berujung ke acara merenung untuk meratapi diri. Mungkin Delphinus menyadari dilema di matanya, karena laki-laki muda itu menawarinya untuk makan bersama. Yang tentu saja disambut dengan anggukan antusias dan jawaban positif dari mulutnya.Sementara Inus pergi membeli makan malam, Langit berjalan ke kursi kesukaannya. Letaknya di sudut, sehingga memungkinkannya untuk mendapatkan privasi serta pemandangan cukup luas. Dia bisa mengamati pelayan berlalu-lalang, para pengunjung yang lewat, bahkan barista yang sedang bekerja membuat kopi dari sudut ini.Hanya beberapa menit saja dia dapat menikmati momen itu, karena si gadis aneh rupanya memutuskan untuk mengganggunya dengan mengantarkan kopi pesanannya secara langsung. Sikap genit yang tadi hilang saat ada Inus, muncul kembali di wajahnya.Emi meletakkan pesanan Langit. Secara terang-terangan dia kembali mengamati pria itu. Ya, walaupun mulutnya iblis banget, tapi modal yang dimiliki langit untuk menjadi pacar Emi hampir memenuhi semua kriteria yang ia buat.Silakan di nikmati, Mas. ucap Emi dengan suara yang lebih tinggi beberapa oktaf dari pada biasanya. Dia juga memanggil Langit dengan sebutan Mas, mengikuti Inus dan tentu saja agar terdengar lebih hangat. Emi bisa melihat kening Langit mengkerut tidak senang, tapi pada akhirnya tetap mengangguk. Saat Langit meraih cangkir kopinya, Emi masih berdiri di tempatnya.Kamu, ngapain masih berdiri di situ? tanya Langit galak, tidak jadi meneguk kopinya. Dia jengah karena diperhatikan seperti itu. Pelayan satu ini lebih mirip manusia yang kehilangan roh.Emi tersentak kembali ke Bumi. Dia meminta maaf lalu mengundurkan diri. Antara kesal dengan dirinya sendiri karena pikirannya sudah melayang ke mana-mana, tapi ia juga kesal dengan Langit. Pria itu memperlakukannya seperti penyakit menular. Emi berjalan kembali ke posisinya di depan meja kasir. Dia mencoba mengalihkan pandangannya, ke mana saja, asal ia tidak memandang Langit. Usahanya tentu saja sia-sia, pada akhirnya ia tetap menatap Langit. Persis seperti semut yang selalu tahu di mana gula berada, atau seperti hidung kebanyakan orang yang akan mengendus aroma J.co lalu mencari di mana otletnya berada.Pada akhirnya Emi berakhir seperti wanita patah hati yang termenung sambil memanggul dagu di atas tangan sementara matanya tidak lari dari sosok yang sibuk dengan ponselnya itu.Langit bukannya tidak menyadari, si karyawan baru yang belum dia ketahui namanya itu terus memperhatikannya sampai-sampai mengabaikan pekerjaannya. Langit risih, dia tidak suka dengan reaksi gadis itu terhadapnya. Setelah cukup lama menunggu, Delphinus masuk ke galeri sambil membawa kantong hitam yang Langit yakin berisi beberapa bungkus makanan.Pria muda itu menghampirinya, memintanya untuk makan di belakang. Ada ruangan khusus makan bagi karyawan. Biasanya juga digunakan sebagai tempat menaroh helm jaket dan sebagainya. Bahkan untuk briefing kepada karyawan.Frank, gantikan Emi sebentar. ucap Inus ramah. Ia mengalihkan pandangannya ke Emi yang manyun sejak dia masuk tadi. Makan malam. ujarnya sambil menggoyang-goyangkan plastik hitam tersebut. Emi tidak menanggapinya, dia berjalan ke arah ruangan kecil tersebut tanpa menyadari Langit juga ikut di belakangnya. Isi kepala Langit penuh dengan pertanyaan. Sepertinya si Emi ini punya hubungan khusus dengan pemilik galeri.***Sudah lima menit Emi menunggu. Ia tampak terkejut ketika Inus berbasa-basi dengan Langit saat mereka masuk bersama. Dia tidak tahu bahwa Langit akan bergabung bersama mereka.Inus mengeluarkan isi plastik hitamnya. Aroma ayam bakar dan sambal terasi seketika memenuhi ruangan itu. Ada tiga bungkus nasi di sana. Semuanya menggunakan kertas pembungkus, bukannya kotak bento yang lebih moderen.Lo nyuruh gue makan ini? tanya Emi sombong.Ada yang salah? tanya Inus balik. Dia sudah membuka bungkusan nasi dan bungkusan ayam bakar di atas meja, tidak lupa juga menuangkan sambal ke atas kertas berwarna cokelat, kertas pembungkus.Emi melirik Langit yang duduk di seberangnya melakukan hal yang sama. Dan adegan selanjutnya membuat perut Emi terasa dikocok-kocok. Dia ingin muntah, bukan hanya karena bau terasi, tapi Ingus! bentaknya keras.Apa sih!?Langit tampak terkejut, tapi dia tidak ingin ikut campur urusan kedua orang ini. Jadi dia melanjutkan makan malam lezatnya. Sesuai banget dengan seleranya. Makanan nusantara memang paling enak sedunia. Tanpa ragu-ragu Langit menggunakan kelima jarinya untuk makan.Jorok banget makannya pakai tangan! protes Emi pada Inus.Gerakan Langit yang akan menyuapkan nasi ke mulutnya terhenti. Kami sudah cuci tangan, tadi sebelum masuk ke sini. Memang Emi tidak bertanya pada Langit, tapi dia merasa harus angkat bicara.Langit tidak memperhatikan reaksi Inus. Dia terpaku pada perempuan sombong berambut panjang yang duduk di depannya. Raut wajah Emi seperti menghinanya, tatapan matanya pada tangan Langit mengatakan dengan jelas betapa jijiknya dia dengan hal itu. Sangat berbeda dengan tatapan genit dan terpesona yang sempat gadis itu lempar padanya.Emang Mas nggak tahu, kumannya tetap akan ada di situ walau dicuci. Kecuali Mas nyucinya pakai alkohol! balas Emi. Ia mengalihkan pandangannya ke Inus yang tampak tidak peduli dan sedang makan dengan lahap. Gue nggak akan makan ini! Jangan-jangan lo belinya di pinggir jalan, atau di samping kali busuk!Di mana-mana yang enak itu makanan di tepi jalan, Em. balas Inus santai. Emi melotot padanya.Nggak sudi gue makan makanan kayak gini. Emi bangkit berdiri dan melipat tangannya di depan dada sambil menunggu. Dia yakin Inus akan berdecak kesal tapi tetap pergi membeli makan malam yang ia inginkan.Ya udah, kalau maag lo kambuh gue nggak tanggung jawab.Inus sialan! Jemari Emi terkepal. Mulutnya mengerucut cemberut. Mungkin hal itu akan dianggap manis oleh para pria, tapi Langit yang memperhatikan tingkah Emi hanya bisa mendengus dalam hati. Seumur-umur hidupnya, dia paling benci dengan tipe wanita seperti ini.Lo tahu kan gue bisa sakit perut makan yang beginian?! tanya Emi tidak menyerah.Lo bakal baik-baik aja, Em.Fine!!! Emi berkacak pinggang dan pergi keluar dari ruangan itu dengan langka yang menghentak- hentak, meninggalkan Inus yang masih asik dengan makanannya dan Langit yang menyimpan sejuta tanya di balik otaknya.Biarin aja, Mas. Emi emang manja. Nanti juga dia bakal balik. kata Inus seolah bisa membaca isi kepala Langit.Maaf, kalau boleh tau. Emi ini punya hubungan apa sama kamu? tanya Langit sopan.Emi adik saya, Mas.Adik? Adik kandung? tanya Langit tidak yakin.Adik kandung, Mas. Inus tersenyum maklum. Saya tahu, sifat kami memang beda banget. Tapi Emi nggak seburuk itu kok, Mas.Langit hanya manggut-manggut. Inus masih cukup baik membela adiknya yang mengerikan itu. Andai saja Emi adalah adiknya, sudah dia tendang dan singkirkan ke laut, atau kirim ke kutub utara.Mereka selesai makan, karena memang keduanya kelaparan. Saat Inus mengambil air botolan di sudut ruangan, Emi melangkah masuk. Masih marah, tapi jelas dia sudah menyerah. Emi tidak memiliki kunci mobil, jadi jelas dia tidak bisa ke mana-mana. Ke dua, lokasi galeri bukanlah tempat ramai yang banyak menjual makanan berat, tapi di deretan ruko perkantoran, yang saat ini sudah tutup. Apalagi Emi tidak akan berani berjalan lebih dari lima blok, dia takut di ganggu pengendara motor atau pengguna jalan lain yang tidak memiliki etika dan suka menggoda.Inus!Iya, dimakan aja ya dek. Nggak bakal sakit perut kok, kakak jamin.Jijik, Emi menggeser kursi dengan kasar dan duduk. Dia mengangkat pandangannya kemudian tatapannya jatuh pada sepasang mata coklat gelap yang melotot padanya. Emi heran sendiri, tapi dia memilih tidak bereaksi dan terus membalas tatapan itu.Sikap kamu. Langit menggeleng-gelengkan kepalanya. Biasanya dia akan memilih tidak ikut campur. Dia bukan tipe manusia seperti itu, tapi Emi benar-benar membuatnya ingin melakukan sesuatu.Gadis itu melongo. Satu hal yang Langit suka dari Emi, wanita itu berani menatapnya. Secara terang-terangan. Hanya itu saja yang Langit hargai dari seorang Emi. Meakipun tatapan-tatapan itu kadang terasa tidak sopan dan terlalu intim. Atau mungkin, itu hanya perasaannya saja.Apa? tanya Emi tidak mengerti.Sikap kamu, harus diperbaiki. Sangat tidak sopan dan terlalu terang-terangan. jawab Langit tenang. Dia melemparkan tatapan berkharismanya kepada Emi yang biasa dia gunakan ketika menegur bawahannya. Tidak marah-marah, tapi pesan yang disampaikan bekerja efektif.Lalu? tanya bibir mungil itu.Tatapan Langit berubah menjadi tatapan kesal. Sepertinya cara biasa yang dia lakukan pada bawahannya tidak bekerja pada Emi, karena wanita itu membalasnya dengan tatapan sombong mencemooh. Langit jadi bingung, tatapan terpesona Emi padanya berkali-kali sore ini, apa memang benar tatapan terpesona atau hanya ilusinya saja. Jika memang bukan ilusi, wanita di depannya ini benar-benar tidak punya pendirian. Jika dia memang tertarik dengan Langit, seharusnya dia lebih bisa menjaga sikap. Tapi nyatanya Emi tidak seperti itu. Bukannya Langit terlalu percaya diri atau bagaimana, tapi sebagai seorang pria dewasa dia mengetahui dengan jelas tatapan wanita yang tertarik padanya.Usia kamu berapa?Dua puluh empat. Emang ada hubungannya? tanya Emi heran. Dia melirik Inus yang berdiri di samping Langit sambil menyembunyikan tawa.Ada. jawab Langit singkat. Seharusnya kamu berperilaku seperti wanita berumur dua puluh empat, bukannya kayak anak kecil berumur lima tahun yang gambek saat tidak mendapat permen dari orang tuanya.Dahi Emi mengkerut tidak senang. Iya, bener. Tapi nggak ada hubungannya sama Mas kan? Kenal aja nggak, tapi berani negur saya. cibir Emi.Em! bentak Inus. Senyum yang sejak tadi tersungging di bibirnya lenyap seketika. Dia melotot pada Emi, tapi adiknya itu mengabaikannya dan mulai membuka bungkusan makan malamnya.Tentu saja. Langit memang tidak pantas dan punya hak untuk menwgur Emi, tapi wanita itu benar-benar menghinanya. Bahkan gadis itu tidak peduli jika ada kakak laki-lakinya di sana.Maaf, Mas. ucap Inus tidak enak. Langit hanya mengangguk, dia juga tidak ingin Inus merasa bersalah karena kelakuan adik perempuannya. Tapi sepertinya, dia tidak ingin berlama-lama di sini. Ia terpaksa harus membatalkan rencananya untuk meratap diri.Terimakasih untuk makan malamnya ya, Nus. Langit menepuk bahu Inus yang jelas merasa bersalah karena kejadian barusan.Sekali lagi maaf, Mas.Langit mengangguk kemudian pamit untuk pergi dari sana. Jika masih berlama-lama di sana, dia akan berubah menjadi pria tidak jantan karena harus beraduh mulut dengan Emi. Saat dia melewati ambang pintu, dia dapat mendengar Inus menegur Emi dan menyuruh gadis itu meminta maaf. Langit masih bisa mendengar jawaban gadis itu, tapi jawabannya membuat telinga Langit jadi panas.***Bab 5 Percakapannya semalam dengan Inus mengiang-ngiang di telinga, melintasi otaknya berkali-kali bahkan indra penglihatannya sempat terganggu. Dia sedang menuang susu untuk sarapan, tapi wajah Langit melintas. Dan seperti biasa, Emi pasti akan menatap lekat rahang kokoh dan bibir seksi itu. Lalu bayangan itu menghilang karena teriakan Mbok Yati. Saat ia tersadar, susu yang dia tuang sudah tumpah di mana-mana, mengalir hingga menetes ke lantai.Non lagi mikirin apa sih? protes Mbok Yati. Ia mengambil kain lap lalu membersihkan tumpahan susu di atas meja.Emi lagi bingung aja. jawab Emi kemudian berdecak kesal. Ya, Langit memang tampan, bahkan untuk selera Emi. Dia memang terpesona, tapi Langit menyebalkan. Baru dua jam bertemu, sudah berani memberinya tatapan menyebalkan dan menegurnya dengan nada memerintah. Dia pikir siapa dirinya? Naksir sih naksir tapi nggak jadi bego juga kali, dumel Emi dalam hati.Kalau nggak ada, kok sampai berceceran gini toh, Non. tegus Mbok Yati, kali ini perempuan itu membersihkan lantai.Gara-gara Inus, Mbok. Memang lebih mudah untuk menyalahkan orang lain kan? Emi tersenyum iblis.Gara-gara gue? tanya Inus dari belakang. Sepertinya kakak laki-lakinya itu baru masuk ke ruang makan, jadi tidak terlalu tahu pembicaraan Mbok dengannya.Nggak ada. balas Emi ketus. Dia masih kesal dengan Inus karena kejadian tadi malam.Ya udah. Inus tampak tidak peduli. Ia mengambil beberapa cedok nasi goreng lalu melahapnya. Mami pergi, Mbok!? teriak Inus, karena pembantu rumah tangganya itu sedang di dapur.Iya, Mas Inus. Pagi-pagi tadi ikut bapak sama Mas Leo ke kantor. balas Mbok Yati dengan suara keras.Inus ngangguk-ngangguk dan melanjutkan sarapannya. Hari ini Lo lembur lagi, kasir gue masih belum masuk. ujarnya.Terserah.Ingat, minta maaf sama Mas Langit kalo nanti ketemu.Nggak, ya. Nggak mau. protes Emi. Jangan gitu dong Ngus, lagian lo yakin dia bakal datang lagi? Emi tahu dia sedikit kurang ajar kemarin malam. Hanya sedikit, jadi dia memutuskan untuk mengikuti egonya. Ia memang merasa bersalah, tapi rasa itu tidak cukup untuk membuatnya meminta maaf.Kalo pun dia nggak datang, lo harus minta maaf gimana pun caranya. Dia itu langganan galeri.Tapi, langganan ilang satu aja nggak masalah kan? Lo nggak bakal rugi-rugi amat. Lagian orangnya nyebelin bangetKalo semua pebisnis pikirannya kayak lo, jangankan sukses, yang ada malah bangkrut.Emi mencibir dan mendengus. Inus hanya memberinya tatapan 'ya sudahlah, nggak usah berlebihan reaksinya'Jelek tau, dengus kayak babi gitu. ucap Inus lalu melahap nasi gorengnya.Emi memicingkan mata tidak senang, tapi dia tidak membalas pernyataan Inus. Dia bangkit dan meninggalkan Inus, lebih memilih duduk di teras samping rumah yang memghadap taman kecil, tempat dia dengan Ibunya dan Inus pernah berkumpul.Ia termenung dan memikirkan kata-kata Inus. 'Aduh, beneran gue harus minta maaf sama si Mas-Mas itu? Nggak ih, nggak mau. Mustinya Mas Langit yang minta maaf, udah berani negur gue, padahal, kenal banget juga nggak'Ngiawww!Udah deh Ngus, Stop ganggu gue. ucap Emi kesal. Dia sudah menunggu Inus yang akan muncul di depannya. Tapi perhatiannya jatuh pada sesuatu yang bergerak-gerak di bawah meja.Gue kira siapa, ternyata elo. ucap Emi pada objek yang dilihatnya.Emi menoel-noel sang objek yang ternyata adalah seekor kucing kampung yang berbulu dengan corak dua warna. Dominan putih dan bentol-bentol tidak beraturan berwarna hitam. Si kucing tidak bereaksi saat diajak main oleh Emi, dia hanya melirik ketempat lain lalu menjilat bulu-bulunya. Emi sama sekali tidak menarik di matanya.Udah tua sih lo, gue ajak main juga. Songong banget. Persis nama lo. dumel Emi lalu menyerah memcoba bermain dengan si kucing.Ngong, menurut lo, gue harus minta maaf sama si Mas? tanya Emi sambil memandang ke taman.Miaw ngiaw... Emi melirik sambil mendengus geli, Ngongmiaw membalasnya seolah mengerti pertanyaannya. Si kucing diberi nama Ngongmiaw karena ia sangat songong. Tidak suka diajak main, beda dengan kucing-kucing yang pernah dia temui.Jadi, sebulan lalu ketika dia pindah kembali ke rumah, dia menemukan Ngongmiaw sedang mengeong-ngeong di samping rumah. Awalnya dia jijik, karena Ngongmiaw tampak kotor. Kucing liar, sudah pasti hidup di mana-mana dan mencari makan dari tong sampah. Mbok Yati menngatakan dia akan mengusir si kucing liar karena menganggu dan suka meminta-minta makan. Jika diberi makan, akan kebiasaan dan datang kembali ke rumah. Kotor, kemungkinan besar membawa kuman dan akan menyebarkan penyakit.Emi sebenarnya bukanlah penyayang binatang. Tapi dia sempat melihat perut Ngongmiaw yang membuncit. Pasti si kucing lagi bunting pikirnya saat itu. Dasar genit, belum bisa punya rumah saja sudah belagu bikin anak banyak-banyak. Kan kasihan anaknya, tidur di mana nanti? Dingin lagi tidur di pinggir jalan.Jadi, bukannya mengusir Ngongmiaw, Emi justru mengambil sedikit nasi di atas kertas koran, memberi sedikit kuah sop ikan, secongkel mata ikan dari balik tudung saji di meja makan kemudian meletakkannya di depan Ngongmiaw. Ia tersenyum dengan puas saat si kucing makan dengan lahap. Tampak sangat kelaparan. Tidak butuh waktu lama untuk Emi setelah itu untuk mengambil tindakan. Dimulai dengan mengangkat kulit leher Ngongmiaw dengan jijik dan meletakkannya di taman. Ia lalu menyemprot si kucing dengan air. Tidak memberinya shampo, tapi setidaknya si kucing lebih bersih. Emi merasa cukup dengan aksinya, ia cukup puas dan meninggalkan si kucing.Tapi seperti yang Mbok Yati bilang, si kucing kembali keesokan paginya. Saat ini perut Ngongmiaw semakin membesar, Emi jadi tidak sabar melihat bayi-bayi kucing yang lucu.Gue nggak ngerti bahasa lo, udah ah. Gue mau siap-siap. Kalo nggak si Inus bakal cerewetin gue. Jaga cucu-cucu gue ya, awas lo kalo kenapa-kenapa. Nggak gue kasih makan entar. Emi bangkit berdiri. Ia sengaja menendang-nendang pelan Ngongmiaw hanya untuk melihat reaksi si kucing. Ternyata sama saja, si kucing tetap songong dan tidak mau diajak main. Jadi dia berderap masuk ke dalam rumah. Sedikit sebal dengan Ngongmiaw yang sombong.***Emi sedang meng-scroll layar ponselnya saat Inus berjalan masuk ke ruangan kerja.Em, gue serius soal yang tadi ya. ucap Inus sambil lalu. Ia meletakkan dua box makan malam di atas meja. Kali ini menu yang dibeli sesuai dengan keinginan Emi.Hm. Jawaban Emi membuat Inus melirik ke ponsel karena penasaran. Kok, Hopi nggak kasih tahu gue ya. lanjutnya bingung, masih melihat-lihat beberapa foto yang dibagikan Hopi di laman Facebook-nya.Emi dapat merasakan Inus menjauh dari balik punggungnya. Aura aneh menguar dari kulit kakak laki-lakinya. Untung saja tidak membuatnya merinding.Cowoknya ganteng sih. kata Emi. Ia memperhatikan pria yang merangkul pinggul Hopi dengan mesra. Kayaknya kerjaannya mapan deh, penampilannya aja keren gitu. mata Emi terfokus pada pakaian si pria.Dia nggak akan tahan dengan cowok kaku seperti itu.Suara Inus memancing Emi mengangkat pandangannya ke Inus yang mulai membuka penutup box makan malam mereka.Sok tahu. Lagian, cowoknya oke, nggak kaku-kaku banget kelihatannya. cibir Emi kemudian kembali fokus pada foto-foto yang bertebaran. Lo kenapa sih bisa putus sama Hopi? tanya Emi sambil lalu. Benar-benar tidak terpikir untuk memancing apapun.Gue tahu dia luar dalam, bukannya sok tahu. balas Inus ketus. Alasan kami putus, bukan urusan lo. Inus bangkit sambil membawa box makan malamnya keluar ruangan.Emi menatap Inus yang berjalan pergi dengan heran sekaligus tidak terlalu peduli. Lagi datang bulan kayaknya, sensi banget. gumamnya.Ia memutuskan meletakkan ponselnya kemudian mengambil makan malamnya. Ia mendapatkan kimbab sebagai makan malamnya. Cukup. ucapnya puas.Emi sudah selesai makan ketika Inus masuk kembali ke kantornya.Lo bikin masalah apa sama Pram?Emi memutar matanya. Bukan gue, dia yang cari masalah.Pram itu salah satu karyawan gue yang nggak suka cari masalah. Inus duduk di seberang Emi.Jadi? Apa? Salah gue? tanya Emi nyolot. Dia memasukkan box bekas makan malamnya ke tong sampah terdekat dengan kasar.Ya jelaslah, yang tukang ribut di sini kan lo. Salah gue, nerima lo jadi karyawan. Inus menghela napas lelah. Ia menghempaskan dirinya ke sofa kemudian memijat pangkal hidungnya seolah sedang banyak masalah.Habis dia aneh, norak. Emi mendengus jijik.Lo tuh ya!Emi memicingkan matanya pada Inus, sebal dengan kakaknya itu. Lo kalo lagi nggak mood, nggak usah marah-marah ke gue.Gue biasa aja kok, emang lo yang bikin Pram nangis kan? balas Inus defensif.Halah, bilang aja lo lagi mikirin Hopi. Nggak usah bohong lo. tembak Emi.Inus terdiam, ia membalas tatapannya dengan kesal. Gue cabut, bentar lagi Mas Langit datang. Minta maaf lo sama pelanggan gue. Awas kalo macem-macem. Inus berderap keluar ruangan tanpa mengindahkan Emi yang mulutnya menganga.Huh? bisiknya pada diri sendiri. Maksudnya apa tadi dengan 'Mas Langit bentar lagi datang' berbagai skenario berputar di kepala Emi. Kenapa Langit datang? Dia minta sama Inus atau bagaimana? Terus kalau beneran datang, apa yang harus dia lakukan dan sebagainya sebagainya.Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Emi mengangkatnya dengan sebal sambil memperhatikan kuku-kukunya yang dirawat cantik.Apa? jawabnya kasar.Jam istirahat habis, turun lo ke bawah.Iyaaa, iyaaa. Emi memutuskan panggilan dari Inus dan berderap keluar dengan hati kesal.***Saat itu sudah hampir pukul sembilan malam ketika lonceng di pintu berbunyi. Emi yang sudah mengantuk-ngantuk langsung berdiri tegap. Ia menatap waspada pada sosok yang baru saja masuk.Inus yang tidak jadi keluar dan memilih menghabiskan segelas kopi di samping jendela kaca menyapa Langit. Mereka tampak membicarakan sesuatu dengan akrab. Lalu Inus memintanya datang ke meja tersebut ambil mengantarkan secangkir Espresso untuk temannya.Setelah barista menyiapkan semuanya, Emi mendekati meja itu dengan bersungut-sungut. Dia tidak ingin minta maaf untuk apapun. Meskipun begitu, matanya tetap melirik Langit diam-diam. Pria itu mengenakan kaos hitam dan celana jeans biru. Secara keseluruhan masih sangat layak untuk dilirik lebih dari dua kali. Pria menyebalkan yang mau tidak mau harus Emi akui memiliki daya tarik besar.Emi meletakkan cangkir espresso di depan Langit. Ia menunggu sambil tatap-tatapan dengan Inus. Inus sendiri sudah melempar kode sejak ia mendekati meja.Ia berdeham tidak nyaman. Selamat malam, Mas. Emi mengulurkan tangannya kepada Langit. Saya Gemini. ucapnya kaku. Tampak tidak iklas. Emi mengerutkan keningnya kesal karena uluran tangannya tidak di sambut. Bukan hanya itu, Langit juga seolah menganggapnya tidak kasat mata.Emi menarik uluran tangannya. Mas kok gitu? tuduh Emi kesal. Langit masih tidak bereaksi dan meminun espressonya dengan santai. Inus sendiri lebih memilih duduk tenang dan melihat keadaan. Bukannya dia tidak sayang dengan adiknya, tapi Emi memang butuh dikerasin, biar tidak manja.Langit bangkit berdiri. Kali ini posisi mereka lebih dekat dari saat terakhir mereka bertemu. Jujur saja Emi merasa terintimidasi oleh tinggi badan Langit. Pria itu menatap Emi menilai.Ada keperluan sama saya? tanya Langit dingin.Emi menahan amarahnya. Sabar-sabar, orang sabar disayang Tuhan, batinnya. Ia kesal dengan tatapan Langit yang tampak sangat sok. Sok hebat, sok pintar, sok dewasa, sok bijaksana dan banyak sok lainnya. Emi tidak suka, itu saja.Menelan harga dirinya yang tinggi dan terutama karena tidak ingin membuat Inus malu untuk ke dua kalinya, Emi kembali mengulurkan tangan.Nama saya Gemini, dan saya memang ada keperluan sama Mas. ucapnya kali ini lebih sopan.Langit menatap uluran tangannya. Tampak tidak ingin menerima uluran tangan itu, tapi Emi salah karena kemudian Langit menyalaminya dengan genggaman mantap. Langit.Emi terpaku. Bukan karena Langit yang terlihat lebih tampan saat dilihat dari jarak dekat -kalau itu, dia sudah tahu sejak pertama kali melihat Langit-, tapi karena aliran listrik yang menyengat kulitnya, mengalir melalui tangannya hingga ke seluruh tubuhnya. Terutama ke jantungnya yang berdebar lebih kuat.Langit melepaskan genggamannya karena merasa Emi tidak berniat melepaskannya. Ia mengernyit tidak suka, tapi disembunyikannya rada tidak suka itu. Ia cukup menghargai usaha si gadis sombong yang berdiri di depannya ini untuk memulai percakapan. Langit ingin melihat sampai di mana percakapan ini akan berakhir.Jadi, apa keperluan kamu? tanya Langit langsung. Sebenarnya dia sudah mengetahui maksud Inus mengundangnya ke galeri malam ini. Gadis itu terlihat tidak nyaman sambil melirik-lirik Inus.Dalam waktu yang sesaat itu, Langit baru benar-benar memperhatikan Emi untuk pertama kalinya. Gadis itu cukup cantik sebenarnya, hanya saja makeup-nya terlalu tebal untuk standar Langit. Penampilannya terlalu 'mahal' menurut Langit. Siapapun yang menjadi pasangan Emi nantinya harus merogoh kocek cukup dalam, pikir Langit.Kalau Mas Langit nggak keberatan, saya mau bicara di belakang.Nggak Em, di sini saja. potong Inus. Langit hampir saja melupakan kehadiran Inus. Ia melihat Emi melotot pada Inus kemudian mencoba menampilkan senyuman yang tidak sampai ke mata ketika kembali menatapnya.Ngomong sekarang saja. tambah Langit menyetujui pernyataan Inus.Okeeey... ucap Emi dengan nada ditarik. Ia tampak mengambil napas dalam, ketika ia hendak berkata-kata, ia berhenti seolah ada yang menahannya. Ia kembali mengambil napas kemudian kejadian yang sama terulang.Saya tidak punya banyak waktu, Gemini. Ucapan Langit kali ini membuat Emi tertegun. Ia tidak mengerti dengan reaksinya sendiri, ia heran, tapi ia juga harus mengakui suara Langit terdengar merdu ketika menyebut namanya.Oke... oke... saya bilang sekarang. Emi melangkah ke depan Langit yang sudah membuka kaki seolah hendak pergi dari tempat itu. Saya minta maaf atas kelakuan saya tadi malam. ucap Emi, tatapannya tidak sengaja jatuh pada cangkir espresso yang memang belum disentuh Langit. Keningnya mengerut membayangkan skenario apa yang sedang terjadi.Oke, saya maafkan. Tapi pakai syarat. Emi mengangkat pandangannya kembali ke Langit. Ia melupakan apa yang sedang bergumul di otaknya saat itu juga.Kok gitu? Kok pakai syarat? tanya Emi tidak terima, ia semakin curiga saat melihat Langit melemparkan senyuman yang hampir mencuri hatinya. 'Sumpah demi apa? Kenapa dia harus senyum-senyum kayak gitu? Bikin bete aja. Tapi makin cakep.... hufffh'Sebenarnya Langit juga tidak tahu kenapa dia mengatakan hal itu. Kata-katanya hanya spontan keluar begitu saja, tanpa melalui otaknya, bahkan hatinya.***
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan