Matahari Terbelah di Wilwatikta bab prolog-bab 3 #UnlockNow

2
0
Deskripsi

Tragedi Perang Bubat tidak hanya menorehkan jarak antara Majapahit dan Pasundan, tapi juga luka dan duka bagi dua kerajaan tersebut. Gugurnya Dyah Pitaloka—calon permaisurinya, membuat Hayam Wuruk melewati masa-masa sulit. Namun, Wilwatikta tetap harus memiliki Permaisuri dan terpilihlah Sri Sudewi untuk bersanding dengannya. 

Pernikahan yang dijalani keduanya terasa dingin dan berjarak. Hanya demi Wilwatikta, begitulah dalam pikiran Hayam Wuruk dan Sudewi. Di tengah peliknya politik dan urusan kerajaan,...

Prolog 

Prolog Matahari Terbelah di Wilwatikta

Jantungnya terus berdentam kuat seiring dengan kudanya yang dipacu kencang. Bayang-bayang ketakutan akan kabar peperangan di lapang Bubat masih membuatnya syok. Dia … tidak tahu …  sungguh.  Pikirannya langsung kalut dan kusut, dan yang bisa dilakukannya adalah segera berlari menuju Bubat. Dia hanya bisa Berharap waktunya belum terlambat untuk menyelesaikan kesalahpahaman antara Majapahit dan Pajajaran. 

“Gusti Prabu.” Salah satu prajurit Bhayangkara mendekatinya dengan wajah tegang. “Gusti Prabu, sebaiknya tidak mendekati Bubat, sebab keadaan masih sangat kacau,” ujar prajurit Bhayangkara tersebut. 

Dia menatap nyalang dan segera mengambil pataka-nya yang terselip di timang, lalu dihunuskan ke arah prajurit tersebut. “Minggir! Tidak ada yang bisa menghentikanku sekarang ini,” ancamnya pada prajurit tersebut. 

“Tapi, Gusti Prabu …,” prajurit tersebut tetap menghalangi jalannya untuk segera mencapai Bubat. 

Tanpa basa-basi lagi, tangannya sudah mengayunkan pataka-nya dan segera ditebaskan ke lengan kiri prajurit tersebut hingga mengaduh kesakitan. Kuda yang ditunggangi prajurit tersebut terjatuh, tanpa menoleh lagi, dia segera melecut kudanya agar segera berlari menuju Bubat. 

Dalam jarak pandang yang sudah dekat, dia bisa melihat bagaimana mengerikannya lapang Bubat. Suara tombak, keris, kujang dan panah saling bersahutan. Puluhan jasad tergeletak sia-sia dengan bersimbah darah.

“Berhenti! Berhenti!” Dia berteriak lantang, akan tetapi suaranya teredam oleh kebisingan senjata dan seruan peperangan. 

“Jangan! Jangan!” 

Kali ini dia turun dari kudanya dan segera menuju pada barisan lingkaran yang mengepung pria berkulit bersih dengan kepala yang memakai mahkota. Tentu saja dia tahu, bahwa pria tegap dan tinggi yang sedang bertarung dengan gigih itu adalah calon mertuanya—Prabu Lingga Buana. 

Namun, larinya terlambat, sebab tubuh sang calon mertua yang dikepung dari berbagai sisi itu sudah tumbang dan kini tersungkur mencium tanah Bubat yang bau anyir darah. Pikirannya mendadak kosong dan deru napasnya terasa sesak. 

“Rama!” teriakan yang melengking di arah selatan menyadarkannya. 

Dia melihatnya. Perempuan yang harusnya sebentar lagi akan menjadi permaisurinya. Namun, wajah cantik perempuan itu tampak sayu dan sendu bersimbah air mata. Rambut yang tergerai dengan pakaian pengantin yang dia siapkan untuk Sang Putri Pasundan. Tampak beberapa dayang menahan Sang Putri agar tidak mendekati jasad Sang Maharaja Lingga Buana yang telah gugur. 

“Rama!” 

Suara perempuan itu kembali melengking diiringi ratap tangisnya. Dia melangkah mendekat dan berusaha menenangkan Sang Putri. Pandangan mereka saling bertemu. Dia yang menatap penuh damba dengan rasa bersalah, tapi tidak dengan kilat mata Sang Putri yang memancarkan luka dan dendam. 

“Putri Dyah Pitaloka,” gumamnya dengan suara yang nyaris pelan. 

“Berhenti! Jangan mendekat!” ucap Dyah Pitaloka dengan pandangan tajam namun tangisnya yang terus-menerus membuat wajah cantiknya sembab dan basah. 

Hatinya teramat sakit. Pertemuan yang  dibayangkannya membuatnya tidak bisa tidur dan terus disimpan dalam mimpinya tidak seperti ini. Yang dia bayangkan adalah, pertemuan dengan wajah saling tersipu malu tapi juga dengan tatapan cinta. Sebab, dia sudah jatuh cinta saat melihat lukisan Dyah Pitaloka. Tapi mengapa yang terjadi justru pertemuan menyakitkan dan berdarah. 

“Paduka Sri Rajasanagara, ini, kan, yang Wilwatikta inginkan?! Kedaulatan dan pengakuan akan negeri Wilwatikta yang agung! Kalian menginginkan gadis yang lemah ini sebagai bukti persembahan atas pengakuan Pajajaran sebagai negeri taklukan, bukan?” tantang Dyah Pitaloka. Gadis itu mengangkat dagunya tinggi-tinggi, tatapannya tajam dan nyalang, dari balik baju pengantinnya, dia menarik pisau yang berbentuk senjata kujang berukuran kecil. 

“Tidak, Putri. Saya tidak menginginkan seperti ini,” ucapnya putus asa. 

Dyah Pitaloka hanya mengulas senyum. Kali ini tatapannya sedikit melembut. Dia bisa melihat ada sedikit cinta yang terpancar dari wajah putus asa Putri Pasundan itu. Tatapan Dyah Pitaloka yang mengunci pandangannya mampu menggetarkan hatinya begitu kuat. 

“Dyah Pitaloka, Permaisuriku,” ucapnya dengan suara yang bergetar. Langkahnya berusaha pelan, mendekat agar tak membuat Dyah Pitaloka nekat. Dia tidak bisa membayangkan kujang di tangan yang terlihat halus dan bercahaya itu akan mengenai kulit Sang Putri. 

“Kejayaan untuk Pajajaran!” 

Tiba-tiba suara Dyah Pitaloka menggelegar bagai membelah langit. Namun, detik itu juga  lengkingan suara Dyah Pitaloka seakan menelan cahaya Sang Surya Wilwatikta. Kujang tertancap sempurna di dada bagian kiri Sang Putri. Hayam Wuruk yang menyaksikan dengan matanya sendiri, segera melesat dan merengkuh tubuh Dyah Pitaloka.  Dia mendekap sang putri dengan erat. Tubuhnya bergetar hingga bahu tegapnya naik turun. 

Dia tidak kuasa menahan tangisnya saat merengkuh tubuh yang terasa begitu sempurna dalam pelukannya. “Permaisuriku, Dyah Pitaloka,” ucapnya dengan isak tangis yang teredam. 

Suara rintihan terdengar dari bibir Dyah Pitaloka yang mulai memucat. “Prabu … Hayam Wuruk,” ucap Dyah Pitaloka dengan tangan lemahnya yang terangkat—berusaha membelai pipi Hayam Wuruk yang basah. 

Sang Putri menangis saat membelai pipinya. Hayam Wuruk membiarkan bau anyir darah yang menjejak di wajahnya. Dia bahkan tak malu untuk meraih tangan Dyah Pitaloka dan mengecupnya. Hanya isak tangis yang terdengar dari keduanya. Lalu perlahan napas Dyah Pitaloka mulai tersendat dan berakhir dalam satu tarikan napas panjang. Mata cantik itu terpejam untuk selama-lamanya. 

Cintanya pergi meninggalkannya di pertemuan pertama mereka.

 Cintanya meninggalkannya dengan keadaan sama-sama memakai baju pengantin tanpa ada upacara pernikahan.

Hayam Wuruk hanya bisa menunduk lemah dan terisak sembari terus memeluk erat tubuh Dyah Pitaloka yang sudah tidak bernyawa. Harusnya, hari ini adalah hari pernikahannya dan kebahagiaannya. Tapi cintanya memilih ke Swargaloka terlebih dulu meninggalkannya. 

Dinda Dyah Pitaloka. Selamanya … aku hanya akan mencintaimu. Tidak akan ada wanita lain yang menggantikanmu. Tunggu aku di Swargaloka, Dinda. Hayam Wuruk mengucapkan janjinya pada Dyah Pitaloka yang sudah tidak bisa mendengar. Namun, Hayam Wuruk bersumpah akan memegang teguh ucapannya.

Dia berusaha meredakan tangis dan amarahnya. Pandangannya diedarkan ke sekeliling Bubat yang porak poranda hingga akhirnya, pandangannya bertemu dengan sosok Sang Mahapatih yang selama ini dihormati dan diseganinya. 

Sang Mahapatih tampak tertunduk dengan tangan yang masih memegang keris menetes darah. Hayam Wuruk merasakan hatinya kebas. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya pada Sang Mahapatih kebanggan Wilwatikta yang justru saat ini adalah orang paling berjasa menorehkan luka di hatinya. 

***


Bab 1 - Genggaman di Bawah Sinar Rembulan

Tiga Tahun Sebelum Hayam Wuruk Naik Takhta 

 

                 Malam ini sangat berbeda dari malam-malam biasanya di Kedaton Majapahit. Para sentana raja berkumpul dan kini Mandapa sudah dihias dengan dibuat sebuah panggung yang berada dekat dengan pohon brahmastana. Tempat duduk berukiran emas yang berada di tengah-tengah akan menjadi tempat duduk Rajaputri Tribhuana Tunggadewi dan suaminya Sri Kertawardhana. Sedang di sebelah kanan adalah tempat duduk Sang Yuwaraja Hayam Wuruk. Dan di sebelah kiri adalah tempat duduk Bre Daha Dyah Wiyat dan suaminya Bre Wengker. Kemudian para sentana raja lainnya yang terdiri dari; selir dan anak-anaknya, kerabat raja, dan beberapa punggawa istana yang tergabung dalam panca ring Wilwatikta berada di sisi lain dengan membentuk setengah lingkaran. 

                 Para Vaditra mulai mengalunkan musiknya diawali dengan bunyi bende yang mampu menghentak dengan dentumannya yang berirama. Beberapa saat kemudian seorang penari muncul dengan memakai topeng yang memerankan seorang raja tengah mencari-cari gadis perawan yang hampir habis di negerinya, sebab sang raja tiap malam selalu meminta persembahan gadis-gadis perawan, hingga sang raja bertemu dengan seorang gadis bernama Tantri—satu-satunya perawan yang tersisa. Sang raja tertarik untuk meminang gadis tersebut, dan pada saat malam pertama mereka, saat sang raja hendak memadu asmara karena gairahnya yang sudah membumbung tinggi, gadis itu malah menceritakan sebuah kisah dongeng yang berlanjut hingga malam-malam selanjutnya dan menyelamatkan gadis tersebut dari jerat nafsu sang raja.

                       Para penari topeng menari dengan apik hingga mampu memukau keluarga raja dan punggawa istana, terutama Sang Yuwaraja Hayam Wuruk. Putra Mahkota Wilwatikta itu terus menatap takjub dalam setiap gerak yang seirama dengan alunan musik. Tantri Kamandaka ini sudah dihafalnya. Dia menyukai kisah fabel di dalamnya yang begitu sarat makna. Jika boleh jujur, Hayam Wuruk lebih menyukai belajar sastra daripada kanuragan dan pemerintahan. 

                       Goresan aksaranya sangat bagus dan gurunya pun memujinya. Namun, beban tugasnya sebagai Yuwaraja mengharuskannya belajar segala ilmu terutama kanuragan dan sosial politik. Kata ibundanya, pemerintahan tidak sesederhana apa yang terlihat. Dan, dia pun mengamininya. Dia tahu dan paham betul bagaimana ibundanya Tribhuana Tunggadewi dan Mahapatih Gajah Mada menjalankan negeri ini, berusaha meredam segala gejolak yang muncul. 

Namun, nyatanya saat-saat seperti inilah yang disukainya. 

Hayam Wuruk mengedarkan pandangannya, lalu dia menemukan kumpulan adik dan sepupunya yang tengah bebas tertawa dan menari bersama-sama di bagian sisi belakang. Bibirnya menyungging ke atas, ketika dia melihat adiknya Nertaja dan Indudewi—sepupunya dari Bibi Dyah Wiyat dan Paman Kudamerta—tengah asyik melompat-lompat tampak seperti mengikuti gerakan para penari topeng. 

Lalu pandangannya beralih pada dua orang bocah lainnya yang diketahuinya bernama Sri Sudewi dan Sotor. Sudewi adalah anak Paman Kudamerta dari selir, sedangkan Sotor adalah saudara kandungnya beda ibu—anak ayahnya dari selir bernama Gantari. 

Kedua bocah itu hanya tertawa riang melihat tingkah Nertaja dan Indudewi yang berjingkrak-jingkrak. Para emban pengasuh pun tampak repot menghentikan dua putri yang terlihat tak pernah lelah bergerak ke sana kemari. 

Ah! Andai dia juga bisa lepas seperti mereka. Namun, dia tidak bisa. Ibundanya tidak pernah melarangnya menunjukkan apa yang disukainya. Hanya saja sejak dia tahu bahwa dia adalah Putra Mahkota, sejak itu pula di pundaknya terasa memikul sesuatu yang berat dan tak kasat mata bernama tanggung jawab. 

Hiburan tari topeng masih berlanjut saat para abdi dan emban dapur mengeluarkan makanan dan kudapan lezat. Aroma tuak yang segar dan khas itu pun tercium di hidungnya. Dan, saat-saat inilah biasanya penjagaan akan mengendur. 

Hayam Wuruk mengendap-endap sembari tangannya memegang sebuah kampil berwarna keemasan. Dia berjalan mundur ke belakang lalu perlahan menjauh dari arah Mandapa. Tubuhnya yang masih berkembang di usia 13 tahun itu, memilih bersembunyi di bawah pohon tanjung yang rimbun. Di sisi seberang terdapat sangkar burung perkutut yang konon katanya sudah ada sejak zaman Eyang Prabunya—Raden wijaya. 

Hayam Wuruk mengeluarkan lontar, pengerupak dan sebuah alas kecil yang pernah dia minta pada abdinya untuk dibuatkan alas mirip bantal untuk menulis di mana saja. Dia ingin melanjutkan kidung buatannya yang tertunda. 

Suaranya yang agak serak dan mulai memberat seiring pertumbuhannya menuju remaja dewasa itu melantunkan irama yang tadi didengarnya dari alunan musik yang dilantunkan para Vaditra. Namun,  saat tangannya terus bergerak lincah menggoreskan aksara di atas lontar, dia mendengar bunyi tapak kaki mendekat.

“Siapa?!” seru Hayam Wuruk saat mendengar derap langkah dan desah napas kecil yang terengah. 

Hayam Wuruk segera berdiri hingga melupakan pengerupak dan lontarnya yang terjatuh ke tanah. Bersamaan dengan itu pula, sebuah mainan dari ranting berbentuk bulat menggelinding tepat di kakinya. Lalu muncul sosok mungil yang terus menunduk—seperti tengah mencari-cari sesuatu. 

“Nertaja? Itu kamu?” tanyanya lagi. Di area pohon tanjung ini, pelita dari celupak tak memancar terang, sehingga membuat area di sini lebih remang degan jarak pandang terbatas. 

Langkah kecil itu mendekat dan masih menunduk—takut-takut menatap wajahnya. Hayam Wuruk sedikit mencondongkan wajahnya dan menyipitkan matanya. “Sudewi?”

Gadis kecil itu menatap sebentar—mengerjap—kemudian segera kembali menunduk. Suaranya terdengar bergetar. “Mohon maaf, Yuwaraja, hamba menganggu,” ucap gadis kecil itu terlihat canggung dan ketakutan. 

“Kenapa ke sini? Apa yang kamu cari?” cecar Hayam Wuruk sembari melangkah mendekat dan sedikit merendahkan tubuhnya agar sama tingginya dengan Sudewi—gadis kecil berusia 8 tahun itu. 

“Hamba mencari bola kayu milik Kakang Sotor, Yuwaraja,” jawab Sudewi dengan suara pelan. 

Ah … Sotor. Hayam Wuruk mengangguk saat Sudewi menyebutkan nama adiknya beda ibu itu. “Kenapa bukan Sotor saja yang mencari bolanya? Anak kecil seperti kamu di kegelapan begini sangat bahaya.”

Dia mengingat bahwa tadi ada yang menggelinding di bawahnya. Segera diambilnya bola dan alat tulisnya yang berserakan. Lalu dia berjalan kembali ke arah Sudewi. “Nah, ini, kan, yang kamu cari, Sudewi,” kata Hayam Wuruk sambil menodongkan bola rotan itu. 

Binar mata Sudewi tampak cerah saat melihat tangan kiri Hayam Wuruk menggenggam bola rotan itu, tapi gadis itu segera mengernyitkan dahi saat meliat tangan kanan Hayam Wuruk yang terdapat lontar dan pengerupak. 

“Ini! Ambil bolanya!” katanya sekali lagi pada Sudewi.

Sudewi tergagap dan tersadar dari lamunannya—segera mengambil bola itu dari tangan Hayam Wuruk. “Terima kasih, Yuwaraja,” ucapnya dan hendak berbalik tapi suara Hayam Wuruk yang memanggilnya membuat Sudewi berhenti. 

Hayam Wuruk berjalan ke arah gadis itu, wajahnya mendekat pada Sudewi dengan membungkukkan badannya. “Adik kecil, jangan pernah bilang pada siapa pun tentang apa yang kamu lihat dan kamu dengar barusan, ya. Anggap saja ini rahasia kecil kita, bagaimana?” pintanya pada Sudewi. 

Gadis kecil itu mengerjap kemudian mengangguk—mengerti atas pernyataan Hayam Wuruk yang sebenarnya mengandung makna perintah dan larangan. Melihat senyum Sudewi yang terulas di bibir tipis bocah kecil itu, Hayam Wuruk mengusap-usap kepala Sudewi dengan gemas nan lembut. Senyum gadis itu menular padanya. 

“Mari, aku antar kamu kembali ke Nertaja dan Indudewi.”

Hayam Wuruk menggenggam tangan mungil Sudewi. Mereka berjalan ke tempat sentana raja berkumpul. Di bawah sinar rembulan, Hayam Wuruk tengadah—dia takjub pada sinar rembulan yang selalu memancarkan kelembutan. 

Kata Ibundanya, dia kelak akan menjadi Surya. Cahaya yang lebih besar bagi Wilwatikta. Sinarnya akan menerangi seluruh rakyat—memberikan kehangatan, kehidupan dan perlindungan. 

Hanya saja, dalam usianya yang saat ini masih 13 tahun, mengapa semuanya masih terlihat samar? Dia merasa ragu akan kemampuannya sendiri bila suatu saat akan memimpin Wilwatikta. 

***

 

Bab 2 - Sebatas Kenangan

Masa Penabalan Takhta - Tahun 1350 Masehi

Wilwatikta berduka. Sosok Rajapatni yang berjasa besar bagi Wilwatikta, kini telah menyelesaikan tugasnya di dunia. Di masa senjanya, Gayatri—neneknya—itu mengabdikan diri untuk menjadi biksuni. Pemerintahan dijalankan oleh ibundanya—Tribhuana Tunggadewi sebagai perwakilan neneknya yang seharusnya lebih berhak akan takhta Majapahit. 

Ibundanya pernah bercerita saat dia pertama kali diangkat menjadi Yuwaraja—Putra Mahkota—bahwa masa bakti ibundanya memimpin Majapahit akan bergantung kehidupan neneknya. Ibundanya mengatakan: saat waktunya tiba kelak, takhta Wilwatikta akan berada di genggamannya. 

Namun, hal yang tak pernah diduganya adalah di usianya yang masih sangat muda, takhta Wilwatikta benar-benar dalam genggamannya. Enam belas tahun. Dan, rasanya sangat sulit untuk percaya bahwa di usianya saat ini, sebentar lagi akan tiba waktunya penabalan. 

Dia mulai gelisah. Pelajaran dari para Resi sulit untuk diikutinya akhir-akhir ini. Jika malam tiba, dia gunakan untuk membaca beberapa kidung dan beberapa kitab-kitab sastra. Namun, gelisahnya tidak juga padam. Seperti hari ini, saat waktu penabalan yang akan berlangsung beberapa jam lagi.

Alih-alih menuju Bale Manguntur sebagai tempat penabalan, Hayam Wuruk malah berbelok ke arah lain, tepatnya ke selatan—di mana Kedaton bagian selatan adalah tempat untuk para selir atau keluarga raja lainnya. Kebetulan sekali Kedaton tengah sibuk mempersiapkan acara penabalan raja baru. Baik emban dan para bekel penjaga, tengah sibuk ke sana kemari, sehingga fokus di bagian selatan Kedaton tampak lenggang. 

Hayam Wuruk sendiri masih memakai pakaian biasa, bukan pakaian yang akan digunakan untuk acara penabalan takhta. Sebagian rambutnya digelung keling biasa, dengan tali ikat warna cokelat sederhana tanpa motif. Tak ada perhiasan semacam kalung khusus yang digunakan Yuwaraja dan perhiasan lainnya, penampilannya saat ini lebih mirip sebagai remaja biasa dari kalangan jelata meski kulitnya yang bersih dan berwarna lebih cerah, tak dapat dikatakan sebagai pemuda dari kalangan rakyat jelata. 

Bahunya tiba-tiba menegang ketika mendengar suara gaduh dari arah belakang. Dia takut penampilannya saat ini akan diketahui oleh kalangan Kedaton dan bisa berakibat mempermalukan dirinya dan juga keluarga raja—terutama ibundanya. Dia segera mempercepat langkahnya ketika suara-suara cekikan tawa dan entah pembicaraan apa, semakin terasa kian dekat. Tanpa pikir panjang, Hayam Wuruk membuka sebuah ruangan yang entah milik siapa. Dia memilih untuk bersembunyi di balik pintu, sembari telinganya didekatkan ke pintu untuk mendengar siapa yang tengah datang. 

“Yang dikatakan Sotor benar, Sudewi, penabalan Kakang Hayam Wuruk masih cukup lama, ayo cepat ambil manisan yang katanya enak itu.” 

Hayam Wuruk memicingkan matanya meski dia tidak bisa melihat siapa yang berbicara, tapi dia jelas mengenali suara adik perempuannya itu. Kemudian suara Indudewi—sepupunya pun ikut menyahut. 

“Iya, iya, kita berdua sudah tidak sabar, masa hanya Sotor saja yang boleh mencicipi manisan buatan kamu.”

Entah apa yang sedang dibicarakan adik-adiknya itu, Hayam Wuruk pun tak tahu, tapi kali ini dia mendengar suara kekehan dari Sotor dan ikut dalam pembicaran ketiga gadis remaja itu.

“Aku jadi tersanjung kalau aku adalah orang pertama yang mencicipi manisan buatan Sudewi, tapi memang manisannya sangat enak, bentuknya padat dan ada rasa asam jawanya, jadi ketika saat dikunyah rasanya semakin menakjubkan, sepertinya bisa mengatasi rasa mual manisan buatan Sudewi.”

Pujian yang dilontarkan oleh Sotor membuat Hayam Wuruk mengernyit heran. Adik satu ayah beda ibunya itu terdengar seperti memuja seorang gadis remaja daripada memuji saudarinya sendiri. Hayam Wuruk sendiri tidak menyangka bahwa keempat adiknya terlihat dekat satu sama lain. Sedangkan dia sendiri jarang berinteraksi dengan mereka, kecuali saat diadakannya pertemuan raja dan para sentana raja. Bukan bermaksud untuk mengasingkan diri, tapi semenjak menjadi Yuwaraja, dia memiliki kelas pembelajaran yang berbeda dan lebih banyak dari adik-adiknya. Kadang pun dia merasa iri dengan Sotor yang sangat mudah bisa bergaul dengan siapa pun. 

“Yunda Nertaja, Yunda Indudewi dan Kakang Sotor terlalu berlebihan dalam memuji, tapi … saya akan mengambil manisannya di kamar.” 

Ucapan Sudewi membuat Hayam Wuruk membelalakkan matanya. Rupanya kamar tempatnya bersembunyi adalah milik Sudewi. Meski Sudewi sejatinya lebih banyak tinggal di Wengker—kerajaan bawahan Majapahit yang dipimpin oleh pamannya Kudamerta. Hayam Wuruk semakin gugup ketika langkah Sudewi semakin dekat. Dia memandang ke sekeliling hendak mencari tempat persembunyian lainnya. Konyolnya lagi, Hayam Wuruk malah mondar-mandir di dalam kamar Sudewi. 

Begitu pintu kamar terbuka, Hayam Wuruk dengan gesit mendekati Sudewi dan segera membekap mulut gadis itu. Pekikan Sudewi sempat terdengar hingga membuat Sotor kini tengah mengetuk pintu kamar Sudewi. 

“Sudewi, Sudewi, ada apa?” tanya Sotor dengan suara yang terdengar cemas. 

“Dinda Sudewi …,” suara Nertaja dan Indudewi pun ikut memanggil nama gadis itu. 

Hayam Wuruk bisa mendengar detak jantung Sudewi yang bertalu kencang. Tatapan gadis itu tampak terkejut. Mata gadis itu mengerjap beberapa kali seraya bertemu pandang dengan matanya. Hayam Wuruk menggelengkan kepala lalu berbisik dengan suara rendah tepat di telinga Sudewi. 

“Jangan bilang saya ada di sini,” kata Hayam Wuruk. Lalu, perlahan dia menurunkan tangannya yang membekap Sudewi tapi tangan yang lainnya tetap mengisyaratkan untuk Sudewi agar tak mengatakan apa pun. 

“Sudewi … Sudewi, apakah kamu baik-baik saja?” suara Sotor semakin lantang hingga membuat Sudewi terhenyak. Gadis itu menatap Hayam Wuruk sekilas kemudian memalingkan wajah ke arah pintu. 

“Sa-saya … saya baik-baik saja, Kakang Sotor,” ucap Sudewi dengan gugup dan kembali menatap Hayam Wuruk. “Maaf Yunda, Maaf Kakang, mungkin bisa menunggu saya di pendopo dekat Keputren saja, nanti saya akan menyusul,” imbuh Sudewi. 

“Ada masalahkah, Dinda Sudewi?” kali ini Indudewi yang bertanya pada gadis itu. 

Sudewi menggigit bibirnya saat Hayam Wuruk semakin mendekatkan wajahnya dan kembali berbisik. “Katakan saja kalau kamu lupa menyimpan di mana manisan itu.” Hayam Wuruk bisa melihat raut canggung dan gugup yang ditampakkan Sudewi. Menggemaskan begitu pikir Hayam Wuruk saat melihat gadis 11 tahun itu tampak kebingungan bercampur takut. 

  “Kakang dan Dinda bisa lebih dulu ke Pendopo, nanti saya akan menyusul. Saya … saya lupa menaruh wadah manisannya.” 

Hayam Wuruk tersenyum mendengar ucapan Sudewi pada saudara-saudaranya yang ada di luar sana. Namun, suara Sotor yang masih bernada cemas kembali terdengar. 

“Sudewi, kamu benar tidak apa-apa, kan?” 

Hayam Wuruk menaikkan alis kanannya saat mendengar pertanyaan Sotor. Tatapannya menelisik Sudewi lalu kembali dia alihkan ke arah pintu. Kecemasan Sotor membuatnya bertanya dalam benak, sedekat apa mereka ini.

“Saya tidak apa-apa, Kakang.” Jawaban Sudewi rupanya masih belum memuaskan Sotor. Baru saja terdengar kata Sotor yang akan dilontarkan, suara Nertaja menyela. 

“Sotor, Sudewi mengatakan dia baik-baik saja, baiknya kita menunggunya saja di Pendopo.”

Beberapa detik terasa begitu hening di luar. Namun, Nertaja kembali berkata, “Dinda Sudewi, kami menuggumu di Pendopo Keputren, ya. Lebih baik cepatlah, takutnya kita nanti akan terlambat untuk menyaksikan penabalan takhta Kakang Hayam Wuruk.”

Hayam Wuruk mengembuskan napas panjang saat langkah kedua adik dan sepupunya terdengar menjauh. “Terima kasih, Hyang Agung,” gumamnya lega. Melihat Sudewi yang hanya menundukkan kepala dan tangan gadis itu yang sedang memilin selendangnya, Hayam Wuruk berdeham pelan. 

“Maaf, saya tidak tahu kalau ini adalah kamar yang kamu tempati saat di Kedaton Wilwatikta,” ucap Hayam Wuruk. 

“Tidak apa, Kakang Yuwaraja, hamba mohon ampun telah menganggu,” kata Sudewi sembari menangkupkan kedua tangannya. 

Hayam Wuruk berdecak pelan dan mengibaskan tangannya, kemudian dia duduk di kursi yang berada di tengah-tengah kamar Sudewi. Kini dia merasa malu atas perbuatannya sendiri yang sedang berusaha untuk menghilangkan kegugupannya sebelum waktu penabalan tiba, tapi justru yang didapatkannya malah kejadian tak terduga seperti ini. 

Kamar Sudewi sebenarnya cukup luas dengan aroma bunga tanjung yang semerbak wangi ke seluruh ruangan—bahkan saat berdekatan dengan Sudewi dalam jarak dekat tadi, Hayam Wuruk dapat menghidu aroma bunga tanjung dari rambut Sudewi. Hayam Wuruk kembali berdeham kecil ketika dia merasa aneh dengan dirinya sendiri dan mendadak jadi gugup. Kemudian pandangannya tertuju pada sebuah mangkuk dari perunggu. Di dalam mangkuk itu sepertinya tempat menyimpan makanan, hanya saja dia tidak tahu makanan apa yang di dalamnya. 

Apakah itu adalah manisan yang dibicarakan oleh saudara-saudaranya? Tanya Hayam Wuruk pada dirinya sendiri. 

“Apa kamu tidak memiliki sesuatu yang bisa dimakan?” tanya Hayam Wuruk pada Sudewi. 

Gadis itu mengangkat wajahnya dan menatap Hayam Wuruk dengan kerutan dahi yang tampak jelas. Sedang Hayam Wuruk terlalu malu untuk meminta manisan yang terlihat enak di matanya itu secara langsung, sehingga dia hanya melihat Sudewi sebentar lalu ekor matanya melirik ke wadah manisan itu. 

Dalam hatinya, Hayam Wuruk merasa lega sebab Sudewi tampak peka dengan maksud dari ucapannya. “Ah, maaf Kakang Yuwaraja, hamba hanya mempunyai manisan di kamar ini,” kata Sudewi seraya berjalan mendekat dan berhati-hati saat mengambil wadah mangkuk perunggu itu dan menyodorkannya pada Hayam Wuruk. 

Saat Sudewi tengah menunduk, Hayam Wuruk mengambil satu bulatan kecil manisan itu dan segera dimasukkannya ke dalam mulut. Bibirnya sempat tersungging tipis sebelum manisan itu dikunyahnya. Rasa manis bercampur asam memberikan ledakan sensasi rasa yang menyenangkan saat dikunyah. Dia menyetujui perkataan Sotor bahwa manisan ini enak.

Tidak, tidak, manisan ini bukan hanya enak, tapi sungguh sangat enak! Serunya dalam hati. 

Ada rasa menenangkan saat memakannya. Gugup dan kekhawatirannya tentang waktu penabalan nanti seolah-olah mampu diredakan dengan manisan ini. Sederhana dan konyol memang. Maka tanpa sungkan, Hayam Wuruk berdiri dan mengambil wadah mangkuk dari tangan Sudewi lalu bergegas menuju pintu. 

Sebelum membuka pintu kamar Sudewi, Hayam Wuruk sempat berbalik. Calon Raja Wilwatikta itu bahkan tersenyum lebar ke arah Sudewi yang kini tengah melongo kecil dan terlihat bingung. “Terima kasih atas manisan yang enak ini. Saya akan menyimpannya dan menganggap manisan ini adalah sebuah keberuntungan bagi saya.”

Setelah mengucapkannya, Hayam Wuruk membuka pintu kamar Sudewi, meninggalkan gadis itu yang masih dilanda kebingungan. Sedangkan Sudewi masih bergeming di dalam kamar. Gadis kecil itu tidak bisa menerka apakah dia harus sedih atau senang atas manisannya yang sudah dibawa semua oleh Hayam Wuruk 

***

Sudewi menggenggam wadah perunggu itu begitu erat. Dadanya bergemuruh hebat. Dia kembali merutuki dirinya sendiri atas tindakannya kali ini. Beberapa hari ini dia teringat dengan kejadian beberapa tahun lalu tepat saat hari penabalan takhta Hayam Wuruk—laki-laki nomor satu di Wilwatikta yang kini menjadi suaminya. Salah satu kenangan masa kecil yang menyenangkan bersama Hayam Wuruk yang diingatnya. 

Dia pun membuat manisan tersebut dan berharap akan mampu menyenangkan hati suaminya. Bersama emban, Sudewi dibantu membuat manisan yang terbuat dari gula aren dan asam jawa. Tangannya begitu ringan dan riang saat membentuk bulatan-bulatan kecil berukuran seujung kelingking dari manisan yang sudah matang. 

Dia bahkan sempat mandi bunga dan merias diri. Memoles bibirnya dengan ekstrak kunyit dan kesumba keling yang didapatnya dari seorang gadis yang pandai meramu tanaman. Gadis itu meramu tanaman tak hanya digunakan sebagai obat tapi juga sebagai ramuan kecantikan. Gadis yang berumur tidak jauh darinya itu mampu membuatnya percaya diri bahwa dirinya juga cantik. 

Kini dia sudah berdiri di depan kamar suaminya dan berharap-harap cemas. Beberapa pasukan Bhayangkara yang dilewatinya menunduk hormat padanya saat melalui lorong menuju peraduan Sang Raja. Namun, begitu dia berdiri tepat di depan pintu kamar milik raja, Sudewi hanya bisa mematung dengan jiwanya yang bagai tersayat sembilu. 

Dia kembali mendengar sebuah kidung lirih itu dari bibir suaminya. Kidung yang terdengar indah nan memilukan. Kakinya mundur dua langkah. Kalah. Dia kembali merasa kalah. Sembari tangannya mencengkeram erat mangkuk perunggu itu, Sudewi menunduk dan tersenyum pedih. Kemudian dia mendongak dan menghela napas panjang untuk sesaat. 

Dia berbalik dan berjalan menjauh dari kamar suaminya. Tidak apa-apa, Sudewi, tidak apa-apa, begitulah kalimat yang selalu diucapkannya jika saat-saat seperti ini terjadi. Sudewi terus berjalan dengan bahu tegap dan senyumnya yang terulas di bibir. 

Permaisuri Wilwatikta

Status agung dan terhormat yang akan mampu membahagiakan bagi siapa pun wanita yang menyandang gelar tersebut. Namun, nyatanya sejak memiliki gelar permaisuri, kebahagiaan belum pernah menghampirinya hingga membuatnya sering bertanya-tanya, 

Apakah karena tempatnya ini bukanlah miliknya yang sebenarnya? Sebab takhta dan kedudukan ini harusnya adalah milik perempuan dari tanah Pasundan yang termasyhur akan kecantikannya. Dyah Pitaloka. 

Mungkin beginilah suratan hidupnya dari Sang Hyang Agung bahwa menjadi pengganti, selamanya hanyalah bayang-bayang dari sang rembulan yang dipuja dan dicintai oleh suaminya.

***

 

Bab 3 - Rencana Penyelidikan 

 

Majapahit, Tahun 1357 Masehi ( Beberapa Bulan Pasca Perang Bubat)

Matahari dan bulan terus silih berganti dan bercahaya sesuai tugasnya. Pagi harinya berjalan seperti biasa—rapat kenegaraan dan upacara keagamaan. Namun, malam selalu mengerikan baginya. Hayam Wuruk masih di titik yang sama. Nestapa itu seakan enggan pergi. 

Seperti malam ini, dia terus merenung dan memandangi busana pengantinnya—yang sengaja disandingkan dengan gaun pengantin milik Dyah Pitaloka. Rahangnya selalu mengeras dan tatapannya buram saat teringat kembali bagaimana cintanya itu pergi. Malamnya sering diisi dengan berandai-andai, bila saja peristiwa Bubat tak pernah terjadi, mungkin malam-malamnya tak akan semenyakitkan ini.

Mungkin malam-malamnya akan dipenuhi dengan gairah dan dia yang tak akan pernah bosan memandangi wajah cantik Dyah Pitaloka. Namun, semua kemungkinan itu adalah sebuah hal mustahil sebab cintanya telah menjadi abu dan sudah dibawa ke tanah kelahirannya—di bumi Pasundan. 

Tangannya mengepal di atas meja. Dia tidak bisa. Membenci dan memberikan hukuman pada Mahapatih yang begitu berjasa besar bagi Wilwatikta adalah hal yang sangat berat dilakukannya. Namun, melihat Sang Mahapatih juga hal yang menyakitkan. 

Keris yang meneteskan darah itu masih terpatri dalam ingatannya. Keris yang mengalahkan dan membunuh Prabu Lingga Buana. Sebuah kemenangan kosong yang tak ada kepuasaan di dalamnya. Dia tahu bahwa Sang Mahapatih pun menyesal dan meminta undur diri untuk sejenak ke tanah perdikannya di Madakaripura. 

Hayam Wuruk berdiri, lalu tangannya menyentuh perlahan dan lembut pada busana pengantin milik Dyah Pitaloka. “Permaisuriku …,” katanya dengan suara yang bergetar. 

Hyang Agung menciptakanmu saat tersenyum dan riang

Hingga terbentuklah wajahmu yang ayu tak bercela

Tapi mengapa Hyang Agung mengambilmu dengan cara paling menyakitkan

Kujang itu tak bersalah, tapi aku yang bersalah

Jika memang ini adalah karma

Maka aku akan menanggungnya seumur hidup

Dyah Pitaloka, Putri Pasundan yang elok tak bercela

Aku masih di sini, memujamu yang telah tiada

Engkau meninggalkanku yang masih terjebak dalam fana

Dyah Pitaloka, Putri Pasundan yang elok tak bercela

Selamanya, hanya kaulah permaisuri Wilwatikta

Yang terus bersemayam dalam hati dan benak

Tenanglah Dinda, tenanglah di Swargaloka

Hingga saat nanti kita bertemu dan saling melepas rindu

Saat ajalku tiba nanti, tuntunlah aku bersamamu di Swargaloka

Alam keabadian yang akan menjadi dunia kita berdua

Hayam Wuruk melantunkan kidungnya dengan suara rendah dan lirih. Kidung yang terus diulang-ulangnya tanpa jemu setiap malam. Baginya ini adalah mantra pengingat akan duka dan cintanya. Baginya ini adalah sebuah doa dan juga lagu tidur yang mampu membuatnya terlelap, meski tak pernah lagi dia bisa tidur dengan nyenyak, sebab malam-malamnya selalu dihantui penyesalan. 

*** 

Hayam Wuruk segera bergegas menuju Bale Manguntur begitu mendengar kabar bahwa rombongan yang diutusnya ke tanah Pasundan untuk menyampaikan maaf dan mengantarkan abu Prabu Lingga Buana dan Dyah Pitaloka telah kembali ke kotaraja Wilwatikta. 

Dia segera duduk di dampar kencana dan berusaha menahan diri menunggu para utusan untuk mendatanginya dan melaporkan hasil dari Pasundan. Dharmadyaksa Ring Kasogatan dan Dharmadyaksa Ring Kacaiwan berlutut dan menangkup kedua tangan di hadapannya. 

“Silakan menyampaikan apa dan bagaimana hasil kunjungan kalian ke Pasundan,” kata Hayam Wuruk seraya mengangkat dua tangannya. 

Dharmadyaksa Ring Kasogatan memulai lebih dulu. “Mohon ampun, Gusti Prabu, saat kami datang ke tanah Pasundan dan menjejak kaki pertama kali, kami disambut dengan langit  mendung dan hujan yang tak kunjung berhenti. Seakan menjadi pertanda bahwa Pasundan tengah berduka. Keluarga kerajaan Pajajaran yang menyambut kami adalah Mangkubumi Bunisora yang merupakan adik dari Maharaja Prabu Lingga Buana yang telah pralaya,” ucap Dharmadyaksa Ring Kasogatan. 

Gurat wajah Hayam Wuruk berusaha tenang tapi dia sendiri tak bisa menutupi kecemasannya. Sehingga yang dilakukannya hanya diam dan mendengarkan segala laporan kunjungan ke tanah Pasundan. 

“Pesan dari Gusti Prabu sudah kami sampaikan pada Mangkubumi Bunisora, beliau membaca pesan tersebut di hadapan kami dengan tenang tanpa terbawa amarah sedikit pun, hamba pikir bahwa Mangkubumi Bunisora adalah seseorang yang bijak dengan ilmu yang maha luas, sebab selama masa mudanya, yang hamba dengar, Mangkubumi Bunisora senang menjelajah untuk belajar dari para Resi dan pujangga dari berbagai negeri,” timpal Dharmadyaksa Ring Kacaiwan.

Hayam Wuruk hanya mengangguk mendengar penjelasan dari kepala agama Siwa.

“Namun …,” kata kepala agama Siwa yang agak tersendat—tampak terselip ragu dari sorot matanya untuk menjelaskan lebih lanjut. 

“Katakanlah. Katakan semua apa yang disampaikan oleh Mangkubumi Bunisora dan katakan semua hal yang terjadi, yang kalian dengar dan lihat selama berada di Pasundan,” ucap Hayam Wuruk. 

“Permaisuri Dewi Lara Lisning selama berhari-hari terus meratap dan meronta dalam kesedihan dan duka. Perabuan Maharaja Prabu Lingga Buana dan Putri Dyah Pitaloka disimpan dan dijaga oleh para penjaga yang memiliki ilmu kanuragan tinggi. Sedangkan, Yuwaraja Wastukencana menatap kami bagai musuh. Sang Putra Mahkota yang masih berusia 9 tahun itu, akan naik takhta, tapi pamannya Mangkubumi Bunisora akan mendampingi.”

“Saya mengerti. Yuwaraja Wastukencana akan selamanya membenci Wilwatikta,” sahut Hayam Wuruk. 

“Tapi, Gusti Prabu, Mangkubumi Bunisora yang telah membaca pesan dari Gusti Prabu dan menerima segala persembahan permohonan maaf dari Gusti Prabu yang mewakili Wilwatikta, beliau mengatakan, bahwa selama dirinya masih hidup, Mangkubumi Bunisora akan menjaga agar tidak terjadi lagi gesekan antara Pasundan dan Wilwatikta dengan beberapa syarat dan salah satunya adalah—“ 

Tubuh Hayam Wuruk condong ke depan—menanti penjelasan utusannya. 

“—Mangkubumi Bunisora meminta untuk sementara dan sampai batas waktu yang entah kapan, hubungan Pasundan dan Wilwatikta biarlah seperti ini katanya. Karena dia mempercayai ucapan Gusti Prabu bahwa Wilwatikta tidak akan menyerang apalagi berusaha mengirimkan pasukan ataupun utusan ke tanah Pasundan. Namun, selain itu, Mangkubumi Bunisora meminta untuk tidak ada pernikahan atau kekerabatan yang diajukan oleh Wilwatikta selama duka masih menyelimuti bumi Pasundan.”

Hayam Wuruk tercenung. Dia memahami bahwa duka bumi Pasundan meninggalkan luka yang begitu dalam. Dan, mungkin inilah karma. Namun, Hayam Wuruk yakin bahwa suatu saat bumi Pasundan dan Wilwatikta akan bersatu dan bisa bersanding layaknya saudara. Meski saat itu tiba, mungkin dirinya sudah menjadi abu.

*** 

“Kejadian di Bubat sudah berlalu tapi kenapa bau anyir darah masih tercium di Kedaton,” ucap Cakradhara dengan pandangan sendu. 

Kudamerta hanya mendesah. “Kamu benar, Cakradhara. Bubat seakan dikutuk oleh Hyang Agung. Tapi yang lebih penting dari itu adalah dinginnya dampar kencana terutama Hayam Wuruk dan Gajah Mada.”

Cakradhara mengangguk. “Perginya Gajah Mada ke Madakaripura membuat pemerintahan terasa kosong, tapi Gajah Mada sudah menyampaikan padaku dan Dinda Tribhuana bahwa dia berjanji akan kembali ke kotaraja.”

Kemudian Cakradhara menyesap sedikit tuak dan melanjutkan kembali percakapan. “Setidaknya keadaan kotaraja masih stabil, putraku masih bisa menjalankan pemerintahan dengan baik, ekspedisi ke Dompo pun baru berjalan, lagi pula aku yakin putraku itu tidak akan mengubah pemerintahan apalagi menggantikan Gajah Mada hanya karena apa yang terjadi di Bubat.”

Kudamerta ikut menunggak tuak dan terkekeh singkat. “Ah Cakradhara, tentu saja aku tidak meragukan kemampuan keponakanku itu. Dia sudah ditempa sejak kecil dan disiapkan untuk menjadi raja besar Wilwatikta. Sudah sejak kecil pula Hayam Wuruk berada dalam bimbingan Gajah Mada, jadi aku yakin sekali bahwa apa yang terjadi di Bubat tidak akan membawa pengaruh yang berarti bagi hubungan keduanya. Hanya saja—“ 

Kudamerta tampak sengaja menggantung ucapannya, membuat Cakradhara meliriknya dan penasaran. 

“Hanya saja posisi permaisuri hingga saat ini masih kosong dan tentu saja ini akan membawa dampak pada keberlangsungsan Wilwatikta. Sejarah pernah mencatat bukan, bahwa negeri ini pernah dipimpin raja yang tidak pernah mengangkat istri atau selir padahal gemar bersenang-senang dengan wanita. Apa kamu tidak mengingat keputusan dan kebijakan apa yang pernah dikeluarkan oleh raja terdahulu?” 

Cakradhara terdiam. Dia tahu apa maksud pembicaraan Kudamerta. Apa yang dibicarakan Kudamerta, pernah disampaikannya pada Tribhuana—istrinya sekaligus ibunda Hayam Wuruk, akan tetapi alih-alih mencari siapa kandidat Permaisuri berikutnya, istrinya itu pun menyerahkan semua keputusan pada Hayam Wuruk. 

“Bukankah Dewan Sapta Prabu harus bertindak akan masalah tentang siapa yang nantinya akan menjadi permaisuri Wilwatikta,” kata Kudamerta. Ucapannya bukan pertanyaan tapi lebih pada sebuah gagasan. 

“Harusnya seperti itu, Kudamerta, tapi sepertinya tidak untuk saat ini. Putraku bahkan sangat sulit untuk diajak bicara beberapa waktu ini kecuali dengan ibundanya. Pembicaraan mengenai permaisuri masih sangat sensitif bagi putraku,” jawab Cakradhara. 

“Itu pasti terjadi, Cakradhara. Putramu memang tampak tertarik pada Putri Pasundan. Tapi … bukankah apa yang terjadi di Bubat adalah pertanda dari Hyang Agung bahwa Dia tidak menghendaki adanya perkawinan antar kerajaan. Kerajaan ini bisa besar karena trah Ranggah Rajasa, bukankah memang harusnya trah Ranggah Rajasa ini tetap harus bertahan, sebab bila terjadi perkawinan silang antar kerajaan, artinya akan ada keturunan yang bukan murni, dan … lagi-lagi sejarah mencatat, seperti apa Wilwatikta bila dipimpin oleh raja yang bukan murni trah Ranggah Rajasa.”

Cakradhara kembali hanya bisa terdiam. Dia tidak bisa menyangkal apa yang disampaikan oleh Kudamerta, sebab semuanya adalah sebua fakta. Mereka berdua adalah saksi atas pemerintahan Jayanegara dan sebab itu pula, baik Cakradhara dan Kudamerta bisa menikah dengan putri-putri dari mendiang Prabu Dyah Wijaya setelah Sang Raja dengan julukan Kalagemet itu meninggal. 

Namun, kandidat permaisuri berikutnya untuk sang putra, Cakradhara sendiri masih belum memiliki gambaran akan siapa gadis yang memenuhi kriteria calon permaisuri. Tapi ketika dia melihat binar mata yang cerah dan penuh keyakinan dari sahabatnya Kudamerta, satu nama muncul dalam kepalanya. 

***

Hayam Wuruk masih terjaga di dalam kamarnya. Celupak yang memancarkan pelita masih menyala terang menemaninya membaca kitab tutur. Dia terhenyak saat pintu kamar utamanya diketuk. 

“Siapa?” tanyanya dengan suara berat dan tegas. 

“Hamba, Gusti Prabu,” ucap Darya—pelayan pribadi dan kepercayaannya. 

“Ada apa Darya?”

“Pawana hendak mengunjungi Gusti Prabu. Dia menyampaikan ada yang mendesak ingin dilaporkan, apakah hamba menyuruhnya untuk menunda menyampaikan laporan besok saja, Gusti Prabu?” 

Hayam Wuruk segera melipat lontarnya dan segera menyimpan di kotak emas. Lalu dia segera berdiri dan membuka pintu kamarnya. “Suruh Pawana untuk menungguku di Bale kediaman raja. Aku akan segera ke sana,” titah Hayam Wuruk. 

“Baik Gusti Prabu.” Setelah menangkup kedua tangannya dan membungkuk, Darya pamit dan segera keluar. 

Kediaman Raja Wilwatikta memang berbeda dengan kamar-kamar atau tempat lainnya. Selain bangunannya yang lebih luas, kamar utama pun berbeda dan memiliki Bale khusus yang digunakan untuk raja menemui tamu secara pribadi. Tempat ini pun memiliki pengamanan paling ketat dari pasukan Bhayangkara. 

“Pawana,” sapa Hayam Wuruk pada salah satu orang prajurit khusus yang sengaja dia seleksi dari pasukan Bhayangkara dengan kriteria tidak memiliki kedekatan khusus dengan Gajah Mada—atau bukan bawahan Mahapatih Gajah Mada. “Berita apa yang akan kamu sampaikan?” tanya Hayam Wuruk seraya mendekat dan duduk di singgasana khusus di Bale ini. 

Pawana menunduk dan menangkup tangannya di atas kepala. Dia dalam keadaan berlutut saat Hayam Wuruk memanggil namanya. 

“Duduklah, dan segera sampaikan apa yang kamu temukan,” titah Hayam Wuruk yang terlihat sudah tidak sabar. 

“Hamba mohon maaf telah menganggu waktu istirahat Gusti Prabu. Hasil penyelidikan sembunyi-sembunyi hamba tentang peristiwa Bubat menarik satu kesimpulan,” ujar Pawana terdengar sedikit ragu. 

“Kesimpulan apa?” 

“Apa yang terjadi di Bubat hanya salah paham, Gusti Prabu.”

Hayam Wuruk berdecih dengan keras lalu dia beranjak dari singgasananya. “Jika itu yang kamu sampaikan, maka tak perlu diteruskan lagi.” Sudah banyak yang mengatakan demikian dan dia tidak ingin mendengar penjelasan itu lagi. 

“Hamba mohon maaf, Gusti Prabu, tapi ada beberapa hal yang saya temukan yang mungkin saja selama ini belum pernah diungkap,” kata Pawana berusaha untuk meredakan amarah Hayam Wuruk. Prajurit bertubuh tegap dengan kulit gelap itu menunjukkan raut wajah penuh keyakinan. 

Sedang Hayam Wuruk hanya bergeming dengan tatapan tajam pada Pawana. Dia akan memberikan waktu sedikit dan tidak akan memaafkan lagi bila penjelasan Pawana adalah hal yang sama seperti selama ini. 

“Sebelum terjadinya kesalahpahaman antara mendiang Prabu Lingga Buana atas maksud Mahapatih Gajah Mada, ada informasi yang menyampaikan bahwa yang melakukan negoisasi bukanlah Mahapatih Gajah Mada akan tetapi Gusti Bhre Wengker.”

Hayam Wuruk mengerutkan dahinya lalu bergumam. “Paman Kudamerta ….”

“Benar, Gusti Prabu. Hamba melakukan pembicaraan dan bertanya pada beberapa teman prajurit yang selamat dari perang Bubat. Beberapa orang yang hamba tanyai mereka menjawab bahwa Mahapatih Gajah Mada ditemani oleh Gusti Bhre Wengker untuk melakukan pembicaraan dengan Prabu Lingga Buana, hingga terjadi perdebatan di kalangan rombongan Pajajaran, yang juga akhirnya membuat dari pihak Wilwatikta merasa mereka terlalu membuang-buang waktu dan sia-sia. Yang belum hamba temukan adalah, siapa yang lebih dulu menyerang, karena katanya semua terjadi begitu cepat saat kesepakatan tak terjadi. Namun, saat perang berlangsun, tampaknya Gusti Bhre Wengker berhasil menghindari area peperangan.”

“Pawana, apa kamu ingin mengatakan pemikiranmu sebenarnya?” 

“Hamba tidak berani memikirkan apa pun, Gusti Prabu. Hamba hanya menyampaikan apa yang hamba temui dari hasil penyelidikan hamba.”

Hayam Wuruk menelisik pemuda berkulit gelap yang kira-kira usianya di atasnya beberapa tahun. Dia takjub pada sikap dan pemikiran Pawana. Sejauh ini pemuda itu masih menyampaikan data yang bersifat netral sesuai apa yang terjadi di lapangan, dan tidak ada penyampaian yang terkesan mempengaruhinya. 

“Apa kamu menemukan sesuatu yang terjadi setelah kejadian di Bubat, khususnya tindak tanduk Paman Kudamerta?” 

“Jika yang Gusti Prabu maksud apakah Gusti Bhre Wengker bertemu dengan Mahapatih Gajah Mada, dari yang hamba amati tidak ada pertemuan apa pun, tapi … Gusti Bhre Wengker sering berkunjung saat Gusti Bhre Tumapel berada di kerajaannya di Tumapel.”

Hayam Wuruk melipat kedua tangannya ke belakang lalu mendesah panjang. Matanya bergerak-gerak akan tetapi bibirnya tersungging ke atas. Kemudian dia menggeleng dan terkekeh tipis. Pawana yang melihat sang raja muda nan tampan itu hanya bisa mengernyit lalu kembali menundukkan pandangannya. Dia tidak berani berpikir dan menduga terlalu jauh akan apa yang sedang dipikirkan Hayam Wuruk. 

“Bukankah ini menarik, Pawana. Pamanku berkunjung untuk bertemu dengan ayahku bukan saat di Kedaton, melainkan saat ayahku berada di Tumapel,” gumam Hayam Wuruk. Dia kembali tertawa pelan, tetapi kemudian bibirnya mengatup dan tatapannya lebih tajam dari sebelumnya. 

“Ikuti dan terus cari tahu maksud dari kunjungan Paman Kudamerta di Tumapel.” 

Hanya itu perintah Hayam Wuruk pada Pawana. Tanpa kata-kata, Hayam Wuruk meninggalkan Pawana menuju kamar pribadinya. Dalam tiap langkahnya yang melewati lorong antara ruang Bale dan kamarnya, Hayam Wuruk memikirkan setiap laporan yang disampaikan oleh Pawana. 

Pamannya menemui ayahnya. Sedang sebelumnya, ayahnya pernah menyampaikan bahwa dia harus segera mencari calon permaisuri. Ini bukan suatu kebetulan, kan? 

Hayam Wuruk membuka pintu kamarnya dan menuju bilik rahasianya. Matanya terasa pedih dan panas saat kembali menatap baju pengantinnya dengan Dyah Pitaloka. Dia tertawa dalam tangisnya. Bagaimana bisa, mereka memintanya memilih permaisuri saat hatinya masih tertaut pada Dyah Pitaloka yang sudah abadi. 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan